Reading Time: 2 minutes

Forum Forum Amir Effendi Siregar #13 kali ini 9 Oktober 2020 tak seperti biasa. Menghadirkan pembicara Indonesia yang sedang studi di Amerika membuat diskusi kali ini mengambil waktu di malam hari. Kali ini, Rianne Subijanto, Assistant Professor Kajian Komunikasi di Baruch College, City University of New York menjadi pembicara dalam diskusi Forum AES malam ini. Ia mengungkap sejarah komunikasi dan menemukan satu waktu dimana ada bagian kajian dalam komunikasi hilang.

Menurut Rianne, dalam komunikasi, ada kajian yang hilang. Kajian ini seperti tidak terlihat. Tampaknya jika dikaji di jaman sekarang bahkan, banyak perdebatan karena dianggap bukan ranah komunikasi lagi.

Diskusi Rianne ini mengangkat topik ‘Komunikasi sebagai Jaringan Sosial dan Transportasi: Kajian Sejarah Dulu dan Sekarang.” Transportasi yang menjadi bagian dari kajian komunikasi tak lagi digagas dalam banyak riset di ranah komunikasi.

Dilihat dari sejarah komunikasi yang panjang, “kajian komunikasi yang banyak muncul baru sebatas komunikasi yang memerantarai medium baru seperti media cetak, radio, televisi, maupun internet,” ujar Rianne.

Sistem Komunikasi: Benda-benda Kuno hingga Media Cetak

Riane melanjutkan bahwa umur media mulai dari media cetak (printed media) ini masih sangat muda. Padahal kalau mau ditelisik dari sejarahnya, praktik komunikasi ini umurnya sangat tua. Ada tulisan hieroglief dan kuneiform yang tertulis di lempengan batu bata di peradaban mesopotamia. Ada paprirus, dan ada gambar di gua pada dalam batu.

Di sini terlihat bahwa benda-benda kuno itu tak hanya milik sejarah, tapi juga ada proses komunikasi. Bahkan komunikasi tak hanya dilihat dari medium tercetak secara materil. Namun lebih mendasar. Komunikasi juga adalah proses pertukaran makna lewat oral, gestur, dan mimik muka.

Apa yang hilang di kajian Komunikasi dalam pandangan Rianne? Ia melihat komunikasi sebagai tranmisi (transportasi) dan budaya (ritual). Jika komunikasi dilihat dari adanya pertukaran makna, maka ada pertukaran sosial, ada akulturasi budaya juga. Jika dilihat dari sini komunikasi juga diperantai oleh transportasi. Jaman dahulu orang melakukan perjalanan dengan menggunakan unta atau keledai untuk berdagang. “dan ternyata ada pertukaran budaya penyebaran islam, akulturasi budaya,” papar Rianne.

Sistem komunikasi harus dilihat sebagai jaringan transportasi (transport network) dan jaringan sosial (social networks) sebagai konsep. “Namun, sekarang jika kita mau melihat transportasi dalam kajian komunikasi mungkin orang akan nyuruh ke geografi atau sosiologi dulu,” kata Rianne.

Reading Time: < 1 minute

Diskusi kali ini (17/10/2020 ) agak berbeda. Diskusi Forum Amir Effendi Siregar #14 yang disiarkan oleh Uniicoms TV, Prodi Ilmu Komunikasi UII, itu menghadirkan Eunike Gloria Setiadarma. Seorang yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di jurusan sejarah Northwestern University. Forum AES seri 14, ini mempertimbangkan aksesibilitas difabel rungu agar semua orang bisa mengikuti diskusi forum AES.

Dalam slide presentasi Eunike, ia menyertakan teks berjalan (running text) yang ia siapkan. Kalau dilihat slidenya, di sisi kiri ada slide presentasi yang berisi poin-poin, gambar ilustrasi dan beberapa keterangan. Sedangkan pada slide sebelah kanan, ada teks berjalan yang sangat rigid, terlihat sekali Eunike serius dan yang pasti ia menyiapkan dengan upaya yang sangat besar agar presentasi dapat diikuti oleh siapapun termasuk oleh difabel rungu, jika ada.

“Saya menyiapkan teks berjalan untuk memfasilitasi peserta yang memiliki disabilitas pendengaran, maaf jika slide utamanya nggak full maksimal besarnya,” kata Uenike mengawali diskusi siang hari itu.

Eunike kali ini melakukan riset masuk melongok realitas sosial dan dinamika sejarah serta politik zaman itu dengan menggunakan perspektif orang biasa. Eunike melacak dengan membaca tulisan Kwee Thiam Tjing (KTT) dan istrinya (Nie Hiang Nio) di beragam surat kabar yang tercetak pada pada zaman sebelum dan setelah kemerdekaan. Pendekatan sejarah yang ia gunakan adalah pendekatan sejarah mikro yakni pendekatan sejarah yang menarasikan sejarah dari kacamata orang biasa. Bukan tokoh besar atau populer.

Dalam diskusi ini, difabel rungu akan dapat mengikuti diskusi menarik ini tanpa kendala berarti.

Reading Time: < 1 minute

This Discussion time (17/10/2020) is a bit different. The discussion on Forum Amir Effendi Siregar # 14 broadcast by Uniicoms TV, UII Communication Science Study Program, presented Eunike Gloria Setiadarma. A man currently completing his doctoral studies majoring in history at Northwestern University. The AES forum series 14, this considers the accessibility of people with hearing impairments so that everyone can participate in the AES forum discussion.

In Eunike’s presentation slides, she included running text that he prepared. If you look at the slides, on the left side there is a presentation slide that contains bullet points, illustrations and some information. Meanwhile, on the right slide, there is a running text which is rigid. and looks serious. Eunike certainly prepares with great effort so that the presentation can be followed by anyone, including those with hearing impairments, if any.

“I prepared a running text to facilitate participants with hearing disabilities. I’m sorry if the main slide is not full, its maximum size,” said Uenike starting the afternoon discussion.

This time, Eunice conducted research into the social reality and historical and political dynamics of that era by using the perspective of ordinary people. Eunice tracked down by reading the writings of Kwee Thiam Tjing (KTT) and his wife (Nie Hiang Nio) in various printed newspapers in the era before and after independence. The historical approach he uses is a micro-historical approach, namely a historical approach that narrates history from the perspective of ordinary people. Not a big or popular figure.

In this discussion, people with hearing impairments will be able to take part in this interesting discussion without any significant obstacles.

 

Reading Time: 2 minutes

Panitia ospek serumpun 2020 membuat suatu acara berupa konser virtual. Konser virtual tersebut dilaksanakan pada Senin (21/9) sebagai bagian dari acara Serumpun 2020. Konser virtual didesain untuk menghibur para Mahasiswa Baru Ilmu Komunkasi UII khususnya dan mahasiswa FPSB UII umumnya setelah melewati serangkaian proses masa taaruf Serumpun (Semarak Ta’aruf Mahasiwa Penuh Makna). Mahasiswa baru FPSB UII telah mengikuti rentetan kegiatan serumpun mulai 16 Septermber hingga 22 September 2020.

Aditya Arvian, Ketua Steering Committee Serumpun 2020 mengatakan bahwa di acara serumpun, juga bisa menjadi kesempatan mahasiswa baru memerbanyak perkenalan, jaringan atau relasi pertemanan. “Di Serumpun juga bisa mengenal banyak hal di kampus, mengenal lingkungan kampus, dan melihat ‘isi’ dari FPSB sendiri,” kata Aditya yang juga adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi UII program internasional (IP).

Beberapa tamu undangan hadir pada acara konser virtual Serumpun 2020 ini. Misalnya, Grup musik “Dengarkan Dia” beranggotakan pasangan selebritis kondang Ditto dan Ayudia hadir di Senin (21/9). Sedangkan esoknya Selasa (22/9) hadir di tengah mahasiswa baru FPSB UII adalah Reality Club grup music yang meraih AMI/ Anugrah Musik Indonesia Awards di 2018.

Sebelumnya, ada serangkaian acara berupa ospek, kemudian penayangan video penampilan cuplikan foto maupun video saat kegiatan berlangsung dan juga yel-yel dari masing-masing jamaah (kelompok) mahassiwa baru.

Mahasiswa terlihat sangat bergembira ketika bintang tamu hadir di antara mereka. Pada malam itu mahasiswa lewat layanan konferensi daring Zoom, mendengarkan lantunan nada yang dibawakan oleh ‘Dengarkan Dia’. Sesi penampilan grup musik diselingi dengan beberapa tanya jawab antara bintang tamu dan mahasiswa.

Beberapa pertanyaan muncul. Misalnya pertanyaan bagaimana menjadi musisi, album, hingga tips menarik menjadi mahasiswa dan menjalankannya. Pada sesi ini mahasiswa baru merasa sangat senang karena dapat berkesempatan bertanya pada idola mereka. Sebelum membawakan lagu selanjutnya musisi Ayudiac dan Ditto memberikan beberapa masukan kepada mahasiswa baru. “Selama menjalankan perkuliahaan selalu usahakan kalian aktif karena manfaatnya banyak banget buat ke depannya,” kata mereka.

Kurang lebih 1 jam acara konser daring ini berlangsung memberikan kesan yang mendalam terhadap para mahasiswa baru dan para panitia yang mengikutinya. Semuanya dilakukan untuk membuat acara malam ospek ini menjadi lebih seru, santai, sekaligus terasa manfaatnya.

——

Reporter dan Penulis: Ibnu Mufti Sumarno, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, Btach 2016, Magang di IP Komunikasi UII.

Editor: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

The 2020 serumpun committee made an event in the form of a virtual concert. The virtual concert was held on Monday (21/9) as part of the Serumpun 2020 event. The virtual concert was designed to entertain New Students of Communication Science UII and FPSB UII students in general, after going through a series of processes of the orientation period (known as Serumpun). New FPSB UII students have participated in a series of activities from September 16 to September 22th, 2020.

Aditya Arvian, Chair of the 2020 Serumpun Steering Committee said that in a serumpun event, it could also be an opportunity for new students to introduce more, network or friendship. “Serumpun can also get to know many things on campus, get to know the campus environment, and see the ‘content’ of the FPSB itself,” said Aditya who is also a student of UII Communication Science international program (IP).

Several invited guests stars attended this virtual Serumpun 2020 concert. For example, the music group “Dengarkan Dia” ​​consisting of the famous celebrity couple Ditto and Ayudia was present on Monday (21/9). Whereas the next Tuesday (22/9) present in the midst of new FPSB UII students is the “Reality Club” music group that won the AMI / Anugerah Musik Indonesia Awards in 2018.

Previously, there were a series of events in the form of orientation period, then video viewing of photo and video clips during the activity. and also chants from each of the new student groups.

Students look very happy when guest stars appear among them. On that night, students through the Zoom meeting, listened to the chanting of ‘Dengarkan Dia’ band. The music group performance session was interspersed with several questions and answers between guest stars and students.

Several questions arose. For example, questions about how to become a musician, albums, interesting tips to become a student and run it. In this session, new students were very happy because they could have the opportunity to ask their idols. Before performing the next song, the musicians Ayudiac and Ditto gave some input to the new students. “During the course of the lecture, always try to be active because there are many benefits in the future,” they said.

Approximately an hour of this online concert, it gave a deep impression to the new students and the committee who attended it. Everything was done to make this serumpun evening event more exciting, relaxed, and at the same time beneficial.

——

Reporter and Author: Ibnu Mufti Sumarno, UII Communication Science Student, Btach 2016, Internship at UII Communication Science.

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar:

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 14)

Topik:

Hoedjin Tjamboek Berdoeri: Sejarah Mikro sebagai Pendekatan Membaca Koran

Pembicara:

Eunike Gloria Setiadarma

Sedang menempuh studi doktoral di Departemen Sejarah di Northwestern University. Tertarik meneliti sejarah intelektual dan sejarah sosial pembangunan. Sebelumnya memperoleh pendidikan master Pembangunan Internasional dari University of Manchester.

Jadwal:
Jumat, 17 Oktober 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

atau

Registrasi:

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 11)

Topik:

Komunikasi sebagai Jaringan Sosial dan Transportasi: Kajian Sejarah Komunikasi Dulu dan Sekarang

Pembicara:

Rianne Subijanto

Assistant Professor Kajian Komunikasi di Baruch College, City University of New York. Disertasinya memenangkan Honorable Mention AJHA Margaret A. Blanchard Doctoral Dissertation Prize dari The American Journalism Historians Association tahun 2016. Manuskrip bukunya berdasar disertasi tersebut berjudul “Revolutionary Communication: Enlightenment at The Dawn of Indonesia” saat ini sedang dalam review. Berkhidmat sebagai Pemimpin Redaksi IndoPROGRESS.

 

Jadwal:
Jumat, 9 Oktober 2020
Pukul 20:00 WIB
Via Zoom

Registrasi:

Reading Time: 2 minutes

 

The magazines affiliated with the military in the 1939-1966 era apparently discussed a lot about military strategy, political concepts, how to organize society, and how the civil service should behave and lead the community.

“But from the content, it can actually be drawn a line about ‘how the military uses the pretext of the Law’ to take power legally,” said Norman Joshua, doctoral student at Northwestern University, speaker at the 12th Exclamation of Amir Effendi Siregar (AES) Forum on Saturday ( 3/10). The discussion, which was held by the UII Communication Science Study Program, was broadcast live on the online TV Uniicoms TV belonging to the Department of Communications Science of UII.

The military-owned media also ran a counter for the Harian Rakyat newspaper which incidentally belonged to the left. “Indeed, at that time each department had a publication. Chakra Vijaya magazine belongs to the Army’s Judiciary Corps. In the 60s, the military did not only talk about threats, or about the military world,” said Norman, “but also about law and its implementation in Indonesia. There are also articles. which discusses who has the right to prosecute and arrest a suspect in an area that is included in a war zone. ”

Apart from discussing military strategy, the military media also talks about politics. “And at that time it looked natural in the dual conception of military functions in Indonesia in the 1966 period,” said Norman, commenting on why military media content did not merely talk about the military world.

Military-owned media is seen very clearly in sharpening its content focus to militarize social conditions. Many matters outside the military’s authority try to be raised and discussed in the military law academy as reflected in the Army’s Chakra Vijaya magazine.

Another example is Yudha Gama magazine from the Ministry of Defense. And the most popular to the old material is the Air Force’s Space magazine. “It was as if they were competing in a ‘battle field of discourse’ with the Harian Rakyat, as we all know there was a debate over the discourse between the military and the PKI (Communist Party) in the 60s,” said Norman.

 

Reading Time: < 1 minute

Majalah yang berafiliasi dengan militer pada era 1939-1966 rupanya banyak membahas soal strategi militer, konsep politik, bagaimana mengorganisir masyarakat, hinga bagaimana pamong praja harus bersikap dan memimpin masyarakat.

“Tapi dari kontennya sebenarnya dapat ditarik garis tentang ‘bagaimana militer itu mempergunakan dalih Undang-Undang’ untuk take power legally,” ungkap Norman Joshua, mahasiswa doktoral Nortwestern University, pembicara dalam Forum Amir Effendi Siregar (AES) seru ke-12 pada Sabtu (3/10). Diskusi yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII ini ditayangkan langsung oleh TV online Uniicoms TV milik Komunikasi UII.

Media milik militer juga melakukan konter koran Harian rakyat yang notabene adalah milik golongan kiri. “Memang waktu itu tiap departemen punya terbitan. Chakra Vijaya milik korps Kehakiman Angkatan Darat. Tahun 60an, militer tidak hanya membicarakan tentang ancaman saja, atau soal dunia militer,” Kata Norman, “tapi juga soal hukum dan implementasinya di indoensia. Ada artikel juga yang membahas tentang siapa yang berhak mengadili dan menangkap tersangka di daerah yang termasuk dalam daerah masuk daerah keadaan perang.”

Selain membahas strategi militer, media militer juga membicarakan politik. “dan ini saat itu terlihat wajar dalam konsepsi Dwi Fungsi militer di Indonesia pada periode 1966,” kata Norman mengomentari mengapa konten media militer tak melulu bicara soal dunia militer.

Media milik militer terlihat sangat kentara menajamkan fokus kontennya untuk memiliterisasi kondisi sosial. Banyak hal di luar kewenangan militer mencoba diisukan dan dibahas dalam akademi hukum militer yang tercermin dalam majalah Chakra Vijaya milik Angkatan Darat.

Contoh lain adalah majalah Yudhagama dari Kementrian Pertahanan. Dan yang paling populer hingga beratahan lama itu adalah majalah Angkasa dari Angkatan Udara. “Mereka seakan sedang lomba dalam ‘battle field of discource’ dengan Harian Rakyat, seperti kita tau ada perdebatan wacana antara Militer dengan PKI di tahun 60an itu,” ungkap Norman.

Reading Time: 2 minutes

Ekosistem film di Kalimantan belum berkembang dan bisa dibilang sama sekali tidak ada. Padahal Kalimantan memiliki harta cerita yang melimpah meski kurangnya wawasan mengenai ekosistem dan tradisi film. Itu dulu, sebelum Ade mulai merintis budaya film di sana. Ade Hidayat, Alumni Komunikasi UII angkatan 2005, menceritakannya pengalamannya ini pada pemirsa live Instagram IP Komunikasi UII (@ip.communication.uii).

Paparannya tersebut disampaikan dalam acara bincang-bincang rutin “Teatime” episode ke-12 pada 18 September 2020. Acara yang dipandu M. Iskandar T. Gunawan, Laboran Laboratorium Komunikasi UII, ini juga mengulik pengalaman Ade Hidayat yang inspiratif. Misal bagaimana ia merakit keterampilannya di bidang film sejak masih kuliah di semester awal.

Kisahnya menunjukkan Ade bukan pemain baru dalam dunia film. Ia juga  merupakan pionir sejak aktifitasnya di komunitas perfilman di Komunikasi UII beberapa tahun silam dengan membangun Kompor.kom (komunitas mahasiswa di bidang film). Kisahnya melambung hingga cerita tentang kegigihannya membangun budaya perfilman di kampung halamannya.

Kurangnya komunitas dan orang orang yang peduli dengan ekosistem film adalah isu yang paling penting mengapa Ade ingin menghidupkan ekosistem film di kalimantan. Menghidupkan ekosistem perfilman yang dilakukan Ade tidak secepat itu membuahkan hasil. Ia membutuhkan waktu tujuh tahun lamanya.

Selama 2 tahun mengamati ekosistem film di kalimantan, Ade akhirnya mendapatkan teman yang sesuai dengan semangatnya. Mulanya ia membuat Screening Film dan peta besar rencana kegiatan perfilman. Ini , makan waktu lima tahun. Tahun pertama, ia membuat program yang bernama Ngofi. Tahun kedua, tahun edukasi film. Tahun ketiga, ia bikin produksi film sederhana. Lalu pada tahun keempat,  produksi film dilakukan kembali sekaligus menggencarkan distribusinya. Sayangnya, rencana di tahun kelima mandeg terhalang oleh pandemi Covid-19.

Produksi Film dan Konsistensi

Semangat Ade tak muncul begitu saja. Banyak juga sineas di daerah lain juga memengaruhi. Misalnya, film Makassar yang berjudul Uang Panai yang menelan biaya produksi sekira 450 juta rupiah.  Target penonton film produksi lokal tersebut bisa menyentuh angka 550 ribu penonton.

Tak hanya itu, Uang Panai mendapatkan penghargaan khusus untuk Film Produksi Daerah dari Indonesian Box Office Movie Award (IBOMA) pada 2017. Dari sini Ade Hidayat merasa termotivasi dan akhirnya merintis ekosistem film di kalimantan. Harapannya, kelak ia dan sineas di kalimantan memiliki film yang pantas dikenal di seluruh Indonesia bahkan Dunia.

Singkat cerita, Ade kini dapat merasakan budaya perfilman yang kental di daerahnya. Tentu itu tak muncul dari ruang hampa. Kunci sukses Ade dalam dunia film terletak bagaimana selama kuliah ia menciptakan jejaring sosial, kerjasama, serta mempunyai target agar tetap konsisten. Komunikasi adalah kunci dari semuanya,” ujar Ade.

Gunawan, Host dalam diskusi ini, mengatakan pandangan senada. Kuliah adalah ladang mengolah relasi, latihan bekerjasama, dan tidak lupa konsistensi. “Ambil pengalaman sebanyak-banyaknya selama berada di dunia kampus,” pungkas Gunawan.

 

Writer: Ridwan Ainurrahman, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII 2016, Magang di International Program Komunikasi UII.

Editor: A. Pambudi W.