Seri Webinar Komunikasi IP #5: Lokakarya Globalisasi Tahunan “Globalisasi Masa Depan” (2)
Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII. Tulisan ini merupakan tulisan kedua Fitriana Ramadhany, mahasiswa magang kami, berdasarkan reportase-nya. Ini adalah artikel lanjutannya.
“Tapi globalisasi bukan hanya masalah ekonomi,” ujarnya. Mengacu pada makalah dari Christian Fuchs, sosiolog muda dari Inggris, yang menulis tentang ‘kapitalisme virus korona’ sebagai istilah untuk kehidupan sehari-hari dan komunikasi selama pandemi. Masduki menjelaskan melalui makalah itu, Fuchs lebih banyak menulis tentang dampak besar Covid-19 daripada dampak ekonomi dan kesehatan. Dia mengatakan, dampak Covid-19 menurut Fuchs adalah mempertanyakan solidaritas global atau sosialisme di antara kita tanpa ada kepedulian terhadap identitas.
Globalisasi saat ini hadir dalam bentuk pola konsumsi seperti mengkonsumsi Coca Cola, Starbucks, dan McDonald’s. Menurut Dr. Masduki, pola konsumsi ini dikritik oleh Theodore Adorno. Adorno mengkritisi budaya yang terkomodifikasi dan masif menuju cita rasa produk global tunggal. Ini semacam massifikasi komunikasi dari AS ke seluruh dunia yang menunjukkan sejauh mana globalisasi telah berkembang.
Dalam paparan selanjutnya, Dr. Masduki banyak mempertanyakan bagaimana globalisasi bekerja pada saat pandemi, periode normal baru, atau pasca pandemi. Ia pun menyinggung salah satu dampak Covid-19 tentang kebiasaan kuliner. Jika sebelum pandemi konsumsi masyarakat sudah pada kuliner bermerk internasional. Selama pandemi dan bekerja dari rumah, kebiasaan kuliner tidak berubah dan konsumerisme meningkat. Terutama konsumerisme merek global dan produk yang dikonsumsi masyarakat tinggal di rumah. Inilah yang disebutnya kondisi yang menempatkan masyarakat menjadi anggota lokal dengan tinggal di rumah, sekaligus memaksa masyarakat menjadi konsumen global.
“Kembali ke pertanyaan saya di slide pertama, dunia ditutup sementara, tapi bagaimana dengan globalisasi? Jadi, jawaban saya adalah bahwa globalisasi masih ada. Tapi dengan cara baru dan pendekatan baru,” ujarnya. Ia menjelaskan, secara tidak langsung pandemi tersebut telah memberdayakan brand ICT global yang sudah mapan seperti Google Meet, Zoom, dan Tik Tok. Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa Covid-19 hanya selingan soal masalah globalisasi dan globalisasi belum bisa dikatakan tuntas.
Di akhir pemaparannya, ia menjelaskan bahwa sisi buruk Covid-19 mengganggu masyarakat dan membahayakan kesehatan. Namun di sisi lain, Covid-19 juga memberikan pengingat yang baik untuk menghormati keluarga dan menghormati merek komunikasi lokal. Ia pun berpesan kepada audiens sebelum menutup presentasinya bahwa untuk menjadi orang yang kritis diperlukan berbagai inisiatif kecil yang berdampak besar. Seperti meminimalisir pengeluaran, dan meminimalisasi penggunaan produk bermerek global dengan lebih memperhatikan merek lokal.
———————-
Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII.Angkatan 2016
Editor: A. Pambudi W