Influencer: Kekuatan Opini dan Kepercayaan Publik

Mengapa masyarakat lebih percaya dengan influencer di media sosial dibandingan sumber kredibel lainnya? Ini adalah pertanyaan pragmatis yang sebenarnya sederhana dan memiliki berbagai versi jawaban.

Jika dikaitan dengan fenomena sosial, hal ini berkaitan dengan ketergantungan masyarakat pada media sosial. Ketergantungan ini menempatkan Indonesia sebagai pengguna media sosial terlama dengan durasi 188 menit per hari. Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/ask-the-expert-puasa-medsos-hingga-rekomendasi-konten-di-bulan-ramadan/

Fenomena ini menjadi peluang emas bagi tumbuhnya influencer di Indonesia, dari data KOL.id jumlahnya mencapai 1,1 juta akun. Influencer di Indonesia dibagi menjadi beberapa kategori yakni nano influencer sebanyak 980 ribu (followers kurang dari 10.000), micro influencer sebanyak 130 ribu, 14,5 ribu macro influencer, dan sisanya selebritas yang turut aktif menjadi influencer digital.

Jumlahnya yang masif, influencer ternyata membawa dampak signifikan dalam kehidupan masyarakat. Dampaknya tak hanya pada sosial ekonomi akibat endorsement juga berpengaruh pada pilihan politik.

Paling nyata, perpolitikan di Indonesia tahun 2024 menjadi dampaknya. Kampanye-kamapnye unik menjadi pemenangnya apalagi didukung oleh influencer-influencer kenamaan. Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/gen-z-disebut-pemilih-fomo-dalam-pemilu-2024-begini-penjelasan-pakar-ilmu-komunikasi/

Mengapa Masyarakat Lebih Percaya influencer?

Beberapa alasan masyarakat sangat percaya dengan influencer pertama karena kedekatan emosional. Hubungan ini dibangun oleh influencer kepada pengikut dengan tampil seolah apa adanya lewat keseharian, cerita pribadi, hingga membagikan opini secara langsung.

Kesan keaslian atau authenticity menjadi kekuatan influencer yang mampu menarik pengikut untuk menyepakati opininya.

Faktor lain adalah relevansi konten, setiap influencer fokus pada niche tertentu misalnya konten kecantikan, kuliner, parenting, kuliner, teknologi, hingga edukasi. Konten-konten tersebut terasa personal dan tepat sasaran. Bagi pengikut konten-konten tersebut tak hanya menghibur tapi juga informatif bahkan membantu dalam pengambilan Keputusan.

Bahkan data yang dirilis oleh grup riset dan data analisis global YouGov menyebut 94 persen pengguna internet di Indonesia mengakui bahwa influencer berpengaruh dalam perilaku dan Keputusan terutama dalam pembelian produk. Sementara 87 persen tertarik membeli produk karena rekomendasi influencer.

Seperti disebut di awal, influencer tak berhenti pada ranah konsumsi. Mereka mampu membentuk tren sosial dan budaya populer. Tren-tren tersebut berganti setiap hari dan sangat dinamis.

Kekuatan opini influencer semakin menguat dan menjadi kepercayaan publik, menariknya jika kualitas influencer tak cukup memadai tentu akan menjadi boomerang bagi pengikut. Sehingga peting bagi pengguna media sosial untuk mencari tahu lebih detail background dari influencer.

Singkatnya, jika memang mencari informasi seputar kesehatan pastikan influencer yang diikuti memiliki pendidikan memadai dan memiliki kapabilitas dalam dunia kesehatan. Begitupun soal perpolitikan yang mudah digoreng. Bagaimana menurutmu Comms?

The psychology of colors: How Brands Use Colors to Influence Us

When thinking of small yet powerful tools commonly used daily, color should be one of the first to come to mind. Colors play a more influential role in our lives than many people realize. They are used in various aspects of daily life, but their psychological impact is especially significant in marketing and branding.  Since it’s not just about making things look visually appealing, it’s about influencing emotions, shaping decisions, and guiding behavior. This is where the concept of color psychology comes into play.

Color psychology is the study of how colors influence human emotions and behavior. Each color carries its psychological meaning. For example, blue often evokes feelings of trust and calmness, which is why it’s commonly used in corporate branding. Red, on the other hand, can create a sense of urgency or excitement, while green is typically associated with health, freshness, and growth. A great example of this is Whole Foods, which uses green as the primary color in its logo to reflect its commitment to offering fresh, high-quality products. This demonstrates how marketers strategically use emotional triggers to connect with their audiences on a deeper level.  (Whole Foods Market Logo, 2024)

Colors are an essential part of a brand’s identity. Companies use specific colors in their logos and marketing materials to reflect their values and communicate with their target audience. A great example is Coca-Cola. Its iconic red logo is not just eye-catching, it’s designed to evoke energy, excitement, and passion. The bold red also helps it stand out on store shelves, creating instant recognition. (Coca‑Cola Red: Our Second Secret Formula, n.d.)

Beyond logos, colors are strategically used in marketing campaigns, advertisements, and packaging to influence consumer decisions. For example, in Indonesia, Indomie, a beloved instant noodle brand, uses vibrant red and yellow in its packaging. These colors are not random; they create a feeling of warmth and hunger, making the product more appealing and plays an important role in the sales promotion. (Amadi, 2018)

Color is more than just a visual element—it’s a psychological tool that shapes how we feel, think, and act. When used effectively, color can boost brand recognition, influence emotions, and drive consumer behavior. In the competitive world of marketing, understanding and applying color psychology gives businesses a powerful advantage.

References

Amadi. (2018). Assessing the effectiveness of product packaging in sale promotion . Academia.edu, 64.

Coca‑Cola Red: Our Second Secret Formula. (n.d.). Retrieved from coca-colacompany: https://www.coca-colacompany.com/about-us/history/coca-cola-red-our-second-secret-formula

Whole Foods Market Logo. (2024, April 05). Retrieved from 1000logos: https://1000logos.net/whole-foods-logo/

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Hari Film Nasional 2025: Merayakan dengan Membaca Hasil Riset Kajian Film

Hari film nasional yang dirayakan setiap 30 Maret menjadi momentum untuk berefleksi terkait proses dan perkembangan film di Indonesia. Singkatnya, perayaan ini mengacu pada film pertama Darah dan Doa yang diproduksi pada 30 Maret 1950 oleh 1950.

Beragam genre mewarnai bioskop tanah air, meski demikian data menyebut film horor mendominasi daftar judul film beberapa tahun terakhir. Tanpa agenda khusus sekalipun, setiap hari film selalu dirayakan.

Tercatat 80 juta penonton menyaksikan film di bioskop di tahun 2024. Sementara tahun 2025 diprediksi 150 hingga 200 judul film akan tayang. Terlepas dari jumlahnya yang fantastis, data yang dihimpun oleh Cinepoint (2024) genre paling mendominasi adalah horor 63 film, drama 54 film, komedi 18 film, sisanya dokumenter, aksi, dan animasi. Tentu film horor Indonesia paling banyak disorot hingga tuai kritik-kritik tajam.

Berbagai eksploitasi mulai dari perempuan hingga agama menjadi modal utama dalam pembuatan film horor. Di kajian Ilmu Komunikasi tentu ada kritik-kritik yang disampaikan untuk membangun film berkualitas. Tawaran solusi juga disampaikan dari berbagai riset.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/kritik-soal-film-horor-religi-dan-tawaran-solusi/

https://communication.uii.ac.id/eksplorasi-film-berdasarkan-kisah-nyata-hingga-riuhnya-respon-netizen/

https://communication.uii.ac.id/film-horor/

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan kajian film, berikut beberapa judul riset yang telah dilakukan oleh civitas akademika di Departemen Ilmu Komunikasi UII.

  1. Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to the World – Dr. Zaki Habibi

Riset ini fokus pada tiga festival film independen yang diadakan di tiga negara berbeda di Asia. Ketiga festival tersebut adalah (1) Jeonju International Film Festival (JIFF) di Jeonju, Korea Selatan, (2) Cinemalaya Philippine Independent Film Festival di Manila, Filipina, dan (3) Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, Indonesia.

Dengan menganalisis penyelenggaraan festival film independen, beberapa temuannya meliputi film sebagai produk budaya, festival film independen, dan wacana budaya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ketiga festival film yang dianalisis menawarkan cara alternatif dalam distribusi film, kemudian menunjukkan cara pengorganisasian festival yang tidak konvensional, dan memperkuat kekuatan komunitas dan jaringannya sebagai basis pengembangan festival mereka.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6385

  1. Citra Indonesia dalam Film dan Serial Televisi Hollywood – Dr. Herman Felani

Penelitian ini bertujuan untuk membahas citra Indonesia dalam film dan serial televisi Hollywood. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme yang berdasarkan pada teori orientalisme dari Edward Said. Berdasarkan temuan penelitian ini, Indonesia digambarkan sebagai negara yang aneh, kacau, dan tertinggal, sarang penjahat, tempat yang eksotis, terpencil, mistis dan misterius, dan pusat teroris. Munculnya citra tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang Amerika tentang Indonesia yang disebabkan oleh distorsi media massa.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/9805

  1. Pembungkaman Kaum Perempuan dalam Film Indonesia (Penerapan Teori Muted Group dalam Film “Pertaruhan”) – Ratna Permata Sari, M.A

Definisi gender kerap disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Dalam artikel ini membahas detail bagaimana gender atau sifat yang melekat pada proses kultural yang memunculkan berbagai ketimpangan dalam masyarakat seperti marginalisasi, stereotip, kekerasan dan pelabelan negatif. Dari teori muted group, analisis dilakukan pada peran perempuan dan pembungkaman di ruang publik dalam film “At Stake (Pertaruhan)”. Film ini terdiri dari empat cerita pendek yaitu Usaha untuk Cinta, Apa Gunanya, Nona atau Nyonya, Harta Anak-Anak.

 https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6777

  1. Sinema Independen di Yogyakarta 1999-2008: Idealisme di Tengah Krisis Infrastruktur – Prof. Masduki

Pada periode 1999-2008, perfilman Indonesia berkembang dengan banyaknya karya kreatif dan bioskop alternatif berbasis komunitas, terutama di Yogyakarta. Penelitian di Yogyakarta menemukan tiga faktor utama: adanya komunitas independen di kalangan mahasiswa dan non-mahasiswa, munculnya bioskop alternatif seperti Kinoki dan Pusat Kebudayaan Prancis, serta adanya festival film lokal dan regional yang mendukung film indie. Produksi film independen didorong oleh kebebasan berekspresi dan kepedulian sosial-politik. Namun, keterbatasan infrastruktur dan dukungan publik menjadi tantangan yang perlu diatasi.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/5649

Itulah beberapa riset yang bisa menjadi inspirasi dan rekomendasi bagi akademisi komunikasi yang tertarik dengan kajian film.

Ask the Expert: Puasa Medsos hingga Rekomendasi Konten di Bulan Ramadan

Ask the Expert merupakan tajuk baru yang memuat gagasan dari para ahli sesuai bidangnya. Expert di sini merujuk kepada dosen-dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Dalam seri perdana, tim menunjuk Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D untuk mengulik lebih dalam terkait puasa media sosial hingga konten alternatif di bulan Ramadan sesuai kepakarannya dalam isu media digital.

Menilik data yang dirilis Digital 2025 Global Overview Report oleh We Are Social menempatkan Indonesia di posisi ke sembilan sebagai negara dengan pengguna media sosial terlama yakni 188 menit per hari (3 jam 8 menit). Selain menjadi ruang mengekspresikan diri dan mencari informasi, nyatanya media sosial tak benar-benar memiliki dampak positif seutuhnya.

Pew Research Center menyebutkan 69 persen orang dewasa dan 81 persen remaja di U.S menggunakan media sosial, jumlah tersebut turut menyumbang peningkatan risiko cemas hingga depresi.

Sementara Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyampaikan hal serupa, 1 dari 20 atau 5,5 persen (2,45 juta remaja) terdiagnosis mengalami gangguan kesehatan mental, penyebab utamanya terletak pada penggunaan media sosial.

Salah satu agar berjarak dengan media sosial, puasa medsos bisa menjadi alternatif. Secara umum puasa medsos adalah mengurangi atau membatasi aktivitas interaksi di media sosial, atau berhenti sementara (menggunakan medsos) dalam jangka waktu tertentu.

Dalam kajian Ilmu Komunikasi, langkah ini masuk dalam ranah literasi media yang mengarah pada detoks digital hingga media diet. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketergantunganterhadap teknologi dan meningkatkan kesehatan mental.

“Bisa juga dimaknai sebagai bentuk mengurangi untuk istirahat dari medsos atau yang paling ekstrim adalah berhenti total. Tapi yang namanya puasa ada jeda dan akan kembali lagi sehingga ini adalah sebuah konsep dalam literasi media yakni detoks digital atau dalam kajian literasi media tradisional namanya media diet,” jelas Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Terbilang cukup kompleks, kebiasaan mengakses media sosial tentu tak serta merta bisa ditinggalkan. Namun jika dilakukan dengan penuh komitmen berbagai hal baik akan didapatkan.

Puasa medsos bukan berarti berhenti selamanya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan merencanakan durasi dalam jangka waktu yang ditentukan

“Itirahat untuk berinteraksi dengan media sosial bisa mengambil jarak direncanakan atau dengan durasi tertentu bisa dalam hitungan minggu, bulan, bahkan dalam skala ekstrem bisa berhenti sampai sekian tahun,” ujarnya.

“Paling tidak kita akan lebih bijak memaknai betapa berharganya kehidupan sosial yang nyata tidak berkorelasi dengan dunia maya yang selama ini ditinggalkan,” tambahnya.

Setidaknya ada tiga manfaat yang akan mengubah banyak hal ketika puasa medsos benar-benar dilakukan. Pertama tentu soal produktivitas, dengan log out pada akun medsos kita tak akan dibanjiri notifikasi bahkan daya tarik dalam mengaksesnya tentu berkurang signifikan.

Kedua, berkaitan dengan kesehatan mental. Kecemasan atas informasi negatif, bullying, hingga kesempurnaan hidup yang tak realistis akan minim dijumpai. Dan terakhir tentu soal memaknai kehiduapan nyata yang lebih berharga. Merasa semakin terkoneksi dengan orang-orang terdekat dalam lingkungan sosial.

Lantas, jika benar-benar tak mampu berpuasa medsos apa yang sebaiknya dilakukan? mengingat bahwa kehidupan tak lepas dari gadget dari tangan. Alternatif yang bisa dikendalikan tentu soal saring menyaring konten.

Di bulan suci Ramadan, banyak alternatif konten yang justru akan bermanfaat. Beberapa tawaran solusi yang disampaikan antara lain sebagai berikut:

  1. Melihat relasi atau kaitan konten di media sosila relatable dengan kebutuhan kita. Usahakan mencari informasi yang sesuai. Disiplin dalam melakukan dan mencari informasi secara aktif bukan hanya scroll mengikuti apa yang muncul di feed, laman-laman sosial media, FYP dan seterusnya tapi kita kembali ke hastag yang diperlukan.
  2. Memanfaatkan waktu dalam bulan Ramadan, mencari informasi yang memang mendukung dan kita harapkan menganai informasi-informasi tentang ibadah. Ibadah sosial maupun ibadah mahdhoh ibadah khusus kita dengan tuhan. Maupun hal produktif yang menunjang kita dalam memaknai bulan Ramadan
  3. Hindari informasi yang bahkan sekecil mungkin kembali membuat kita terdistorsi dengan hal-hal negatif dari media sosial (gambar, kata, meme, dan lainnya).
  4. Beberapa konten yang bisa dipilih bisa terkait hadist, kehidupan muslim di negara lain, keistimewaan ramadan tahun ini dengan sebelumnya.

Pada dasarnya “Media sosial bagaimanapun tetap mebawa manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan kebutuhan (informasi dan hiburan),” tandasnya.

Itulah beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Bagaimana pendapatmu tentang gagasan tersebut Comms? Tertarik untuk mencoba puasa medsos?

Ramadan in Palestina

Ramadan is a time of reflection, prayer, and gratitude—a month where families gather around the iftar table, breaking their fast with warmth and love. But in Gaza, Ramadan is totally different from what it should be . It is a month where the call to prayer is often drowned out by the sound of airstrikes, where families don’t know if they will live to see another sunset, and where the simple act of breaking fast is a struggle for survival.

On March 18, 2025, Israeli airstrikes struck Gaza, ending a two-month ceasefire that had given people a fragile hope for stability. The attacks claimed the lives of over 400 people, including children, turning it into a Ramadan that no human being deserves to go through.

A Ramadan of Loss and Fear

Imagine sitting with your family at suhoor, not knowing if this will be your last meal together. In Gaza, this fear is a daily reality. Families are torn apart in an instant, and the streets that once carried the laughter of children are now lined with grief. Children who should be spending Ramadan in the comfort of their homes are instead searching for shelter, their eyes reflecting a pain far beyond their years. Parents who should be providing for their loved ones are forced to beg for food, struggling to secure even a sip of clean water. The most necessities—food, water, medicine—have become luxuries.

Fasting on Empty Stomachs

For most of the world, fasting during Ramadan is a spiritual test, broken with a fulfilling meal at sunset. But for Palestinians in Gaza, fasting continues long after maghrib. There is no feast waiting for them—only scraps of whatever aid reaches them, if any at all. Some break their fast with nothing more than a sip of water, while others have nothing at all. This is not just hunger; this is forced starvation. The world watches as an entire population is denied the right to eat, to drink, to live.

Nowhere to Call Home

A home is more than just a shelter; it is a place of belonging, of safety, of love. But in Gaza, homes are destroyed as if they were never meant to exist. Families who once had a place to pray, to eat, to rest, now live in the open, exposed to the harsh cold of night and the unrelenting sun of the day.

What does Ramadan mean when there is no home to gather in? When there is no family left to sit beside? When every night could be the last?

Faith That Cannot Be Broken

Despite everything, the people of Gaza hold onto their faith with unshakable strength. Even as the world turns a blind eye, they continue to pray. Even as they lose everything, they hold onto hope. Their belief remains strong, their resilience unmatched.

These struggles is based on one of the experience and conditions of Palestinians, as shared by Esraa Abo Qamar on Aljazeera . Their pain is real, their struggles unimaginable ,yet their faith endures.

This Ramadan, while we sit in our homes, surrounded by family, with tables full of food, let us remember that what we have is a privilege. Let us not take for granted the things that millions in Gaza only dream of.We must speak up. We must pray. We must spread the truth. The people of Gaza do not need just our sympathy; they need action. They need the world to see their suffering, to demand justice, to ensure that no one has to endure another Ramadan like this.

To our brothers and sisters in Gaza: you are not forgotten. Your pain is seen, your voices are heard, and your strength is admired. May this Ramadan bring you ease, and may the world finally wake up to your struggle.

 

References:

https://www.aljazeera.com/opinions/2025/3/1/ramadan-in-gaza-ruins-and-unshakable-faith

https://www.middleeasteye.net/news/18-march-2025-day-183-children-gaza-were-massacred-israel

https://www.middleeasteye.net/news/west-bank-displaced-palestinians-face-ramadan-humiliation-and-uncertainty

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Ramadan

Ramadan is the most anticipated and cherished month for Muslims worldwide. It is a time of spiritual reflection, self-discipline, and devotion, but it is also a month of unity, generosity, and cultural expression. Across different regions, Ramadan traditions vary, yet one common element remains: food. More than just a source of nourishment after a long day of fasting, food during Ramadan carries deep cultural significance. It connects families and communities, and reflects a nation’s culinary identity. The dishes prepared and shared during this month tell the stories of generations, showcasing the richness of diverse Muslim cultures.

Different Cultural Approaches to Ramadan Preparation

As Ramadan approaches, every country has its own way of preparing for the holy month. In some regions, markets fill with special ingredients, while in others, families spend days preparing homemade treats that will last throughout the month.

Middle Eastern countries often prepare traditional dried fruits, nuts, and special drinks like qamar al-din (apricot juice) ahead of time.

In Southeast Asia, homes and mosques are decorated, and communities organize special food-sharing events.

In parts of Africa, large communal iftar gatherings are held, where neighbors cook and share meals together.

These pre-Ramadan preparations highlight how food is not just about eating but also about fostering a sense of belonging and unity.

Special Foods and Traditions Exclusive to Ramadan

While every culture has its special food, Ramadan brings out special dishes that are often prepared only during this time of the year. These meals are not just about flavor; they carry deep historical and cultural significance, passed down through generations.

Yemen: Ramadan in Yemen is incomplete without shafout, a unique dish made of lahoh (fermented bread) soaked in a spiced yogurt sauce. Another staple is sambosa, crispy triangular pastries filled with meat, cheese, or vegetables, which have become a Ramadan favorite across many countries.

Indonesia: Iftar in Indonesia often begins with kolak, a sweet coconut milk-based dessert with bananas or sweet potatoes.

Turkey: A special Ramadan bread called pide is prepared, often served warm with soup or meat dishes.

Morocco: Harira, a hearty tomato and lentil soup, is a Ramadan staple, often accompanied by chebakia, a flower-shaped sesame cookie.

Despite the variety, these dishes all share something in common: they bring families together and make Ramadan even more special.

Food as a Link to Heritage and Identity

Ramadan cuisine is more than just food—it is a powerful connection to cultural roots. Traditional cooking methods, unique spices, and regional ingredients showcase the heritage of different communities. Some dishes have been passed down for centuries, preserving the flavors of the past.

For many, the act of preparing and sharing Ramadan meals is a way to bring families together and maintain cultural traditions, especially for those living far from home.  Muslims recreate the tastes of their homeland, keeping their identity alive through food.

Ramadan is more than just fasting; it is a celebration of cultural richness. The unique dishes prepared during this holy month reflect the diversity of Muslim communities worldwide while reinforcing the shared values of togetherness and generosity. Through food, traditions are preserved, and connections are strengthened, making Ramadan a truly special time of the year.

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Jika buku karya dosen umumnya berisi rentetan teori dan “sangat akademis” berbeda dengan buku foto yang digarap Dr. Zaki Habibi. Tumpukan gambar yang dipotretnya lebih dari satu dekade akhirnya terbit menjadi buku foto berjudul Abandonded and Beyond.

Buku foto berkonsep artisanal photo book itu telah launching pada 2 Februari 2025 lalu dengan menggandeng beberapa pihak antara lain Gueari Galeri sebagai penerbit hingga yayasan riset visual Mata Waktu.

Dari catatan penulis, materi fotografi di dalamnya sebagian besar berasal dari proyek riset yang dilakukan di beberapa kota termasuk Yogyakarta. Pada momen itu, pemandangan ruang terbengkalai di kota menarik perhatiannya. Hingga, foto-foto yang terkumpul sempat dipamerkan pada gelaran COMART 2015 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Abandoned and Beyond: Sebuah Buku Foto yang Merayakan Keterbengkalaian Ruang Kota

Launching buku Abandoned and Beyond

“Kalau ditanya total prosesnya, 10 tahun,” ungkap Dr. Zaki Habibi, mengenang perjalanan panjangnya.

Setelah dibiarkan tersimpan cukup lama, pertengahan 2023 menjadi babak baru bagi foto-foto ruang terbengkalai. Workshop yang digagas Gueari Galeri bersama Zontiga di Kuala Lumpur menentukan nasib karya Abandonded and Beyond. Proses satu setengah tahun, dengan empat kali pembuatan dummy book beberapa elemen-elemen sensoris dan narasi diciptakan untuk menggugah pembaca.

Satu hal yang diimani dalam buku foto garapannya, tidak seluruhnya berupa gambar. Dari workshop pentingnya desain dan kurasi serta mengurutkan foto menjadi tantangan tersendiri agar narasi sesuai. Sehingga dalam prosesnya tak semua foto terpakai.

“Hasil dari workshop itu yang membuka mata bahwa buku foto enggak harus isinya hanya foto. Bentuk workshopnya digali sama mentornya sampai peserta juga menggali sisi-sisi lainnya, yang paling sulit ada tahapnya mengkonsep, design thingking, selecting, curating, sequencing di fase mengurutkan ini baru ketahuan foto-foto yang kusubmit enggak semuanya bisa kepakai karena buku unu butuh elemen lain,” jelasnya.

90 persen foto yang termuat diambil menggunakan kamera analog yang saat itu tengah terbengkalai juga lantaran sebagian masyarakat beralih dengan kamera digital. Bagian ini menambah narasi pada keterbengkalaian ruang kota.

Pengalaman sensoris dalam buku ini diwujudkan melalui berbagai elemen non cetak seperti bungkus plastik terbakar, karton bekas hingga lakban terbakar yang dikumpulkan dari satu tahun terakhir.  Bahkan beberapa halaman dilengkai QR Code yang isinya track audio dari beberapa foto yang terpotret. Elemen sensoris itu mewakili sentuhan, bau, dan suara.

Dr. Zaki Habibi berujar “Tujuan bukunya bukan informatif, makanya tidak ada caption, tidak ada lokasinya,” ujarnya. Buku ini lebih berfungsi sebagai undangan untuk merenung dan ber-refleksi tentang kondisi kota yang sering terabaikan.

Dari aspek teknis, pendekatan artisanal handmade melibatkan beberapa ahli. Misalnya dalam penjilidan ada Tarlen Handayani atau Vitarlenology seorang ahli konservasi buku, untuk elemen-elemen yang menggunakan teknik pembakaran dibantu oleh Agung Wibowo seorang pengrajin, serta Haya Habibi sang putri yang bertugas menggoreskan efek sobekan-sobekan pada sampulnya.

Buku ini bukan hanya tentang foto atau dokumentasi visual semata, tetapi tentang bagaimana sebuah narasi dan pemikiran mendalam dapat dihadirkan dalam bentuk buku yang menggugah panca indera pembaca. Dengan elemen yang sangat personal dan penuh makna, karya ini adalah perwujudan dari perjalanan panjang yang telah digali selama lebih satu dekade.

Interpersonal Communication Challenges While Fasting

Communication is a fundamental aspect of human interaction that shapes our relationships with others and ourselves. However, during Ramadan, fasting affects both interpersonal communication (the way we interact with others) and intrapersonal communication (our inner dialogue) in unique ways. Ramadan Is a sacred month that fosters spiritual growth, yet It also introduces challenges in maintaining effective communication due to changes In physical and mental states. According to Communication Accommodation Theory (Giles & Coupland, 1991), individuals adjust their communication” styles based on their psychological and physiological conditions. Understanding these differences and finding ways to navigate them can help ensure smoother and more meaningful interactions throughout Ramadan.

Interpersonal Communication During Ramadan vs. Other Months

Interpersonal communication—our interactions with others—is deeply affected by fasting. Throughout the rest of the year, people communicate without significant physical restrictions. However, during Ramadan, fasting alters our energy levels, emotions, and patience, which can influence the way we interact.

  1. Irritability and Short Temper

Outside of Ramadan, people often rely on food and drinks to regulate their mood, making it easier to manage stress and frustration. During Ramadan, hunger and dehydration can make individuals more prone to irritability, leading to misunderstandings and conflicts in daily conversations. According to “Islamic Fasting and Health” by WikiIslam, fasting can cause fluctuations in blood sugar levels, resulting in temporary cognitive impairment, mood swings, and decreased energy levels. These physiological effects explain why individuals might struggle with patience, attentiveness, or effective communication while fasting.

Solution: Practicing patience, using gentle speech, and reminding ourselves of the spiritual purpose of fasting can help maintain positive interactions.

  1. Workplace and Academic Communication

In normal circumstances, productivity and engagement in meetings or discussions are consistent. While fasting, energy levels may drop, especially in the afternoon, leading to reduced focus, miscommunication, or difficulty expressing thoughts clearly.

Solution: Scheduling important discussions earlier in the day when energy is higher and being understanding towards colleagues who are fasting can create a more supportive environment.

Intrapersonal Communication: The Inner Dialogue in Ramadan vs. Other Months

Communication isn’t just about talking to others—it’s also about how we communicate with ourselves. Intrapersonal communication shapes our thoughts, emotions, and actions, and Ramadan brings a shift in this inner dialogue.

  1. Balancing Physical and Mental Well-Being

On normal days, physical comfort often dictates mental state—feeling energized after eating or being irritable when hungry. In Ramadan, fasting teaches self-control, requiring individuals to regulate their thoughts and emotions despite physical hunger or tiredness.

The Prophet (peace be upon him) said: “Whoever does not give up false speech and evil actions, Allah is not in need of his leaving his food and drink.” (Sahih al-Bukhari, 1903)

Solution: Recognizing that emotions are temporary and focusing on spiritual goals rather than physical discomfort can strengthen self-discipline.

  1. Increased Self-Reflection

Outside of Ramadan, people often engage in self-talk that revolves around daily responsibilities, stress, and future plans.In Ramadan, there is a stronger focus on self-reflection, spirituality, and personal growth, as emphasized in the Qur’an:

 “you who have believed, fasting has been prescribed for you as it was prescribed for those before you, that you may attain Taqwa (consciousness of Allah).” (Surah Al-Baqarah 2:183)

Solution: Using this time for positive self-talk, gratitude, and setting meaningful intentions can enhance both spiritual and emotional well-being.

Ramadan presents both unique challenges and opportunities for interpersonal and intrapersonal communication. While fasting may test our patience and energy, it also fosters deeper self-awareness and encourages stronger, more meaningful connections with others. By practicing patience, adjusting our communication styles, and being mindful of our inner dialogue, we can navigate conversations more effectively.

As we embrace the essence of Ramadan, let’s make a conscious effort to communicate with kindness, understanding, and self-awareness. Whether engaging in conversations with others or reflecting within our own minds, effective communication will not only make fasting easier but also enhance the true spirit of this sacred month.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

This was the first Ramadan for Thrya, an IPC student. It was a different experience from where he lives in Yemen.

This was the first Ramadan for Thrya, an IPC student. It was a different experience from where she lives in Yemen.

Ramadan away from home can be a bittersweet experience, but there is something truly special about observing it in Indonesia. While it may be different from what I was used to back home, the warmth and welcoming atmosphere of Ramadan around campus make it a memorable experience. The spirit of togetherness, the sense of community, and the shared excitement for iftar and Tarawih prayers create a unique vibe that makes this Ramadan stand out.

A Ramadan Unlike Any Other

This Ramadan is unlike any I have experienced before. For the first time, I find myself balancing university classes, assignments, and cooking meals, all while trying to maintain the spiritual essence of the holy month. Back home, Ramadan felt easier with family support—meals were prepared, and daily schedules were adjusted to accommodate fasting. However, as an international student, I now have to manage my time efficiently to ensure I don’t miss out on the blessings of this month. Finding time for Tarawih prayer after long, busy days is challenging, but it’s a commitment that strengthens my faith and discipline.

The Beauty of Iftar Gatherings

One of the things I love the most about Ramadan in Indonesia is the way people come together for iftar. Many students, like me, are away from their families, yet they make an effort to recreate the warmth of home by breaking their fast with friends. Whether it’s in dormitories, rented rooms, or university spaces, the joy of sharing meals brings comfort and a sense of belonging. The university also organizes special Ramadan activities, fostering a strong community spirit. Seeing people from different backgrounds unite in the spirit of Ramadan is truly heartwarming.

Lessons Learned from Ramadan in Indonesia

Beyond the spiritual significance, the first days of  Ramadan in Indonesia has been a learning experience. It has taught me:

  1. Independence and Time Management – Managing fasting, studies, and personal responsibilities requires discipline and organization.
  2. The Importance of Community – Even when far from home, the kindness and generosity of people around can make Ramadan fulfilling.
  3. Patience and Gratitude – Witnessing the way Indonesians celebrate Ramadan with simplicity and devotion has deepened my appreciation for the essence of this month.

Despite the differences, I feel this  Ramadan in Indonesia is going to be an enriching and unforgettable experience. The warmth of the people, the beauty of shared iftar moments, and the spiritual growth I have seen makes it truly special. While I may miss home, I have found a new kind of family here, and that is the essence of Ramadan—unity, gratitude, and faith.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Gara-gara Skripsinya yang Unik Alumni Ilkom Diundang Podcast Raditya Dika, Bagaimana Prosesnya?

Empat tahun berlalu skripsi alumni Ilmu Komunikasi UII menjadi perhatian publik. Riset berjudul Simbolisme Bromance Raditya Dika dan Pandu Winoto dalam Channel YouTube Raditya Dika membawa Pandu Bagus Pratama duduk di studio dalam podcast Raditya Dika.

Ia diundang oleh Raditya Dika untuk melakukan rekaman podcast pada 17 Februari 2025, akhirnya podcast bertajuk Saya dan Pandu Jadi Objek Penelitian tayang pada 28 Februari lalu.

Menariknya, banyak hal-hal yang tak terungkap dalam podcast tersebut. Ia mengaku gugup harus berhati-hati untuk menghindari komentar yang tak diinginkan oleh netizen di kolom komentar.

Hal yang tak terungkap di Podcast Raditya Dika

Menariknya, sejak awal Pandu ingin memberitahu Raditya Dika tentang skripsi yang telah digarap. Namun, keinginan itu dikubur dalam-dalam karena ia berfikir tak akan direspon. Ternyata, keinginannya justru terwujud lewat unggahan Raditya Dika di Instagram.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/simbolisme-bromance-raditya-dika-dan-pandu-winoto-dalam-channel-youtube-raditya-dika/

“Dari dulu sebenarnya sudah ingin mengirim DM Bang Radit tapi kayaknya enggak mungkin deh. Gak mungkin direspon segala macem,” ujarnya saat dihubungi lewat Zoom Meeting.

Selain itu, Pandu yang terlihat banyak lupa dengan isi skripsinya bukan karena tak membaca ulang hal itu dilakukan agar podcast berjalan natural. Empat tahun berlalu akan sangat tidak realistis jika hafal keseluruhan.

“Sebenarnya lupanya bukan karena aku lupa udah lama, lupanya karena nervous. Sedikit (membaca ulang) enggak terlalu, karena aku memang ingin natural,” ucapnya.

Proses pembuatan podcast berlangsung singkat, tim dari Raditya Dika hanya memberikan briefing untuk mengikuti alur pertanyaan yang dilontarkan Raditya Dika maupun Pandu Winoto.

“Itu benar-benar natural banget, sama tim debriefing dulu “kamu nanti ikuting Bang Radit saja”. Sebelumnya juga enggak ngobrol dulu sama Bang radit Bang Pandu. Dan setelah itu juga enggak ketemu lagi, ngobrol dikit selesai,” katanya mengingat proses take video podcast.

Pembawaan Pandu yang malu-malu dan sedikit gugup bukan tanpa alasan. Podcast tersebut akan ditonton netizen di seluruh Indonesia.

“Itu memang aku ditanya malu-malu, memang aku tidak mau ngebuka semuanya. Malu lah, kalo semua dijawab. Aku bawa diriku sendiri dan ada nama kampus, nama-nama teman aku takutnya mereka kebawa aku jadi beban, aku enggak mau,” jelas Pandu

Meski demikian, undangan dari raditya Dika tak disia-siakan. Baginya itu merupakan peluang dan kesempatan emas.

“Yang aku harapkan enggak usah muluk-muluk itu priviledge banget, aku juga ngefans sama bang Radit sama bang Pandu dan suka nonton kontennya. Dan ke depannya pasti aku dapet relasi dari hal itu, mungkin ada kerjaan atau sekedar kenalan saja tidak apa-apa. Dan ternyata memang benar setelah diundang ada yang hubungin, kenal juga sama timnya beberapa. Jadi lebih banyak orang yang tahu,” tandasnya.

Ternyata setelah podcast tayang, jumlah pengikutnya di media sosial mengalami kenaikan mesti tak banyak.

“Pasti (followers Instagram meningkat) meskipun tidak banyak, ratusan sih. Tapi trafficnya naik banget. Tiba-tiba ada orang random mengirim DM,” tandasnya.

Bagi kamu yang penasaran dengan podcast alumni Ilmu Komunikasi, klik laman berikut ya Comms: https://www.youtube.com/watch?v=cQZqoUI2PDo