Reading Time: 3 minutes

Sebuah slogan yang sarat spirit heroisme: Sekali Di Udara Tetap di Udara, menggema di media sosial dan saluran terestrial dalam bulan ini, menjelang perayaan tiga perempat abad kelahiran RRI (radio republik Indonesia), radio nasional tertua. Slogan ini lahir dalam masa revolusi kemerdekaan tahun 1948, ketika studio RRI Solo dibawah pimpinan R. Maladi, harus pindah ke Karanganyar menghindari aksi militer Belanda.

Slogan ini terus di rawat dalam benak dan disuarakan hingga 75 tahun kemudian, sebagai isyarat verbal bahwa RRI bertekad menjadi bagian dari proses ’revolusi udara’ pasca kemerdekaan. Meski lanskap sosial politik dan sistem media telah berubah. Merujuk buku Sedjarah Radio (1963), teks lengkap slogan itu sebetulnya didahului kalimat: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, namun kalimat ini kerapkali tidak disertakan. Terinspirasi dari daya tahan slogan ini melewati berbagai periode politik dan sistem media, tulisan pendek ini menggali sejarah RRI dalam kerangka kebijakan penyiaran di Indonesia.

Dua Periode Kritis

Memasuki usia 75 tahun bagi RRI berarti juga memasuki periode ketiga kebijakan penyiaran Indonesia. Kebijakan pertama berlaku sejak radio ini lahir tahun 1945 hingga tahun 1970. Corak dasarnya monopolistik, di mana otoritas politik Indonesia hanya memiliki satu jenis media, yaitu radio pemerintah, radio siaran di luar pemerintah dianggap illegal. Model monopolistik ini jamak terjadi di negara lain termasuk di Inggris di mana sejak berdiri tahun 1927 hingga 1970-an, BBC menjadi pemain tunggal. Perbedaannya, BBC sejak awal menjadi media publik berbasis kebudayaan publik, sedang RRI lahir dengan semangat menjadi radio politik, mendukung pemerintah pasca kemerdekaan, bukan kebudayaan.

Orientasi penyiaran yang bersifat politis ini dikoreksi pada periode antara tahun 1970-1995-an. Keluarnya PP No. 55/1970 yang mengakui radio swasta mengakhiri era dominasi tunggal RRI. Regulasi ini mempromosikan radio sebagai institusi budaya, berbasis kreatifitas masyarakat dengan tujuan sosial-komersial. Kompetisi menjadi kata kunci yang sejatinya bisa memperkuat posisi RRI sebagai media publik. Sayang, hasrat pemerintah mengkooptasi RRI masih kuat sehingga periode 1970-1985 bisa dianggap sebagai sejarah paling buruk bagi RRI sebagai institusi radio yang seharusnya melayani warga negara.

Masa Lalu atau Masa Depan?

Periode ketiga (1995-2020) adalah periode paling dinamis sistem penyiaran Indonesia termasuk RRI. UU Penyiaran No. 32/2002 mengkoreksi kebijakan dualisme: radio pemerintah dan radio swasta menjadi kebijakan pluralistik terbatas. Ditandai munculnya radio publik dan radio komunitas sebagai pemain baru. Pilihan RRI pada tahun 2000 untuk menjadi radio publik sudah benar, selaras semangat demokratisasi media. Namun, dalam perjalanan hingga tahun 2020, rupanya tampak sikap galau, dan semangat untuk menjaga aliansi mesra dengan otoritas politik, bukan beraliansi dengan publik. Para insan di radio terbesar di Indonesia ini masih bimbang: merawat masa lalu atau meraih masa depan.

Karakteristik budaya jurnalisme di Indonesia pada 15 tahun terakhir, ketika RRI sudah mengemban status sebagai lembaga penyiaran publik mirip dengan apa yang digambarkan Robert McChesney (1999) sebagai: rich media poor democracy (jumlah media yang banyak, informasi yang berhamburan, tetapi minim kualitas yang merawat demokrasi). Setelah berusia 15 tahun sebagai LPP, pengelola RRI tampak tenggelam kepada kejayaan masa lalu sebagai media pembangunan dan saluran budaya serta olah raga, dan melewatkan kesempatan untuk menjadi saluran informasi yang tajam dan berkualitas. Slogan “sekali di udara tetap di udara“ kian mengalami kemandegan makna dan spirit perubahan. Nah, jika ingin meraih masa depan yang cerah menuju satu abad (25 tahun ke depan), RRI harus segera berbenah memenuhi aspirasi publik, sebab hanya publik yang loyalitasnya tulus.

 

Penulis: Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII

—–

Tulisan ini telah terbit sebelumnya di Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta pada edisi 11 September 2020 halaman 11. Gagasan dalam tulisan ini kembali kami terbitkan dalam laman ini demi menyemarakkan Bulan Penyiaran Publik. Kami meyakini, Semangat pembaruan Lembaga Penyiaran Publik yang tersirat dalam tulisan Dosen Program Studi kami ini layak digaungkan dan dikemasulang di laman-laman studi komunikasi sebagai bagian dari proses laku Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management). Penulis adalah doktor dengan spesialisasi kajian Penyiaran Publik, Media Layanan Publik dalam klaster riset Regulasi dan Kebijakan Komunikasi.  Tulisan ini juga menjadi bagian komitmen kami pada rangkaian diskusi Sejarah Komunikasi dalam kajian Forum Amir Effendi Siregar.

Reading Time: 3 minutes

A slogan full of the spirit of heroism: Sekali di Udara, Tetap di Udara (Once in the Air Stay in the Air), echoing on social media and terrestrial channels this month, ahead of the three-quarter century anniversary of the birth of RRI (radio republic of Indonesia), the oldest national radio. This slogan was born during the independence revolution in 1948, when RRI Solo studio under the leadership of R. Maladi, had to move to Karanganyar to avoid Dutch military action.

This slogan was kept in mind and voiced up to 75 years later, as a verbal signal that RRI was determined to be part of the post-independence ‘air revolution’ process. Although the socio-political landscape and media system have changed. Referring to the book Sedjarah Radio (1963), the full text of the slogan is actually preceded by the sentence: Once Free, Stay Free, but this sentence is often not included. Inspired by the persistence of this slogan through various periods of politics and media systems, this short article explores the history of RRI within the framework of broadcasting policy in Indonesia.

Two Critical Periods

Entering the age of 75 for RRI means entering the third period of Indonesia’s broadcasting policy. The first policy was in effect since radio was born in 1945 to 1970. The basic pattern is monopolistic, in which the Indonesian political authority only has one type of media, namely state radio, broadcast radio outside the government is considered illegal. This monopolistic model is common in other countries, including Britain, where since its founding in 1927 to the 1970s, the BBC has been the sole player. The difference is that the BBC has been a public media based on public culture from the start, while RRI was born with the spirit to become a political radio, supporting the post-independence government, not culture.

This political orientation of broadcasting was corrected in the period between 1970-1995s. The issuance of PP No. 55/1970 which acknowledged that private radio ended the era of RRI’s single domination. This regulation promotes radio as a cultural institution, based on community creativity with socio-commercial objectives. Competition is a keyword that can actually strengthen RRI’s position as a public media. Unfortunately, the government’s desire to co-opt RRI is still strong so that the period 1970-1985 can be considered as the worst history for RRI as a radio institution that should serve citizens.

Past or Future?

The third period (1995-2020) was the most dynamic period for the Indonesian broadcasting system, including RRI. Broadcasting Law No. 32/2002 corrects the policy of dualism: state radio and private radio to a limited pluralistic policy. Marked by the emergence of public radio and community radio as a new player. RRI’s choice in 2000 to become a public radio station was correct, in line with the spirit of media democratization. However, on the way up to 2020, there seems to be a troubled attitude and enthusiasm to maintain an intimate alliance with political authorities, not alliance with the public. The people on the biggest radio in Indonesia are still uncertain: caring for the past or reaching for the future.

The characteristics of journalism culture in Indonesia in the last 15 years, when RRI has assumed its status as a public broadcasting institution is similar to what Robert McChesney (1999) described as: rich media, poor democracy (large amount of media, scattered information, but minimal quality of care. democracy). After turning 15 as an LPP, the RRI manager seems to be immersed in its past glory as a medium for development and a channel for culture and sports, and has missed the opportunity to become a channel for sharp and quality information. The slogan “once in the air, remains in the air” increasingly stagnates the meaning and spirit of change. So, if you want to achieve a bright future towards a century (the next 25 years), RRI must immediately clean up to meet the aspirations of the public, because only the public has genuine loyalty.

 

Author: Masduki, Dr.rer.soc.

Lecturer of the UII Communication Science Departmen of Universitas Islam Indonesia

—–

This article was previously published in the Kedaulatan Rakyat Daily in Yogyakarta on the 11 September 2020 edition page 11. We republish the ideas in this paper on this page to enliven the Month of Public Broadcasting. We believe the spirit of renewing the Public Broadcasting Institution, which is implied in the writings of our Communication Science Lecturer, deserves to be echoed and republished on communication study pages as part of the Knowledge Management process. The author is a doctorate specializing in Public Broadcasting, Public Service Media in the Communication Policy and Regulation research cluster. This paper is also part of our commitment to a series of discussions on the history of communication in the study of the Amir Effendi Siregar Forum.

 

Reading Time: < 1 minute

Pers Mahasiswa pasca 1998 mengalami kebingungan, bahkan hingga sekarang belum selesai. Begiru yang diungkapkan wisnu Praseryo Utomo, Dosen Fisipol UGM, dalam diskusi Forum Amir Effendi Siregar (5/9) yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi Univeritas Islam Indonesia.

Sebelum 1998 pers mahasiswa banyak memberikan sumbangsih sebagai media alternatif yang diperhitungkan di zaman orde baru dalam menyuarakan kepentingan publik.

Dimana pentingnya pers mahasiswa waktu itu? Amir Effendi Siregar, mengamini kata-kata Rosihan Anwar. Amir saat masih muda menulis dalam bukunya “Pers Mahasiswa: Patah Tumbuh Hilang Berganti”, bahwa pers Mahasiswa menyumbang keberanian.

Pada waktu itu pers umum atau pers mainstream takut memberitakan penyalahgunaan kekuasaan olwh Suharto dan rezimnya. Banyak koran dan media lainnya telah dibredel. Waktu itu Rosihan Anwar mengkritik Kompas karena pemberitaan gaya kepitingnya. Ia tak berani memberitakan kekuasaan dengan lugas, gaya penulisannya berputar karena cenderung cari aman.

Pada masa seperti itu pers mahasiswa seperti tak punya takut. Mereka, dengan bahasa yang lantang seperti tak memiliki rada takut. Meski bakal dibredel sekalipun. Mereka berani melabrak pakem jurnalistik, “bukan karena tak mamahami kaidah jurnalistik. Tetapi karena tak memiliki tendesi kepentingan politik maupun ekonomi,” jelas Wisnu. Halnini membuat persma tak gentar akan konsekuensi apapun selain menyuarakan kebenaran dan kepentingan publik.

Reading Time: < 1 minute

Post 1998 students are confused, even until now they have not finished. Begiru was expressed by Wisnu Praseryo Utomo, a lecturer at the Faculty of Social and Political Sciences UGM, in the discussion of the Amir Effendi Siregar Forum (5/9) conducted by the Center for Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM Communication Sciences, Islamic University of Indonesia.

Before 1998 the student press made a lot of contributions as an alternative media that was taken into account in the New Order era in voicing the public interest.

Where was the importance of the student press at that time? Amir Effendi Siregar, agrees with Rosihan Anwar’s words. Amir, when he was young, wrote in his book “Student Press: Broken Tumbuh Hilang Changing”, stated that the student press contributed courage.

At that time, the general press or the mainstream press were afraid to report the abuse of power by Suharto and his regime. Many newspapers and other media have been banned. At that time, Rosihan Anwar criticized Kompas for reporting on its crab style. He did not dare to report power straightforwardly, his writing style was rotating because he tended to be safe.

At such times the student press seemed fearless. They, with their loud language, seemed to have no fear. Even though it will be banned though. They dare to violate the journalistic standard, “not because they do not understand journalistic principles. But because they do not have a tendency to have political or economic interests,” said Wisnu. This makes the persma unafraid of any consequence other than voicing the truth and public interest.

 

Reading Time: 5 minutes

Oleh Ifa Zulkurnaini

Wisata bencana adalah topik perdebatan yang pelik: ada yang sinis dan ada yang simpatik. Sikap media pun bergeser dari masa ke masa.

Di tengah perang dengan pandemi dan anjuran untuk karantina diri, beberapa gunung di Indonesia tersadar dari tidurnya. Gunung Merapi erupsi pada 10 April 2020 pagi. Malamnya, Anak Krakatau menyusul. Tampaknya, hidup di Indonesia, berarti bersiap berhadapan dengan bencana yang beragam.

Warga Indonesia sudah sejak lama menggunakan kreativitas sebagai respon bencana. Kita mengenal adanya “wisata bencana”, yakni kegiatan wisata yang memperlakukan bencana sebagai tontonan. Konsep dan praktik ini bisa ditelisik mundur setidaknya sejak 1982. Ada satu hal penting ketika kita membicarakan “wisata bencana”.

Sejak awal kemunculannya, media berperan penting dalam mendefinisikan, membangun, dan menilai wacana mengenai “wisata bencana”. Posisi media dalam melihat “wisata bencana” juga berubah di sepanjang sejarah.

Artikel ini sendiri akan membicarakan bagaimana Harian Umum Kompas—media cetak yang memiliki oplah tinggi di Indonesia—mendefinisikan “wisata bencana” semenjak 1970an hingga 2000an awal. Artikel ini juga akan membicarakan bagaimana kemudian Kompas bergeser dalam menilai “wisata bencana” menjadi dua hal yang berbeda.

Piknik Bencana Sebagai ”Tindakan Tidak Etis”

Teks yang berhubungan dengan wisata bencana pertama kali muncul di Kompas pada 26 Juli 1976. Ketika itu, terjadi gempa bumi yang terjadi di Seririt, Bali, salah satu kota kecamatan yang terkenal sebagai tempat wisata. Artinya, dalam kemunculan ini, “wisata bencana” dapat diartikan sebagai “bencana yang terjadi di daerah wisata”.

Kompas mewacanakan konsep ini dengan lebih sistematis, serta lebih dekat dengan pemaknaan kita hari ini, pada 1982. Ketika Gunung Galunggung meletus dan menyapu beberapa kecamatan di Garut. Kala itu, Kompas memberitakan sebuah kegiatan yang dinamai sebagai “piknik bencana”.

“…yang lebih ramai lagi adalah bila Anda bisa minta kepada penjaga palang pintu untuk membukakan jalan, dan masuk mengikuti jalan yang menuju ke arah Desa Sinagar, desa yang sudah dimusnahkan oleh delapan kali Letusan galunggung. Di Desa Sukaratu, jalan itu melintasi Kali Cibanjaran, alur yang menjadi jalan lahar dingin dari kawah Cekok dan kawah Hejo yang sekarang mengepul menjadi satu kepundan… Di situlah pusat keramaiannya… kebanyakan orang kota, dengan pakaian lengkap dengan kamera, gaya piknik.” (Piknik ke Galunggung”, Kompas 2 Juni 1982).

Melalui teks tersebut, Kompas memposisikan kegiatan masyarakat menonton bencana itu sebagai “piknik”. Secara simbolik, istilah piknik digunakan sebagai strategi untuk memproduksi ruang yang bukan wisata menjadi ruang wisata.

Kompas memilih diksi yang menarik untuk kita bahas di sini: “orang kota”. Sewajarnya, dalam piknik, pelakunya umum disebut sebagai “wisatawan”, “pelancong”, atau “turis”. Dengan menggunakan diksi “orang kota”, Kompas hendak menggarisbawahi tegangan sosial yang terlibat di dalamnya. Pada satu sisi ada subjek “orang kota” yang “berpakaian lengkap”, dan menenteng “kamera”. Pada sisi lain, ada objek pemandangan warga terdampak, desa yang “dimusnahkan oleh delapan kali Letusan galunggung”.

Bingkai etika yang dipakai Kompas ini semakin keras dan gamblang pada 2006. Kritik ini disampaikan melalui artikel dengan judul “Santir Rupa Lindunisia”, yang menyamakan pengunjung wisata bencana sebagai “orang berhati Iblis”.

“Rupanya bencana memunculkan pula peluang bagi orang-orang berhati iblis untuk mendirikan kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Paling tidak membikin mereka berkesempatan piknik ke ‘desa wisata gempa’, …” (Wahyuddin, “Santir Rupa Lindunisia”, Kompas 24 September 2006).

Cerpen berjudul “Piknik” ikut memberi penggambaran sinis atas aktivitas ini.

“Bila kau merencanakan liburan akhir pekan—dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga—air mata. (Agus Noor, “Piknik”, Kompas, 2 Juli 2006)

Nada satir pada kalimat terakhir di penggalan cerpen Agus Noor memberikan kesaksian bahwa kegiatan “piknik bencana” bukanlah hal yang dikehendaki penyintas. Dalam teks-teks ini, bencana dipahami sebagai kondisi yang menyedihkan. Dengan demikian, tak elok jika dinikmati sebagai objek pengisi waktu luang.

Hal lain yang menarik dari fenomena “piknik bencana” dalam terbitan Kompas di sepanjang 1982-2010 adalah kegiatannya yang bersifat aksidental, tanpa persiapan atau tanpa pengelolaan. Fokusnya pun hanya sebatas apa yang bisa dilakukan oleh penonton, seperti “orang kota” dalam letusan Gunung Galunggung.

Pemberitaan Kompas mengenai Letusan Gunung Merapi pada 1993 memang menunjukkan adanya aktivitas dari penyintas yang menjadi pemandu wisata, serta adanya pemberian imbalan (“Rame-Rame Nonton Letusan”, Kompas, 24 April 1993). Namun, praktik ini tidak terorganisir dan tidak ada penerapan tarif khusus. Hal sama yang terjadi ketika Galunggung meletus pada 1982, ketika masyarakat ramai menemani “orang kota” melihat letusan Galunggung.

“Wisata Bencana” sebagai Tontonan yang Dikelola

Perubahan cara pandang Kompas mulai terjadi setidaknya pada 2010. Pada era tersebut itu, Kompas mulai menukar istilah “piknik bencana” menjadi “wisata bencana”. Penggunaan istilah ini menandai sejumlah pergeseran dalam menempatkan warga terdampak, pengunjung, serta aktivitas wisata itu sendiri. Lebih dari itu, penggunaan istilah “wisata bencana” juga menandai peralihan peran Kompas dalam menyebarkan pengetahuan bahwa bencana dapat dijadikan sebagai komoditas wisata.

Hal ini terjadi terutama setelah meletusnya Gunung Merapi pada 2010. Selepas bencana ini terjadi, warga terdampak tak lagi digambarkan sebagai objek yang pasif, yang tak berdaya menjadi bahan tontonan. Warga terdampak digambarkan secara simpatik sebagai aktif memanfaatkan ramainya pengunjung.

“Orang ingin tahu seperti apa rumah Mbah Maridjan dan bagaimana kondisi dusun kami—daripada nasib kami menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan. Itulah ide awal Lava Tour Merapi,” ungkap Asih (“Merapi yang Selalu Menghidupi”, Kompas, 18 Februari 2012).

“Wisata bencana” adalah istilah yang merujuk pada sebuah kegiatan wisata yang dikelola. Dalam peliputannya, Kompas pun menghadirkan industri wisata baru yang dikelola warga terdampak bencana ini sebagai wisata yang wajar dan profesional. Mulai dari pengelola yang mengenakan seragam, hingga cetakan karcis masuk dan biaya parkir yang sudah diseragamkan (Kompas, 28 Januari 2011).

Pengelola pun menyediakan fasilitas berupa mobil Jeep dan motor trail untuk memperkaya pengalaman wisata.

Perubahan juga terjadi dalam cara Kompas mendeskripsikan pengunjung. Bukan lagi sebagai “orang kota” yang hendak “piknik”, melainkan sebagai “wisatawan”. Aktivitas para wisatawan ini pun tak lagi disindir atau dikritik sebagai aktivitas yang tak bermoral. Praktik menonton sambil menenteng kamera atau smartphone untuk merekam bencana dianggap hal yang lumrah.

Kompas menyamakan kegiatan ini dengan “napak tilas”. Penggunaan istilah napak tilas terlihat memberikan gambaran bahwa aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan sebagai penghormatan, sebagai rasa empati terhadap warga terdampak.

Refleksi

Ada hal yang berubah dari cara Kompas membicarakan wisata bencana. Sejak pemberitaan awal pada 1982, Kompas teguh untuk menganggap piknik bencana sebagai perbuatan yang tidak elok. Namun setelah letusan Gunung Merapi pada 2010, Kompas tidak lagi mengkritik wisata bencana sebagai hal yang negatif, mereka lebih tertarik pada pada bagaimana masyarakat mengkomodifikasi bencana menjadi wisata.

Tentu ada dimensi etika yang patut untuk dipertimbangkan: apakah tindak “menonton” bencana adalah hal yang etis untuk dilakukan dan menghormati warga terdampak? Apakah ketika warga terdampak berperan secara aktif dalam menyelenggarakan wisata itu membuatnya jadi kegiatan yang lebih etis?

Namun, di luar dimensi etika, hal lain yang menarik untuk kita refleksikan adalah mengenai relasi kita dengan ruang. Dalam studi komunikasi geografi, komunikasi dan media memiliki peran krusial dalam mengkonstruksi ruang yang baru bagi manusia (Dhona, 2018: Dhona, 2017).

Dalam kasus wisata bencana, media—diwakili oleh Kompas—sebagai pihak yang secara aktif memaknai dan membentuk pemahaman kita mengenai situs bencana. Hal ini menunjukkan bahwa juga memberikan gambaran bahwa ruang tidaklah tetap. Pemahaman kita atas ruang dibentuk oleh aktivitas kita di dalamnya, termasuk juga bagaimana kita membicarakannya (Dhona, 2019).

——-

Ifa Zulkurnaini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Klaster Riset Komunikasi Geografi dan Lingkungan. Tulisan ini telah terbit lebih dahulu pada 16 Juni 2020 di laman Remotivi, sebuah Pusat Kajian Media dan Komunikasi yang telah eksis lama di dunia kajian media Indonesia. Gagasan ini kami terbitkan ulang sebagai #kliping untuk kepentingan edukasi dan kajian komunikasi terutama komunikasi geografi.  Gambar merupakan karya Remotivi.or.id digunakan ulang untuk ilustrasi dan edukasi.

Reading Time: 3 minutes

Kasus kejahatan seksual bukan kasus kriminal biasa. Dalam pemberitaan, jurnalis berperan meluruskan pandangan itu kepada masyarakat.

Oleh MEDIANA

Tulisan ini pernah diterbitkan di Kompas 1 September 2020. Website kami menerbitkan ulang tulisan ini untuk kepentingan edukasi dan pengarusutamaan Jurnalisme Sensitif Gender. Terima kasih pada Kompas atas ringkasan yang baik untuk diskusi ini pada perhelatan rutin Forum Amir Effendi Siregar yang kami adakan pada 29 Agustus 2020 lalu.

Perspektif korban perlu selalu menjadi penekanan dalam pemberitaan kasus kejahatan seksual. Perspektif ini hingga sekarang tidak mudah dibangun oleh media. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bidang Jender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Nani Afrida, Selasa (1/9/2020), di Jakarta mengatakan, framing media terhadap kasus kejahatan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor. Budaya patriarki selama ini masih menjadi faktor utama.

Untuk pemberitaan kejahatan seksual terhadap anak, misalnya, kebanyakan pemberitaan masih menempatkan mereka sebagai obyek. Semua identitas yang menempel dalam diri anak diungkap. Media tidak mewawancarai anak, tetapi mengungkap identitas anak melalui peliputan ke sekolah dan lingkungan
masyarakat.

Beberapa pemberitaan memuat detail-detail yang justru mengorbankan korban. Sebagai contoh, penulisan ”korban anak memakai pakaian tanpa lengan”, ”korban sukarela diajak pergi oleh pelaku”, dan ”korban sudah kenal dengan pelaku”.

Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih dipenuhi stigma dari budaya patriarki. (Nani Afrida)

”Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih
dipenuhi stigma dari budaya patriarki,” ujar Nani. Dengan selalu berpegang pada perspektif korban, media berarti memilih data fakta yang tidak menambah trauma korban. Menuliskan detail keadilan juga ditonjolkan, seperti penggunaan narasumber dari lembaga peduli hak asasi manusia dan kesetaraan jender.

Nani menyampaikan, AJI sudah mengembangkan kode etik meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual bagi anggotanya. Salah satu isinya, anggota AJI menyamarkan identitas semua korban dan pelaku kejahatan seksual yang berkaitan dengan anak. Kode etik ini bersifat menajamkan peliputan dan pemberitaan yang mengedepankan perspektif korban. ”Saya harap jurnalis dan media tidak terbebani peraturan ataupun kode etik. Kasus kekerasan dan eksploitasi seksual bukan kriminal biasa,” ucapnya.

Manajer Program Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia Andy Ardian berpendapat, dengan berperspektif dari sudut pandang korban, jurnalis ataupun organisasi media dapat berempati kepada korban. Ketika kasus kejahatan seksual melibatkan sosok terkenal, perspektif korban membuat jurnalis semestinya tidak gentar.
”Kerja jurnalis seperti investigator. Jurnalis tetap bisa menelusuri perkembangan penegakan hukum meskipun sejumlah laporan kasus sering kali dicabut oleh pengadilan. Peliputan tetap harus berjalan sehingga masyarakat bisa ikut memantau dan teredukasi,” katanya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Iwan Awaluddin Yusuf, mengamati, pascareformasi 1998 terjadi peningkatan jumlah wartawan perempuan, perempuan pengambil kebijakan di media, media berbasis feminisme, serikat jurnalis untuk keberagaman, dan forum jurnalis perempuan.
Beberapa media massa nasional bahkan memiliki wartawan yang idealis terhadap pendekatan jurnalisme sensitif jender. Pendekatan ini kian masif diterapkan, terutama meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual.

Kolaborasi antarmedia untuk liputan berspektif jender juga mulai muncul, seperti #namabaikkampus yang baru-baru ini meraih penghargaan Public Service Journalism Award from the Society of Publishers in Asia. Contoh ini melengkapi perkembangan positif lainnya. Di tengah situasi itu, Iwan mengamati, kebanyakan editor dan reporter saat ini sudah memiliki pengetahuan tentang masalah dan pentingnya jurnalisme sensitif jender, tetapi tidak pada tingkat praktis.

”Pemahaman pendekatan jurnalisme sensitif jender juga belum merata lintas departemen,” ujar Iwan saat menghadiri Serial Bincang Sejarah Komunikasi yang diselenggarakan Forum Amir Effendi Siregar-Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Sabtu (29/8/2020).

Prinsip-prinsip kesetaraan jender secara informal diperkenalkan jurnalis senior kepada yunior. Sisanya, wartawan mencari sendiri pengetahuan seputar pendekatan jurnalisme sensitif jender. Petunjuk umum peliputan kesetaraan jender sudah tersedia, tetapi tidak spesifik untuk jurnalisme sensitif jender. Hal ini tidak mengherankan karena jurnalis juga dihadapkan dengan isu menguatnya pasar bebas, oligarki media,
dan internet.

Tantangan lainnya adalah potensi kekerasan wartawan, orientasi pemberitaan ”page views”, pendanaan media, eksistensi klub laki-laki di internal, dan perusahaan aplikasi internet (OTT) yang enggan bertanggung jawab terhadap konten non-sensitif jender.

Iwan berpendapat, pemahaman dan keterampilan jurnalisme sensitif jender perlu dilatih. Jika diperlukan, pembekalan itu dilakukan melalui formal dan informal. ”Penerapan jurnalisme sensitif jender harus terus diperjuangkan. Hal yangharus diingat adalah perjuangan ini bukan eksklusif milik wartawan perempuan,” ujarnya.

Editor:ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Reading Time: 2 minutes

Many say that the Japanese Population Age was a New Age, but it is also widely known as the Darkest Age of Colonialism. There are many stories of how the atrocities during the Japanese occupation were recorded in the oral history and the mass media published at that time.

On August 29, 2020, in the discussion of the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Lecturer in Communication Science Department who has researched a lot about gender-sensitive journalism, shared his data findings on the Japanese colonization in Indonesia. This fact is widely published in the media reporting on women. How women are represented in Japanese media and journalistic techniques. Not only in newspaper coverage, but also in comics.

Afraid to be taken away

At that time Indonesian women were very afraid to look good. “They are afraid, so they will dress as badly as possible for fear of being taken away,” said Iwan. At that time women had to give their energy, thoughts, skills, and even possessions for the benefit of the Japanese colonizers.

So women who are good, beautiful, healthy, polite will be taken as jugun ianfu (comfort women who are actually prisoners for sex slaves during the Japanese occupation) or fujinkai (female soldiers who support Japan) who help the war to expand colonization in East Asia.

At that time, the media in Indonesia became a propaganda medium. In fact, not only journalistic media but also comics always portray women as beautiful, able to provide good and healthy meals for families, able to look after children.

Japan is also trying to drown out the narrative of American women. At that time, America wanted to show that women must have an equal position with men with various abilities and intelligence. Meanwhile, Japan, with advertisements in its media, depicts a good woman as being gentle and capable of taking care of  the household.

This is also confirmed by Galuh Ambar, who researched the construction of Indonesian women in the Japanese era. She, through the IVAA grant program, quoted the magazine Pandji Poestaka, which described the construction of new women’s ideas in the household. Pandji Poestaka, for example, wrote, “Now we are facing a new world, a new order, heading for greater east Asia under the leadership of old brother Nippon. Mothers are not the least of our obligations in achieving that noble ideal. Our first duty is to completely eliminate all bad western influences, to clean the household from the smell of the west. ”

At that time the comics became a propaganda tool. You can see the comic Sembadra and Srikandi. In the comic, the Suprapti-Sutarti brothers are depicted in different characters. Suprapti is a girl from home, while Sutarti is a girl who likes marching training, is brave, and manly. Two girls like that who would help Japan realize its dream of becoming Asian leaders at that time.

 

Reading Time: 2 minutes

IPC dikenal sebagai International Program of Communication. Bagi mahasiswa IP, manfaat yang selama ini dirasakan adalah kesempatan mendapatkan relasi international dari berbagai negara, kegiatan international dan variasi pengalaman internasional lainnya. Hal itu beberapa hal yang didapatkan masuk sebagai mahasiswa IPC. Selain itu, program Exchange Student juga menambahkan ketertarikan selama berada di IPC. Seperti beradapatasi lingkungan baru, keterampilan, mendapatkan relasi, serta pengalaman. Hal itu didapatkan melalui Program Exchange Students, kata Muthia Maharani, mahasiswa Ilmu Komunikasi UII program internasional, angkatan 2018.

Pengalamannya berkuliah di IP Komunikasi UII membuat Muthia memiliki perkenalan sampai di tingkat asia. “kemarin waktu ikut P2A, kami didorong untuk bikin travel writing. Itu membuat kamu berkenalan dengan banyak orang. Relasi saya jadi bertambah dari Vietnam, Kamboja, Thailand, juga Malaysia,” kata Muthia.

Muthia mengatakan kebanyakan mahasiswa hanya mengandalkan teori saja, tapi tidak untuk di IPC. “Bila masuk IPC, di sini mengajarkan teori sekaligus praktik,” katanya, dalam obrolan santai mengenal lebih dalam “apa itu IPC” pada 29 Agustus 2020. Muthia dipandu Muhammad Asadzikri, wakil ketua International Program Forum Fakutas Bisnis dan Ekonomika UII, membagikan pengalamanya selama berkuliah di IPC.  Paparannya itu disiarkan melalui Live Instagram IPF UII.

Bagi Muthia, keterampilan presentasi ataupun public speaking adalah hal wajib yang harus dikuasai ketika masuk di Komunikasi UII program international. Tentu saja dalam praktek tidak akan langsung sempurna. Kita akan belajar bersama di IPC secara perlahan bagaimana mempelajari Bahasa Inggris agar fasih. Serta menganalisa kekurangan apa yang dimiliki oleh mahasiswa International Program di Komunikasi UII.

“Di IPC, teori diberikan dan langsung harus praktekan, itulah poin penting,” kata Asadzikri moderator diskusi live IG tersebut. “Praktik-praktik presentasi berbahasa inggris di kelas, menulis dengan standar academic writing, semacam meningkatkan percaya diri kita juga dalam menggunakan bahasa inggris,” sambung Muthia.

Salah satu peserta diskusi juga ikut bertanya. Sikap gugup, nervous, demam panggung adalah kendala untuk mempelajari public speaking, bagaimana mengatasinya, ketikanya di layar komentar instagram. Muthia mengatakan mengatasi hal tersebut tak bisa serta merta. Prosesnya perlahan diajarkan di IPC. Sering berbicara di depan umum dan presentasi adalah salah satu cara yang akan diajarkan di IPC. Kunci lain adalah mencari cara belajar yang menyenangkan menurut pribadinya masing-masing. ”Sering belajar berbicara di depan umum praktekkan, dari situ rasa gugup akan hilang,” kata Muthia.

Muhammad Asadzikri mengatakan pandangan senada. Bahwasanya Introvert adalah sifat natural manusia. Bagaimana melawan rasa Introvert harus dipecahkan. “Kita makhluk sosial, public speaking hal penting, hilangkan rasa introvert.” kata Asadzikri menambahkan.

———-

Penulis: Ridwan Ainurrahman,  Mahasiswa Magang Ilmu Komunikasi UII. Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

 

 

Reading Time: 2 minutes

Isu Sensitif Gender sudah ramai dibicarakan sejak mendekati milenium kedua.  Diawali oleh buku yang ditulis oleh Mukhotib di tahun 1998 berjudul Jurnalisme sensitif Gender diterbitkan oleh PMII. Tapi jika melihat lika liku sejarahnya, jurnalisme sensitif gender ini sudah dimulai jauh di jaman kolonial Belanda.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi UII yang sedang studi doktoral di Monash University, banyak memaparkan data yang begitu kaya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada  29 Agustus 2020.

Dalam diskusi itu ia banyak menceritakan konteks jurnalisme sensitif Gender, literatur, sejarah dan dinamika Jurnalisme sensitif gender serta beberapa kajian riset. Ia juga melihat jurnalisme sensitif gender ini tak sebatas di pemberitaan media, tapi juga terjadi dalam praktik keseharian yg melingkupi dunia jurnalistik.

Misalnya upah karyawan perempuan yang lebih rendah, tidak adanya perlindungan jurnalis perempuan, syarat rekrutmen, tidak adanya ruang laktasi, dan, “tidak adanya toleransi libur untuk perempuan dalam masa menstruasi,” kata Iwan mencontohkan.

Iwan berpendapat, wartawan perempuan dari sisi jumlah meningkat pascareformasi. Peran perempuan dan medianya mulai beragam. Mulai dari media dengan perspektif feminis bermunculan, lalu jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin redaksi dan tentu saja bisa menentu kebijakan redaksi. “Tercatat ada 12 Perempuan yang menjadi pemimpin redaksi,” kata Iwan. Muncul juga perkumpulan jurnalis latar belakang perempuan dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang diketuai Uni Lubis, dan Serikat sindikasi.

Ditambah lagi, Iwan juga mengatakan bahwa beberapa media arusutama berbasis di Jakarta bahkan punya jurnalis yang spesialisasi dan idealismenya kuat pada  jurnalisme sensitif gender. “Tak hanya idealisme, tapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan,” imbuhnya.  Merebaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat pendekatan ini menjadi kian masif digunakan.

Perkembangan jurnalisme ini juga membaik. Muncul beragam liputan-liputan bagus menungkap kekerasa seksual sepertu liputan kolaboratif #namabaikkampus. Muncul komunitas yang menjadi media watch dalam peliputan yang sensitif gender. Misalnya remotivi, KNRP, dan mafindo.

Iwan juga mengamati, pada tataran praksis, jurnalis dan jajaran manajemen masih kesulitan dan kedodoran menerapkan jurnalisme ini. Meski pemahaman dan perspektif gender telah banyak dipahami. ”Di lintas departemen, perspektif jurnalisme sensitif gender tak sepenuhnya merata dipahami,” ungkapnya. Tidak ada pelatihan khusus dan kontrol rutin soal pengetahuan jurnalisme sensitif gender.

Dilihat dari babakan sejarah, secara periodisasi, Iwan memberikan bànyak data dan cerita yang melimpah tentang peran perempuan atau data sejarah yang didasarkan pada jurnalisme sensitif gender. Sebagai catatan bahwa Jurnalisme sensitif gender tidak melulu membicarakan perempuan, tetapi juga melihat konteks bagaimana gender dinarasikan dalam masa tertentu.

Dalam membagi sejarah perkembangan jurnalisme sensitif gender, Iwan membagi dalam lima periodisasi milestone Jurnalisme Sensitif Gender. Pertama Era kolonial, era social marxis di bawah Presiden Soekarno,  Era suharto, era transisi reformasi dan era paska reformasi hingga kini.

Reading Time: 2 minutes

IPC is known as the International Program of Communication. For IP students of the Department of Communication Science, the benefits that have been felt are the opportunity to get international relations from various countries, international activities and a variety of other international experiences. These are some of the things that are obtained by entering as an IPC student. In addition, the Exchange Student program also added interest during their stay at IPC. Such as adapting to new environments, skills, gaining relationships, and experiences. This was obtained through the Exchange Students Program, said Muthia Maharani, a student of UII Communication Science, from international program class, batch 2018.

Her experience studying at UII IP majoring Communication Science made Muthia have introductions to the Asian level. “Yesterday when we joined P2A (Passage to Asean), we were encouraged to do travel writing. It makes you acquainted with many people. My relationships have grown from Vietnam, Cambodia, Thailand, and also Malaysia,” said Muthia.

Muthia said that most students only rely on theory, but not at IPC. “When you enter IPC, you teach both theory and practice here,” she said, in a live instagram event by casual chat to get to know more about “what is IPC” on August 29, 2020. Muthia was guided by Muhammad Asadzikri, vice chairman of the UII International Program Forum of FBE (Fakultas Bisnis dan Ekonomika), sharing her experiences during study at IPC. Her presentation was broadcast on Live Instagram (IG) IPF UII.

For Muthia, presentation or skills of public speaking are mandatory things that must be mastered when entering the Communication Science program. Of course in practice it will not be perfect right away. We will learn together at IPC slowly but sure how to learn English to be fluent. As well as analyzing what deficiencies the International Program students at Communication Science have.

“At IPC, theory is given and we have to practice it immediately, that’s an important point,” said Asadzikri, the moderator of the IG live discussion. “Practicing presentations in English in class, writing with academic writing standards, those are kind of increases our confidence in using English,” continued Muthia.

One of the discussion participants also asked. Nervousness, stage fright, are also obstacles to learning public speaking, how to overcome them. Muthia said that overcoming this could not be done immediately. The process is precisely being taught at IPC. Frequent public speaking and presentations are one of the ways to be taught at IPC. Another key is to find a way to learn that is fun according to each individual. “Often learn to speak in public, practice it, from there the nervousness will disappear,” said Muthia.

Muhammad Asadzikri shared a similar view. That introverts are human nature. How to fight introverted feelings must be solved. “We are social creatures, public speaking is important, get rid of the feeling of being introverted.” Asadzikri added.

———-

Author: Ridwan Ainurrahman, UII Communication Science Intern. Class of 2016

Editor: A. Pambudi W.