Melacak Jejak Sejarah Penyiaran: Prof. Masduki Berbagi Ilmu di University of Amsterdam

Pada tanggal 17 Juni 2025, Prof. Masduki, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), diundang sebagai pembicara dalam sebuah seminar yang dihelat oleh Amsterdam School of Historical Studies di University van Amsterdam (UvA), Belanda. Berlangsung di gedung bersejarah Bushuis, Kloveniersburgwal 48, pusat kota Amsterdam, agenda ini menjadi ruang dialektika akademik bertema “Politics of International Broadcasting on the End of Dutch Colonialism, Japanese Occupation, and Post-Independence Period in Indonesia.”

Turut hadir para peneliti media, mahasiswa doktoral, dan dosen senior, termasuk Vincent Kuitenbrouwer, akademisi UvA yang selama ini aktif meneliti sejarah media cetak-radio pada era kolonial di Afrika dan Asia.

Prof. Masduki mengawali presentasi berdurasi 1,5 jam tersebut dengan mengajak peserta untuk menyegarkan kembali ingatan tentang perjalanan sejarah, struktur, dan dinamika politik penyiaran di Indonesia sejak akhir masa kolonial hingga pasca-kemerdekaan. Ia menyoroti bagaimana struktur politik kolonial membentuk orientasi dan tata kelola dunia penyiaran, menciptakan kontestasi abadi antara negara, media, dan masyarakat.

“Saya tidak hanya mendapat pertanyaan tapi tambahan data dan analisa/kritik yang tajam,” ungkapnya.

Melalui pendekatan historical comparative, presentasi ini juga mengulas keberlanjutan nuansa persinggungan antara semangat resistensi Timur dan pengaruh Barat dalam regulasi penyiaran sejak era kolonial hingga revisi UU Penyiaran dalam 15 tahun terakhir.

Di tengah diskusi yang serius namun dinamis, kehadiran empat mahasiswa doktoral asal Indonesia menambah warna tersendiri, khususnya tiga di antaranya yang terinspirasi riset Prof. Masduki mengenai cybertroops di Asian Journal of Communication (2022). Mereka kini meneliti fenomena eco-Islam dalam gerakan anak muda ormas Islam di Indonesia salah satu bukti nyata pengaruh kajian lintas disiplin komunikasi-politik.

Lebih jauh, Prof. Masduki juga berbagi kisah penelitiannya yang tertuang dalam disertasi S3 di University of Munich, kini telah diterbitkan menjadi buku “Public Service Broadcasting and Post-Authoritarian Indonesia” (2021). Ia memperlihatkan pola-pola pengawasan mulai dari duopoli terbatas di era Belanda, monopoli di masa Jepang, hingga pola hibrida pada masa Sukarno, Suharto, dan era reformasi. Dinamika antara kontrol negara melalui anggaran dan sumber daya manusia dengan tuntutan kebebasan serta otonomi media menjadi benang merah sejarah berdarah penyiaran Indonesia.

Diskusi semakin menarik saat para peserta menyoroti pentingnya pendekatan dekolonial dalam membaca arsip-arsip suara dan visual, bukan sekadar teks. Vincent Kuitenbrouwer secara khusus menekankan pentingnya meneliti artefak audio-visual sebagai sumber sejarah dalam perspektif dekolonisasi, sekaligus merayakan situs-situs radio kolonial di Jakarta, Yogyakarta, dan Solo termasuk kiprah SRV Solo sebagai pusat perlawanan terhadap dominasi radio kolonial.

Seminar ini bukan hanya mempererat jejaring akademik lintas negara, melainkan menjadi pemanasan bagi proyek kolaboratif multiyears yang berjudul ‘Distant Voices: Uncovering the Agency of Indonesian Broadcasters at Radio Netherlands Wereldomroep (1945-1965)’, yang didanai oleh NWO Belanda dan melibatkan peneliti dari UII, UGM, Filipina, serta UvA. Dengan menjelajah situs sejarah tanpa bias romantisme atau jebakan Eurocentrism, Prof. Masduki dan kolega berkomitmen membuka horizon baru studi media lintas disiplin dan lintas bangsa.

Pengalaman Prof. Masduki di Amsterdam menegaskan betapa kolaborasi, kebebasan akademik, dan keterbukaan terhadap pendekatan kritis menjadi kunci untuk menghidupkan kembali sejarah media dan komunikasi di Indonesia. Segenap penghargaan layak disematkan kepada semua pihak terutama Vincent, Barbara, dan Amsterdam School of Historical Studies yang membuka ruang tersebut.

language

The rapid advancement of technology has fundamentally reshaped how humans communicate. In the digital age, the integration of smartphones, social media, and instant messaging platforms has not only expanded communication channels but also accelerated language change itself. Scholars have increasingly focused on understanding how digital communication affects linguistic structures, communication patterns, and sociolinguistic dynamics.

This article examines the impact of digital media on linguistic simplification, the evolution of communication patterns, and the emergence of new sociolinguistic norms within global communities.

Linguistic Simplification and Creativity in Digital Spaces

One of the most visible impacts of digital communication on language is the trend toward linguistic simplification. Social media platforms like Twitter and TikTok foster shortened expressions through abbreviations, acronyms, and phonetic spellings, often motivated by character limits and the desire for speed. Terms like “LOL” and “OMG” have not only infiltrated casual conversation but also appear increasingly in professional and academic environments.

The global nature of digital platforms further enhances this trend, with similar simplifications observed across languages, such as Spanish and French speakers adapting their forms of phonetic spelling. Additionally, the inclusion of emojis and visual symbols enriches text-based communication, compensating for the absence of non-verbal cues and adding emotional nuance. Digital platforms thus serve as both catalysts of linguistic economy and spaces for creative expression, blurring the boundaries between written and visual language forms.

Transformation of Communication Patterns

Beyond language structure, digital technologies have revolutionized how individuals interact. Social media platforms and instant messaging applications enable real-time, asynchronous, and mass communication, replacing many face-to-face interactions. The formation of online communities around shared interests fosters new communication patterns and linguistic norms, where digital-specific terms like “hashtag” or “retweet” signify not only technology but culture.

Digital environments prioritize brevity and responsiveness, shifting communication toward short-form exchanges that prioritize speed over depth. However, these transformations are not without drawbacks. Online interactions often lack the subtle cues of tone and body language, leading to increased potential for miscommunication. Moreover, the prevalence of echo chambers and algorithmic filtering can narrow linguistic diversity and limit exposure to varied discourse. Nevertheless, digital platforms offer unprecedented opportunities for global discourse and the formation of transnational communication networks.

Sociolinguistic Dynamics and Identity in Digital Spaces

In the digital age, language is a tool for both social belonging and identity construction. Online spaces enable code-switching, hybrid language use, and even the preservation of minority languages, contributing to dynamic sociolinguistic landscapes. Digital communities develop their linguistic norms, fostering inclusivity for some users while marginalizing others due to digital divides or lack of technological access. For multilingual users, the flexibility of switching languages within a single post has become common, reflecting fluid cultural identities.

Influencers and viral content creators further act as agents of linguistic change, popularizing new words and phrases that transcend geographic boundaries. This phenomenon positions social media as a powerful force in shaping both mainstream and subcultural linguistic norms. However, the risks of linguistic homogenization and the dominance of global languages like English highlight the need for continuous monitoring of how digital platforms affect linguistic diversity and cultural representation.

In conclusion, language in the digital age is characterized by simplification, innovation, and adaptability. Social media and digital technologies have not only accelerated the pace of language evolution but also diversified the ways humans express identity and communicate across cultural boundaries. The interplay between linguistic economy, creative expression, and new communication patterns underscores the role of technology in redefining both language structure and sociolinguistic norms. As digital media continues to evolve, its influence on language use and global communication will remain a critical area of research, with implications for education, cultural preservation, and societal interaction.

References

Gershon Kofi Ladzekpo. (2023, December 19). Language and Communication in the Digital Age: The Study of How New Technologies and Digital Media are Affecting Language Use, Communication Patterns, and Sociolinguistic Dynamics. Journal of Literature and Linguistics Studies. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Paper+TEMPLATE+Language+and+Communication+in+the+Digital+Age+The+Study+of+How+New+Technologies+and+Digital+Media+are+Affecting+Language+Use,+Communication+Patterns,+and+Sociolinguistic+Dynamics+(2)%20(1).pdf

Lilis Lamsehat Panjaitan1 and Aditya Nur Patria. (2024, December 06). Social Media and Language Evolution: The Impact of Digital Communication on Language Change. International Journal of Linguistics, Literature and Translation. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/589737-social-media-and-language-evolution-the-f648e1c9.pdf

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Visiting Professor: Method Workshop Arts-based Research

Pertanyaan sederhana dalam workshop kedua “apakah seni mampu menyadi alat dalam penelitian akademik?” jawabannya bisa. Menarik untuk ditelisik.

Sesi diskusi bersama Nico Carpentier, Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic mengiyakan bahwa kajian ini dibahas mendalam dalam art-based research.

Workshop art-based research fokus pada penelitian berbasis seni. Di Jurusan Ilmu Komunikasi UII, sebagian dosen telah melakukannya. Hasilnya bermacam-macam mulai dari film, buku foto, dan kekaryaan lainnya.

Art-based research sebuah pendekatan yang kerap disebut pergeseran-artistik di dunia akademik lantaran seni dan penelitian saling beririsan. Seolah menantan metode tradisional, art-based research menawarkan untuk memperluas pengetahuan dengan melampau rasionalitas (unsur perasaan, emosi, pengalaman indrawi).

Pendekatan ini menerima kompleksitas dan hibriditas. Disaat bersamaan peneliti harus menyeimbangkan perannya sebagai seniman sekaligus akademisi.

“Arts-Based Research is not only about knowledge but about feeling, experience, and the complexity of being both artist and academic—interacting without hierarchy, embracing hybridity as a source of insight,” jelas Nico.

Seni menjadi alat untuk penyelidikan dan komunikasi, bahasa berperan untuk mengekspresikan pengalaman manusia. Arts-based research menyoroti pentingnya interaksi, kolaborasi, dan kerendahan hati (tidak ada posisi superior).

Dalam penerapannya, art-based research digunakan dalam berbagai tahap mulai pengumpulan data, analisis, interpretasi, hingga presentasi (baik dalam riset seni maupun ilmu sosial). Biasanya hasilnya tentu adalah fitu-fitur estetika.

Dengan menggabungkan kepekaan artistik dan ketelitian akademik, mampu memberikan pemahaman dan representasi yang baru.

Meski nampaknya menarik, art-based research memiliki tantangan terutama soal ekspektasi politi dan epitemologis, hingga pengembangan keterlibatan kritis.

Tujuan Art-based Research

  1. Mengkomunikasikan hasil akademik menggunakan cara non tekstual
  2. Menjangkau audiens non-akademis
  3. Merangsang perdebatan masyarakat

Perbedaan Art-Based Research dengan Metode Lainnya

Quantitative Qualitative Art-based
Numbers Words Stories, images, sounds, scenes, sensory
Data discovery Data collection Data or content generation
Measurement Meaning Evocation
Tabulating writing (Re)presenting
Value neutral Value laden Political, consciousness-raising, emancipation
Realiability Process Authenticity
Validity Interpretation Truthfulness
Prove/convince Persuade Compel, move, aesthetic power
Generalizability Transferability Resonance
Diciplinary Interdisciplinary Transdisciplinary

Usai workshop, para peserta yakni para dosen dan staf Jurusan Ilmu Komunikasi UII diajak berkeliling untuk menyaksikan Photomontage Exhibition: The Construction of Europeanity in the House of European History by Nico Carpentier.

Workshop Art-based Research dalam sesi visiting professor dihelat oleh Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII.

Visiting Professor: #1 Workshop Participatory Action Research

Participatory Action Research (PAR) merupakan pendekatan penelitian yang memprioritaskan nilai pengetahuan pengalaman untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan ketidakadilan sistem sosial.

Workshop Participatory Action Research dalam sesi visiting professor yang dihelat oleh Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UII difasilitasi oleh Nico Carpentier, Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic.

Nico menyebut jika PAR penuh dengan “kolaboratif dan reflektif” yang melampaui kekuasaan tradisional di dunia akademis. Ada pembagian wewenang antara peneliti dan peserta (narasumber).

“Participation is not simply an invitation to contribute; it is a collaborative process that challenges traditional authority and power structures, fostering a shared journey of reflection and action,” jelas Nico.

Proses PAR bersifat jangka panjang dan siklikal, Nico menyebut “plan – action – observe – reflect” dan begitu seterusnya hingga mendapatkan hasil.

Dalam PAR mengakui subjektivitas dan bias sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga dalam pelaksanaanya penggunaan bahasa (fungsional) saat wawancara perlu dilakukan secara hati-hati demi mengatur dinamika kekuasaan. Karena bahasa mampu mempengaruhi hubungan bahkan memperkuat otoritas.

Pada dasarnya, participatory action research menghormati pengalaman semua pihak yang terlibat. Di Indonesia bisa disederhanakan dengan kalimat “tidak sok tau”.

Karakter PAR

  1. Didorong oleh peserta (sekelompok orang yang memiliki kepentingan dalam isu lingkungan yang diteliti).
  2. Bukan oleh sponsor, pemberi dana, atau akademisi dari luar (meskipun mereka mungkin diundang untuk membantu).
  3. Menawarkan model demokratis tentang siapa yang dapat memproduksi, memiliki, dan menggunakan pengetahuan.
  4. Kolaboratif di setiap tahap, melibatkan diskusi, menggabungkan keterampilan, dan bekerja sama.
  5. Ditujukan untuk menghasilkan tindakan, perubahan, atau perbaikan terhadap isu yang diteliti.

Prinsip-prinsip PAR 

  1. Penelitian tindakan adalah proses pemecahan masalah yang direncanakan dan dapat berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk mengkaji dan memecahkan masalah sosial dan organisasional.
  2. Penelitian tindakan adalah proses di mana hubungan antara peneliti dan semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut dikelola secara demokratis, kooperatif, dan egaliter.
  3. Kelompok kecil berfungsi sebagai sarana utama untuk mencapai perubahan sosial.
  4. Penelitian tindakan adalah proses yang memanfaatkan pengetahuan ilmiah dari ilmu sosial dan perilaku, dan disesuaikan secara cermat dengan konteks di mana intervensi dilakukan. Proses ini menciptakan dan menerapkan metode intervensi yang relevan serta mengukur dampaknya.

Harapannya dalam workshop ini peserta yakni para dosen Ilmu Komunikasi UII mampu melakukan riset dan mengaplikasikan metode tersebut agar koneksi lebih mendalam, dialog berkelanjutan, dan pemberdayaan yang mutual.

Photomontage Exhibition

Setelah dipamerkan pada konferensi IAMCR di Singapura pekan lalu, 19 fotomontase karya Nico Carpentier dipamerkan di selasar FISB dan FPsi UII mulai 21 – 25 Juli 2025. Bertajuk “A visual essay on the House of European History’s constructions of Europeanity” exhibition ini mengusung konsep esai visual tentang pembentukan identitas Eropa melalui refleksi visual dengan 19 fotomontase.

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor in Media and Communication Studies, Centre for Media Studies, Institute of Communication Studies and Journalism, Faculty of Social Sciences, Charles University, Prague, Czech Republic.

Walk in Exhibition

Terbagi menjadi empat bagian, pengunjung akan diajak membaca lebih dalam terkait Europeanity, atau apa artinya menjadi eropa yang beragam makna. Pada bagian pertama sebuah tulisan berjudul “A visual essay on the House of European History’s constructions of Europeanity” akan menyambut pengunjung.

Singkatnya, House of European History (HEH) mengungkap ke-Eropa-an adalah konsep yang diperdebatkan, esensi yang dinamis. Dari pameran Nico Carpentier, metode fotomontase esai visual mengungkap narasi HEH bagiamana menyeimbangkan keragaman, menyoroti ketegangan (eksklusi) kelompok termarjinalkan di wilayah pinggiran.

Nico nampaknya ingin menyampaikan perjuangan politik dalam membentuk identitas Eropa. HEH berusaha memunculkan sejarah yang “polysemic dan inklusif”. Meski demikian masih ada celah, memicu refleksi kritis “apa artinya menjadi Eropa?”.

Setelah menyelesaikan esai pertama, saatnya menyusuri deretan foto-foto yang diawali dengan narasi-narasi hasil riset yang dilakukan Nico dan tim.

European Fluidities

Setelah menyelesaikan esai pertama, pengunjung akan menemukan ke-kakuan Eropa. Ada batas geografis Eropa yang tidak jelas seperti kasus ambigu seperti Rusia, Turki, dan Ukraina hingga muncul status yang kompleks wilayah UE dan non-UE. Pameran ini menekankan bahwa Eropa menjadi ruang politik yang diperebutkan. Bahkan ketegangan terus berlanjut dalam membentuk identitas Eropa.

Limits to fluidity (part 1)

HEH bertujuan menampilkan identitas Eropa (dinamis dan non esensialistis). Meski demikian melalui asosiasi Eropa seperti nilai kebebasan, demokrasi, supermasi hukum, hak asasi manusia unsur esensial masih terlihat. Tercermin pada patung “Vortex of History” tentang sejarah sebagai perkembangan menuju kemajuan.

Limits to fluidity (part 2)

Bagian ini menampilkan bahwa migrasi digambarkan dari sudut pandang imigran adalah minoritas. Dalam pandangan Eropa sebagai entitas rasial homogen, dianggap tak mewakili masyarakat asli misalnya Roma.

Bagi anda yang ingin mengetahui lebih detail pameran fotomentase dari Nico Carpentier, bisa mengunjungi selasar Gedung FISB dan FPsi.

Pak Rektor Mengajar: Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi

Pemanfaatan artificial intelligence (AI) dalam dunia akademik nampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Alih-alih menyelesaikan tugas secara efisien, justru AI semakin mengambil peran dominan dan menguasai cara berfikir. Bagaimana seharusnya?

Dalam sesi kuliah pakar bersama Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. pada Sabtu, 19 Juli 2025 keabu-abuan AI dalam bidang akademik dibahas mendalam dalam materi bertajuk “Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi”. Dibuka dengan ilustrasi suasana ruang kelas SD, salah satu siswa menggunakan kalkulator sementara siswa lainnya mengerjakan tanpa bantuan alat.

Sekitar lima menit ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi diajak menganalisis ilustrasi tersebut. “Bagaimana pendapat anda terkait ilustrasi yang saya buat dengan AI ini?” ujar Pak Rektor. Jawaban beragam, mulai dari cara cepat mendapatkan hasil, ketergantungan terhadap alat, hingga perspektif ketidakadilan.

Pertanyaan dilempar ulang, “kalau yang menggunakan kalkulator adalah pedagang di pasar?” seluruh mahasiswa sepakat menjawab tak keberatan. Sama halnya dengan AI, ada etika dalam pemanfaatannya.

Meski demikian, Pak Rektor menekankan bahwa kehadiran AI tidak untuk ditolak melainkan menempatkan AI sebagai mitra kolaborasi yang adil.

“Pendekatan etis dan kolaboratif untuk mengembangkan AI sebagai mitra, bukan pengganti,” ujarnya.

“Perlu perdebatan kritis dan partisipatif untuk arah perkembangan AI yang adil,” tambahnya.

Sementara realita penggunaan AI dalam bidang akademik semakin menjauh dari etika. Secara sadar beberapa mahasiswa memanfaatkannya untuk mengambil alih pengerjaan proyek riset. Riset dari Tirto.id bersama Jakpat tahun 2024 menunjukkan jika 86,21 persen responden (mahasiswa dan siswa SMA) menggunakan AI untuk meyelesaikan tugasnya.

Menyerahkan sepenuhnya tugas pada AI sangat berdampak, secara umum manusia akan kehilangan otonomi berfikir.

“Membuat kalimat saja tidak otonom, membuat kalimat saja diserahkan ke AI. Kita kehilangan kemampuan pengambilan Keputusan,” jelas Pak rektor kepada mahasiswa.

Lebih luas, dampak dalam masyarakat akan menyebabkan terganggunya demokrasi, ekonomi, hingga keadilan. Di Hollywood beberapa pekerja seni, perawat, dan pekerja lainnya melakukan pemogokan kerja selama lima bulan lantaran sistem pengumpulan informasi pada mesin AI mengmbil karya dan riset mereka tanpa persetujuan.

“Karena model AI menggunakan rujukan karya mereka tanpa concern. Ada basis data untuk belajar, dari sini akan digunakan untuk rujukan. Memuat referensi karya-karya tanpa persetujuan,” jelasnya.

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Nilai-Nilai Dasar

Empat nilai dasar yang menjadi landasan bagi sistem AI yang bekerja untuk kebaikan umat manusia, individu, masyarakat, dan lingkungan.

  1. Menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak asasi manusia, kebebasan dasar, dan martabat manusia
  2. Hidup dalam masyarakat yang damai, adil, dan saling terhubung
  3. Menjamin keragaman dan inklusivitas
  4. Kesejahteraan lingkungan dan ekosistem

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Prinsip-Prinsip

  1. Berproporsi dan tidak merugikan
  2. Keamanan dan keselamatan
  3. Keadilan dan non-diskriminasi
  4. Keberlanjutan
  5. Hak privasi dan perlindungan data
  6. Pengawasan dan keputusan manusia
  7. Transparansi dan keterjelaskan
  8. Tanggung jawab dan akuntabilitas
  9. Kesadaran dan literasi
  10. Pemerintahan dan kolaborasi multi-pihak yang adaptif

Lantas, apakah mahasiswa boleh menggunakan AI dalam menyelesaikan tugasnya? Jawaban Pak Rektor “jangan sampai kehadiran AI menginjak martabat manusia,” jawabnya lugas.

Visiting Professor
Visiting Professor

Visiting Professor

Magister Ilmu Komunikasi UII menggelar:
International Seminar
Citizen Parliament on Media and Democracy: A Tool for Democratic Renewal

PEMBICARA:
Nico Carpentier
Extraordinary Professor in Media and Communication Studies,
Charles University, Prague, Czech Republic

Vaia Doudaki
Associate Professor, Institute of Communication Studies and Journalism,
Charles University, Prague, Czech Republic

Kamis, 24 Juli 2025
⏰ 09.30 – 12.00 WIB
Auditorium Room, Lantai 3
Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) UII
Jl. Kaliurang Km.14,5, Yogyakarta

Terbuka untuk umum!
️ Registrasi gratis: bit.ly/hadirMIKOMUII
(Batas registrasi: Selasa, 22 Juli 2025)

AI

Peran artificial intelligence (AI) dalam industri kreatif memiliki dampak yang signifikan, di media sosial para kreator berlomba-lomba menciptakan karakter-karakter animasi yang menarik perhatian publik.

Sejak awal tahun 2025, konten-konten remake animasi yang mendekati realita ramai dibuat dengan berbagai aplikasi AI. Sebut saja akun Instagram @catatanfilm yang menampilkan karakter animasi asal Malaysia, Upin & Ipin yang direkayasa seolah diperankan aktor nyata seolah tak ada cacat.

Unggahan @catatanfilm seolah memberi referensi animasi Upin & Ipin jika diadaptasi menjadi film live-action dengan aktor manusia. Menariknya kinerja AI dalam pembuatan tokoh memiliki akurasi tingga dalam menyesuaikan karakter tokoh dalam animasi buatan Les Copaque.

Hal ini membuktikan jika perkembangan AI begitu masif, karya kreatif dari tulisan, gambar, video, hingga suara mampu diwujudkan menjadi sebuah karya kompleks yang meyakinkan. Menanggapi hal itu, dosen Ilmu Komunikasi UII, Anggi Arifudin Setiadi, S.I.Kom., M.I.Kom sebagai akademisi sekaligus praktisi menyebut jika AI tak sepenuhnya menghadirkan karya yang sesuai dengan ekspektasi manusia.

Ada sisi yang tak akan terganti, mulai dari human touch hingga logika kritis. Berikut wawancara terkait AI dalam industri kreatif yang dijawab langsung oleh praktisi bidang desain dan animasi:

  1. Sebagai seorang akademisi sekaligus praktisi dalam industri kreatif (desain grafis dan animasi) bagaimana pendapat anda tentang masifnya perkembangan AI?

Terkait dengan perkembangan AI sangat cepat, kemarin habis pelatihan AI juga kan, dan itu setelah seminggu sudah ada yang namanya Google VEO 3, saya melihat itu sangat cepat sekali. Ketika saya melihat potensi itu sebenarnya kita bisa menjadikan itu sebagai referensi. Jangan sampai AI ini benar-benar mengantikan. Karena saya pernah dengar dari quotes-nya CEO Nvidia, bahwa AI itu tidak mengantikan manusia, tapi bagaimana manusia itu bisa memperkerjakan AI itu sendiri. Menurut saya di era sekarang, paling tidak kita harus tahu bagaimana kinerja AI. Walaupun di AI itu kita harus tahu terkait dengan storytelling atau promptingnya seperti apa. Karena kalau tidak tahu, ya tidak akan bisa membuat sebuah karya AI yang bagus.

  1. Bagaimana melihat peluang perkembangan AI, atau justru semakin khawatir?

Kekhawatiran itu pasti ya, beberapa kali ini saya juga sempat khawatir terkait dengan desain. Karena beberapa aplikasi besarpun sudah menggandeng AI. Tapi ternyata setelah saya dalami, untuk AI ini sebagai dalam tanda kutip “membantu”. Membantu menyelesaikan pekerjaan kita. Sehingga ketika kita menggunakan AI, kita posisikan sebagai add-on-nya. Sehingga ketika kita mengerjakan desain misalnya, ya sudah kita buatkan draft-nya seperti apa, sehingga kita paham bagaimana menggunakan AI.

Apalagi di industri sekarang tidak hanya AI berupa tulisan.  Kita bisa menggunakan gambar, gambar menjadi bergerak, gambar menjadi bergerak kemudian bisa menambahkan dan membuat musik, musik dijadikan video klip, dan segala macam. Kita bisa mengkolaborasikan itu untuk referensi. Karena feel-nya tetap dapatnya ketika kita mengerjakan sendiri, jadi sisi humanisnya itu akan berbeda sekali.

  1. Lantas, artinya pentingbagi mahasiswa mengikuti perkembangan AI dalam membuat karya kreatif?

Untuk mahasiswa, saya rasa penting ya mengikuti trend itu. Karena lagi-lagi ini switching teknologi. Dulu kita belum ada smartphone, terus kita ke smartphone tiba-tiba. Tapi karena ini sangat masif AI itu kan cepat banget ya di era VUCA ini. Jadi sangat perlu kita mencoba elaborasi dengan AI sehingga teman-teman mahasiswa pun juga bisa mengkolaborasika. Misalnya teman-teman mau membuat storyboard, wah bingung nggak bisa gambar, ya sudah pakai AI saja itu juga sudah membantu. Tapi lagi-lagi ketika eksekusi, tentunya ketika kita menggunakan AI, coba deh beberapa scene misalnya itu akan berubah-ubah gambarnya tidak sesuai dengan kita.

Misalnya dari ke-actingannya, dari lighting-nya, dari cara pengambilan gambarnya itu sangat berbeda sekali. Tapi intinya buat mahasiswa, agar bisa menggunakan AI dengan baik, ya tentunya kita harus bisa berpikir kritis. Karena di AI itu tidak mungkin bisa berpikir kritis. Tentunya itu yang menjadi PR kita gitu ya. Apalagi di Ilmu Komunikasi, berpikir kritis itu sangat dibutuhkan ketika teman-teman akan menggunakan prompt untuk AI.

Lantas, bagaimana menurutmu Comms apakah kamu salah satu yang sudah mengelaborasikan AI dalam karya kreatif?

Menentukan Judul Skripsi dengan Tepat dan Fokus pada Hasil Riset

Judul pada skripsi yang baik cenderung singkat namun deskriptif. Secara umum judul merangkum ide utama pada riset yang dilakukan. Namun, apakah judul skripsi harus ditulis pada langkah pertama penyusunan proposal?

Langkah pertama dalam membuat proposal tentu menetapkan judul awal. Meski demikian judul ini bersifat sementara, masih bisa berubah seiring berjalannya proses riset. Judul awal akan membantu penulis untuk memberikan batasan kajian riset. Selanjutnya judul tetap idealnya akan ditulis paska penulisan abstrak.

Urgensi dalam menentukan judul skripsi memegang peranan yang signifikan. Apalagi jika penulis berkeinginan mempublikasikannya di jurnal. Melalui judul, editor dan reviewer akan memutuskan kelayakan riset untuk diterima atau ditolak. Dengan judul yang ringkas dan relevan akan meningkatkan sitasi pada riset yang telah dipublikasikan.

Sebagai informasi, beberapa tipe judul skripsi biasanya memiliki narasi-narasi yang berbeda. Tipe-tipe judul antara lain deskriptif atau netral, deklaratif, dan interogatif. Tipe tersebut dipilih berdasarkan kecenderungan kajian yang didalami. Meski demikian, pastikan judul mencakup semua aspek yang relevan dari studi yang dilakukan.

Karakter Judul Skripsi

  1. Subjek dan ruang lingkup studi disampaikan secara akurat
  2. Tidak menggunakan singkatan
  3. Menggunakan terminologi terkini
  4. Berisi narasi hipotesis
  5. Mengidentifikasi variabel kunci baik dependen maupun independent
  6. Ada batasan kata, 10 hingga 15 kata substansial
  7. Penulisan kapitalisasi pada setiap kata, termasuk sub judul

Cara Menentukan Judul Skripsi

Setelah mengetahui urgensi dan karakter judul skripsi, waktunya untuk mengaplikasikannya pada judul skripsi. Berikut langkah atau cara menulis judul skripsi dengan efektif:

  1. Menyampaikan Temuan Utama pada Penelitian

Pahami dan tulis fokus studi yang ditemukan serta metode yang digunakan. Lalu identifikasi satu atau dua kata kunci, gabungkan elemen tersebut.

  1. Pilih Tipe Judul

Setelah melakukan penelitian bagaimana temuan dalam riset? Temuan dalam riset memiliki peran penting terkait apa yang harus ditonjolkan, tipe apa yang tepat deskriptif (memiliki unsur pokok tema, subjek, desain, perbandingan, dan hasil), deklaratif (menyatakan temuan utama studi dalam judul itu sendiri), interogatif (judul yang mengandung pertanyaan atau pernyataan penelitian).

  1. Tuliskan Judul dengan Menarik

Menciptakan judul yang menarik butuh pengalaman membaca, sebaiknya perbanyak membaca literatur riset-riset sebelumnya. Judul yang menarik penting dalam pencarian platform online terhadap relevansi artikel.

  1. Hindari Klaim tanpa Bukti

Alih-alih ingin menciptakan judul yang menarik, justru akan menurunkan kualitas publikasi. Setiap klaim yang ditulis harus dibuktikan dalam temuan penelitian, jika tidak akan menimbulkan ketidakpercayaan peneliti hingga institusi.

  1. Ciptakan Narasi Sederhana yang Relevan

Tulislah judul secara sderhana, hindari penggunaan jargon yang tidak mudah dipahami oleh semua kalangan. Pastikan judl ringkas dan jelas dan sertakan kata kunci relevan agar mudah dditemukan dalam mesin pencari online.

Dari penjelasan di atas judul skripsi memegang peranan penting. tidak harus memutuskan di awal, namun judul awal memiliki peran dalam batasan kajian yang akan digali.

Creativity in the Age of AI: Tools, Limits, and Ethics

Artificial Intelligence (AI) is transforming various aspects of our lives, ranging from education and healthcare to art and entertainment. In the creative media industry, in particular, AI tools such as ChatGPT, MidJourney, and Adobe Firefly are being utilized to write scripts, design visuals, and even compose music.

While these developments bring exciting opportunities, they also raise serious questions: Can machines truly replace human creativity? What makes humans still important in creative jobs? And how do we address the ethical concerns that AI raises? This article explores what AI can and cannot replace in creative media, highlighting both the positive potential and the important limits.

The Positive Side: AI as a Creative Assistant

AI can help people in creative jobs work faster and more efficiently. For example, video editors now use AI to automatically cut scenes or improve sound quality. Writers can get help generating ideas or correcting grammar. Designers can turn sketches into complete images with a few clicks. These tools save time and make the creative process smoother. In fact, AI can help people with less experience try creative work, such as making music or videos. So, AI is not always replacing humans—it often assists them, helping ideas come to life more quickly.

The Human Touch: What Machines Can’t Replace

However, even with smart tools, there are still things only humans can do. Creativity is not just about making things look good—it’s about meaning, emotion, and culture. A machine might design a logo, but it can’t understand a client’s personal story the same way a human can. Writers bring emotion from real-life experiences. Filmmakers connect with audiences because they understand pain, love, and joy. This human touch—the emotion, empathy, and imagination—is hard for machines to fully copy. AI may generate content, but it can’t create with the same depth, feeling, or purpose that a person brings.

Ethics of AI in media 

 AI can also bring risks—especially in creative jobs. One concern is copyright: Can we use AI-generated content freely? What if AI copies someone else’s style or work without permission? Another issue is job loss. If companies start using AI to replace designers, editors, or writers, what happens to young people trying to enter the industry? There’s also the danger of misinformation. AI can create fake videos or news, which is dangerous in media. Because of these risks, many experts are calling for rules and regulations. There must be clear guidelines about using AI fairly, protecting workers, and avoiding harm.

AI is a powerful tool that is already changing the creative media industry. It can help professionals be more productive and open doors for new creators. But it cannot replace the human mind—the emotions, ethics, and original thinking that fuel true creativity. To use AI well, we must combine the best of both: let machines assist, but let humans lead. As we move forward, we must also build strong rules to ensure AI is used wisely, ethically, and respectfully in the creative world.

References

How generative AI is unlocking creativity. (2024, October 17). Adobe Experience Cloud. Retrieved July 14, 2025, from https://business.adobe.com/blog/how-generative-ai-unlocking-creativity

Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence. (2021, 11). unesco, 1-44. https://unesdoc.unesco.org/in/documentViewer.xhtml?v=2.1.196&id=p::usmarcdef_0000381137&file=/in/rest/annotationSVC/DownloadWatermarkedAttachment/attach_import_75c9fb6b-92a6-4982-b772-79f540c9fc39%3F_%3D381137eng.pdf&updateUrl=updateUrl4945&ark=/ark:/48223

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita