Lanjutan dari Forum AES: Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia (1)

Kesempatan Justito Adiprasetio di serial ke 2 Forum Amir Effendi Siregar, mengungkap beragam pengaruh dalam diskursus Ilmu Komunikasi di Indonesia. Ia memaparkan ada pengaruh scholar Jerman, Amerika, dan orde Soeharto dalam Diskursus Ilmu Komunikasi di Indonesia.

“Jadi diskursus ‘penerangan’ seperti kita tahu kalau di Unpad dulu ada prodi manajemen komunikasi, dulunya ilmu penerangan. Dulunya juga di beberapa kampus punya jurusan di bawah ilmu komunikasi itu ilmu penerangan, bahkan ilmu publisistik dulunya di bawahnya ada ilmu penerangan,” kata Tito, panggilan akrab Justito.

Bahkan, lanjut Tito,  ilmu penerangan menjadi mata kuliah dalam ilmu publisistik. Tito melacak Diskursus ilmu penerangan ini ada sebelum 1945. Departemen Penerangan juga menjadi  salah satu dari 12 departemen pertama indonesia, kata Tito. Sedangkan istilah ‘ilmu publisistik’ berdasar pelacakan Tito, muncul pada era 60an ketiak banyak akademisi Indonesia yang terpengaruh dan studi di Jerman. Jerman mengunakan istilah publisistik sebelum menyebut studi media dan komunikasi.

“Publisistik atau publizeren atau terminologi dalam bahasa jerman itu punya lingkup lebih luas dibanding jurnalistik. Tapi tentu keduanya berbeda dengan terminologi komunikasi yang kita kenal sekarang. karena itu yang nanti akan menjadi argumen Profesor Astrid Susanto yang nanti akan mengubah itu,” ungkap Tito di tengah diskusi via aplikasi Zoom ini.

Pada tahun 1949 muncul namanya akademi politik di Jogja. Data yang Tito temukan, akademi itulah yang pertama kali mengajarkan ilmu penerangan. “Nanti akademi ilmu politik ini akan berubah menjadi jurusan ilmu sosial politik, Fakultas Ilmu Hukum, UGM,” paparnya.

Bagaimana Lika-liku Diskursus Ilmu Komunikasi di Indonesia?

Menurut penuturan Tito, ada otoritas pengajar publisistik, seperti publisistik Unpad dan UGM. Perubahan Ilmu Publisistik di 1970an ke ilmu komunikasi yang diajukan Prof Astrid Susanto, “ini pernah jadi Dekan Unpad lalu pindah ke UI,” katanya. Tito menjelaskan, menurut beberapa akademisi, ada perubahan paradigma ilmu pengetahuan saat itu. “Hampir semuanya berargumen termasuk saya, berargumen, ini merupakan transisi dari paradigma ilmu penegtahuan yang sebelumnya Jerman ya, dari paradigma eropa kontinental, ke arah yang baru nih anglo saxon Amerika,” papar Tito.

“Kalau kita lacak buku-buku periode 1950an kita bisa lihat itu di amerika sedang ramai sekali  ilmu komunikasi. Yang sebelumnya mazhabnya Laswell itu digempur, lalu muncul kontestan-kontenstan lain Lazarsfeld,” kata TIto mengungkap pelacakannya. Lazarfeld, kata Tito, pernah kerjasama dengan Horkheimer dan Adorno (ilmuwan Jerman). Mereka melakukan riset bersama walau tampak agak berbeda pendekatannya, katanya. Tito juga menjelaskan tokoh-tokoh ilmu komunikasi yang gandrung saat periode 50an di Amerika lainnya seperti Curt Levin, atau Hovland yang pertama kali mengenalkan metode eksperimentasi di ilmu komunikasi.

Legitimasi Ilmu Komunikasi di negeri Abang Sam justru mulai bergema pada 1950an di kampus-kampus di sana. Pada 1970, paradigma itu mempengaruhi indonesia. Dalam Arti, kata Tito, pada saat itu, paradigma ‘ilmu komunikasi’ sudah mulai diperbincangkan akademisi-akademisi indonesia. “Itu yang menjadi landasan banyak yang mengatakan pendidikan ilmu komunikasi mulai bergeser dari eropa kontinental ke anglo saxon,” tambah Tito.

Apakah tepat? Menurut Tito, tidak terlalu salah juga argumen tersebut, karena periode 1960an, ada Profesor Alwi Dahlan, orang indonesia yang pertama kali mengunjungi Amerika. Alwi mendapatkan gelar doktor pada 1967. Ia, kata Tito, jadi salah satu sarjana ilmu komunikasi indonesia yang pertama kali menamatkan studinya di Amerika.

Bersambung ke Rezim Soeharto dan Pembangunanisme Ilmu Komunikasi

After the Amir Effendi Siregar Forum (AES) was previously enlivened by more than 200 registrants, this time the AES Forum was held again. The creative team of the AES Forum now carries the theme of the Great Epistemic Communication of the New Order and Post-Development. This time, on July 4, 2020, the speaker reached one of the conclusions that President Soeharto’s Regime Influenced the Indonesian Communication Curriculum and Research.

“Yesterday Lutfi Adam explained that history was divided into history of what, history of who, and history of where. Maybe this month the AES Forum seems to be focusing on history of What. So, about communication studies in Indonesia,” said Holy Rafika Dhona, the moderator and lecturer in this Communication Science Department, started the event via the Zoom Video Conference.

In this second AES Forum Series, Justito Adiprasetio, a communication science academician from Padjadjaran University (Unpad) will talk about a bit and epistemic history of communication since the Suharto order. How ‘publicistics’ and ‘penerangan/ information’ become the main stream. Before the term ‘communication science’ as a popular study program on Indonesian campuses. Justito, fondly called Tito, is completing a book on the History of Knowledge and the Power of Communication Sciences in Indonesia.

The Suharto Regime Influenced Communication Science Curriculum and Research

How Are Communication Research Disciplined to Support Developmentalism?

Tito, quoting Michael Morfit in Prisma Magazine, in the 1970-1980s, in almost every government department established a research and development section to carry out “line-oriented research.” The same thing happened in the Information Department (departemen penerangan).

Research which now relies on for example, grants from the Directorate of Higher Education or the Ministry of Communication and Information, used to rely entirely on the Ministry of Information. The campus at that time was really attached to the Ministry of Information as a research sponsor. This is what Tito found too. For example, he explained the findings of campus research in the 1970-1980 period. Nearly all research is ordered by the Ministry of Information or Bappenas. The project also revolved around, for example, on Family Planning (KB), Pelita planning, and others.

It happened at UI, Unpad, the School of Communication Science in Surabaya and so on. All research titles refer to as if to strengthen government policy. “In fact, I am looking for research data sponsored by the private sector. At least or research that is not sponsored by the state there is no data. I did not say there was no yes. But there is no data. But maybe that is my limitation,” he said in surprise. “Even the private sector has been funded to support the Ministry of Information.

Even Prof. Alwi Dahlan wrote about communication research in the 1970-1980s. Alwi said, the research at that time only showed the legitimacy of science without a fundamental purpose. Alwi Dahlan said many of the results of the study at that time did not reflect the symptoms studied. “This is the exact sentence from Alwi Dahlan. In the 1970-1980 communication Science studies, in the end, ‘measuring tools, scale, design, and even similar questionnaires, were used to examine different problems without appropriate changes and deepening’ he wrote,” Tito said, reading the quote written by Alwi Dahlan.

continued to the Soeharto Regime Influencing Research and Curriculum (2)

——————————

Starting this month’s AES Forum, Justito Adiprasetio will present the Epistemic Concussion of the New Order and Post-Development Communication. Furthermore, on July 18 there will be Ignatius Haryanto who will present an initial trace of the history of communication science in Indonesia. Then between 26-31 filled by Antoni from Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Head of the Center for Study and Documentation of Alternative Media Nadim UII Communications, said, it is likely that Antoni from Brawijaya, one of them will tell Brawijaya’s experience working in the field of communication history studies.

Setelah Forum Amir Effendi Siregar (AES) sebelumnya diramaikan dengan lebih dari 200 pendaftar, kali ini Forum AES kembali diadakan. Tim kreatif Forum AES kini mengangkat tema Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan. Kali ini, pada 4 Juli 2020, pembicara mencapai salah satu kesimpulan bahwa Rezim Presiden Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia.

“Kemarin Mas Luthfi Adam sudah menjelaskan bahwa sejarah itu dibagi menjadi history of what, history of who, dan history of where. Mungkin bulan ini Forum AES tampaknya akan fokus pada history of What. Jadi, tentang studi komunikasi di Indonesia,” ucap Holy Rafika Dhona, moderator sekaligus Dosen di Program studi ini, memulai acara via aplikasi Zoom ini.

Pada Serial Forum AES yang kedua ini, Justito Adiprasetio, akademisi ilmu komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) akan berbicara tentang sekelumit dan sejarah epistemik komunikasi sejak orde Soeharto. Bagaimana ‘publisisitik’ dan ‘penerangan’ menjadi arus utama. Sebelum istilah ‘ilmu komunikasi’ sebagai program studi populer di kampus-kampus Indonesia. Justito, akrab dipanggil Tito,  sedang merampungkan buku tentang Sejarah Pengetahuan dan Kekuasaan Imu Komunikasi di Indonesia.

Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi

Bagaimana Riset-riset Komunikasi Didisiplinkan untuk Mendukung Pembangunanisme?

Tito, mengutip Michael Morfit di Majalah Prisma, pada 1970-1980an, hampir di setiap departemen pemerintah mendirikan satu seksi penelitian dan pengembangan untuk melaksanakan “penelitian yang berorientasi pada garis kebijakan.” Begitu juga yang terjadi di Departemen Penerangan.

Riset-riset yang kini bersandar pada misalnya, hibah Dikti atau Kominfo, dulu justru bertumpu total pada Departemen Penerangan. Kampus saat itu benar-benar menempel pada Departemen Penerangan sebagai sponsor penelitian. Inilah yang ditemukan Tito juga. Misalnya, ia memaparkan temuan riset-riset kampus  pada periode 1970-1980. Hampir semua riset adalah pesanan Departemen Penerangan atau Bappenas. Proyeknya pun berkisar misalnya, pada soal Keluarga Berencana (KB), perencanaan Pelita, dan lain-lain.

Itu terjadi di UI, Unpad, Sekolah TInggi Ilmu Komunikasi di Surabaya dan sebagainya. Semua judul riset mengacu seakan untuk menguatkan kebijakan pemerintah. “Bahkan saya mencari data penelitian yang disponsori oleh swasta. Setidaknya atau penelitian yang tidak disponsori negara itu tidak ada datanya. Saya tidak bilang tidak ada ya. Tapi tidak ada datanya. Tapi mungkin itu keterbatasan saya,” katanya heran. “Bahkan yang swasta pun dibiayai untuk men-support Departemen Penerangan.

Bahkan Prof. Alwi Dahlan menulis tentang riset-riset komunikasi pada 1970-1980an itu. Kata Alwi, riset-riset saat itu hanya menunjukkan legitimasi keilmuan tanpa tujuan yang mendasar. Alwi Dahlan menyebutkan banyak hasil penelitian pada masa itu tidak mencerminkan gejala yang diteliti. “Ini kalimatnya persis dari alwi dahlan.  Tahun 1970-1980 riset-riset komunikasi itu pada akhirnya, ‘alat ukur, skala, desain, dan bahkan kuesioner yang serupa, digunakan untuk meneliti masalah yang berbeda-beda tanpa perubahan dan pendalaman yang layak’ tulisnya,” kata Tito membaca kutipan tulisan Alwi Dahlan.

bersambung ke Rezim Soeharto Memengaruhi Riset dan Kurikulum

——————————

Mengawali Forum AES bulan ini ada Justito Adiprasetio yang akan mempresentasikan Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Paska Pembangunan. Selanjutnya, pada 18 juli akan hadir Ignatius Haryanto yang akan mempresentasikan penelusuran awal sejarah ilmu komunikasi di indonesia. Kemudian antara 26-31 diisi oleh Antoni dari Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Kepala Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII, mengakatan, kemungkinan Antoni dari Brawijaya salah satunya akan bercerita pengalaman Brawijaya bekerja dalam lapangan kajian sejarah komunikasi ini.

Actually, not only tracing international experience, but also smells a ‘sense’ of international experience. It was the purpose of the title: Seeking and Taste The International Experiences. International experience is important and needs to be felt by Indonesian students, not merely to be proud of. But also understanding differences in perspective, culture, even expanding academic and intellectual networks. That is what I would like to emphasize Iwan Awaluddin Yusuf, UII Communication Lecturer who is currently completing a doctoral program in media and journalism at Monash University Australia as a speaker at the UII Teatime # 2 International Program of Communication talk show.

The event, which was held at the UII International Communication Program, invited him to track and share the need for international experience for student self-development and scholarship. The theme raised in this second Teatime is “Seeking the international experiences”. The moderator on Friday 3 July 2020 was Ida Nuraini Dewi KN, Secretary of the UII International Communication Program, who is also a Lecturer in the Cluster of Journalism and Media.

That afternoon, Iwan Awaluddin from Melbourne, and Ida Nuraini, from Jogja talked for an hour. Through the Instagram Live Application, Iwan told me that what he had achieved so that he could get a scholarship from LPDP to study at Monash University did not come from holding hands. There is a business, prayer, and track record that was built before reaching it. “For some people, the chance to get international experience might be easy, but this is not an easy thing for me, let alone achieve an IELTS score of 7,” he said of the process of winning a scholarship.

What is the importance of International Experiences?

The Instagram conversations that have been watched by more than 100 viewers also give new insight about how to view the international experience. For Iwan, international experience is not just a matter of studying abroad. There are two things: formal and informal. Formal international experience, for example, studying abroad. Or for example informal ones are invited to be speakers at international scientific activities, joint research, or short courses. Iwan told Ida, the moderator today, that he first experienced a ‘sense’ of international experience precisely because of his track record of actively writing a blog.

“I’m actively writing a blog about the media and the press. At that time my writing about freedom of the press was seen well and made me invited by the campus in Myanmar to talk about press freedom in Indonesia,” Iwan recalled.

Talking about foreign experience, it was precisely the ability to write and the many publications in Iwan’s work that made Monash University melted and accepted him to continue his studies there. His network with professors at Monash also greatly helped him lobby and penetrate Monash University. “The quality of the publication of my works is one of the things that has convinced the supervisor,” said Iwan.

What International Experiences Can Be Shared?

Iwan shared many of his international experiences. Iwan said he, there, was not only learning about Australia, but also learning Indonesia. Iwan’s explanation revealed that there were many studies in Australia in Indonesia. “I just learned the Dieng bundengan musical instrument of Wonosobo. I learned from the ethno-musicology department at Monash. While we do not know Indonesia itself. Indeed, we need to keep a little distance, instead we know,” he said.

“I saw a very natural, clean and amazing view,” Iwan said with astonishment. “I see Australian aloha flowers, I remember the rice fields. For people here, the rice fields are so beautiful, because there are none here. Maybe they are also amazed by the Randu Trees, the same as we see sakura in Japan. Indeed we have to give distance,” he continued.

Indeed, said Iwan, it is important that we immediately feel the ‘smell’ of other countries as part of experiencing international experience. For example, said Iwan, “there was a stereotype about Islam in Australia when I was in Indonesia. When I went there it was not like that stereotype either. I learned that Islam had come to Australia and was brought by Makassar people first from James Cook who discovered Australia.”

So, said Iwan, we need not only to hang out with communities that only want to justify us. We need to understand and study people and other thoughts in order to understand. “If we are still confined to thinking and comfortable with these and only things, we will not develop thinking,” he explained.

This is what came to be called Iwan and Ida the meaning of experiencing International Experience: discover new things about new culture.

.

Sebenarnya, bukan saja menelusuri pengalaman internasional, melainkan juga membau ‘rasa’ pengalaman internasional. Pengalaman internasional penting dan perlu dirasakan oleh mahasiswa Indonesia, bukan melulu untuk membangga-banggakan. Namun juga memahami perbedaan perspektif, budaya, bahkan meluaskan jaringan akademik dan intelektual. Itulah yang kiranya ingin ditekankan Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Komunikasi UII yang kini sedang manamatkan program doktoral media dan jurnalisme di Monash University Australia sebagai pembicara dalam acara bincang-bincang Teatime #2 International Program of Communication UII.

Acara yang dihelat Program Internasional Komunikasi UII ini mengundangnya untuk melacak dan membagi apa saja perlunya pengalaman internasional untuk pengembangan diri dan keilmuan mahasiswa. Tema yang diangkat pada Teatime kedua ini adalah “Seeking the international experiences”.  Moderator pada Jumat 3 Juli 2020, itu adalah Ida Nuraini Dewi KN, Sekretaris Program Internasional Komunikasi UII, yang juga Dosen Spesialis Klaster Jurnalisme dan Media.

Sore itu, Iwan Awaluddin dari Melbourne, dan Ida Nuraini, dari Jogja berbincang selama satu jam. Lewat Aplikasi Live Instagram, Iwan menceritakan bahwa apa yang diraihnya hingga bisa mendapatkan beasiswa dari  LPDP studi di Monash University bukan berasal dari berpangku tangan. Ada usaha, doa, dan rekam jejak yang dibangun sebelum mencapainya. “Bagi beberapa orang mungkin mendapat kesempatan pengalaman internasional ini mungkin mudah, tapi ini bukan hal yang mudah buat saya apalagi meraih skor IELTS 7,” katanya menceritakan prosesnya meraih beasiswa.

Apakah pentingnya International Experiences?

Bincang-bincang Instagram yang sudah ditonton oleh lebih dari 100 pemirsa ini juga memberi pencerahan (insight) baru soal bagaimana memandang international experience. Bagi Iwan, pengalaman internasional itu bukan hanya soal studi ke luar negeri. Ada dua hal: formal dan non formal. Pengalaman internasional yang formal misalnya studi di kampus luar negeri. Atau misalnya yang non formal ada diundang menjadi pembicara di kegiatan ilmiah internasional, riset bersama, atau kelas pendek (short course). Iwan menceritakan pada Ida, moderator hari ini, bahwa ia pertama kali mengalami ‘rasa’ pengalaman internasional justru karena rekam jejaknya aktif menulis blog.

“Saya kan aktif menulis blog tentang media dan pers. Saat itu tulisan saya tentang kebebasan pers dilihat baik dan membuat saya diundang oleh kampus di Myanmar bicara tentang kebebasan pers di Indonesia,” kenang Iwan.

Bicara tentang pengalaman luar negeri, justru kemampuan menulis dan banyaknya publikasi dalam karya Iwan-lah yang membuat pihak Monash University luluh dan menerimanya melanjutkan studi di sana. Jejaringnya dengan profesor di Monash juga sangat membantunya melobi dan menembus Monash University. “Kualitas publikasi karya-karya saya inilah yang menjadi salah satu yang meyakinkan pembimbing,” kata Iwan.

Apa Pengalaman Internasional yang Bisa dibagikan?

Iwan membagikan banyak pengalaman internasionalnya. Iwan mengatakan ia, di sana, justru tak hanya belajar tentang Australia, melainkan belajar indonesia pula. Penuturan Iwan menguak bahwa di Australia banyak sekali studi tentang indonesia. “Saya justru belajar alat musik bundengan Dieng, Wonosobo. Saya belajar dari jurusan etnomusikologi di Monash. Sementara kita tidak tahu indonesia sendiri. Memang kita perlu menjaga jarak sedikit, malah jadi tahu,” katanya.

“Saya lihat pemandangan yang sangat alami, bersih dan menakjubkan,” kata Iwan takjub. “Saya lihat bunga-bunga Australia aloha, saya ingat sawah. Bagi orang sini, begitu indahnya sawah, karena di sini nggak ada. mungkin mereka juga takjub dengan randu, sama lah dengan kita lihat sakura di Jepang. Memang kita harus memberi jarak,” sambungnya.

Memang, kata Iwan, penting kita hadir langsung merasakan ‘bau’ negara lain sebagai bagian mengalami pengalaman internasiona. Misal, kata Iwan, “ada stereotipe soal Islam di Australia ketika masih di Indonesia. Ketika ke sana ternyata nggak juga seperti itu stereotipenya tuh. Saya justru belajar islam udah datang ke australia dibawa oleh orang makassar lebih dulu dari  James Cook yang nemuin Australia.”

Maka, kata Iwan, perlu kita tak hanya bergaul dengan komunitas yang hanya ingin membenarkan kita. Kita perlu memahami dan mempelajari orang dan pemikiran yang lain agar mengerti. “kalau kita masih terkungkung pemikirannya dan nyaman dengan yang ini-ini saja, kita nggak akan berkembang pemikirannya,” jelasnya.

Inilah yang kemudian disebut Iwan dan Ida makna dari mengalami International Experience: discover new things about new culture.

 

 

.

UNDUH Jadwal Ujian Akhir Semester /UAS Genap tahun akademik 2019/2020

Second Teatime the afternoon sharing with IPC

Second Edition

THEME:

“Seeking global Experiences”

Special guest

Iwan Awaluddin Yusuf , Lecturer of Communication Science Department UII and PHD Candidate of Monash University Australia

INSTAGRAM LIVE:

Friday, July, 3rd, 2020

Start at 4 PM (Jakarta time)
@ip.communication.uii

Menidaklanjuti hasil Rapat Bidang I perihal mahasiswa yang terkendala Tes CEPT dalam proses kelulusan, dengan ini diberitahukan bahwa Universitas Islam Indonesia bersama CILACS UII akan menyelenggarakan CEPT CAMP BATCH XXIII khusus bagi mahasiswa. Ketentuan dan Jadwal sila akses di tautan berikut

 

Belajar dari Pengalaman Luthfi Adam Meriset 68 Ribu Halaman Arsip 

Kali ini Luthfi Adam menjelaskan tentang Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah. Luthfi, dalam kajian Seri Bincang Sejarah Komunikasi yang pertama, ini selain bicara tentang metode sejarah, ia juga mengurai urgensi pengajaran Sejarah Jurnalistik dalam kurikulum jurusan komunikasi.  Serial bincang sejarah yang dipandu Holy Rafika Dhona, akademisi Komunikasi UII dengan fokus kajian Komunikasi Geografi, ini berusaha mendedah cakrawala pemikiran sejarah komunikasi di Indonesia. Hal ini jarang, atau bahkan luput dari perhatian akademisi Komunikasi, Jurnalistik, di Indonesia. “Bagaimana scholar komunikasi meminjam teknik meneliti sejarah untuk riset komunikasi mereka?” Luthfi memulai dengan pantikan ketika memulai diskusi tentang metode sejarah dalam Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) ini.

“Sebenarnya, metode penelitian sejarah tidak jauh berbeda dengan cara kerja jurnalis,” papar Luthfi. “Kita semua tahu, sejarah adalah narasi analisis yang terjadi di masa lalu. Singkatnya, metode penelitian sejarah adalah teknik-teknik yang dibangun oleh penelitinya, sejarahwan, untuk mengakses sumber-sumber utama, untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu,” jelasnya kemudian.

Menurut Luthfi, kata kunci dalam metode penelitian sejarah adalah primary resources (sumber primer).  Sejarawan biasa menyebutnya arsip, kata luthfi. Jika jurnalis melakukan investigasi untuk memberitakan suatu masalah lewat wawancara, lewat memotret, dan penelusuran data, “pada prinsipnya pada penelitian sejarah, sama. mencari sumber primer. jurnalis mencari sumber primer juga.” katanya.

Bagaimana caranya

Sejarawan harus menelusuri arsip dari data sejarah atau arsip yang dibutuhkan untuk menceritakan kejadian atau persitiwa di periode tertentu. Arsip jenisnya beragam kata akademisi yang juga pernah mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII pada medio 2006-2007, ini. Bentuk arsip bisa surat kabar, korespondensi, artefak, oral history melalui interview dll. “Jadi yang harus ditekankan dari prinsip dasar dari metode sejarah adalah penggunaa sumber primer untuk menceritakan masa lalau atau menganalisis apa yang terjadi di masa lalu.” jelasnya.

Meski terlihat sederhana, sesungguhnya tetap menantang, kalau tidak mau dibilang sulit, kata Luthfi. Apa hal-hal yang menantang maksud Luthfi itu? Pertama, mengumpukan sumber primer atau yang sering sejarawan sebut arsip. Mengumpulkan sumber primer membutuhkan beberapa keterampilan. Ia membutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran.

Belum lagi, penulisan sejarahnya. Ia sangat bergantung terhadap topik yang akan diteliti. “Mempelajari tentang kolonialisme, misalnya, tidak saja mempelajari temanya, tapi juga sejarah sains, sejarah agrikultur, dan lainnya. Insting sejarawan adalah, arsip yang digunakan sejarawan terdahhulu itu ada dimana, apa yang mereka pakai,” jelasnya.

“Karena modal utama sejarawan adalah sumber primer, membaca karya sejarah, maka kita akan sangat sibuk mencatat bukan cuma argumen atau ceritanya, tapi arsip apa yang digunakan. Arsip apa yang digunakan sejarawan lain. Makanya saya lebih banyak menongkrongi footnote-nya,” kata Luthfi Adam.

Pemahaman mengenai arsip adalah vital. Luthfi meneliti sejarah Kebun Raya Bogor di abad 19. Pada awal proposal, ia sudah harus menunjukkan topiknya penting, pada komite penilai. Pertanyaan riset yang ia ajukan juga harus bagus. “Tapi kemudian saya harus menunjukkanpada Komite Disertasi saya. Dimana letak arsip yang saya ambil dan ternyata setelah saya telusuri, letak arsipnya ada di tiga negara: Indonesia, Belanda, dan Inggris,” ceritanya. Kemudian akhirnya ia harus melakukan riset lapangan selama satu tahun mengunjungi berbagai perpustakaan pusat arsip di tiga negara tersebut. “itu kesulitan pertama,” katanya.

Kesulitan Kedua

Menurut tuturan Luthfi pada diskusi Forum AES , mengumpulkan data sejarah yang kita butuhkan cukup kompleks. Luthfi bilang ini susah-susah gampang, “Susah karena untuk mendapatkan satu set arsip yang kita butuhkan, kita harus membaca belasan bundel dulu. Kita dikasih nih sama petugas arsip ini. Oh, ternyata nggak  relevan ini. Ternyata yang relevan itu di bundel yang ketiga. Di tengah-tengah.”

Luthfi juga bercerita tentang pustaka majalah kebun raya bogor di tengah abad 19. Dia meneliti 100 tahun Kebun Raya Bogor. Ia memotret dan mempelajari 68 ribu halaman. Konsekuensinya, data file harus cepat ditandai, file-ing, nama koleksi apa, tetap pengorganisasian data yang rapi.

“Intinya metode riset sejarah, seperti metode riset yang lain sebetulnya. Metode riset sejarah, sesederhana kita harus menemukan sumber primer. Hanya saja, untuk menemukan, mengambil, dan mengorganisir datanya sangat menantang, bukan sulit. He-he-he. Apalagi kurun waktunya panjang,” jelasnya.

Salah satu tantangan Luthfi adalah penguasaan bahasa. Kemampuan menemukan arsip, juga kemampuan memahami bahasa aslinya. Bahasa arsip.

Seakan Penelitian Sejarah Sangat Teknikal, Dimana konsep?

Kata Luthfi, upaya utama para sejarawan memang ingin membangun sebuah narasi. “Hasrat utama kami itu menceritakan sesuatu,” katanya.

“Tapi bukan ketika menceritakan sesuatu kami hanya bercetrtia. Kami tentu saja terpengaruh oleh teori ilmu sosial. Biasanya sejarawan itu menyimpan teori itu di latar belakang. jadi fokusnya membangun narasi cerita. Saya pribadi sangat terpengaruh oleh konsep dan teori dalam kajian orientalisme misalnya, kajian poskolonial, teknik discourse analysis juga saya coba terapkan,” kata Luthfi

Ia mengatakan, ia terpengaruh oleh kajian budaya material di antropologi. Luthfi juga terpengaruh oleh latar belakang komunikasi dan studi media dalam penelitiannya. Luthfi menyontohkan, misalnya, ia sangat tertarik untuk mengumpulkan data dari media cetak. Biasanya sejarawan punya ketertarikan tertentu.

“Saya contohnya tertarik media-media apa yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor atau medai saintifik dan agrikultur. Mulai abad tengah 19 itu jurnal ilmiah dan populer itu banyak terbit. Justru bahan bakar utama riset saya itu dari situ, dari media cetak,” katanya.

“Namun akhirnya teori konsep yang kami pakai, kami aplikasikan tapi kami buat meresap ke dalam cerita,” paparnya.

Lalu dimana Letak Argumen dalam Penulisan Cerita Sejarawan?

Biasanya, sambung Luthfi, sejarawan populer mungkin tidak punya beban untuk berargumen dengan sejarawan lain. Namun, selain menyajikan cerita yang enak dibaca oleh awam, sejarawan harus terikat dengan perkembangan literatur di disiplin sejarah sendiri, katanya.

“Saya dilatih menjadi ahli sejarah asia tenggara, khususnya indonesia. Saya menulis sejarah kolonialisme, sejarah lingkungan, sejarah sains, maka saya harus juga ikut serta dengan  literatur mutakhir di kajian tadi. Ada buku sejarah yang saya coba revisi,” jelasnya.

Luthfi coba menawarkan pendekatan baru dalam memahami kolonialisme dan lain-lain. Namun, itu semua sejarawan lakukan sembari  upaya mereka menulis sejarah dan menulis cerita agar karyanya bisa sebanyak-banyaknya dibaca oleh pembaca, “bukan saja oleh spesialis.”

0Days0Hours0Minutes


Forum Amir Effendi Siregar menggelar Bincang Sejarah Komunikasi Seri 2

Topik : Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan

Pembicara: Justito Adiprasetio
Justito menyelesaikan studi magisternya di Kajian Budaya dan Media, UGM dan Ilmu Komunikasi UGM. Saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, UNPAD, dan sedang menyelesaikan buku yang membahas Sejarah Kekuasaan/ Pengetahuan Ilmu Komunikasi Indonesia.

Jadwal

Sabtu, 4 Juli 2020 (09:30)
Via Zoom

Registrasi (Tidak dipungut biaya):