Tag Archive for: uniicoms

Reading Time: 2 minutes

Music always accompanies our daily activities. Music has also existed since time immemorial. For the sake of study studies in Indonesia, this article will be shortened from the colonial and pre-independence era.

In a history talk held by the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Idham Resmadi, a Creative Industry Lecturer from Telkom University, shared the history of music studies into 4 phases of periodization. “Starting from the colonial and pre-independence era, paca independence, the music industry era and post-reformation,” said Idhar on September 19, 2020.

At the event held by PSDMA Nadim Communications UII, Idhar said that the first phase, namely in the colonial period appeared on a radio station namely Radio NIROM, where the Dutch always enjoyed music every day. Then came soeara NIROM (NIROM voice) in the form of a leaflet. The contents are the program schedule on the radio.

Over time there was struggle and cultural influences began to develop. “For example, between fans of traditional keroncong and keroncong which is somewhat westernized. The term will develop, the arena of cultural contestation, there is the term keroncong gado-gado (Mixed Keroncong) because there is an assumption that western influence has cultural influences and negative values,” explained Idhar.

The second phase is post-independence. In this era, music has not entered the era of commercialization, and there is still a struggle for influence between East and West. The aura of fighting for discourse on cultural values ​​is still strong, said Idhar. But in print media like Diskorina, debate and criticism are no longer as harsh as before. And they tend to contain light information like astrology, humorous stories, crossword puzzles, etc. “Back then, Western culture was easier for teenagers to accept.”

In the 65th century, music became a political propaganda tool for the New Order. In the past, ABRI (Kostrad) used music, even through musical performances. “Even the cultural strategy is for soldiers to have their own band,” he added.

After that, there was a struggle for the discourse “Kampungan vs Gaul” between fans of the music “Dangdut vs Rock” which was quite busy. This kind of opinion was brought by Aktuil magazine. Also in the magazine, fashion trends are also easily accepted and adapted by the Indonesian people.

In the 1970s-1980s music developed. And this year, music entered the world of industry. There are also many tabloids and music magazines that support the music industry from an economic perspective. The magazine is not far from entertainment, lifestyle, or gossip. “There is a symbiosis of mutualism between music and media. The media supports the promotion of music, and music becomes a commodity.”

 

Reading Time: 2 minutes

Musik selalu menemani aktifitas sehari-hari kita. Musik juga hadir sejak jaman dahulu. Demi kepentingan kajian studi di Indonesia, maka tulisan ini akan diperpendek mulai jaman kolonial dan pra kemerdekaan.

Dalam bincang sejarah yang diadakan Forum Amir Effendi Siregar (AES), Idham Resmadi, Dosen Industri Kreatif dari Telkom University, membagi sejarah kajian musik dalam 4 fase periodesasi. “Dimulai dari jaman kolonial dan pra kemerdekaan, paca kemerdekaan, masa industri musik dan pasca reformasi,” kata Idhar pada 19 September 2020.

Pada acara yang diadakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII, ini Idhar mengatakan bahwa fase pertama yaitu di masa kolonial muncul Radio NIROM, dimana penjajah Belanda sehari hari selalu menikmati musik. Lalu muncul juga soeara NIROM yang berbentuk leaflet. Isinya adalah susunan acara di radio tersebut.

Lama-lama terjadi perebutan dan pengaruh budaya mulai berkembang. “Misalnya antara penggemar keroncong tradisional dengan keroncong yang agak kebarat-baratan. Bakal berkembang istilah, arena kontestasi budaya, ada istilah keroncong gado-gado karena ada anggapan pengaruh barat itu ada pengaruh kebudayaan dan nilai-nilai negatif,” jelas Idhar.

Fase kedua adalah pascakemerdekaan. Di jaman ini musik belum memasuki era komersialisasi, dan masih terjadi perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Aura perebutan wacana nilai budayanya masih kuat, kata Idhar. Tapi di media cetak seperti Diskorina, perdebatan dan kritik tak lagi keras seperti sebelumnya. Dan cenderung berisi informasi ringan seperti astrologi, cerita humor, teka teki silang, dll. “Saat itu, budaya Barat lebih mudah diterima oleh remaja.”

Di tahun sekitar 65an, musik menjadi alat propaganda politik orde Baru. Dulu musik dipakai oleh ABRI (kostrad), bahkan juga melalui pertunjukan musik. “Bahkan strategi budayanya itu tentara sampai punya grup band sendiri,” imbuhnya.

Setelah itu ada perebutan wacana “Kampungan vs Gaul” antara penggemar musik “Dangdut vs Rock” yang cukup ramai. Opini seperti ini dibawa oleh majalah Aktuil. Di majalah itu juga, trend busana juga mudah ditetima dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Di tahun 1970an-1980an musik berkembang. Dan di tahun tahun ini musik memasuki dunia industri. Banyak juga berkembang tabloid dan majalah musik yang isinya menunjang industri musik dari aspek ekonomi. Majalah itu isinya tak jauh dari hiburan, gaya hidup, atau Gosip. “Terjadilah simbiosis mutualisme antara musik dan media. Media menjadi penunjang promosi musik, dan musik menjadi komoditas.”

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 10)

Topik:

Membaca Ulang Media Musik Indonesia: Selera, Kelas, dan Warisannya

Pembicara:

Idhar Resmadi

Penulis dan dosen di Fakultas Industri Kreatif Telkom University. Lebih banyak menulis tentang musik dan budaya populer. Penerima hibah riset musik dari British Council 2019 dan hibah kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 dari Kemendikbud. Bukunya antara lain Music Records Indie Label (2008), Based on A True Story Pure Saturday (2013), Jurnalime Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018), dan beberapa buku antologi lainnya.

Jadwal:

Sabtu, 19 September 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

dan

Registrasi:

 

 

Reading Time: 3 minutes

Kasus kejahatan seksual bukan kasus kriminal biasa. Dalam pemberitaan, jurnalis berperan meluruskan pandangan itu kepada masyarakat.

Oleh MEDIANA

Tulisan ini pernah diterbitkan di Kompas 1 September 2020. Website kami menerbitkan ulang tulisan ini untuk kepentingan edukasi dan pengarusutamaan Jurnalisme Sensitif Gender. Terima kasih pada Kompas atas ringkasan yang baik untuk diskusi ini pada perhelatan rutin Forum Amir Effendi Siregar yang kami adakan pada 29 Agustus 2020 lalu.

Perspektif korban perlu selalu menjadi penekanan dalam pemberitaan kasus kejahatan seksual. Perspektif ini hingga sekarang tidak mudah dibangun oleh media. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bidang Jender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Nani Afrida, Selasa (1/9/2020), di Jakarta mengatakan, framing media terhadap kasus kejahatan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor. Budaya patriarki selama ini masih menjadi faktor utama.

Untuk pemberitaan kejahatan seksual terhadap anak, misalnya, kebanyakan pemberitaan masih menempatkan mereka sebagai obyek. Semua identitas yang menempel dalam diri anak diungkap. Media tidak mewawancarai anak, tetapi mengungkap identitas anak melalui peliputan ke sekolah dan lingkungan
masyarakat.

Beberapa pemberitaan memuat detail-detail yang justru mengorbankan korban. Sebagai contoh, penulisan ”korban anak memakai pakaian tanpa lengan”, ”korban sukarela diajak pergi oleh pelaku”, dan ”korban sudah kenal dengan pelaku”.

Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih dipenuhi stigma dari budaya patriarki. (Nani Afrida)

”Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih
dipenuhi stigma dari budaya patriarki,” ujar Nani. Dengan selalu berpegang pada perspektif korban, media berarti memilih data fakta yang tidak menambah trauma korban. Menuliskan detail keadilan juga ditonjolkan, seperti penggunaan narasumber dari lembaga peduli hak asasi manusia dan kesetaraan jender.

Nani menyampaikan, AJI sudah mengembangkan kode etik meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual bagi anggotanya. Salah satu isinya, anggota AJI menyamarkan identitas semua korban dan pelaku kejahatan seksual yang berkaitan dengan anak. Kode etik ini bersifat menajamkan peliputan dan pemberitaan yang mengedepankan perspektif korban. ”Saya harap jurnalis dan media tidak terbebani peraturan ataupun kode etik. Kasus kekerasan dan eksploitasi seksual bukan kriminal biasa,” ucapnya.

Manajer Program Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia Andy Ardian berpendapat, dengan berperspektif dari sudut pandang korban, jurnalis ataupun organisasi media dapat berempati kepada korban. Ketika kasus kejahatan seksual melibatkan sosok terkenal, perspektif korban membuat jurnalis semestinya tidak gentar.
”Kerja jurnalis seperti investigator. Jurnalis tetap bisa menelusuri perkembangan penegakan hukum meskipun sejumlah laporan kasus sering kali dicabut oleh pengadilan. Peliputan tetap harus berjalan sehingga masyarakat bisa ikut memantau dan teredukasi,” katanya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Iwan Awaluddin Yusuf, mengamati, pascareformasi 1998 terjadi peningkatan jumlah wartawan perempuan, perempuan pengambil kebijakan di media, media berbasis feminisme, serikat jurnalis untuk keberagaman, dan forum jurnalis perempuan.
Beberapa media massa nasional bahkan memiliki wartawan yang idealis terhadap pendekatan jurnalisme sensitif jender. Pendekatan ini kian masif diterapkan, terutama meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual.

Kolaborasi antarmedia untuk liputan berspektif jender juga mulai muncul, seperti #namabaikkampus yang baru-baru ini meraih penghargaan Public Service Journalism Award from the Society of Publishers in Asia. Contoh ini melengkapi perkembangan positif lainnya. Di tengah situasi itu, Iwan mengamati, kebanyakan editor dan reporter saat ini sudah memiliki pengetahuan tentang masalah dan pentingnya jurnalisme sensitif jender, tetapi tidak pada tingkat praktis.

”Pemahaman pendekatan jurnalisme sensitif jender juga belum merata lintas departemen,” ujar Iwan saat menghadiri Serial Bincang Sejarah Komunikasi yang diselenggarakan Forum Amir Effendi Siregar-Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Sabtu (29/8/2020).

Prinsip-prinsip kesetaraan jender secara informal diperkenalkan jurnalis senior kepada yunior. Sisanya, wartawan mencari sendiri pengetahuan seputar pendekatan jurnalisme sensitif jender. Petunjuk umum peliputan kesetaraan jender sudah tersedia, tetapi tidak spesifik untuk jurnalisme sensitif jender. Hal ini tidak mengherankan karena jurnalis juga dihadapkan dengan isu menguatnya pasar bebas, oligarki media,
dan internet.

Tantangan lainnya adalah potensi kekerasan wartawan, orientasi pemberitaan ”page views”, pendanaan media, eksistensi klub laki-laki di internal, dan perusahaan aplikasi internet (OTT) yang enggan bertanggung jawab terhadap konten non-sensitif jender.

Iwan berpendapat, pemahaman dan keterampilan jurnalisme sensitif jender perlu dilatih. Jika diperlukan, pembekalan itu dilakukan melalui formal dan informal. ”Penerapan jurnalisme sensitif jender harus terus diperjuangkan. Hal yangharus diingat adalah perjuangan ini bukan eksklusif milik wartawan perempuan,” ujarnya.

Editor:ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Reading Time: 2 minutes

Many say that the Japanese Population Age was a New Age, but it is also widely known as the Darkest Age of Colonialism. There are many stories of how the atrocities during the Japanese occupation were recorded in the oral history and the mass media published at that time.

On August 29, 2020, in the discussion of the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Lecturer in Communication Science Department who has researched a lot about gender-sensitive journalism, shared his data findings on the Japanese colonization in Indonesia. This fact is widely published in the media reporting on women. How women are represented in Japanese media and journalistic techniques. Not only in newspaper coverage, but also in comics.

Afraid to be taken away

At that time Indonesian women were very afraid to look good. “They are afraid, so they will dress as badly as possible for fear of being taken away,” said Iwan. At that time women had to give their energy, thoughts, skills, and even possessions for the benefit of the Japanese colonizers.

So women who are good, beautiful, healthy, polite will be taken as jugun ianfu (comfort women who are actually prisoners for sex slaves during the Japanese occupation) or fujinkai (female soldiers who support Japan) who help the war to expand colonization in East Asia.

At that time, the media in Indonesia became a propaganda medium. In fact, not only journalistic media but also comics always portray women as beautiful, able to provide good and healthy meals for families, able to look after children.

Japan is also trying to drown out the narrative of American women. At that time, America wanted to show that women must have an equal position with men with various abilities and intelligence. Meanwhile, Japan, with advertisements in its media, depicts a good woman as being gentle and capable of taking care of  the household.

This is also confirmed by Galuh Ambar, who researched the construction of Indonesian women in the Japanese era. She, through the IVAA grant program, quoted the magazine Pandji Poestaka, which described the construction of new women’s ideas in the household. Pandji Poestaka, for example, wrote, “Now we are facing a new world, a new order, heading for greater east Asia under the leadership of old brother Nippon. Mothers are not the least of our obligations in achieving that noble ideal. Our first duty is to completely eliminate all bad western influences, to clean the household from the smell of the west. ”

At that time the comics became a propaganda tool. You can see the comic Sembadra and Srikandi. In the comic, the Suprapti-Sutarti brothers are depicted in different characters. Suprapti is a girl from home, while Sutarti is a girl who likes marching training, is brave, and manly. Two girls like that who would help Japan realize its dream of becoming Asian leaders at that time.

 

Reading Time: 2 minutes

Isu Sensitif Gender sudah ramai dibicarakan sejak mendekati milenium kedua.  Diawali oleh buku yang ditulis oleh Mukhotib di tahun 1998 berjudul Jurnalisme sensitif Gender diterbitkan oleh PMII. Tapi jika melihat lika liku sejarahnya, jurnalisme sensitif gender ini sudah dimulai jauh di jaman kolonial Belanda.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi UII yang sedang studi doktoral di Monash University, banyak memaparkan data yang begitu kaya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada  29 Agustus 2020.

Dalam diskusi itu ia banyak menceritakan konteks jurnalisme sensitif Gender, literatur, sejarah dan dinamika Jurnalisme sensitif gender serta beberapa kajian riset. Ia juga melihat jurnalisme sensitif gender ini tak sebatas di pemberitaan media, tapi juga terjadi dalam praktik keseharian yg melingkupi dunia jurnalistik.

Misalnya upah karyawan perempuan yang lebih rendah, tidak adanya perlindungan jurnalis perempuan, syarat rekrutmen, tidak adanya ruang laktasi, dan, “tidak adanya toleransi libur untuk perempuan dalam masa menstruasi,” kata Iwan mencontohkan.

Iwan berpendapat, wartawan perempuan dari sisi jumlah meningkat pascareformasi. Peran perempuan dan medianya mulai beragam. Mulai dari media dengan perspektif feminis bermunculan, lalu jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin redaksi dan tentu saja bisa menentu kebijakan redaksi. “Tercatat ada 12 Perempuan yang menjadi pemimpin redaksi,” kata Iwan. Muncul juga perkumpulan jurnalis latar belakang perempuan dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang diketuai Uni Lubis, dan Serikat sindikasi.

Ditambah lagi, Iwan juga mengatakan bahwa beberapa media arusutama berbasis di Jakarta bahkan punya jurnalis yang spesialisasi dan idealismenya kuat pada  jurnalisme sensitif gender. “Tak hanya idealisme, tapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan,” imbuhnya.  Merebaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat pendekatan ini menjadi kian masif digunakan.

Perkembangan jurnalisme ini juga membaik. Muncul beragam liputan-liputan bagus menungkap kekerasa seksual sepertu liputan kolaboratif #namabaikkampus. Muncul komunitas yang menjadi media watch dalam peliputan yang sensitif gender. Misalnya remotivi, KNRP, dan mafindo.

Iwan juga mengamati, pada tataran praksis, jurnalis dan jajaran manajemen masih kesulitan dan kedodoran menerapkan jurnalisme ini. Meski pemahaman dan perspektif gender telah banyak dipahami. ”Di lintas departemen, perspektif jurnalisme sensitif gender tak sepenuhnya merata dipahami,” ungkapnya. Tidak ada pelatihan khusus dan kontrol rutin soal pengetahuan jurnalisme sensitif gender.

Dilihat dari babakan sejarah, secara periodisasi, Iwan memberikan bànyak data dan cerita yang melimpah tentang peran perempuan atau data sejarah yang didasarkan pada jurnalisme sensitif gender. Sebagai catatan bahwa Jurnalisme sensitif gender tidak melulu membicarakan perempuan, tetapi juga melihat konteks bagaimana gender dinarasikan dalam masa tertentu.

Dalam membagi sejarah perkembangan jurnalisme sensitif gender, Iwan membagi dalam lima periodisasi milestone Jurnalisme Sensitif Gender. Pertama Era kolonial, era social marxis di bawah Presiden Soekarno,  Era suharto, era transisi reformasi dan era paska reformasi hingga kini.

Reading Time: < 1 minute


Forum Amir Effendi Siregar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Seri 9)

Topik:
Meletakkan Sejarah Pers Mahasiswa dalam Kajian Media di Indonesia

Pembicara:
Wisnu Prasetya Utomo

Menyelesaikan studi master di School of Media and Communication, University of Leeds. Menulis buku Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan (2013) yang diangkat dari skripsi S1.  Saat ini merupakan pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UGM dan sedang menyelesaikan buku yang diolah dari tesis S2 tentang Media and Political Parallelism in Indonesia.



Jadwal
Sabtu, 5 September 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

Registrasi:

http://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasisesi9 

Reading Time: < 1 minuteGender sensitive issues have been widely discussed since approaching the second millennium. Starting with a book written by Mukhotib in 1998 entitled Gender sensitive journalism published by PMII. But if you look at the twists and turns of its history, this gender sensitive journalism has started way back in the Dutch colonial era.

Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Communication Science lecturer who is currently studying his doctorate at Monash University, explained a lot of rich data in the discussion at the Amir Effendi Siregar (AES) Forum on August 29th, 2020.

In that discussion he talked a lot about the context of gender sensitive journalism, literature, history and dynamics of gender sensitive journalism as well as several research studies. He also sees that gender-sensitive journalism is not limited to media coverage, but also occurs in daily practices that surround the world of journalism.

For example, the lower wages of female employees, the absence of protection for female journalists, recruitment requirements, the absence of lactation rooms, and, “there is no tolerance for holidays for women during menstruation,” said Iwan, giving a lot of examples.

Tracing from the historical stage, periodically, Iwan provided a lot of data and stories about the role of women or historical data based on gender sensitive journalism. It should be noted that gender sensitive journalism does not only talk about women, but also looks at the context of how gender is narrated in certain times.

In Sharing the history of the development of gender-sensitive journalism, Iwan divided it into 7 periodizations. First, the colonial era, second is the era of the independence movement of Indonesia, the Japanese occupation era, the Soekarno era, the Suharto era, the transitional reform era and the reform era until now.

 

Reading Time: < 1 minute

0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Seri 8)

Topik:

Sejarah dan Catatan Jurnalisme Sensitif Gender di Indonesia


Pembicara:

Iwan Awaluddin Yusuf

Pengajar kajian media dan Jurnalisme di Jurusan Ilmu Komunikasi UII sejak 2004. Menulis buku Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas (2005). Ia adalah PhD Candidate di School of Media, Film, and Journalism, Monash University, Australia dengan topik disertasi jurnalisme sensitif gender dalam liputan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

 

Jadwal

Sabtu, 29 Agustus 2020
Pukul 09:45 WIB
Via Zoom

atau tonton di

Registrasi:

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

 

Reading Time: 2 minutesMengapa melacak sejarah humas itu penting? Di negara lain, sejarah humas hanya berkonteks negara masing-masing. Studi ini peminatnya banyak, buku ajar banyak ditulis, tetapi persoalan sejarah humas tak banyak. Maka saatnya kini Melacak Sejarah Public Relations di Indonesia di Forum AES.

“Beberapa buku memang sudah menulis deskripsi sejarah public relation/ PR di Indonesia, tetapi miskin konteks sosial, politik, dan budaya,” kata I Gusti Ngurah Putra, Akademisi dari Departemen Ilmu Komunikasi UGM, sebagai pembicara pada Sabtu (22/8) di Forum Amir Effendi Siregar (AES) yang disiarkan langsung Channel Uniicoms TV.

Buku-buku dari negara lain sudah membahas sejarah sesuai konteks negaranya. Misalnya, Ngurah mennyontohkan buku The Unseen Power, Public Relation: A history. Scott M. Cutlip menulis itu sampai setebal 832 halaman soal sejarah PR. Jacquie L’Etang juga menulis sejarah PR di Inggris dalam buku berjudul Public Relations in Britain.

Sedangkan di Indonesia, sejarah PR masih belum digarap serius. Menurut Ngurah, jika penulisan sejarah humas tidak dimulai, ada ketakutan sulit mengakses data dan informan.

“Informan ahli dari kalangan pelaku awal atau perintis awal humas di Indonesia tinggal sedikit. Tantangan lain adalah dokumen terkait praktek humas dan gagasan yang berkembang tidak mudah untuk diperoleh,” jelas Ngurah.

Ia memberi penanda soal siapa yang bisa dijadikan peletak awal PR di Indonesia dalam sejarah. Misalnya Prof. Alwi dahlan yang mendirikan konsultan humas di Indonesia, “lalu ada Wicaksono Noeradi, praktisi humas yang pernah sekolah di School of Journalism di Negeri Abang Sam. Lalu Amiruddin, humas PT. Astra,” imbuhnya.

Bagaimana Humas di Indonesia Mula-mula

Dalam sejarahnya, humas masa kemerdekaan dan era Soekarno lebih banyak diarahkan pada membangun semangat baru sebagai sebuah bangsa yang baru. Menurut Ngurah, PR Indonesia di awal republik ni berdiri, dijalani sebagai public diplomacy dan hubungan internasional, kata Ngurah yang menyelesaikan studi Master-nya dan mengkaji PR Indonesia di University of Canberra, Australia.

Tak hanya itu. Perusahaan minyak asing di awal tahun 1950-an seperti STANVAC, Shell, Caltex, BTM ke Indonesia sering dianggap sebagai awal munculnya Corporate PR di Indonesia, katanya. Pada saat yang hampir bersamaan, beberapa perusahaan atau lembaga negara seperti Kepolisian, RRI dan Garuda Indonesia juga mulai memiliki bagian Humas.

Di tahun 60-an, Tahun inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya PR di Indonesia. Istilah “purel” sebagai akronim PR makin populer daripada istilah “humas”. Lalu pada 1962, presidium Kabinet PM Juanda menginstruksikan agar setiap instansi membentuk divisi humas.

Perkembangan selanjutnya, kata Ngurah, pada era orde baru, lembaga pemerintah mulai memeiliki bagian humas. Departemen Penerangan/ Deppen juga menjalankan fungsi kehumasan untuk pemerintah.