Visiting Professor Merlyna Lim dalam Grand Launching MIKOM UII
Visiting professor menjadi salah satu program unggulan di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Resmi diluncurkan pada Selasa, 29 April 2025 di GKU Dr. Sardjito UII kali ini MIKOM kedatangan Prof. Merlyna Lim dari Carleton University, Canada.
Lahirnya MIKOM tercatat sebagai anak ke 60 bagi UII, dalam momen bersejarah ini Grand Launching dikemas apik melalui rangkaian acara Asia Tenggara dalam Membingkai Media Digital dan Aktivisme Sosial. Dihadiri oleh kolega dari akademisi dari berbagai penjuru, NGO, hingga rekan media, Grand Launching dilanjutkan dengan diskusi bedah buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” dengan pembahas Prof. Merlyna Lim dan Prof. Masduki.
Dipandu oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi diskusi berlangsung responsif. Prof. Merlyna Lim sebagai penulis buku yang diterbitkan oleh Cambride University Press membedahnya dengan sangat detail.

Pemaparan dari Prof. Merlyna Lim. Image: Desyatri Parawahyu
Buku tersebut ditulis untuk memperluas studi di Asia Tenggara dalam konteks hubungan kompleks antara media sosial dan politik. Peran ganda pada media sosial justru menjadi penyebab utama praktik otoriter melalui politik algoritmik. Termasuk dalam kontestasi pemilihan umum, di Indonesia adalah contoh nyata.
Secara tegas, Prof. Merlyna Lim menyebut bahwa media sosial tidak pernah diciptakan untuk mendukung sistem demokrasi suatu pemerintahan.
“Sosial media tidak pernah diciptakan untuk empowering dan pasrtisipasi untuk demokratis. Tapi dasarnya kapitalis bukan untuk semua orang untuk berkomunikasi secara sehat,” terangnya.
Dari politik algoritmik, kapitalisme komunikatif di media sosial justru lebih mengutamakan pemasaran algoritmik dibanding diskusi publik. Dampaknya kualitas demokrasi semakin memburuk.
Algoritma di media sosial benar-benar mengacaukan rasionalitas manusia, Prof. Merlyna Lim menyebutnya mobilisasi afektif biner, bagaimana “algoritma mendorong emosi ekstrem yang memperkuat dua sisi aktivisme yakni progresif dan regresif,” jelasnya.
Parahnya, dampaknya akan meluas mulai dari polarisasi filter bubble (kantong algoritmik), disinformasi, hingga tren otokratisasi.
Prof. Masduki sebagai pembahas selanjutnya menyebut fenomena politik di Indonesia. Contoh nyata yang terjadi adalah kecenderungan politik dinasti.
“Ada satu kecenderungan di Asia Tenggara politik dinasti. Masalah serius di Asia Tenggara, apalagi di Indonesia termasuk di kota-kota dan daerah,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Prof. Masduki juga menunjukkan data bahwa hanya 8 persen dari populasi dunia yang hidup dalam demokrasi penuh, sisanya campuran termasuk Indonesia.
Menjawab persoalan tersebut, Prof. Masduki mencoba memberikan tiga tawaran solusi yakni melalui reformasi struktural politik, merebut dan merayakan kembali ruang digital (deliberasi isu kerakyatan, demokrasi substansial), dan memperdalam demokrasi yang tangguh untuk politik yang selalu ada.