Reading Time: 2 minutes

Program Studi Ilmu Komunikasi didirikan pada tahun 2004 oleh bebebrapa pendiri seperti Masduki, Amir Effendi Siregar, dan Anang Hermawan. Selama kurang lebih 18 tahun itu, kepemimpinan silih berganti untuk keberlangsungan program studi ini. Begitu pula di tahun 2022 ini, kepemimpinan Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Komunikasi yang diemban oleh Puji Hariyanti digantikan oleh kepmimpinan kepada Ketua Prodi terpilih, yakni Iwan Awaluddin Yusuf.

Suksesi kepemimpinann diawali dengan Pemilihan Kaprodi dan Sekretaris Prodi dan Ketua Jurusan sesuai mekanisme pemilihan yang telah diatur dalam Peraturan Pemilihan di level Fakultas. Berawal dari pemilihan ketua jurusan psikologi,. kemudian dilanjutkan Pemilihan Ketua Prodi dan Sekretaris prodi di prodi masing-masing. Di prodi Ilmu Komunikasi acara dimulai pada pukul 9.30 WIB pada tanggal 8 November 2022. Pemilihan Ketua prodi ini dihadiri oleh dosen-dosen di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Pemilihan Ketua prodi ini dipimpin langsung oleh Ketua Prodi sebelumnya, Puji Hariyanti, dan dibacakan oleh Sekprodi Narayana Mahendra Prastya.

Pada acara tersebut, Narayana Mahendra, salah satu Dosen Ilmu komunikasi UII, membacakan peraturan-peraturan penyelenggarakan pemilihan dan syarat menjadi Kaprodi dan Sekprodi. Syarat menjadi Kaprodi salah satunya adalah minimal telah 8 tahun menjadi dosen tetap di UII, tidak menjabat dua  periode sebelumnya, dan tidak sedang studi lanjut atau karya siswa. Setelah dibacakan semua persyaratan ketentuanya, pemilihan dilakukan.

Langkah pertama, dalam pemilihan Ketua Prodi adalah setiap dosen mengusulkan beberapa nama untuk dipilih. Setelah satu nama disepakati maka tidak ada pemilihan atau voting lanjutan. Jika nama yang muncul lebih dari satu, akan dilanjutkan dengan musyawarah untuk mefakat atau voting. “Berhubung tadi sudah mufakat satu orang yang dipilih, maka yang menjadi kaprodi selanjutnya adalah Iwan Awaludin Yusuf,“ kata Wafa Akhyari, salah satu wakil dari Tim Pemilihan dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, UII kepada reporter Komunikasi UII.

Lalu, tahap selanjutnya adalah pemilihan dua sekretaris Prodi. Satu sekertaris prodi untuk prodi ilmu komunikasi dan satu lagi untuk International Program of Comunication (IPC) UII. Ratna Permatasari terpilih untuk menjadi sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi, dan Ida Nuraini Dewi KN menempati posisi sekretaris IPC UII. Pemilihan ini juga harus disepakati oleh peserta lain, sambung Wafa.

Setelah dua nama sekretaris Prodi terpilih, dan disepakai oleh peserta lain, maka rapat pemilihan selesai. “Nama-mana tersebut akan dercatat di berita acara dan ditandatangani adalah ketua rapat, dan sebagai ketua tim penyelenggara, Bapak Tobagus M. Nu’man dari Psikologi UII, yang juga wakil dari Tim Pemilihan,” jelas Wafa. Berita acara tersebut juga ditandatangi oleh saksi yaitu dua Dosen Komunikasi UII, Subhan Afifi dan Anggi Arifudin Setiadi.

Reading Time: 2 minutes

Hearing the word politics often drives young people away. Moreover, Generation Z, aged 20 to 30, is very indifferent to politics. However, what if politics is approached with an approach that is also being loved? Such as social media platforms Instagram and Tiktok. 

Pinterpolitik.com is currently carrying out this approach. Pinter Politik is an institution in which young people are trying to create a political news portal that also explores politics in a fresher style through platforms close to young people, said Alfin RIzky, the speaker on behalf of Pinterpolitik.com on November 5th, 2022, by Zoom meeting. 

In this expert lecture organized by The Communication Department of Universitas Islam Indonesia, Alfin Rizky, an assistant editor at pinterpolitik.com, explained how this political news portal is run. This expert lecture is a routine lecture held by certain subjects by presenting experts, in this case, the political communication course taught by UII Communication Lecturers Narayana Mahendra Prastya and Dian Dwi Annisa. 

Determining Daily Topics

In the interactive expert lecture, the speaker, namely Alfin Rizky, presented how pinterpolitik.com is run. On the sidelines of the presentation, students may ask questions about the material offered. Dian Dwi Anisa also asks the speaker about determining the daily topic. “How to determine ideas for brainstorming? Are you looking for topics that are currently trending, or do you have an agenda that you want to prioritize?” 

Alfin said that pinterpolitik.com has two standards that are usually used in determining daily topics. The first is the themes that are currently viral. The second is to look for free issues relevant to political themes. “The theme currently going viral is quite sensitive for us because we have to be fast, while it is still going viral. Secondly, we also upload timeless news. Usually, the team is asked to think creatively and imaginatively, such as what if Majapahit had not collapsed? What will happen now? Topics like that become timeless topics.”

Determining the Platform 

According to different content, Grasshoppers have different depths as well as ranges. Other contents also have different containers used for publication. Media platforms also have characters that must be adapted to the topic. So, how does Pinterpolitik sort and determine the content on which platform to use?

Instagram 

Pinterpolitik uses Instagram social media to publish content that is currently viral and also requires infographics in it. “Because GI issues quickly change to other issues. And, usually it emphasizes graphics more,” said Alfin.

Youtube 

Pinterpolitik has several types of content uploaded on Youtube. Youtube is more flexible because the Youtube audience can access it anytime, and it doesn’t take time, so all kinds of content can be included on this channel. 

Tiktok 

The TikTok platform prioritizes humanistic video content interspersed with certain sounds to add to the cinematic. This TikTok platform doesn’t only have to be viral because the algorithm will suck it up based on interest. And the platform that young people currently love. “We use this platform and learn from it to be closer to today’s young people,” said Alfin.

Reading Time: 2 minutes

Mendengar kata politik seringkali membuat anak muda menjauh. Apalagi, Generasi Z yang berusia 20 hingga 30 tahun sangat cuek dengan politik. Namun, bagaimana jika politik didekati dengan pendekatan yang juga sedang digandrungi? Seperti platform media sosial Instagram dan Tiktok. 

Pinterpolitik.com saat ini sedang melakukan pendekatan ini. Pinter Politik adalah sebuah lembaga di mana anak muda mencoba membuat portal berita politik yang juga mengeksplorasi politik dengan gaya yang lebih segar melalui platform yang dekat dengan anak muda, kata Alfin RIzky, pembicara dari Pinterpolitik.com pada 5 November 2022. melalui Zoom. 

Dalam kuliah pakar yang diselenggarakan oleh Departemen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, ini Alfin Rizky, asisten redaktur pinterpolitik.com, menjelaskan bagaimana portal berita politik ini dijalankan. Kuliah pakar ini merupakan kuliah rutin yang diadakan oleh mata kuliah tertentu dengan menghadirkan para pakar, dalam hal ini mata kuliah komunikasi politik yang diampu oleh Dosen Komunikasi UII Narayana Mahendra Prastya dan Dian Dwi Annisa. Nara, panggilan Narayana, mengatakan bahwa kuliah pakar ini diadakan untuk memberi perspektif dan pengayaan baru pada mahasiswa tentang dunia komunikasi politik dari kacamata praktisi media. 

Menentukan Topik Sehari-hari

Dalam kuliah pakar interaktif, pembicara yakni Alfin Rizky memaparkan bagaimana pinterpolitik.com dijalankan. Di sela-sela presentasi, mahasiswa dan dosen boleh bertanya tentang materi yang disampaikan. Dian Dwi Anisa, dosen matakuliah ini, pun menanyakan kepada narasumber tentang penentuan topik harian. “Bagaimana menentukan ide untuk brainstorming? Apakah Anda mencari topik yang sedang tren, atau Anda memiliki agenda yang ingin diprioritaskan?” 

Alfin mengatakan, pinterpolitik.com memiliki dua standar yang biasa digunakan dalam menentukan topik harian. Yang pertama adalah tema yang sedang viral saat ini. Yang kedua adalah mencari isu-isu bebas yang relevan dengan tema politik. “Tema yang sedang viral saat ini cukup sensitif bagi kami karena harus cepat, selagi masih viral. Kedua, kami juga mengunggah berita yang tidak lekang oleh waktu,” kata Alfin. Tak hanya itu, kreativitas juga jadi kunci. “Biasanya tim diminta berpikir kreatif dan imajinatif, seperti bagaimana jika Majapahit belum runtuh? Apa yang akan terjadi sekarang? Topik seperti itu menjadi topik abadi.”

Menentukan Platform 

Menurut konten yang berbeda, Belalang memiliki kedalaman serta jangkauan yang berbeda. Konten lain juga memiliki wadah berbeda yang digunakan untuk publikasi. Platform media juga memiliki karakter yang harus disesuaikan dengan topik. Lantas, bagaimana Pinterpolitik memilah dan menentukan konten pada platform mana yang akan digunakan?

Instagram 

Pinterpolitik menggunakan media sosial Instagram untuk mempublikasikan konten yang sedang viral dan juga membutuhkan infografik di dalamnya. “Karena isu GI cepat berganti isu lain. Dan, biasanya lebih mengedepankan grafis,” kata Alfin.

Youtube 

Pinterpolitik memiliki beberapa jenis konten yang diunggah di Youtube. Youtube lebih fleksibel karena penonton Youtube bisa mengaksesnya kapan saja, dan tidak memakan waktu, jadi segala macam konten bisa masuk di channel ini. 

Tiktok 

Platform TikTok mengutamakan konten video yang humanis diselingi suara-suara tertentu untuk menambah sinematik. Platform TikTok ini tidak hanya harus viral karena algoritma akan menyedotnya berdasarkan minat. Dan platform yang saat ini disukai anak muda. “Platform ini kami gunakan dan belajar darinya untuk lebih dekat dengan generasi muda saat ini,” kata Alfin.

Reading Time: 2 minutes

Politik adalah istilah yang unik. Di satu sisi banyak dihindari oleh anak-anak muda. Tapi di sisi lain sangat digandrungi. Bahkan ada rasa percaya diri yang luar bisa ketika seseorang itu melek politik. Ada masa ketika tema-tema politik dirasa sangat menyebalkan yakni dimana banyak sekali fenomena politik yang dibarengi dengan kerusuhan. Tetapi, akhir-akhir ini tema politik mulai menghangat di kalangan anak muda.

Dalam kuliah kuliah pakar yang diselenggarakan oleh Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menghadirkan seorang asisten redaktur di media pinterpolitik.com bernama Alfin Risky. Di Ilmu Komunikasi UII, sering kali menyelenggarakan kuliah pakar dengan menghadirkan seorang paktisi atau pakar sesuai dengan mata kuliah terkait. Dalam diskusi ini, Kuliah Pakar diselenggarakan dalam sesi mata kuliah Komunikasi Politik. Mata kuliah ini diampu oleh Narayana Mahendra Prastya dan Dian Dwi Anisa. Kuliah pakar yang diadakan pada 5 november 2022 ini memperbincangkan banyak hal, salah satunya dalah tentang bagaimana mereka membuat konten di pinterpolitik.com.

Dalam mengelola portal pinterpolitik.com, ada rutinitas harian yang biasa Alfin lakukan bersama timnya. Media yang memilki beberapa media sosial yang mengunakan berbagai jenis platform publikasi ini memiliki alur kerja yang cukup sistematis. Di antaranya adalah brainstorming, menulis outline, membuat tulisan, merancang infografis, membuat video dan publikasi. Bagaimana cara kerja media daring ini mengemas konten politik untuk anak muda? Berikut cuplikannya dari kuliah pakar yang dilakukan secara daring ini.

Brainstorming
Tahap paling pertama, setiap pagi, tim melakukan brainstrorming tentang angle atau perspektif baru yang hari ini akan kita dibuat dalam tulisan, infografis dan video. Dalam proses ini masing-masing penulis akan mempresentasikan ide masing-masing.

Outline
Dari gagasan-gagasan yang didapat saat brainstorming, masing masing akan mensistemasi gagasannya dalam sebuah outline terkait pokok-pokok gagasan untuk disetujui oleh redaktur.

Written Pieces
“Jika sudah disetujui oleh redaktur, gagasan itu akan ditulis dan elaborasi dengan data dan gagasan pendukung lainnya,” ungkap Alfin. Tulisan ini ditulis dalam 60 kata saja supaya cepat dan bisa posting di Instagram. Adapula tulisan yang ditulis dalam tulisan panjang untuk rubrik tertentu.

Infografis
Tulisan ini juga nanti akan diperkuat dengan infografis yang dibuat oleh tim tersendiri yakni tim infografis.

Shooting dan Video Editing
Sesuai yang disampaikan Alfin, selain divisualisasikan dengan infografis, tulisan juga diilustrasikan dengan audio visual yakni video. Di sini, tim video akan membuat storyboard dan akan melakukan pengambilan gambar sesuai dengan naskah. Video akan diedit dengan tak lupa memberi efek motion grafis.

Content Publish
pada akhirnya, semua konten itu yang nantinya akan diunggah pada kanal Youtube dan Tiktok dan media sosial pinterpolitik lainnya.

Reading Time: 2 minutes

Politics is a unique term. On the one hand, many young people avoid it. But on the other hand, I very much loved it. There is even an extraordinary sense of self-confidence when someone is politically literate. There was a time when political themes were very annoying, namely when riots accompanied many political phenomena. However, lately, political themes have begun to warm up among young people.

In the expert lectures organized by the Communication Department UII, an assistant editor at pinterpolitik.com media named Alfin Risky was presented. In UII’s Communication Department, expert lectures are often held by inviting a practitioner or expert on a related subject. In this discussion, the Expert Lecture was held in a Political Communication course session. Narayana Mahendra Prastya and Dian Dwi Anisa taught this course. The expert lecture on 5 November 2022 discussed many things, including how they create content at pinterpolitik.com.

In managing the pinterpolitik.com portal, there is a daily routine that Alfin and his team usually do. Media that has several social media that use various types of publication platforms has a fairly systematic workflow. Among them are brainstorming, writing outlines, designing infographics, and making videos and publications. How does this online media work to package political content for young people? The following is an excerpt from this online expert lecture.

Brainstorming

In the very first stage, every morning, the team brainstorms about a new angle or perspective that we will make today in writing, infographics, and videos. In this process, each writer will present their ideas.

Outline

So, each of the ideas that obtained on the brainstorming stage will be considered by the editor in chief. All the crew will systematize their ideas in an outline. The editor will approve any ideas.

Written Pieces

“If the editor has approved it, the idea will be written down and elaborated with data and other supporting ideas,” said Alfin. This article is written in just 60 words, so it is fast and can be posted on Instagram. There are also articles written in long writing for certain rubrics.

Infographics

This writing will also be strengthened by infographics created by a separate team, namely the infographics team.

Shooting and Video Editing

As stated by Alfin, apart from being visualized with infographics, writing is also illustrated with audio-visual videos. Here, the video team will create a storyboard and shoot according to the script. The Video Editors will edit the video by not forgetting to give a motion graphic effect.

Content Publish

in the end, the Social Media officer will upload all that content on Youtube, Tiktok channels, and other smart political social media.

Reading Time: 2 minutes

A sad tragedy occurred at the Indonesian football event in Malang. The incident occurred on October 1, 2022. At that time, the Persebaya football club played against the poor Arema Club. At that time when the match was over, it was seen that the fans entered the field. Then step into another. Then suddenly, the police sprayed tear gas. Conditions became rowdy; according to records, as of October 13, 2022, it crashed 754 victims, and 135 died.

Narayana Mahendra Prastya, a UII Communication lecturer, who is also a specialist in the Journalism and Sports Communication and Indonesian Football research cluster, said that, unfortunately, this incident was in the spotlight because there was a big incident. “There were many victims first, then the news spread widely,” said Narayana in a discussion titled “Reflections on the Future of Indonesian Football, ” organized by the Kognisia, the student press of FPSB UII Podcast broadcast on October 31, 2022. Narayana also conducted a brief search regarding this incident.

“I’m just looking for data for fun; since 2010 there have been incidents of using tear gas to disperse riots at stadiums. That violated FIFA rules. So since 2010 there have been violations,” said Narayana. Even though PSSI (Indonesian football federation) understands these rules, said Nara, Narayana’s nickname.

Nara questioned, “So far, PSSI has not been with security. So the SOP for security at the stadium is DO and DONT. It should be communicated.” Why have there been ten incidents, he said this time, but the incident is still repeated. In fact, according to Nara, his search was only for the last ten years. “If I trace it back, I think there will be even more. There have been 11 plus these Kanjuruhan,” said Nara.

Apart from Nara, UII Communications student Khalif Madani was also a speaker at the discussion at this Postcast. Alif, his nickname, is now lined up to be a panelist. Alif is also a member of Campus Boys 1976, the PSS Sleman support community. According to Alif, fans are often referred to as the scapegoats of riots when incidents occur.

In line with Alif, even though not all supporters can be generalized. It was as if the supporters were the sole factor in the riots. On another occasion, Nara also revealed the truth social media should also be highlighted in the occurrence of riots. Apart from that, now many supporters are also the motor of change and the team control.

Reading Time: 2 minutes

Tragedi menyedihkan di ajang sepakbola Indonesia terjadi di Malang. Kejadiannya terjadi pada 1 Oktober 2022. Saat itu  Klub sepak bola persebaya bertanding melawan Klub Arema malang. Saat itu, ketika pertandingan selesai, terliaht suporter masuk lapangan. Lalu berangsur masuk yang lain. Banyak. Lalu tiba-tiba polisi menyemprotkan gas air mata. Kondisi menjadi gaduh dan berdasarkan catatan per 13 Oktober 2022, jatuh 754 korban dan 135 meninggal.

Narayana Mahendra Prastya, dosen Komunikasi UII, yang juga spesialis dalam klaster riset Jurnalisme dan Komunikasi Olahraga serta Sepakbola Indonesia, mengatakan sayangnya kejadian ini jadi sorotan karena ada kejadian besar. “Ada banyak korban dulu, baru beritanya menyebar besar,” kata Narayana dalam diskusi bertajuk “Refleksi Masa Depan Sepak Bola Indonesia” yang diselenggarakan oleh Podcast LPM Kognisia FPSB UII dan disiarkan pada 31 Oktober 2022.

Narayana juga melakukan penelusuran singkat terkait kejadian ini. “Saya iseng cari data, sejak 2010 ada kejadian penggunaan gas air mata untuk membubarkan keributan di stadion. Itu melanggar aturan FIFA. Jadi sejak 2010 ada pelanggaran,” ungkap Narayana. Padahal PSSI paham aturan tersebut, kata Nara, panggilan akrab Narayana.

Nara kemudian mempertanyakan, “Selama ini PSSI ngobrol nggak sama keamanan. Jadi SOP keamanan di stadion itu DO and DONT-nya apa saja. Seharuskan itu dikomunikasikan.” Mengapa sudah ada 10 kejadian tetapi kejadian kali ini tetap berulang, katanya. Padahal, menurut Nara, penelusurannya itu baru sepuluh tahun tetakhir. “Kalau dirunut lagi ke belakang saya kira akan lebih banyak lagi. Sudah 11 ditambah Kanjuruhan ini,” kata Nara.

Selain Nara, mahasiswa Komunikasi UII, Khalif Madani juga menjadi pembicara pada diskusi di Poscast ini. Alif, panggilan akrabnya, kini didapuk jadi panelis.Alif juga adalah anggota Campus Boys 1976, komunitas supporter PSS Sleman. Menurut Alif, suporter sering disebut sebagai kambing hitam kerusuhan ketika terjadi kejadian.

Senada dengan Alif, padahal tidak semua suporter bisa disamaratakan. Seakan Suporter adalah faktor tunggal terjadinya kerusuhan. Dalam kesempatan lain, Nara juga pernah mengungkap bahwa sejatinya media sosial juga harusnya disoroti dalam terjadinya kerusuhan. Selain juga, kini suporter banyak juga yang menjadi motor perubahan dan kontrol tim.

Reading Time: 2 minutes

Di Malang, sebuah tragedi memilukan melanda arena sepak bola Indonesia. Stadion Kanjuruhan bergemuruh tembakan gas air mata pasca pertandingan Arema versus Persebaya pada 1 Oktober 2022.  Pada 13 Oktober 2022 tercatat ada korban 754 jiwa dan penonton meninggal sebanyak 135 jiwa. Pada titik ini, para penggemar terlihat di lapangan saat pertandingan berakhir. Kemudian secara bertahap masuk supporter yang lain. Polisi kemudian tiba-tiba melepaskan gas air mata.

Sudah sering terjadi kerusuhan dalam laga sepak bola. Dalam kasus Kanjuruhan, gas air mata ditembakkan polisi untuk menghalau massa. Banyak pihak menjurus ini adalah sebab utama tingginya banyak korban. Apakah ada alternatif menghalau kerusuhan? Jawaban pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi LPM Kognisia yang diselenggarakan oleh Podcast yang ditayangkan 31 Oktober 2022.

Narayana, Dosen Komunikasi UII, juga berpendapat, sudah ada waktunya politik masuk dalam arti mengelola. “Mengelola masyarakat itu kan politik,” papar Nara. Dalam konteks sepak bola, penontoh ini harus dikelola. Bisa saja kita tahu kan semua stadion kan milik pemda, jadi inilah saatnya desain stadion itu diredesain agar bentrokan antar suporter bisa diantisipasi. Jadi, menurut Nara, kondisinya di Kanjuruhan ini over capacity. Kedua, juga soal Mitigasi bencana. Ada bencana sosial, selama ini yang dimitigasi bencana alam. “Tapi bencana di stadion sepak bola seperti ini belum ada mitigasi yang terencana dengan baik,” kata Nara, panggilan Narayana. Harusnya, ada perencanaan mitigasi dan pertimbangan politik dalam menggelar pertandingan.

Berdasar pelacakan ringkas singkat oleh Nara, terkait kejadian ini ada 10 kasus gas air mata. Nara menelusur dari data-data selama ini, ada kejadian gas air mata untuk membubarkan kerumunan di stadion sejak 2010. Itu melanggar aturan FIFA. Jadi sejak 2010 ada pelanggaran,” ungkap Narayana. Padahal PSSI paham aturan tersebut, kata Nara, panggilan akrab Narayana.

“Gas air mata memang nggak boleh, senjata juga nggak boleh. Atributnya juga seharusnya seminimal mungkin atributnya, bahkan seragam polisi yang pakai lencana topi dan lainnya itu dihimbau tidak pakai, juga dianjurkan memakai kaos saja coklat,” ungkap Alif Madani, suporter PSS Sleman. Alif, yang juga adalah mahasiswa Komunikasi UII angkatan 2016, menambahkan bahwa dalam kondisi normal, pengamanan harus mempertimbangkan kondisi crowd, massa yang begitu banyak terutama jika massa akan keluar dari stadion. Massa sebegitu banyak akan butuh waktu lama keluar. Apalagi dalam peristiwa Kanjuruhan, gas air mata ditembakkan pada para penonton. “Bayangkan dengan gas air mata pasti kan orang tambah panik makin bersesakan. Apalagi ada yang ditembakkan di pintu keluar,” jelas Alif. Korban jatuh terelakkan di tengah kepanikan.

Menurut Alif, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan alternatif selain gas air mata. Misalnya polisi kan membawa anjing K9 dan himbauan dikeluarkan oleh petinggi klub. “Anjing K9, ada itu kemarin di Malang. Sempet mundur itu waktu dilepas. Bisa juga misal petinggi klub atau kapten tim dikasih pelantang suara dan suruh ngomong itu bisa nglerem,” usul Alif. Usul ini bukan berarti tidak berdasarkan pengalaman.

PSSI dan pengelola kegiatan bisa belajar dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. “Pernah waktu di Sleman, ramai kita suporter menyarankan nanti di depan ada Bagus Nirwanto, Kaptem Tim PSS Sleman. Waktu kasus Bali United itu Irfan Bahdim turun, bisa dipakai untuk menenangkan massa. Di saat yang bersamaan pemain Yang disegani dengan tetua suporter itu menenangkan orang akan segan mengikuti orang yang dihormati dan dikenal,” cerita Alif Madani.

Reading Time: 2 minutes

In Malang, a heartbreaking tragedy hit the Indonesian football arena. Tear gas shot at the Kanjuruhan Stadium after the Arema versus Persebaya match on October 1, 2022. On October 13, 2022, 754 victims and 135 spectators died. At this point, fans were seen on the pitch as the game ended. Then gradually enter the other supporters. The police then suddenly released tear gas.

There have been riots at football matches. In the Kanjuruhan case, tear gas was fired by the police to drive away the crowd. Many parties point to this as the main reason for the high number of victims. Is there an alternative to dispel the riots? The answer to this question emerged in the student Press Kognisia discussion organized by Podcast, which aired on October 31, 2022.

Narayana, a UII Communication Lecturer, also thought it was time for politics to enter. “Managing society is politics,” said Nara. In a football context, this attendance must be managed. So, according to Nara, conditions at Kanjuruhan are over capacity. Second, it is also about disaster mitigation. There are social disasters, but so far, natural disasters have been mitigated. “But a disaster at a football stadium like this has not been properly planned,” said Nara, Narayana’s nickname. There should be a mitigation plan and political considerations in holding the match.

Based on a short brief tracking by Nara related to this incident, there were 10 cases of tear gas. Nara traced from the data so far that there have been tear gas incidents to disperse stadium crowds since 2010. This violated FIFA rules. So since 2010, there have been violations,” said Narayana. Even though PSSI understands these rules, said Nara, Narayana’s nickname.

“Tear gas is not allowed; weapons are not allowed either. Attributes should also be as minimal as possible; even police uniforms with badges are also recommended to wear brown shirts,” said Alif Madani, a PSS Sleman supporter. Alif, a 2016 batch of UII Communications students, added that security must consider the masses under normal conditions. there were so many, especially if the masses were about to leave the stadium. So many people would take a long time to leave. Especially in the Kanjuruhan incident, tear gas was fired at the spectators. Moreover, someone was fired at the exit,” explained Alif. Victims fell inevitably amid the panic.

According to Alif, another thing that can be done is to use an alternative to tear gas. For example, bringing K9 dogs and an appeal issued by club officials. “K9 dogs , there was it yesterday in Malang. They were backwards when released. It could also be, for example, for example, club officials or team captains are given a loudspeaker and told to speak; it can slow down,” suggested Alif. This suggestion does not mean it is not based on experience.

PSSI and activity managers can learn from what has happened before. “Once in Sleman, it was crowded; we fans suggest that later there will be Bagus Nirwanto, the captain of the PSS Sleman team. Bahdim take a role, can be used to calm the masses. Which is respected by the elder supporters,” said Alif Madani.

Reading Time: 3 minutes

In the study of communication, games are rarely included in the radar of studies considered important. In the past, gaming was just a useless that was done in spare time. But now, the face of the game has changed. Hundreds or even thousands of games are produced every month. Even games have become a business field that generates billions of rupiahs. 

Some of these reasons motivated Andi M. Rafli Manggabarani to research games to be researched as the ultimate task of completing his undergraduate studies in communication science at UII. The results of his research were then responded to positively by the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) of Nadim Communication Studies, Islamic University of Indonesia (UII) in a discussion. The discussion on October 21, 2022, was moderated by Latifika Gupita, a UII communication student. 

The research conducted by Andi was entitled “Agonistic Relationship in Single-Player Game and the construction of Vilain in Video Game Narrative multimodal proceduralist analysis of Assassin’s Creed III.”

Why did Andi research this? The development of the video game discourse was very rapid in the early 90s and early 2000s, starting to research and analyze games. There was even the first gaming conference in the 2000s. “Unfortunately, the reality is different in Indonesia. Research on games is quiet in Indonesia. Even though games are big business now,” said Andi.

Game studies, said Andi, are interdisciplinary studies. That is, the game can be viewed from various perspectives. It can be viewed from various elements. Such as the program, artistic, visual, narrative, musical, and others. “In the past, gaming was seen as leisure and recreation. Even now, it has been recognized as a sport,” said Andi. 

Andi explained that the game studies that had been analyzed so far, on average, the rest revolved around the depiction of women in video games and several similar ones. Even though the game has other elements that can be said to be unique. For example, the game design itself. “In fact, the elements of this research have not appeared much. This game has its own plot and all kinds of elements (game design), but this is what distinguishes games from movies, books, and others,” said Andi rigidly. 

“The game I chose to discuss was Assassin’s Creed III. This game series is very identical, always packaging the game in the concept of history in all its games,” he said. Andi explained that the game developer, Ubisoft, always consults with historians so that the built games can provide the most accurate picture possible of the setting (place) and historical context. This game has also sold 155 million copies as of October 2020. 

This game tells the story of two secret organizations named Assassin and Templar. The game developer takes the background and historical context of the American revolution that wants to be independent of Britain. Both Templar and Assassin, These two organizations exist to lead human civilization to peace, prosperity, and technological and intellectual progress.

However, both have different approaches to achieving their goals. Assassins believe that humans can progress in an atmosphere of civilization that is full of freedom. While Templar thinks that humans need to be guided and governed. The Templars admitted that they were the most worthy of arranging this. In this video game, the Templar represents a villain (the evil party).

Andi’s research aims to uncover how villains (evil characters and concepts) are built from game design and narrative elements in this game. Game developers image the Templars and values ​​that they believe are considered evil. Andi’s research also wants to reveal what values ​​are considered evil by the Ubisoft game developer and, lastly, what makes someone a ‘villain.’

This question stems from Andi’s assumption why Templars and Assassins are imaged differently even though they have the same goal: prosperity and peace.

More details can be seen on the IKONISIA TV channel https://youtu.be/ax4I8AVVdYA.