Bagaimana Ramadan di Palestina?
Umat muslim di seluruh dunia tengah bersuka cita menyambut bulan suci Ramadan, banyak perayaan dilakukan hingga menulis daftar makanan yang akan disantap untuk membatalkan puasa saat adzan maghrib berkumandang. Namun bagaimana dengan kondisi masyarakat Palestina, selain menahan rasa lapar tentu mereka berada dalam bayang-bayang bom yang diledakkan tantara Israel secara tiba-tiba.
Pilunya Ramadan tak terjadi pada tahun 2024 saja, menurut data yang dihimpun oleh Kompas jumlah korban luka dan meninggal masyarakat Palestina saat bulan Ramadan dari tahun 2019 hingga 2023 mencapai 6.891 yang terdiri 31 korban meninggal dan sisanya luka-luka. (Lokasi mencakup Tepi Barat dan jalur Gaza)
Masyarakat Palestina telah memulai ibadah puasa Ramadan pada 11 Maret, namun gencatan senjata yang dilakukan Israel tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Selain itu kelaparan menjadi kondisi yang tak terelakan.
Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Dr. Herman Felani, S.S., M.A., menyebut kondisi darurat berdampak besar terhadap anak-anak dan bayi yang baru lahir.
“Laporan UNICEF menunjukkan memang anak-anak Palestina terutama yang sangat terdampak dari agresi penjajah Israel. Lebih dari 13 ribu anak anak Palestina syahid karena agresi penjajah Israel dan 2 dari 3 anak Palestina mengalami malnutrisi dan kelaparan. Bahkan, bayi-bayi sudah tidak mampu lagi menangis karena tidak punya energi,” ujarnya.
Berdasarkan kondisi yang dilaporkan oleh AP News, salat dilakukan di tengah puing-puing bangunan yang hancur. Meski demikan ada perayaan yang cukup pilu, di tenda-tenda yang sesak Nampak lampu-lampu digantung sebagai dekorasi. Tak hanya itu Gedung sekolah yang menjadi penampungan disulap menjadi venue pertunjukan anak-anak untuk merayakan Ramadan, mereka menari dan menyemprotkan busa, sementara yang lainnya menyanyai.
Sebanyak 30.000 masyarakat Palestina meninggal selama lima bulan terakhir atas tragedi genosida ini. Sementara kondisi semkain sulit karena tidak tersedianya makanan. Bantuan makanan kaleng sangat sedikit, jika membeli harganya tak mampu dijangkau.
“Anda tidak melihat seorang pun dengan kegembiraan di mata mereka,” kata Sabah al-Hendi, yang berbelanja makanan pada Ahad di kota Rafah, bagian selatan. “Setiap keluarga sedih. Setiap keluarga memiliki seorang martir.” Ujarnya dikutip dari AP News.
Seorang martir adalah seseoramg yang sangat berani dan rela berjuang hingga mati demi membela iman kepercayaanya.
Dari upaya berbagai negara yang mendesak untuk menyudahi kejahatan manusia tersebut menjelang hari raya, Perdana Menteri Israel yakni Benjamin Netanyahu tetap bersumpah untuk melanjutkan serangan hingga mencapai kemenangan total. Bahkan pada awal Ramadan pemimpin Hamas telah dibunuh dan terus menargetkan pembunuhan lainnya.
“Tiga, dua, dan satu sedang dalam perjalanan. Mereka semua adalah orang yang sudah mati. Kami akan menjangkau mereka semua,” tambahnya.
Jika Ramadan Tidak Dibawah Genosida
Eman Alhaj Ali, seorang jurnalis yang tinggal di Gaza dalam laman Aljazeera menuliskan kisah Ramadan di Palestina. Jika kali ini ibadah dipenuhi rasa haru dan duka, mereka merindukan momen-momen hangat tanpa gencatan senjata.
Masyarakat Palestina akan menyambut bulan ramadan dengan belanja beberapa minggu sebelumnya. Tempat favorit adalah Kota Tua dan Al Zawiya sebuah pasar tradisional. Mereka akan membeli makanan khas Ramadan acar asam, kurma terbaik, buah zaitun yang lezat, rempah-rempah yang memenuhi udara dengan aromanya, timi, pasta aprikot kering untuk membuat minuman qamar al-din, buah-buahan kering, dan berbagai jenis jus, dengan khoroub (carob) yang paling populer.
Sama halnya dengan masyarakat Indonesia, Eman menyebut jika mereka akan membeli baju baru dan mukena yang tengah tren di pasaran. Di rumah-rumah akan ada dekorasi dengan tulisan “hallou ya hallou, Ramadan Kareem ya hallou” yang artinya “sayang, sayang, Ramadan Kareem, sayang”.
Malam-malam Ramadan akan begitu menyenangkan anak-anak ramai bermain di jalan setelah salat tarawih dan menyalakan kembang api. Sementara keluarga besar akan berkumpul di rumah untuk menonton tayangan spesial Ramadan. Mereka juga akan mengisi waktu dengan banyak beribadah di siang hari, anak-anak dan orang dewasa melakukan hafalan, kakek dan nenek menceritakan kisah nabi kepada anak cucunya, dan ramai-ramai ke masjid untuk membaca ayat Al’Quran.
Menjelang buka puasa, berbagai hidangan disajikan ada yang memasak maqlouba (hidangan daging dengan nasi dan sayuran), ada pula yang memasak musakhan (hidangan ayam), dan ada pula yang memasak mulukhiya (sup). Selanjutnya mereka akan saling berbagi makanan dengan para tetangga. Tak lupa para ibu menyiapkan qatayf, makanan penutup populer yang hanya dibuat selama bulan suci.
Tapi apa yang terjadi saat ini, masyarakat Palestina semakin terpuruk. Meski mereka tengah khidmat beribadah tak ada tanda penghentian genosida. Ditambah negara-negara besar tak berbuat banyak atas hal ini.
“Meskipun PBB dan lembaga dunia lainnya mendesak Israel untuk melakukan gencatan senjata, Israel tetap akan melancarkan serangan ke Gaza dan bahkan ke wilayah Rafah yang merupakan kantong pengungsi sipil Palestina. Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris bermain di dua kaki dengan mendorong gencatan senjata tapi juga menyediakan senjata untuk Israel. Harapan hanya ada jika semua negara betul-betul bersatu atas nama kemanusiaan memberi sanksi pada Israel secara politik, ekonomi dan diplomasi,” tandas Dr. Herman Felani, S.S., M.A.
Penulis: Meigitaria Sanita