Tag Archive for: sejarah penyiaran indonesia

Reading Time: 3 minutes

Sebuah slogan yang sarat spirit heroisme: Sekali Di Udara Tetap di Udara, menggema di media sosial dan saluran terestrial dalam bulan ini, menjelang perayaan tiga perempat abad kelahiran RRI (radio republik Indonesia), radio nasional tertua. Slogan ini lahir dalam masa revolusi kemerdekaan tahun 1948, ketika studio RRI Solo dibawah pimpinan R. Maladi, harus pindah ke Karanganyar menghindari aksi militer Belanda.

Slogan ini terus di rawat dalam benak dan disuarakan hingga 75 tahun kemudian, sebagai isyarat verbal bahwa RRI bertekad menjadi bagian dari proses ’revolusi udara’ pasca kemerdekaan. Meski lanskap sosial politik dan sistem media telah berubah. Merujuk buku Sedjarah Radio (1963), teks lengkap slogan itu sebetulnya didahului kalimat: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, namun kalimat ini kerapkali tidak disertakan. Terinspirasi dari daya tahan slogan ini melewati berbagai periode politik dan sistem media, tulisan pendek ini menggali sejarah RRI dalam kerangka kebijakan penyiaran di Indonesia.

Dua Periode Kritis

Memasuki usia 75 tahun bagi RRI berarti juga memasuki periode ketiga kebijakan penyiaran Indonesia. Kebijakan pertama berlaku sejak radio ini lahir tahun 1945 hingga tahun 1970. Corak dasarnya monopolistik, di mana otoritas politik Indonesia hanya memiliki satu jenis media, yaitu radio pemerintah, radio siaran di luar pemerintah dianggap illegal. Model monopolistik ini jamak terjadi di negara lain termasuk di Inggris di mana sejak berdiri tahun 1927 hingga 1970-an, BBC menjadi pemain tunggal. Perbedaannya, BBC sejak awal menjadi media publik berbasis kebudayaan publik, sedang RRI lahir dengan semangat menjadi radio politik, mendukung pemerintah pasca kemerdekaan, bukan kebudayaan.

Orientasi penyiaran yang bersifat politis ini dikoreksi pada periode antara tahun 1970-1995-an. Keluarnya PP No. 55/1970 yang mengakui radio swasta mengakhiri era dominasi tunggal RRI. Regulasi ini mempromosikan radio sebagai institusi budaya, berbasis kreatifitas masyarakat dengan tujuan sosial-komersial. Kompetisi menjadi kata kunci yang sejatinya bisa memperkuat posisi RRI sebagai media publik. Sayang, hasrat pemerintah mengkooptasi RRI masih kuat sehingga periode 1970-1985 bisa dianggap sebagai sejarah paling buruk bagi RRI sebagai institusi radio yang seharusnya melayani warga negara.

Masa Lalu atau Masa Depan?

Periode ketiga (1995-2020) adalah periode paling dinamis sistem penyiaran Indonesia termasuk RRI. UU Penyiaran No. 32/2002 mengkoreksi kebijakan dualisme: radio pemerintah dan radio swasta menjadi kebijakan pluralistik terbatas. Ditandai munculnya radio publik dan radio komunitas sebagai pemain baru. Pilihan RRI pada tahun 2000 untuk menjadi radio publik sudah benar, selaras semangat demokratisasi media. Namun, dalam perjalanan hingga tahun 2020, rupanya tampak sikap galau, dan semangat untuk menjaga aliansi mesra dengan otoritas politik, bukan beraliansi dengan publik. Para insan di radio terbesar di Indonesia ini masih bimbang: merawat masa lalu atau meraih masa depan.

Karakteristik budaya jurnalisme di Indonesia pada 15 tahun terakhir, ketika RRI sudah mengemban status sebagai lembaga penyiaran publik mirip dengan apa yang digambarkan Robert McChesney (1999) sebagai: rich media poor democracy (jumlah media yang banyak, informasi yang berhamburan, tetapi minim kualitas yang merawat demokrasi). Setelah berusia 15 tahun sebagai LPP, pengelola RRI tampak tenggelam kepada kejayaan masa lalu sebagai media pembangunan dan saluran budaya serta olah raga, dan melewatkan kesempatan untuk menjadi saluran informasi yang tajam dan berkualitas. Slogan “sekali di udara tetap di udara“ kian mengalami kemandegan makna dan spirit perubahan. Nah, jika ingin meraih masa depan yang cerah menuju satu abad (25 tahun ke depan), RRI harus segera berbenah memenuhi aspirasi publik, sebab hanya publik yang loyalitasnya tulus.

 

Penulis: Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII

—–

Tulisan ini telah terbit sebelumnya di Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta pada edisi 11 September 2020 halaman 11. Gagasan dalam tulisan ini kembali kami terbitkan dalam laman ini demi menyemarakkan Bulan Penyiaran Publik. Kami meyakini, Semangat pembaruan Lembaga Penyiaran Publik yang tersirat dalam tulisan Dosen Program Studi kami ini layak digaungkan dan dikemasulang di laman-laman studi komunikasi sebagai bagian dari proses laku Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management). Penulis adalah doktor dengan spesialisasi kajian Penyiaran Publik, Media Layanan Publik dalam klaster riset Regulasi dan Kebijakan Komunikasi.  Tulisan ini juga menjadi bagian komitmen kami pada rangkaian diskusi Sejarah Komunikasi dalam kajian Forum Amir Effendi Siregar.

Reading Time: 3 minutes

A slogan full of the spirit of heroism: Sekali di Udara, Tetap di Udara (Once in the Air Stay in the Air), echoing on social media and terrestrial channels this month, ahead of the three-quarter century anniversary of the birth of RRI (radio republic of Indonesia), the oldest national radio. This slogan was born during the independence revolution in 1948, when RRI Solo studio under the leadership of R. Maladi, had to move to Karanganyar to avoid Dutch military action.

This slogan was kept in mind and voiced up to 75 years later, as a verbal signal that RRI was determined to be part of the post-independence ‘air revolution’ process. Although the socio-political landscape and media system have changed. Referring to the book Sedjarah Radio (1963), the full text of the slogan is actually preceded by the sentence: Once Free, Stay Free, but this sentence is often not included. Inspired by the persistence of this slogan through various periods of politics and media systems, this short article explores the history of RRI within the framework of broadcasting policy in Indonesia.

Two Critical Periods

Entering the age of 75 for RRI means entering the third period of Indonesia’s broadcasting policy. The first policy was in effect since radio was born in 1945 to 1970. The basic pattern is monopolistic, in which the Indonesian political authority only has one type of media, namely state radio, broadcast radio outside the government is considered illegal. This monopolistic model is common in other countries, including Britain, where since its founding in 1927 to the 1970s, the BBC has been the sole player. The difference is that the BBC has been a public media based on public culture from the start, while RRI was born with the spirit to become a political radio, supporting the post-independence government, not culture.

This political orientation of broadcasting was corrected in the period between 1970-1995s. The issuance of PP No. 55/1970 which acknowledged that private radio ended the era of RRI’s single domination. This regulation promotes radio as a cultural institution, based on community creativity with socio-commercial objectives. Competition is a keyword that can actually strengthen RRI’s position as a public media. Unfortunately, the government’s desire to co-opt RRI is still strong so that the period 1970-1985 can be considered as the worst history for RRI as a radio institution that should serve citizens.

Past or Future?

The third period (1995-2020) was the most dynamic period for the Indonesian broadcasting system, including RRI. Broadcasting Law No. 32/2002 corrects the policy of dualism: state radio and private radio to a limited pluralistic policy. Marked by the emergence of public radio and community radio as a new player. RRI’s choice in 2000 to become a public radio station was correct, in line with the spirit of media democratization. However, on the way up to 2020, there seems to be a troubled attitude and enthusiasm to maintain an intimate alliance with political authorities, not alliance with the public. The people on the biggest radio in Indonesia are still uncertain: caring for the past or reaching for the future.

The characteristics of journalism culture in Indonesia in the last 15 years, when RRI has assumed its status as a public broadcasting institution is similar to what Robert McChesney (1999) described as: rich media, poor democracy (large amount of media, scattered information, but minimal quality of care. democracy). After turning 15 as an LPP, the RRI manager seems to be immersed in its past glory as a medium for development and a channel for culture and sports, and has missed the opportunity to become a channel for sharp and quality information. The slogan “once in the air, remains in the air” increasingly stagnates the meaning and spirit of change. So, if you want to achieve a bright future towards a century (the next 25 years), RRI must immediately clean up to meet the aspirations of the public, because only the public has genuine loyalty.

 

Author: Masduki, Dr.rer.soc.

Lecturer of the UII Communication Science Departmen of Universitas Islam Indonesia

—–

This article was previously published in the Kedaulatan Rakyat Daily in Yogyakarta on the 11 September 2020 edition page 11. We republish the ideas in this paper on this page to enliven the Month of Public Broadcasting. We believe the spirit of renewing the Public Broadcasting Institution, which is implied in the writings of our Communication Science Lecturer, deserves to be echoed and republished on communication study pages as part of the Knowledge Management process. The author is a doctorate specializing in Public Broadcasting, Public Service Media in the Communication Policy and Regulation research cluster. This paper is also part of our commitment to a series of discussions on the history of communication in the study of the Amir Effendi Siregar Forum.

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar:

Bincang sejarah komunikasi seri 5

Topik:

Membaca Ulang Sistem Penyiaran Indonesia: Dari Era Kolonial Belanda hingga Pasca Suharto

Pembicara:

Dr. rer. soc. Masduki

Masduki mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UII sejak 2004-sekarang. Menulis buku: Penyiaran Indonesia: Dari Otoriter ke Liberal (2007). Karya disertasinya pada University of Munich, Jerman (2019), Public Service Broadcasting and Post-Authoritarian Indonesia akan diterbitkan oleh Palgrave McMillan (Springer Nature, London) akhir tahun ini

 

Jadwal

Sabtu, 8 Agustus 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

Registrasi: