Tag Archive for: Berita Hoaks

Why Fake News Spreads Faster Than the True Ones

In today’s digital age, we are constantly exposed to overwhelming information. With just a click, we can access news from around the globe. However, not all of this information is accurate or reliable. As human beings, we naturally tend to quickly believe things, especially if they are dramatic, emotional, or align with our existing beliefs.

This instinct significantly contributes to the rapid spread of fake news compared to the truth (Beauvais, 2022). People often share information before verifying its accuracy, and in many cases, fake news is specifically designed to capture attention more effectively than real news.

Fake news is designed to trigger strong emotions, such as shock, fear, anger, or excitement, which is one of the primary reasons it spreads so quickly. Another reason is how social media makes it easy for people to click, share, and comment without hesitation, and the structure of such apps feels rewarding to users when different fake posts appear in their feed. True information, on the other hand, is frequently more difficult to verify, more complicated, or simply less entertaining.

Content that receives more interaction is also given preference by social media algorithms. This implies that a post becomes more visible the more people interact with it, even if it is a scam. Overall, in a digital world that thrives on speed and simplicity, fake news is not only easier to create but also more appealing and shareable.

The consequences of fake news can be dangerous. It can influence public opinion, cause panic, damage reputations, and even affect elections or public health. For example, during the COVID-19 pandemic, false information about cures and prevention methods led many people to take harmful actions. Fake news can also create division among communities, spreading hatred and misunderstanding (Madrid, 2023). When people can’t tell the difference between what’s true and what’s false, trust in media, government, and even science begins to fade.

Tackling the issue of fake news is all about personal responsibility and working together as a community. First off, individuals must pause and think critically before hitting that share button. Asking yourself questions like, “Is this from a reliable source?” or “Can I find this information verified elsewhere?” can go a long way in stopping misinformation in its tracks. Schools and local communities should focus on promoting media literacy, helping everyone learn how to spot fake news effectively. On a broader level, social media platforms need to step up their game by taking stronger measures to flag or remove false content and reduce its reach. Plus, we should support fact-checking organizations to ensure that accurate information is not only accessible but also engaging for the public.

Fake news spreads faster than the truth due to its emotional appeal and social media support, causing harm by misleading societies and eroding trust. To combat this, we need awareness, education, and accountability. If we are careful about what we read and share, and if tech platforms take responsibility, we can reduce the spread of fake news and promote the truth.

References

Beauvais, C. (2022). Fake news: Why do we believe it? Retrieved from Joint Bone Spine: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9548403/

Madrid, P. (2023, January 17). USC study reveals the key reason why fake news spreads on social media. Retrieved from USC Today: https://today.usc.edu/usc-study-reveals-the-key-reason-why-fake-news-spreads-on-social-media/

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Hoaks

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, deretan berita hoaks tersebar diberbagai platform termasuk media sosial. Sebut saja sharing yang kebabalasan di WhatsApp Group yang biasanya sangat sering terjadi.

Merujuk data yang dipublikasikan oleh Databoks KataData pada akhir tahun lalu, tercatat ada 96 berita hoaks terkait Pemilu 2024. Artinya dari 355 konten yang tersebar di media sosial sepanjang Juli hingga November 2023, 27 persennya adalah berita hoaks.

Sementara bulan Januari 2024 pasca debat capres dan cawapres yang menandai meningkatnya suhu politik di Indonesia juga diiringi dengan meningkatnya berita hoaks. Di laman kominfo.go.id deretan judul berita ini dikonfirmasi sebagai berita hoaks antara lain “Menkeu Sri Mulyani Sebut Indonesia Dimiskinkan karena Belanja Alutsista dan Biaya Kampanye Prabowo-Gibran”, “Prabowo Subianto Tolak Debat Ketiga”, “Pelajar SMP Divonis 7 tahun Penjara karena kritik Presiden Jokowi”, “Nama Anies Baswedan Masuk dalam Daftar Penikmat Uang Hasil Korupsi BTS Kemkominfo”, “Relawan Gibran Rakabuming Raka Aniaya Relawan Ganjar Pranowo”, dan “Menkopolhukam Mahfud MD Di-reshuffle”.

Deretan berita tersebut hanya sebagian dari puluhan konten hoaks yang telah dihimpun Kominfo dalam sepekan terakhir.

Faktanya berita hoaks selalu meningkat menjelang dan sesudah Pemilu. Hal ini juga terjadi pada Pemilu 2019. Puji Rianto, S.IP., M.A., salah satu dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang fokus dengan riset komunikasi dan politik menyebut saat itu platform media sosial yang paling rentan terhadap berita hoaks adalah Facebook.

“Penelitian PR2Media dan Kominfo 2019 menemukan bahwa hoaks akan tinggi terutama menjelang dan sesudah pemungutan suara. Platform untuk menyebarkan hoaks beraneka ragam, tetapi yang paling banyak waktu itu melalu Facebook,” ujarnya.

Alasan Mengapa Berita Hoaks Terus Diproduksi

Munculnya berita hoaks jelang Pemilu bukan tanpa alasan, kuantitasnya semakin meningkat mengikuti suhu politik yang menghangat. Dari paparan Puji Rianto, ada tiga alasan besar yang menjadi pemicu munculnya berita hoaks.

Berita hoaks berkaitan erat dengan kepentingan politik, sehingga hal ini justru menjadi komoditas yang tak terelakan. Ada transaksi ekonomi dalam pembuatan dan penyebaran berita hoaks.

“Pertama, hoaks telah menjadi komoditas. Artinya, ada pihak yang sengaja memproduksi hoaks demi kepentingan politik, dan itu sengaja di-manufacture oleh pihak tertentu. Ini berarti bahwa dalam proses produksi hoaks, ada pihak yang sengaja memproduksinya demi keuntungan ekonomi dan ada pihak yang bersedia membayar atas hal itu. Jadi, ada pabrikasi hoaks,” jelasnya.

Selanjutnya terkait dengan faktor rendahnya etika politik juga mendukung suburnya produksi berita hoaks di antara aktor politik. Etika politik dalam hal ini berkaitan dengan praktik, penilaian moral, dan tindakan politik.

“Alasan kedua, rendahnya etika politik. Komodifikasi dan pabrikasi hoaks tidak mungkin terjadi dalam situasi di mana para pelaku atau aktor-aktor politik taat pada etika atau menjunjung tinggi etika politik. Jika aktor politik menjunjung tinggi etika politik, maka tidak akan memproduksi informasi yang menyesatkan dan bahkan cenderung fitnah. Artinya, hoaks pada dasarnya muncul karena rendahnya etika politik,” tambahnya.

Terakhir, era post-truth juga memperparah penyebaran berita hoaks. Informasi yang berlimpah tak diimbangi dengan fakta-fakta objektif. Secara umum fenomena era post-truth adalah kondisi antara fakta diganti oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi untuk mempengaruhi opini publik.

“Ketiga, saat ini, kita masuk ke dalam era yang disebut post-truth. Orang percaya karena mereka ingin percaya, tidak peduli benar atau salah informasi yang mereka dapatkan. Rendahnya literasi digital turut membuat hoaks lebih mudah menyebar karena orang-orang kurang kritis. Namun, ini bukan satu-satunya sebab dari sudut pandang masyarakat. Ideologi, orientasi nilai, agama, dan seterusnya yang mendasari afiliasi politik terhadap partai atau tokoh juga sangat mungkin bukan hanya penyebar hoaks, tetapi juga memproduksi hoaks demi melayani kepentingan politiknya sendiri,” pungkasnya.

 

 

Penulis: Meigitaria Sanita