Teatime #2 with Iwan Awaluddin Yusuf: Seeking and Taste The International Experiences
Sebenarnya, bukan saja menelusuri pengalaman internasional, melainkan juga membau ‘rasa’ pengalaman internasional. Pengalaman internasional penting dan perlu dirasakan oleh mahasiswa Indonesia, bukan melulu untuk membangga-banggakan. Namun juga memahami perbedaan perspektif, budaya, bahkan meluaskan jaringan akademik dan intelektual. Itulah yang kiranya ingin ditekankan Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Komunikasi UII yang kini sedang manamatkan program doktoral media dan jurnalisme di Monash University Australia sebagai pembicara dalam acara bincang-bincang Teatime #2 International Program of Communication UII.
Acara yang dihelat Program Internasional Komunikasi UII ini mengundangnya untuk melacak dan membagi apa saja perlunya pengalaman internasional untuk pengembangan diri dan keilmuan mahasiswa. Tema yang diangkat pada Teatime kedua ini adalah “Seeking the international experiences”. Moderator pada Jumat 3 Juli 2020, itu adalah Ida Nuraini Dewi KN, Sekretaris Program Internasional Komunikasi UII, yang juga Dosen Spesialis Klaster Jurnalisme dan Media.
Sore itu, Iwan Awaluddin dari Melbourne, dan Ida Nuraini, dari Jogja berbincang selama satu jam. Lewat Aplikasi Live Instagram, Iwan menceritakan bahwa apa yang diraihnya hingga bisa mendapatkan beasiswa dari LPDP studi di Monash University bukan berasal dari berpangku tangan. Ada usaha, doa, dan rekam jejak yang dibangun sebelum mencapainya. “Bagi beberapa orang mungkin mendapat kesempatan pengalaman internasional ini mungkin mudah, tapi ini bukan hal yang mudah buat saya apalagi meraih skor IELTS 7,” katanya menceritakan prosesnya meraih beasiswa.
Apakah pentingnya International Experiences?
Bincang-bincang Instagram yang sudah ditonton oleh lebih dari 100 pemirsa ini juga memberi pencerahan (insight) baru soal bagaimana memandang international experience. Bagi Iwan, pengalaman internasional itu bukan hanya soal studi ke luar negeri. Ada dua hal: formal dan non formal. Pengalaman internasional yang formal misalnya studi di kampus luar negeri. Atau misalnya yang non formal ada diundang menjadi pembicara di kegiatan ilmiah internasional, riset bersama, atau kelas pendek (short course). Iwan menceritakan pada Ida, moderator hari ini, bahwa ia pertama kali mengalami ‘rasa’ pengalaman internasional justru karena rekam jejaknya aktif menulis blog.
“Saya kan aktif menulis blog tentang media dan pers. Saat itu tulisan saya tentang kebebasan pers dilihat baik dan membuat saya diundang oleh kampus di Myanmar bicara tentang kebebasan pers di Indonesia,” kenang Iwan.
Bicara tentang pengalaman luar negeri, justru kemampuan menulis dan banyaknya publikasi dalam karya Iwan-lah yang membuat pihak Monash University luluh dan menerimanya melanjutkan studi di sana. Jejaringnya dengan profesor di Monash juga sangat membantunya melobi dan menembus Monash University. “Kualitas publikasi karya-karya saya inilah yang menjadi salah satu yang meyakinkan pembimbing,” kata Iwan.
Apa Pengalaman Internasional yang Bisa dibagikan?
Iwan membagikan banyak pengalaman internasionalnya. Iwan mengatakan ia, di sana, justru tak hanya belajar tentang Australia, melainkan belajar indonesia pula. Penuturan Iwan menguak bahwa di Australia banyak sekali studi tentang indonesia. “Saya justru belajar alat musik bundengan Dieng, Wonosobo. Saya belajar dari jurusan etnomusikologi di Monash. Sementara kita tidak tahu indonesia sendiri. Memang kita perlu menjaga jarak sedikit, malah jadi tahu,” katanya.
“Saya lihat pemandangan yang sangat alami, bersih dan menakjubkan,” kata Iwan takjub. “Saya lihat bunga-bunga Australia aloha, saya ingat sawah. Bagi orang sini, begitu indahnya sawah, karena di sini nggak ada. mungkin mereka juga takjub dengan randu, sama lah dengan kita lihat sakura di Jepang. Memang kita harus memberi jarak,” sambungnya.
Memang, kata Iwan, penting kita hadir langsung merasakan ‘bau’ negara lain sebagai bagian mengalami pengalaman internasiona. Misal, kata Iwan, “ada stereotipe soal Islam di Australia ketika masih di Indonesia. Ketika ke sana ternyata nggak juga seperti itu stereotipenya tuh. Saya justru belajar islam udah datang ke australia dibawa oleh orang makassar lebih dulu dari James Cook yang nemuin Australia.”
Maka, kata Iwan, perlu kita tak hanya bergaul dengan komunitas yang hanya ingin membenarkan kita. Kita perlu memahami dan mempelajari orang dan pemikiran yang lain agar mengerti. “kalau kita masih terkungkung pemikirannya dan nyaman dengan yang ini-ini saja, kita nggak akan berkembang pemikirannya,” jelasnya.
Inilah yang kemudian disebut Iwan dan Ida makna dari mengalami International Experience: discover new things about new culture.
.