Reading Time: < 1 minute

Assalamualaikum Wr.Wb
SUBMIT KARYA FKI DIPERPANJANG

Pengiriman karya sampai tanggal 1 Desember 2020 dan pengumuman pemenang 5 Desember 2020.

Yuk masih ada waktu untuk  ambil gambar, atau edit videonya, yuk, yuk, yuk!
Kami tunggu karya terbaik kalian.

Wassalamualikum Wr.Wb

Info FKI 2020

Contact Us:
WhatsApp 081372056146 (Iven)

Reading Time: 3 minutes

Oleh Masduki, Dr.rer.soc.

Pengesahan UU Cipta Kerja No. 11/2020 hingga kini masih meninggalkan kontroversi di berbagai sektor publik termasuk sektor penyiaran. Dimasukkannya sejumlah pasal yang mengatur tata kelola lembaga penyiaran ke dalam UU ini memicu protes karena mereduksi prinsip universal penyiaran sebagai entitas yang tidak hanya bersifat benda/kerja komersial dan karenanya menjadi pengguna tenaga kerja seperti spirit UU Cipta Kerja. Penyiaran adalah  entitas media massa, terkait pengelolaan konten yang sehat dan infrastruktur yang otonom, independen serta sebaran lembaganya harus merata, tidak Jakarta sentris. Tulisan pendek ini mengulas dua persoalan pokok yang memicu kontroversi tersebut.

Pemerintah Regulator Tunggal

Warisan penting demokratisasi penyiaran pasca 1998 di Indonesia adalah penguatan hak publik atas tata kelola media yang tercermin pada tiga aspek: Pertama, kehadiran lembaga regulator independen beranama Komisi Penyiaran Indonesia. Kedua, sistem penyiaran yang berformat lokal dan jaringan, bukan siaran berskala nasional. Ketiga, keberadaan lembaga penyiaran publik dan komunitas yang kuat dan profesional.

Terdapat perubahan signifikan penjaminan ketiga aspek diatas antara UU Penyiaran No. 32/2002 dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU No. 32, terdapat dua regulator penyiaran yang posisinya relatif seimbang: Pemerintah dan KPI. Ini suatu kondisi yang relatif baik, meskipun belum paripurna karena seharusnya pemerintah tidak lagi menjadi regulator.

Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah kembali menjadi regulator tunggal dan posisi Komisi Penyiaran adalah ‘regulator penggembira’ saja, karena tidak ada lagi hak review atas perizinan siaran. Setiap pelaku penyiaran yang mengajukan izin berdiri atau perpanjangan, cukup memberikan pernyataan sanggup mengikuti ketentuan P3SPS. Terminologi izin ini juga berubah, dari izin penyelenggaraan, menjadi hanya izin usaha. Artinya ada reduksi makna yang memposisikan penyiaran sebagai entitas bisnis semata, melihat publik sebagai konsumen, bukan entitas sosial yang berperan strategis untuk pemberdayaan publik.

Ancaman Baru Sentralisasi

Peta umum kepemilikan lembaga penyiaran analog (radio televisi) sejak 2002 hingga sekarang adalah Jakarta sentris atau Jawa sentris. Kepemilikan dan isi siaran televisi berpusat di Jakarta, sedangkan radio swasta adalah fenomena Jawa Barat dan Timur. Sebaran pemilik televisi yang hanya 12 kelompok disebut oligarki karena mereka menguasai, dan kemudian memakai media untuk tujuan politik praktis. Sentralisasi dan monopoli kepemilikan menjadi penyebab penyiaran tidak menjadi ruang publik yang egaliter, tetapi justru memicu destruksi harmoni sosial. Upaya mengatasi problem ini lewat UU Penyiaran No. 32/2002 tidak berhasil karena ada perlawanan yang kuat dari pemilik modal kuat.

UU Cipta Kerja berpeluang besar memperkuat peta sentralisasi dan monopoli bisnis penyiaran karena dua hal. Pertama, UU ini mengatur izin operasi penyiaran dapat berskala nasional, tidak lagi berskala lokal dan jaringan seperti amanat UU sebelumnya. Pemilik modal tentu lebih memilih mengembangkan model siaran nasional seperti saat ini karena menghemat modal dan kerja manajemen. Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, inisiatif pendirian televisi lokal sebagai upaya redistribusi hak publik akan makin terhambat.

UU Cipta Kerja khususnya pasal 60A juga memberi ‘cek kosong’ pengaturan teknis tata kelola siaran ddigital dan migrasi teknologi analog ke digital kepada Kementerian Kominfo bukan KPI. Artinya pemerintah menjadi penentu tunggal penyiaran digital dan berdasarkan pengalaman 10 tahun terakhir, pemerintah berpihak kepada pemodal bukan publik.

Memperhatikan kedua problem krusial diatas, maka para aktifis dan pemerhati media penyiaran perlu merapatkan barisan dan mendukung upaya judicial review yang kini diajukan komunitas masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi. Harapan akan terjadinya koreksi UU ini juga masih ada pada rencana revisi UU Penyiaran No. 32/2002 tahun depan. Namun, melihat potret legislator yang dikuasai partai politik besar dengan kepentingan pragmatis yang kuat, harapan itu tampaknya sangat kecil untuk dapat terwujud.

 

Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UII

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)


Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di harian Kedaulatan Rakyat edisi 16 November 2020. Kami muat kembali di laman ini untuk kepentingan edukasi, dokumentasi dan pembelajaran dalam dunia akademik. Pemuatan ini juga bagian dari komitmen situs Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam upaya pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management).

Reading Time: 2 minutes

Pandemi membuat interaksi antara mahasiswa dan dosen terbatas. Termasuk layanan-layanan akademik juga menjadi tak semudah biasanya. Sivitas akademik kampus sulit mengakses sarana dan kegiatan untuk memerkaya keilmuan seperti diskusi, Workshop, Pelatihan, hingga Kuliah-kuliah pakar dengan pembicara ahli. Maka, kualitas lini digital kampus harus mencapai performa terbaiknya. Baik website maupun media sosial dan platform lainnya.

Melalui UII Website Appreciation, Humas UII memacu pengelola situs di seluruh UII untuk meningkatkan performanya agar kualitas layanan meningkat. Banyak jurusan, fakultas dan unit yang diganjar juara website. Salah satunya adalah situs Komunikasi UII yang didapuk menjadi Juara I Kategori Website pembaruan konten terbanyak. Maka penghargaan gold winner diberikan sebagai apresiasi atas kerja keras seluruh warga akademik Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Penganugerahaan ini dilakukan pada acara Virtual Awarding UII Website Appreciation 2020 yang disiarkan melalui kanal YouTube Universitas Islam Indonesia pada Jum’at (13/11). Sebelumnya, penjurian pada 45 peserta dari perwakilan website dilakukan dari 20 Agustus hingga 20 Oktober 2020.

Pendekatan Knowledge Management (KM) dalam Produksi Konten Situs, Media Sosial, dan Youtube

Komunikasi UII, sejak 2018, telah menerapkan pendekatan Knowledge Management (KM) dalam menerbitkan konten-konten situs, media sosial PSDMA Nadim dan IP.Communication, serta TV Online Uniicoms TV. Pendekatan ini memungkinkan konten dikreasi dari beragam potensi dan pengetahuan yang dimiliki jurusan. Pengelolaan pengetahuan membuat proses kemasulang dan temukenali data dan informasi menjadi pengetahuan. Maka bukan tidak mungkin, pendekatan KM dapat menunjukkan ciri khas dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang memiliki visi Communication for Empowerment.

Rektor UII, Fathul Wahid, juga memberi apresiasi yang tinggi pada para pengelola situs di UII. “Ketika mobilitas fisik terbatas karena pandemi, kualitas dan pemutakhiran konten website menjadi ujung tombak. Maka apresiasi yang tinggi kami sematkan pada para pengelola website,” kata Rektor UII membuka ajang penganugrahan ini.

Senada dengan itu, Ratna Permata Sari, Kepala Bidang Humas UII, mengatakan bahwa, “Untuk pertama kalinya, apresiasi ini diberikan kepada website yang dikelola oleh unit Fakultas, Jurusan/Program Studi, Unit layanan, dan Pusat Studi di lingkungan UII.” Apresiasi ini diberikan pada seluruh pengelola situs atas upaya kreatif di tengah pandemi dalam mempertahankan citra positif Universitas Islam Indonesia.

“Semoga bisa memberikan inspirasi, semangat dan juga membuka perhatian bersama mengenai pentingnya kemutakhiran website sebagai garda depan perguruan tinggi”, imbuh Fathul Wahid dalam siaran digitalnya.

Reading Time: 2 minutes

Pandemic limiting interaction between students and lecturers. Including academic services is also not as easy as usual. Campus academicians find it difficult to access facilities and activities to enrich their knowledge such as discussions, workshops, training, and expert lectures with expert speakers. So, the quality of the campus digital line must reach its best performance. Both websites and social media and other platforms.

Through UII Website Appreciation, UII Public Relations encourages site managers throughout UII to improve their performance so that service quality increases. Many departments, faculties, and units are rewarded with many website winners categories. One of them is the UII Communication site, which won first place in the Website Category for the most content updates. So the gold winner award was given as an appreciation for the hard work of all academic members of the UII Communication Science Study Program.

This award was made at the Virtual Awarding UII Website Appreciation 2020 event which was broadcast through the YouTube channel of the Islamic University of Indonesia on Friday (13/11). Previously, the judging of 45 participants from website representatives was carried out from 20 August to 20 October 2020.

The Knowledge Management (KM) approach in the Production of Site Content, Social Media, and Youtube Communication UII, since 2018, has implemented the Knowledge Management (KM) approach in publishing website content, social media PSDMA Nadim and IP.Communication, and Uniicoms TV Online TV. This approach allows content to be created from a variety of potentials and knowledge that the department has. Knowledge management makes the process of coming back and identifying data and information into knowledge. So it is not impossible, the KM approach can show the characteristics of the Communication Science Study Program UII which has a vision of Communication for Empowerment.

The Chancellor of UII, Fathul Wahid, also gave high appreciation to the site managers at UII. “When physical mobility is limited due to the pandemic, the quality and updating of website content becomes the spearhead. So our high appreciation goes to the website managers,” said the UII Chancellor opening this award ceremony.

In line with that, Ratna Permata Sari, Head of Public Relations at UII, said that, “For the first time, this appreciation is given to the website which is managed by the Faculty units, Departments / Study Programs, Service Units, and Study Centers within UII.” This appreciation is given to all site managers for their creative efforts in the midst of the pandemic in maintaining a positive image of the Islamic University of Indonesia.

“Hopefully it can provide inspiration, enthusiasm and also open mutual attention about the importance of updating the website as the vanguard of higher education,” added Fathul Wahid in his digital broadcast.

 

Reading Time: < 1 minute

Diskusi Forum Amir Efendi Siregar yang diselenggarakan Pusat Studi dan Dokumentasi (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII kali ini, Sabtu 14 November 2020, membahas sejarah pers mahasiswa Indonesia. Jika mau melihat persma dari sudut media, mungkin persma hanyalah satu bagian kecil yang turut mewartakan peristiwa-peristiwa saja. Apalagi di jaman sekarang yag kita dapat dengan mudah mencari dan menerima berita apapun lewat gawai.

Tapi 2 atau 3 dekade lalu, pers mahasiswa memiliki peran yang startegis di ranah baik sosial maupun politik. Wisnu Prasetya Utomo, dosen Departemen Fisipol UGM,merunut sejarah pers mahasiswa dalam diskusi Forum AES kali ini. Wisnu menjabarkan bagaimana persma mahasiswa membawa semangat yang tak terbebani oleh berbagai kepentingan politik. Hal ini penting sebagai jawaban akan tekanan politik pada masa kekuasaan orde baru kala itu.

Diawali dengan pemaparan artikel Daniel Dhakidae, seorang Kepala Litbang kompas 1977, yang saat itu resah dengan kondisi pers umum yang penuh dengan tekanan politik bahkan banyak media umum yang dibredel. Meskipun belum secara eksplisit menyebut persma dalam artikel yang dimuat di Jurnal Prisma tahun 1977 itu, Dhakidae menyatakan adanya kebutuhan pers alternatif dalam upaya menyuarakan kepentingan publik.

Kegelisahan Dhakidae yang ditulis di Jurnal Prisma berjudul Cagar Alam Kebebasan Pers akhirnya terjawab dengan berkembangnya Persma. Persma ini seperti hidup seperti tanpa beban. Persma tidak takut dibredel, tidak takut tekanan politik, ataupun tekanan ekonomi politik lainnya dalam menyuarakan kondisi politik orde baru.

Reading Time: 2 minutes

Responds to the Discussion  Amir Efendi Siregar Forum held by the NADIM Center for Communication Studies dan Alternative Media Documentation (PSDMA) UII Communication Science this time, Saturday, November 14, 2020, discussed the history of the Indonesian student press. If you want to look at the student press from the point of view of the media, maybe the student press is just a small part that contributes to reporting events. Especially in this day and age where we can easily find and receive any news through our devices.

But 2 or 3 decades ago, the student press had a strategic role in both social and political spheres. Wisnu Prasetya Utomo, lecturer at the Faculty of Social and Political Sciences UGM, traced the history of the student press in the AES Forum discussion this time. Wisnu explained how the student press brings enthusiasm that is not burdened by various political interests. This was important in response to political pressure during the reign of the New Order at that time.

It begins with the presentation of the article by Daniel Dhakidae, a Head of Research and Development for Kompas in 1977, who at that time was unsettled by the condition of the general press which was full of political pressure and even many public media were banned. Although he had not explicitly mentioned the press in the article published in the Prisma Journal in 1977, Dhakidae stated the need for an alternative press in an effort to voice the public interest.

Finally, Dhakidae’s anxiety which was written in the Prisma Journal entitled Press Freedom Nature Reserve was finally answered by the development of student press. student press was like life without a burden. Student press was not afraid of being banned, was not afraid of political pressure, or other political economy pressures in voicing the political conditions of the New Order.

 

Reading Time: 3 minutes

Death is a sure thing even though it is mysterious. In the situation of the Covid 19 outbreak, death due to covid is a disgrace. Even in some areas there are those who do not want to accept corpses to be buried in these graves.

There were also residents who seized their brother’s body because they were not willing to be buried in a procession according to the covid-19 funeral protocol. There is even a phenomenon of death which is also tragic. A woman in Chicago, United States who was murdered by her lover because of shortness of breath. After that he shot himself dead for fear of the stigma of corona in society.

Prof. Dr. Deddy Mulyana, MA said, in the phenomenon of death due to Covid 19, there is a social construction that says dying because of Covid 19 is a disgrace. “Social reality is also influenced by social construction,” explained Deddy in #NgajiKomikasi with the theme Phenomenology Wisdom of the Covid-19 Pandemic on (11/11).

Besides Deddy Mulyana, Ridwan Hamid, Lc, MPI, MA were also present as speakers and moderated by Dr. Subhan Afifi, M.Si., Communication Lecturer at UII strategic communication research cluster.

The #NgajiKomunikasi which was first organized by the Communication Science Study Program of the Islamic University of Indonesia, was also broadcast live via the YouTube channel Uniicoms TV.

Deddy Mulyana said that death, which means being left behind by someone forever, is indeed painful. “Moreover, bearing disgrace as a consequence of social stigma is also more painful,” he added.

Then what is phenomenology?

“Phenomenology is a meaning, in this case it is the meaning of death. Now, to get out of social construction, suggested Edmund Husserl,” said Deddy in the Zoom Conference, “one needs to investigate again about the nature of reality by getting rid of the conception of meaning something.”

According to him, this suggestion is indeed grandiose. “Because Husserl does not provide practical guidelines for doing so,” argued Mulyana.

The meaning of phenomenology kneels Alfed Schutz that someone will interpret events after they have passed. Phenomenology can also be defined as the meaning of reality.

What is meant by what he said earlier by reality. Reality consists of various dimensions: everyday reality, scientific reality, post-truth, daydreaming, imagination, dreams, madness, the realm of the grave, and the realm of the spirit. “Everyday reality is the most dominant, but there are other realms that affect a person’s real life.”

In the phenomenology of death, “death is like dramaturgy, like theater. The aim is to please the audience. There is a front stage and a backstage,” Mulyana explained.

If you want to investigate further, scientifically all biological deaths are no longer breathing, loss of heartbeat. it’s a scientific phenomenon, he said. The Hindu version defines death as a transition to reincarnation. whereas in Islam and Christianity, it means the door to immortality. “But socially, every death can be different in each region. Some are wrapped in sadness, some are wrapped in joy and celebrations, some are prayed for,” he later explained.

Therefore Ali ibn Abu Talib told Kumail that if the dead person in the grave could speak, he would say that the best provision is piety. “And the grave is a place to accommodate charity. And we only realize after death,” he concluded.

So, according to Ridwan Hamid, the next speaker, it is the preparation before facing death that is important. It is important for humans to be aware of and implement and understand the foundation of life curriculum. The foundation that needs to be understood is the Koran, the Apostolate, death and resurrection, reckoning, also understanding the concepts of heaven and hell.

Then, Ridwan continued, understanding the surrounding nature, the story of the past people, and also understanding humans and monitoring the unseen. It is also necessary to understand sunnatut Tadaafu ‘which means that in life there is a conflict between what is true and what is false.

 

Reading Time: 2 minutes

Kematian itu hal yang pasti meskipun misterius. Dalam situasi wabah covid 19, kematian karena covid menjadi aib. Bahkan di beberapa wilayah ada yang tidak mau menerima jenazah mayat untuk dikuburkan di makam tersebut.

Ada juga warga yang merebut jenazah saudaranya karena tidak rela dimakamkan dengan prosesi sesuai protokol pemakaman covid-19. Bahkan ada fenomena kematian yang juga tragis. Seorang perempuan di Chicago Amerika Serikat yang dibunuh kekasihnya karena sesak napas. Setelah itu ia menembak mati dirinya karena takut akan stigma corona di masyarakat.

Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A mengatakan, dalam fenomena kematian karena covid 19 ini, terjadi konstruksi sosial bahwa mati karena covid 19 adalah aib. “Realitas sosial itu juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial,” jelas Deddy dalam #NgajiKomunikasi bertema Fenomenologi Hikmah Pandemi Covid-19 pada (11/ 11).

Selain Deddy Mulyana, hadir juga Ridwan Hamid, Lc, M.P.I., M.A sebagai pembicara serta dimoderatori oleh Dr. Subhan Afifi, M.Si., Dosen Komunikasi UII klaster riset komunikasi strategis.

#NgajiKomunikasi yang diselenggarakan perdana oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, ini juga disiarkan secara langsung lewat saluran youtube Uniicoms TV.

Deddy Mulyana mengatakan kematian yang artinya adalah ditinggal oleh seseorang selamanya itu memang menyakitkan. “Apalagi dengan menyandang aib sebagai konsekuensi stigma sosial juga lebih menyakitkan,” imbuhnya.

Lalu apa itu fenomenologi?

“Fenomenologi adalah sebuah pemaknaan, dalam hal ini adalah pemaknaan kematian. Nah, untuk keluar dari kontruksi sosial, saran Edmund Husserl,” kata Deddy dalam Zoom Conference, “seseorang perlu untuk menelisik lagi soal hakikat realitasnya dengan menyingkirkan konsepsi dalam memaknai sesuatu.”

Menurutnya, hal saran ini memang muluk. “Karena Husserl ini tidak memberikan panduan praktis untuk melakukannya,” sanggah Mulyana.

Pemaknaan Fenomenologi merutut Alfed Schutz bawa seseorang akan memaknai peristiwa setelah peristiwa berlalu. Fenomenologi juga dapat diartikan pemaknaan tentang realitas.

Apa yang dimaksud dengan yang ia sebut tadi dengan realitas. Realitas terdiri dari berbagai dimensi: realitas sehari-hari, realitas ilmiah, pasca kebenaran, melamun, imajinasi, mimpi, kegilaan, alam kubur, dan alam ruh. “Realitas sehari-hari itu emang paling dominan, tapi ada alam lain yang mempengaruhi kehidupan nyata seseorang.”

Dalam fenomonologi kematian, “kematian ini seperti dramaturgi, seperti teater. Yang bertujuan untuk menyenangkan khalayak. Ada panggung depan dan panggung belakang,” jelas Mulyana.

Jika ingin ditelisik lebih jauh, secara ilmiah semua kematian secara biologis adalah tidak lagi bernafas, hilang detak jantung. itu Fenomena ilmiah, katanya. Versi hindu memaknai kematian sebagai transisi menuju reinkarnasi. sedangkan dalam islam dan kristen, ia dimaknai pintu menuju keabadian. “Tapi secara sosial, setiap kematian bisa berbeda di tiap daerah. Ada yang dibalut kesedihan, ada yag dibalut kegembiraan dan dirayakan, ada yang didoakan,” jelasnya kemudian.

Oleh karena itu Ali bin Abu Thalib mengatakan kepada Kumail bahwa jika orang mati di kuburan itu bisa bicara, ia akan berkata bahwa bekal paling baik adalah takwa. “dan kuburan adalah tempat menampung amal. Dan kita baru menyadari setelah mati,” tutupnya.

Maka, menurut Ridwan Hamid, pembicara berikutnya, persiapan sebelum menghadapi kematian itulah yang penting. Penting untuk manusia sadar dan menjalankan dan memahami kurikulum pondasi kehidupan. Pondasi yang perlu dipahami itu adalah Alquran, Kerasulan, kematian dan kebangkitan, hisab, juga memahami konsep surga dan neraka.

Lalu, Ridwan melanjutkan, memahami alam sekitar, kisah umat terdahulu, dan juga memahami manusia beserta pengawasan terhadap yang ghaib. Juga perlu memahami sunnatut Tadaafu’ yang artinya bahwa dalam kehidupan ada pertentangan antara yang benar dan yang batil.

Reading Time: 3 minutes

Menjadi reviewer Jurnal punya tips yang gampang-gampang susah. Ia harus jeli memberi penilaian, sekaligus tertib prosedur Open Journal System (OJS). Jika tidak, tentu proses peningkatan mutu lewat akreditasi Arjuna terindeks di level nasional lewat indeks Sinta (Science and Technology Index) akan jauh dari capaian. Reviewer, managing editor, dan Editor in Chief menjadi garda terakhir penjaga kualitas substansi dan manajemen penerbitan jurnal sehingga menjadi terindeks Sinta.

“Jika substansi terbitan sudah tidak bisa lagi diubah, anda bisa saja menaikkan nilai kualitas jurnal dari sisi manajemen jurnal,” ungkap Prof. Rajab Ritonga, salah satu pembicara dalam Silaturahmi dan Workshop Review Jurnal pada 11 November 2020. “Jika sudah begitu, tentu tingkat indeks Sinta anda bisa saja lompat langsung ke Sinta 2,” katanya menambahkan. Acara workshop yang diadakan oleh Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) ini menghadirkan Profesor Rajab Ritonga dari Univ. Moestopo Beragama, Jakarta, sebagai pembicara kunci bersama Dr. Fuad Nashori, Associate Profesor di Jurusan Psikologi FPSB UII. Sekira lebih dari 40 pengelola jurnal baik dari Jurnal Komunikasi, Jurnal Intervensi Psikologi, Jurnal Psikologika, dan Asian Journal of Media and Communication, hadir berdiskusi dan bertukar pengalaman.

Menurut Rajab, mengatakan lewat aplikasi Zoom Meeting, Jurnal Komunikasi yang dikelola Prodi Ilmu Komunikasi UII sudah layak untuk re-akreditasi. Beberapa syarat kunci sudah terpenuhi. Sisanya tinggal membenahi di tingkat pengelolaan jurnal lewat Open Journal System (OJS). Empat syarat jurnal terakreditasi Sinta oleh Kemenristek BRIN sudah terpenuhi. Misalnya empat syarat tersebut adalah Terbit rutin lewat OJS, terbit minimal lima naskah secara konsisten selama 2 tahun berturut-turut, ada pengenal objek digital atau biasa disebut DOI (Digital Object Identifier), dan memiliki E-ISSN.

Tidak hanya itu, ada syarat lain, yaitu naskah haruslah merupakan hasil penelitian, disunting dan diulas oleh reviewer dengan baik, dan menggunakan bahasa yang baik. “Ini baru syarat dasar,” kata Rajab. Syarat lainnya adalah meningkatkan nilai Sinta dengan benahi sisi pengelolaan. Misal editor yang berasal dari beragam kampus (tidak hanya di pulau jawa), pengelola punya tulisan indeks Scopus, terbit rutin dan tidak terlambat, hingga mengelola proses kerja di OJS dengan konsisten dan rapi.

Sampai saat ini, Jurnal Komunikasi UII telah memiliki editor dari dalam dan luar UII. Jurnal ini juga telah memiliki editor dari luar pulau Jawa, yag notabene jurnal-jurnal di kampus pulau jawa masih didominasi editor dari pulau jawa sendiri. “Kalau editor dan reviewernya berasal dari kampus ang beragam, dan bekerja secara disiplin, pastinya mudah naik level,” kata Rajab. Apalagi jika ada reviewer internasional, untuk jurnal berbahas inggris (internasional).

Bagaimana Meraih Standar Jurnal dengan Level Sinta 2 sesungguhnya?

Workshop ini tak hanya menyegarkan ingatan para pengelola jurnal soal tertib pengelolaan jurnal, melainkan juga menyelaraskan standar agar mudah meraih standar indeks SINTA bahkan di SINTA 2. Rajab Ritonga yang juga adalah Assesor Akreditasi Jurnal Nasional turut berbagi dan menilai kecukupan Jurnal-jurnal di FPSB UII dengan standar KemenristekBRIN.

Beberapa pertanyaan muncul. Misalnya dari Narayana Mahendra dan Puji Rianto. Keduanya merupakan pengelola Jurnal Komunikasi UII. Narayana bertanya soal standar pengelolaan jurnal di SINTA 4 apakah berbeda dengan jurnal yang telah mencapai indeks Sinta 2? Selama ini, pengalaman pengelolaan jurnal di Jurnal Komunikasi utamanya, terkesan ketat. “Bahkan karena kita tidak sempat menyelaraskan soal Sinta itu, jadi kita menetapkan kualitas yang maksimal saja dari sisi substansi,” kata Puji Rianto menambahkan.

Menurut Fuad Nashori,tentu level Sinta suatu jurnal memengaruhi tingkat kemudahan menembus editor jurnal. Meski begitu, sah-sah saja jika pengelola jurnal memiliki standar kualitas yang tinggi. “Tentu pengelola jurnal tetap siap dengan resiko tinggi atau rendahnya atensi dan apresiasi dari penulis jika standar kualitasnya seperti itu,” jawab Fuad menutup sesi.

Rajab Ritonga juga berbagi dan menilai kualitas Jurnal Komunikasi UII. Menurutnya, kunci dari meningkatkan level jurnal menjadi Sinta 3 bahkan 2 adalah konsitensi menjaga mutu substansi naskah dan manajemen jurnal yang ketat. “Bahkan kalau beberapa orang bilang sulit mencapai Sinta 2 atau 1, anda bisa saja melakukan lompatan dengan merombak terbitan dengan bahasa inggris, mengundang penulis, reviewer dan editor dari internasional, dan konsisten, tentu anda bisa meraih scopus. Jika sudah scopus, anda bisa otomatis Sinta 1,” tantang Rajab Ritonga pada seluruh pengelola jurnal di FPSB UII.

 

Reading Time: 2 minutes

Bagaimana menjaga mutu Jurnal dengan konsisten? Bagaimana menegakkan standar Akreditasi Sinta 2 dan 3 pada tugas reviewer dan Editor Jurnal? Apakah mungkin jurnal sinta 5 naik langsung sinta 2?

Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) berusaha menjawab tanya itu dengan mengadakan Workshop Review Jurnal. Kegiatan ini dihadiri kurang lebih 40 reviewer dan editor jurnal di lingkungan FPSB UII. Selain untuk menyambung silaturahmi, workshop juga dilakukan untuk meningkatkan wawasan pengelola jurnal.

Fuad Nashori, sebagai pemateri, mengatakan mutu sebuah naskah ada di tangan reviewer juga. Reviewer harus menyadari bahwa ia adalah penjaga pengembangan ilmu dan perkembangan karir keilmuwan. Tak hanya itu, reviewer jurnal juga harus.”bersikap terbuka terhadap perkembangan gaya penulisan jurnal,” kata Fuad di tengah sesi.

Disiplin dalam OJS juga penting, kata Rajab. Ini kunci meningkatkan nilai dalam akreditasi Jurnal. Pasalnya, semua terekam secara digital dan daring. Maka tidak bisa pengelola jurnal terlambat menerbitkan jurnal lebih dari tenggat. “Kalau bisa dikebut dilembur, karena nilainya bisa berkurang,” kata Rajab. Belum lagi, jika jurnal terindikasi naskahnya plagiat, nilainya bisa turun 15 poin dari penilaian assesor.  Maka harus siapkan Journal Publishing Agreement sebagai bentuk penyataan keaslian naskah jurnal.

Pengelola jurnal yang hadir adalah beberapa dari Jurnal Intervensi Psikologi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Psikologika, Asian Journal of Media and Communication dan Jurnal Intervensi Psikologi.  Rabu (11/11) menjadi pilihan pelaksanaan pelatihan ini dengan aplikasi Zoom Meeting.  Pertemuan Zoom ini menghadirkan Dr. Fuad Nashori, Associate Profesor di Jurusan Psikologi FPSB UII.

Pembicara lain yang hadir berbagi adalah assesor akreditasi ARJUNA SInta dari Kemeristek BRIN, Profesor Rajab Ritonga dari Univ. Moestopo Beragama yang juga adalah pengelola Jurnal ISKI. Mutu jurnal sangat tergantung oleh disiplin managing editor dan editor in chief. Managing Editor adalah orang yang memastikan deadline dipenuhi oleh author, reviewer, dan seluruh pengelola sehingga naskah terbit tepat waktu. Ia juga mengawal perbaikan dan pergerakan naskah dalam Open Journal System (OJS). Tentu tidak mudah.

Prof. Rajab Ritonga mengatakan jika tugas managing editor ini berjalan lancar, hasilnya akreditasi jurnal bisa meningkat. Tak jarang ada yang awalnya sinta 5, bisa naik jadi Sinta 3 atau 4 bahkan 2. “Bahkan ada jurnal otomotif di kampus magelang itu bisa  otomatis sinta 1 akreditasinya karena sudah scopus dan spesifik sekali,” ungkap Rajab menjawab pertanyaan peserta. “Banyak yang tidak bisa Sinta 1 karena memang sulit. Tapi kalau sudah dapat scopus, tentu otomatis.” katanya mendorong para pengelola jurnal.