Tag Archive for: sejarah komunikasi

Reading Time: 2 minutes

Music always accompanies our daily activities. Music has also existed since time immemorial. For the sake of study studies in Indonesia, this article will be shortened from the colonial and pre-independence era.

In a history talk held by the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Idham Resmadi, a Creative Industry Lecturer from Telkom University, shared the history of music studies into 4 phases of periodization. “Starting from the colonial and pre-independence era, paca independence, the music industry era and post-reformation,” said Idhar on September 19, 2020.

At the event held by PSDMA Nadim Communications UII, Idhar said that the first phase, namely in the colonial period appeared on a radio station namely Radio NIROM, where the Dutch always enjoyed music every day. Then came soeara NIROM (NIROM voice) in the form of a leaflet. The contents are the program schedule on the radio.

Over time there was struggle and cultural influences began to develop. “For example, between fans of traditional keroncong and keroncong which is somewhat westernized. The term will develop, the arena of cultural contestation, there is the term keroncong gado-gado (Mixed Keroncong) because there is an assumption that western influence has cultural influences and negative values,” explained Idhar.

The second phase is post-independence. In this era, music has not entered the era of commercialization, and there is still a struggle for influence between East and West. The aura of fighting for discourse on cultural values ​​is still strong, said Idhar. But in print media like Diskorina, debate and criticism are no longer as harsh as before. And they tend to contain light information like astrology, humorous stories, crossword puzzles, etc. “Back then, Western culture was easier for teenagers to accept.”

In the 65th century, music became a political propaganda tool for the New Order. In the past, ABRI (Kostrad) used music, even through musical performances. “Even the cultural strategy is for soldiers to have their own band,” he added.

After that, there was a struggle for the discourse “Kampungan vs Gaul” between fans of the music “Dangdut vs Rock” which was quite busy. This kind of opinion was brought by Aktuil magazine. Also in the magazine, fashion trends are also easily accepted and adapted by the Indonesian people.

In the 1970s-1980s music developed. And this year, music entered the world of industry. There are also many tabloids and music magazines that support the music industry from an economic perspective. The magazine is not far from entertainment, lifestyle, or gossip. “There is a symbiosis of mutualism between music and media. The media supports the promotion of music, and music becomes a commodity.”

 

Reading Time: 2 minutes

Musik selalu menemani aktifitas sehari-hari kita. Musik juga hadir sejak jaman dahulu. Demi kepentingan kajian studi di Indonesia, maka tulisan ini akan diperpendek mulai jaman kolonial dan pra kemerdekaan.

Dalam bincang sejarah yang diadakan Forum Amir Effendi Siregar (AES), Idham Resmadi, Dosen Industri Kreatif dari Telkom University, membagi sejarah kajian musik dalam 4 fase periodesasi. “Dimulai dari jaman kolonial dan pra kemerdekaan, paca kemerdekaan, masa industri musik dan pasca reformasi,” kata Idhar pada 19 September 2020.

Pada acara yang diadakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII, ini Idhar mengatakan bahwa fase pertama yaitu di masa kolonial muncul Radio NIROM, dimana penjajah Belanda sehari hari selalu menikmati musik. Lalu muncul juga soeara NIROM yang berbentuk leaflet. Isinya adalah susunan acara di radio tersebut.

Lama-lama terjadi perebutan dan pengaruh budaya mulai berkembang. “Misalnya antara penggemar keroncong tradisional dengan keroncong yang agak kebarat-baratan. Bakal berkembang istilah, arena kontestasi budaya, ada istilah keroncong gado-gado karena ada anggapan pengaruh barat itu ada pengaruh kebudayaan dan nilai-nilai negatif,” jelas Idhar.

Fase kedua adalah pascakemerdekaan. Di jaman ini musik belum memasuki era komersialisasi, dan masih terjadi perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Aura perebutan wacana nilai budayanya masih kuat, kata Idhar. Tapi di media cetak seperti Diskorina, perdebatan dan kritik tak lagi keras seperti sebelumnya. Dan cenderung berisi informasi ringan seperti astrologi, cerita humor, teka teki silang, dll. “Saat itu, budaya Barat lebih mudah diterima oleh remaja.”

Di tahun sekitar 65an, musik menjadi alat propaganda politik orde Baru. Dulu musik dipakai oleh ABRI (kostrad), bahkan juga melalui pertunjukan musik. “Bahkan strategi budayanya itu tentara sampai punya grup band sendiri,” imbuhnya.

Setelah itu ada perebutan wacana “Kampungan vs Gaul” antara penggemar musik “Dangdut vs Rock” yang cukup ramai. Opini seperti ini dibawa oleh majalah Aktuil. Di majalah itu juga, trend busana juga mudah ditetima dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Di tahun 1970an-1980an musik berkembang. Dan di tahun tahun ini musik memasuki dunia industri. Banyak juga berkembang tabloid dan majalah musik yang isinya menunjang industri musik dari aspek ekonomi. Majalah itu isinya tak jauh dari hiburan, gaya hidup, atau Gosip. “Terjadilah simbiosis mutualisme antara musik dan media. Media menjadi penunjang promosi musik, dan musik menjadi komoditas.”

Reading Time: 2 minutes

Many say that the Japanese Population Age was a New Age, but it is also widely known as the Darkest Age of Colonialism. There are many stories of how the atrocities during the Japanese occupation were recorded in the oral history and the mass media published at that time.

On August 29, 2020, in the discussion of the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Lecturer in Communication Science Department who has researched a lot about gender-sensitive journalism, shared his data findings on the Japanese colonization in Indonesia. This fact is widely published in the media reporting on women. How women are represented in Japanese media and journalistic techniques. Not only in newspaper coverage, but also in comics.

Afraid to be taken away

At that time Indonesian women were very afraid to look good. “They are afraid, so they will dress as badly as possible for fear of being taken away,” said Iwan. At that time women had to give their energy, thoughts, skills, and even possessions for the benefit of the Japanese colonizers.

So women who are good, beautiful, healthy, polite will be taken as jugun ianfu (comfort women who are actually prisoners for sex slaves during the Japanese occupation) or fujinkai (female soldiers who support Japan) who help the war to expand colonization in East Asia.

At that time, the media in Indonesia became a propaganda medium. In fact, not only journalistic media but also comics always portray women as beautiful, able to provide good and healthy meals for families, able to look after children.

Japan is also trying to drown out the narrative of American women. At that time, America wanted to show that women must have an equal position with men with various abilities and intelligence. Meanwhile, Japan, with advertisements in its media, depicts a good woman as being gentle and capable of taking care of  the household.

This is also confirmed by Galuh Ambar, who researched the construction of Indonesian women in the Japanese era. She, through the IVAA grant program, quoted the magazine Pandji Poestaka, which described the construction of new women’s ideas in the household. Pandji Poestaka, for example, wrote, “Now we are facing a new world, a new order, heading for greater east Asia under the leadership of old brother Nippon. Mothers are not the least of our obligations in achieving that noble ideal. Our first duty is to completely eliminate all bad western influences, to clean the household from the smell of the west. ”

At that time the comics became a propaganda tool. You can see the comic Sembadra and Srikandi. In the comic, the Suprapti-Sutarti brothers are depicted in different characters. Suprapti is a girl from home, while Sutarti is a girl who likes marching training, is brave, and manly. Two girls like that who would help Japan realize its dream of becoming Asian leaders at that time.

 

Reading Time: 2 minutes

Isu Sensitif Gender sudah ramai dibicarakan sejak mendekati milenium kedua.  Diawali oleh buku yang ditulis oleh Mukhotib di tahun 1998 berjudul Jurnalisme sensitif Gender diterbitkan oleh PMII. Tapi jika melihat lika liku sejarahnya, jurnalisme sensitif gender ini sudah dimulai jauh di jaman kolonial Belanda.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi UII yang sedang studi doktoral di Monash University, banyak memaparkan data yang begitu kaya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada  29 Agustus 2020.

Dalam diskusi itu ia banyak menceritakan konteks jurnalisme sensitif Gender, literatur, sejarah dan dinamika Jurnalisme sensitif gender serta beberapa kajian riset. Ia juga melihat jurnalisme sensitif gender ini tak sebatas di pemberitaan media, tapi juga terjadi dalam praktik keseharian yg melingkupi dunia jurnalistik.

Misalnya upah karyawan perempuan yang lebih rendah, tidak adanya perlindungan jurnalis perempuan, syarat rekrutmen, tidak adanya ruang laktasi, dan, “tidak adanya toleransi libur untuk perempuan dalam masa menstruasi,” kata Iwan mencontohkan.

Iwan berpendapat, wartawan perempuan dari sisi jumlah meningkat pascareformasi. Peran perempuan dan medianya mulai beragam. Mulai dari media dengan perspektif feminis bermunculan, lalu jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin redaksi dan tentu saja bisa menentu kebijakan redaksi. “Tercatat ada 12 Perempuan yang menjadi pemimpin redaksi,” kata Iwan. Muncul juga perkumpulan jurnalis latar belakang perempuan dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang diketuai Uni Lubis, dan Serikat sindikasi.

Ditambah lagi, Iwan juga mengatakan bahwa beberapa media arusutama berbasis di Jakarta bahkan punya jurnalis yang spesialisasi dan idealismenya kuat pada  jurnalisme sensitif gender. “Tak hanya idealisme, tapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan,” imbuhnya.  Merebaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat pendekatan ini menjadi kian masif digunakan.

Perkembangan jurnalisme ini juga membaik. Muncul beragam liputan-liputan bagus menungkap kekerasa seksual sepertu liputan kolaboratif #namabaikkampus. Muncul komunitas yang menjadi media watch dalam peliputan yang sensitif gender. Misalnya remotivi, KNRP, dan mafindo.

Iwan juga mengamati, pada tataran praksis, jurnalis dan jajaran manajemen masih kesulitan dan kedodoran menerapkan jurnalisme ini. Meski pemahaman dan perspektif gender telah banyak dipahami. ”Di lintas departemen, perspektif jurnalisme sensitif gender tak sepenuhnya merata dipahami,” ungkapnya. Tidak ada pelatihan khusus dan kontrol rutin soal pengetahuan jurnalisme sensitif gender.

Dilihat dari babakan sejarah, secara periodisasi, Iwan memberikan bànyak data dan cerita yang melimpah tentang peran perempuan atau data sejarah yang didasarkan pada jurnalisme sensitif gender. Sebagai catatan bahwa Jurnalisme sensitif gender tidak melulu membicarakan perempuan, tetapi juga melihat konteks bagaimana gender dinarasikan dalam masa tertentu.

Dalam membagi sejarah perkembangan jurnalisme sensitif gender, Iwan membagi dalam lima periodisasi milestone Jurnalisme Sensitif Gender. Pertama Era kolonial, era social marxis di bawah Presiden Soekarno,  Era suharto, era transisi reformasi dan era paska reformasi hingga kini.

Reading Time: < 1 minute

Gender sensitive issues have been widely discussed since approaching the second millennium. Starting with a book written by Mukhotib in 1998 entitled Gender sensitive journalism published by PMII. But if you look at the twists and turns of its history, this gender sensitive journalism has started way back in the Dutch colonial era.

Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Communication Science lecturer who is currently studying his doctorate at Monash University, explained a lot of rich data in the discussion at the Amir Effendi Siregar (AES) Forum on August 29th, 2020.

In that discussion he talked a lot about the context of gender sensitive journalism, literature, history and dynamics of gender sensitive journalism as well as several research studies. He also sees that gender-sensitive journalism is not limited to media coverage, but also occurs in daily practices that surround the world of journalism.

For example, the lower wages of female employees, the absence of protection for female journalists, recruitment requirements, the absence of lactation rooms, and, “there is no tolerance for holidays for women during menstruation,” said Iwan, giving a lot of examples.

Tracing from the historical stage, periodically, Iwan provided a lot of data and stories about the role of women or historical data based on gender sensitive journalism. It should be noted that gender sensitive journalism does not only talk about women, but also looks at the context of how gender is narrated in certain times.

In Sharing the history of the development of gender-sensitive journalism, Iwan divided it into 7 periodizations. First, the colonial era, second is the era of the independence movement of Indonesia, the Japanese occupation era, the Soekarno era, the Suharto era, the transitional reform era and the reform era until now.

 

Reading Time: 2 minutes

Mengapa melacak sejarah humas itu penting? Di negara lain, sejarah humas hanya berkonteks negara masing-masing. Studi ini peminatnya banyak, buku ajar banyak ditulis, tetapi persoalan sejarah humas tak banyak. Maka saatnya kini Melacak Sejarah Public Relations di Indonesia di Forum AES.

“Beberapa buku memang sudah menulis deskripsi sejarah public relation/ PR di Indonesia, tetapi miskin konteks sosial, politik, dan budaya,” kata I Gusti Ngurah Putra, Akademisi dari Departemen Ilmu Komunikasi UGM, sebagai pembicara pada Sabtu (22/8) di Forum Amir Effendi Siregar (AES) yang disiarkan langsung Channel Uniicoms TV.

Buku-buku dari negara lain sudah membahas sejarah sesuai konteks negaranya. Misalnya, Ngurah mennyontohkan buku The Unseen Power, Public Relation: A history. Scott M. Cutlip menulis itu sampai setebal 832 halaman soal sejarah PR. Jacquie L’Etang juga menulis sejarah PR di Inggris dalam buku berjudul Public Relations in Britain.

Sedangkan di Indonesia, sejarah PR masih belum digarap serius. Menurut Ngurah, jika penulisan sejarah humas tidak dimulai, ada ketakutan sulit mengakses data dan informan.

“Informan ahli dari kalangan pelaku awal atau perintis awal humas di Indonesia tinggal sedikit. Tantangan lain adalah dokumen terkait praktek humas dan gagasan yang berkembang tidak mudah untuk diperoleh,” jelas Ngurah.

Ia memberi penanda soal siapa yang bisa dijadikan peletak awal PR di Indonesia dalam sejarah. Misalnya Prof. Alwi dahlan yang mendirikan konsultan humas di Indonesia, “lalu ada Wicaksono Noeradi, praktisi humas yang pernah sekolah di School of Journalism di Negeri Abang Sam. Lalu Amiruddin, humas PT. Astra,” imbuhnya.

Bagaimana Humas di Indonesia Mula-mula

Dalam sejarahnya, humas masa kemerdekaan dan era Soekarno lebih banyak diarahkan pada membangun semangat baru sebagai sebuah bangsa yang baru. Menurut Ngurah, PR Indonesia di awal republik ni berdiri, dijalani sebagai public diplomacy dan hubungan internasional, kata Ngurah yang menyelesaikan studi Master-nya dan mengkaji PR Indonesia di University of Canberra, Australia.

Tak hanya itu. Perusahaan minyak asing di awal tahun 1950-an seperti STANVAC, Shell, Caltex, BTM ke Indonesia sering dianggap sebagai awal munculnya Corporate PR di Indonesia, katanya. Pada saat yang hampir bersamaan, beberapa perusahaan atau lembaga negara seperti Kepolisian, RRI dan Garuda Indonesia juga mulai memiliki bagian Humas.

Di tahun 60-an, Tahun inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya PR di Indonesia. Istilah “purel” sebagai akronim PR makin populer daripada istilah “humas”. Lalu pada 1962, presidium Kabinet PM Juanda menginstruksikan agar setiap instansi membentuk divisi humas.

Perkembangan selanjutnya, kata Ngurah, pada era orde baru, lembaga pemerintah mulai memeiliki bagian humas. Departemen Penerangan/ Deppen juga menjalankan fungsi kehumasan untuk pemerintah.

Reading Time: 2 minutes

Why is tracking the history of public relations important? In other countries, the history of public relations only has the context of each country. This study has a lot of enthusiasts. Its also many writers write textbooks, but there are not many issues in the history of public relations.

“Some books have written descriptions of the history of public relations / PR in Indonesia. The problems are they lack social, political and cultural contexts,” said I Gusti Ngurah Putra. Ngurah is a scholar from the UGM Department of Communication Sciences. He speak on Saturday (22/8) at the Forum Amir Effendi Siregar (AES) which was broadcast live on the Uniicoms TV Channel.

Books and Reference of History of PR                                                 

Books from other countries have discussed history according to the context of their country. For example, Ngurah cited the book entitled The Unseen Power, Public Relations: A history. Scott M. Cutlip wrote it up to 832 pages in thickness about the history of PR. Jacquie L’Etang also wrote the history of public relations in England in a book entitled Public Relations in Britain.

Meanwhile,  the history of PR in Indonesia is still not seriously worked on. According to Ngurah, if the writing of public relations history does not start, there is a fear that it will be difficult to access data and informants.

“There are only a few expert informants from the early actors or public relations pioneers in Indonesia. Another challenge is that documents related to PR practices and developing ideas are not easy to obtain,” explained Ngurah.

He gave a marker about who could be the starting point of indonensian PR in history. For example Prof. Alwi Dahlan, who founded a public relations consultant in Indonesia, “then there is Wicaksono Noeradi, a public relations practitioner who attended the School of Journalism in the United State. Then Amiruddin, PR of PT. Astra,” he added.

How Public Relations in Indonesia Early

In its history, public relations during the independence and Soekarno era were more focused in particular issues. Soekarno focused on building a new spirit as a new nation. According to Ngurah, public diplomacy is Indonesian PR focus at the beginning of the republic. It also focus on international relations, said Ngurah. Ngurah completed his Masters study and studied Indonesian PR at the University of Canberra, Australia.

Not only that. “Foreign oil companies in the early 1950s such as STANVAC, Shell, Caltex, BTM to Indonesia are often seen as the beginning of the emergence of Corporate PR in Indonesia,” he said. At about the same time, several companies or state institutions such as the Police, RRI and Garuda Indonesia also started having a Public Relations section.

In the 60s, this year was the forerunner to the development of PR in Indonesia. The term “purel” as an acronym for PR is getting more and more popular than the term “public relations”. Then in 1962, PM Juanda’s Cabinet presidium instructed each agency to form a public relations division.

Further developments, said Ngurah, during the New Order era, government agencies began to have a public relations department. The Ministry of Information / Deppen also performs a public relations function for the government.

Reading Time: 4 minutes

Belajar dari Pengalaman Luthfi Adam Meriset 68 Ribu Halaman Arsip 

Kali ini Luthfi Adam menjelaskan tentang Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah. Luthfi, dalam kajian Seri Bincang Sejarah Komunikasi yang pertama, ini selain bicara tentang metode sejarah, ia juga mengurai urgensi pengajaran Sejarah Jurnalistik dalam kurikulum jurusan komunikasi.  Serial bincang sejarah yang dipandu Holy Rafika Dhona, akademisi Komunikasi UII dengan fokus kajian Komunikasi Geografi, ini berusaha mendedah cakrawala pemikiran sejarah komunikasi di Indonesia. Hal ini jarang, atau bahkan luput dari perhatian akademisi Komunikasi, Jurnalistik, di Indonesia. “Bagaimana scholar komunikasi meminjam teknik meneliti sejarah untuk riset komunikasi mereka?” Luthfi memulai dengan pantikan ketika memulai diskusi tentang metode sejarah dalam Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) ini.

“Sebenarnya, metode penelitian sejarah tidak jauh berbeda dengan cara kerja jurnalis,” papar Luthfi. “Kita semua tahu, sejarah adalah narasi analisis yang terjadi di masa lalu. Singkatnya, metode penelitian sejarah adalah teknik-teknik yang dibangun oleh penelitinya, sejarahwan, untuk mengakses sumber-sumber utama, untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu,” jelasnya kemudian.

Menurut Luthfi, kata kunci dalam metode penelitian sejarah adalah primary resources (sumber primer).  Sejarawan biasa menyebutnya arsip, kata luthfi. Jika jurnalis melakukan investigasi untuk memberitakan suatu masalah lewat wawancara, lewat memotret, dan penelusuran data, “pada prinsipnya pada penelitian sejarah, sama. mencari sumber primer. jurnalis mencari sumber primer juga.” katanya.

Bagaimana caranya

Sejarawan harus menelusuri arsip dari data sejarah atau arsip yang dibutuhkan untuk menceritakan kejadian atau persitiwa di periode tertentu. Arsip jenisnya beragam kata akademisi yang juga pernah mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII pada medio 2006-2007, ini. Bentuk arsip bisa surat kabar, korespondensi, artefak, oral history melalui interview dll. “Jadi yang harus ditekankan dari prinsip dasar dari metode sejarah adalah penggunaa sumber primer untuk menceritakan masa lalau atau menganalisis apa yang terjadi di masa lalu.” jelasnya.

Meski terlihat sederhana, sesungguhnya tetap menantang, kalau tidak mau dibilang sulit, kata Luthfi. Apa hal-hal yang menantang maksud Luthfi itu? Pertama, mengumpukan sumber primer atau yang sering sejarawan sebut arsip. Mengumpulkan sumber primer membutuhkan beberapa keterampilan. Ia membutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran.

Belum lagi, penulisan sejarahnya. Ia sangat bergantung terhadap topik yang akan diteliti. “Mempelajari tentang kolonialisme, misalnya, tidak saja mempelajari temanya, tapi juga sejarah sains, sejarah agrikultur, dan lainnya. Insting sejarawan adalah, arsip yang digunakan sejarawan terdahhulu itu ada dimana, apa yang mereka pakai,” jelasnya.

“Karena modal utama sejarawan adalah sumber primer, membaca karya sejarah, maka kita akan sangat sibuk mencatat bukan cuma argumen atau ceritanya, tapi arsip apa yang digunakan. Arsip apa yang digunakan sejarawan lain. Makanya saya lebih banyak menongkrongi footnote-nya,” kata Luthfi Adam.

Pemahaman mengenai arsip adalah vital. Luthfi meneliti sejarah Kebun Raya Bogor di abad 19. Pada awal proposal, ia sudah harus menunjukkan topiknya penting, pada komite penilai. Pertanyaan riset yang ia ajukan juga harus bagus. “Tapi kemudian saya harus menunjukkanpada Komite Disertasi saya. Dimana letak arsip yang saya ambil dan ternyata setelah saya telusuri, letak arsipnya ada di tiga negara: Indonesia, Belanda, dan Inggris,” ceritanya. Kemudian akhirnya ia harus melakukan riset lapangan selama satu tahun mengunjungi berbagai perpustakaan pusat arsip di tiga negara tersebut. “itu kesulitan pertama,” katanya.

Kesulitan Kedua

Menurut tuturan Luthfi pada diskusi Forum AES , mengumpulkan data sejarah yang kita butuhkan cukup kompleks. Luthfi bilang ini susah-susah gampang, “Susah karena untuk mendapatkan satu set arsip yang kita butuhkan, kita harus membaca belasan bundel dulu. Kita dikasih nih sama petugas arsip ini. Oh, ternyata nggak  relevan ini. Ternyata yang relevan itu di bundel yang ketiga. Di tengah-tengah.”

Luthfi juga bercerita tentang pustaka majalah kebun raya bogor di tengah abad 19. Dia meneliti 100 tahun Kebun Raya Bogor. Ia memotret dan mempelajari 68 ribu halaman. Konsekuensinya, data file harus cepat ditandai, file-ing, nama koleksi apa, tetap pengorganisasian data yang rapi.

“Intinya metode riset sejarah, seperti metode riset yang lain sebetulnya. Metode riset sejarah, sesederhana kita harus menemukan sumber primer. Hanya saja, untuk menemukan, mengambil, dan mengorganisir datanya sangat menantang, bukan sulit. He-he-he. Apalagi kurun waktunya panjang,” jelasnya.

Salah satu tantangan Luthfi adalah penguasaan bahasa. Kemampuan menemukan arsip, juga kemampuan memahami bahasa aslinya. Bahasa arsip.

Seakan Penelitian Sejarah Sangat Teknikal, Dimana konsep?

Kata Luthfi, upaya utama para sejarawan memang ingin membangun sebuah narasi. “Hasrat utama kami itu menceritakan sesuatu,” katanya.

“Tapi bukan ketika menceritakan sesuatu kami hanya bercetrtia. Kami tentu saja terpengaruh oleh teori ilmu sosial. Biasanya sejarawan itu menyimpan teori itu di latar belakang. jadi fokusnya membangun narasi cerita. Saya pribadi sangat terpengaruh oleh konsep dan teori dalam kajian orientalisme misalnya, kajian poskolonial, teknik discourse analysis juga saya coba terapkan,” kata Luthfi

Ia mengatakan, ia terpengaruh oleh kajian budaya material di antropologi. Luthfi juga terpengaruh oleh latar belakang komunikasi dan studi media dalam penelitiannya. Luthfi menyontohkan, misalnya, ia sangat tertarik untuk mengumpulkan data dari media cetak. Biasanya sejarawan punya ketertarikan tertentu.

“Saya contohnya tertarik media-media apa yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor atau medai saintifik dan agrikultur. Mulai abad tengah 19 itu jurnal ilmiah dan populer itu banyak terbit. Justru bahan bakar utama riset saya itu dari situ, dari media cetak,” katanya.

“Namun akhirnya teori konsep yang kami pakai, kami aplikasikan tapi kami buat meresap ke dalam cerita,” paparnya.

Lalu dimana Letak Argumen dalam Penulisan Cerita Sejarawan?

Biasanya, sambung Luthfi, sejarawan populer mungkin tidak punya beban untuk berargumen dengan sejarawan lain. Namun, selain menyajikan cerita yang enak dibaca oleh awam, sejarawan harus terikat dengan perkembangan literatur di disiplin sejarah sendiri, katanya.

“Saya dilatih menjadi ahli sejarah asia tenggara, khususnya indonesia. Saya menulis sejarah kolonialisme, sejarah lingkungan, sejarah sains, maka saya harus juga ikut serta dengan  literatur mutakhir di kajian tadi. Ada buku sejarah yang saya coba revisi,” jelasnya.

Luthfi coba menawarkan pendekatan baru dalam memahami kolonialisme dan lain-lain. Namun, itu semua sejarawan lakukan sembari  upaya mereka menulis sejarah dan menulis cerita agar karyanya bisa sebanyak-banyaknya dibaca oleh pembaca, “bukan saja oleh spesialis.”

Reading Time: 3 minutes

Sekilas, ringkasan dari Forum AES #1 adalah sejarah jurnalistik penting diajarkan di Jurusan Jurnalistik dan Ilmu Komunikasi. Luthfi Adam, akademisi lulusan doktoral Nortwestern University, pembicara Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) Sesi Pertama mengatakan itu pada 28 Juni 2020 di sebuah video konverensi Zoom bersama Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif NADIM Prodi Ilmu Komunikasi UII. Ia adalah pembicara pertama dalam Forum AES pertama yang tahun ini mengangkat tema Sejarah Bincang Sejarah Komunikasi.

Holy Rafika Dhona, Kepala PSDM Nadim Komunikasi UII, juga sebagai moderator, mengatakan ia dan tim memilih Luthfi Adam., Ph.d sebagai narasumber karena ia memiliki latar belakang sejarah dan komunikasi sekaligus. “dan masih hangat ilmunya karena baru lulus di Mei 2020. Ia juga pemenang disertasi di Departemen Sejarah di Nortwestern University, kampus tempatnya meraih gelar doktor” kata Holy Rafika, Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi yang spesialisasinya adalah klaster kajian Komunikasi Geografi.

Holy juga menjelaskan mengapa forum ini disebut Forum AES.  Forum ini dibentuk oleh prodi untuk membicarakan tentang ide atau gagasan  hal ihwal komunikasi khususnya. “Nama ini jadi pengingat atas pendiri prodi kami dan juga dimiliki oleh semua insan pers di indonesia.”

Luthfi Adam mengatakan dalam pemaparannya di mula, event ini juga rencananya akan dijadikan buku. “jadi mungkin untuk ke depannya, untuk metode untuk riset komunikasi ini lebih detil saya tulis dalam bentuk esai. Sehingga bisa lebih jelas gambarannya.”

Mengapa Riset Sejarah Komunikasi (Jurnalistik) Penting?

Pada kesempatan ini, mula-mula Luthfi Adam menjelaskan apa saja yang akan ia jelaskan pada sesi ini. “Saya akan membahasa metode sejarah sebagai riset komunikasi,” katanya. “Sebelumnya disclaimer ini,  saya bukan lagi scholar ilmu komunikasi. Pendidikan terakhir saya adalah sejarah. Jadi, saya mewakili disiplin sejarah, bukan komunikasi,” sambungnya. Luthfi mengatakan, ia akan membagikan sebuah metode sejarah. Namun, karena ia memiliki latar belakang ilmu komunikasi, ia bisa memberikan gambaran mengenai bagaimana mengadopsi metode penelitian sejarah untuk riset komunikasi.

Ada beberapa pertanyaan perlu dijawab ketika berdiskusi soal sejarah komunikasi. Pertama, mengapa penting meriset sejarah komunikasi. Kemudian, bagaimana meneliti sejarah. Lalu, bagaimana komunikasi mengadopsi metode sejarah untuk riset?

Luthfi Adam menjelaskan urgensi sejarah komunikasi dengan menceritakan flash back beberapa belas tahun yang lalu ketika media 2005 dan 2006 ia menyusun skripsi. Tema skripsi yang ia angkat adalah soal dorongan kuatnya menulis sejarah jurnalistik. Ia membuka banyak sumber, terutama, tentang pengalaman dan cerita perjalanan jurnalistik Tirto Adi Soerjo dan akhirnya diteruskan oleh Mas Marco Kartodikromo sebagi jurnalis pemula. Ia terinspirasi oleh Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. “Dulu saya ketika menyusun skripsi saya terdorong untuk menyusun sejarah jurnalistik. Saya terdorong dengan tetralogi bumi manusia yang menurut saya adalah sejarah pers,” jelas Luthfi.

Menurut Luthfi, dalam Tetralogi Bumi Manusia inilah tersemat peran jurnalis dalam sebuah era periode yang dikenal dengan era kebangkita nasionalisme.

“Saya penasaran dengan tokoh ini, Mas Marco. Lalu saya menulis skripsi mengenai sejarah Mas Marco Kartodikromo.” Lalu ia mengemukakan pertanyaan, “bagaimana saya menulis sejarah di jurusan komunikasi di Fikom UNPAD?”

Mas Marco dan Sejarah Jurnalistik

Saat itu, tutur Luthfi, ia menggunakan semata-mata insting yang digunakan dalam proses kerja jurnalsitik. “Pakai insting wartawan,” katanya. Bagaimana waratawan bekerja, memetakan topik, mencari data, sumber tertulis, mewawancari sumber, “dan saya plek melakukan itu dan mengambil data. Saya pergi ke Perpustakaan Nasional. Di sana ternyata surat kabar yang didirikan yang diasuh Mas Marco itu cukup lengkap: Doenia Bergerak. termasuk tulisan Mas Marco dari koran lain berhasil saya kumpulkan,” kenangnya.

“Sampai saya bawa tulisan itu dan saya selalu mendapat insight dan topik penelitian dari situ. Itu juga yang membuat saya berhasil mendapatkan beasiswa sejarah. Kalau saya bisa dapat beasiswa riset sejarah doktoral, bukankah yang kemarin saya  pakai insting wartawan itu adalah metode sejarah berarti? tekniknya sebenarnya tidak berbeda kan,” pikirnya kemudian.

“Saya ingin katakan, mengapa saya bilang penting meneliti sejarah Mas Marco, kesulitan ketika saya dulu mempelajari teori jurnalistik adalah mengonstekstualisasikan nilai-nilai yang diajarkan dosen-dosen saya,” jelasnya. “Tapi kurang lebih apa yang saya dapat di ruang kelas itu ilustrasinya tidak detil dan tidak membumi. Itu membuat saya merasa sejarah jurnalistik adalah matakuliah penting dan diajarkan di jurusan jurnalistik,” simpul Luthfi.

“Karena menurut saya, walaupun sejarah adalah ilmu yang sangat praktis, tapi kalau digali, sejarah jurnalistik itu sangat kaya dan bisa membantu scholar jurnalistik untuk mengembangkan ilmu jurnalistik, bagaimana kita mau mengembangkan ilmu jurnalistik, nilai-nilai jurnalistik, teknik-teknis jurnalistik, kalau kita tidak memahami sejarah perkembangan jurnalistik tersebut,” ungkap Luthfi memungkasi cerita.

Baca juga Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah

Untuk melihat video dokumentasi:
Reading Time: 4 minutes

At a glance, the summary of the AES # 1 Forum is: Journalistic History Important To Taught in the Department of Journalism and Communication Studies. Lutfi Adam, scholar graduate from Northwestern University, speaker of the Amir Effendi Siregar Forum (Forum AES) said that. This First Session held on June 28, 2020 in a Zoom video conference by the Center for Study and Alternative Media Documentation NADIM of Communication Science Department at Univeersitas Islam Indonesia. He was the first speaker at the first AES Forum this year with the theme: History of Communication.

Holy Rafika Dhona is the Head of PSDMA Nadim Communication Department at UII. He, as well as the moderator, said he and the team chose Lutfi Adam, Ph.D as the guest speaker with many reason. First, because he had a history and communication background as well. “And his knowledge is still new because he just graduated in May 2020. He is also the winner of a dissertation prize at the Department of History at Northwestern University. It was the campus where he earned his doctorate,” said Holy Rafika, Lecturer in Communication Science Department. Holy also have a specialty in the field of Geographic Communication studies.

Rafika also explained why this forum was called the AES Forum. This forum was formed by Communication Science Department of UII to talk about ideas or spirit about communication in particular. “This name is a reminder of the founder of our department. And he is also owned by all members of the press in Indonesia.”

Historical Method for Communication Research

Lutfi Adam said in his presentation at the beginning, this event was also planned to be made into a book. “So maybe in the future, I will write a method for communication research. It should be in more detail in the form of an essay. So that the picture can be clearer.”

On this occasion, first, Lutfi Adam explained what he would explain in this session. “I will discuss the historical method as communication research,” he said. “Before begining this session, there is any disclaimer: I was no longer a scholar of communication science. My last education was history. So, I represent the discipline of history, not communication,” he continued. Lutfi said, he would share a historical method. However, he can provide an overview of how to adopt historical research methods for communication research. It is because he has a background in communication and media studies.

Then, we neet to answer many question when discussing the history of communication. First, why is it important to research the history of communication. Then, how about researching history. Then, how does communication adopt the historical method for research?

Mas Marco and Journalistic History

Hence, Lutfi Adam also explained the urgency of the history of communication by recounting flash back a few years ago when in the 2005 and 2006 he composed a undergraduated thesis. The theme of the undergraduated thesis he raised was a matter of his strong urge to write journalistic history. He read many sources, especially, about the experiences and stories of journalism journey of Tirto Adi Soerjo. And at least, He finally passed on Mas Marco Kartodikromo as an early journalist.

Pramoedya Ananta Toer’s Tetralogy Book very inspiring Luthfi. That the book titled is This Earth of Mankind. “In the past, when I was composing my research, I was concerning to compose journalistic history. Tetralogy of This Earth of Mankind was inspiring me. And in my opinion was the history of the press,” Luthfi explained.

According to Lutfi, in this Tetralogy Book of This Earth of Mankind, the role of journalists is embedded in an era known as the era of nationalism.

“I am curious about this character, Mas Marco. Then I wrote a thesis on the history of Mas Marco Kartodikromo.” Then he raised the question, “how do I write history in the communication department  Faculty?”

Why is Journalistic History Important To Taught in the Department of Journalism and Communication Studies ?

At that time, said Lutfi, he used solely the instincts used in the work of journalism. “Use the journalist’s instincts,” he said. How the journalists worked, mapped out topics, searched for data, written sources, interviewed sources, “and I plotted to do that and retrieve data. I went to the National Library. Read many, including the writings of Mas Marco from other newspapers I managed to collect,” he recalled.

“Until I brought the writing and I always got insights and research topics from there. That also made me succeed in getting a historical scholarship. If I could get a doctoral research history scholarship, wasn’t that what I used yesterday as the journalist’s instincts is a meaningful historical method? actually, it is no different,” he thought later.

“What I want to say is, why I say it is important to examine the history of Mas Marco? The difficulty when I first studied journalistic theory was to contextualize the values ​​taught by my lecturers,” he explained. “But more or less what I got in the classroom, the illustrations are not detailed and not down to earth. That makes me feel journalistic history is an important course. So it should taught in the journalism department,” concluded Luthfi.

“Because in my opinion, even though history is a very practical science, but when explored, journalistic history is very rich. It also can help journalistic scholars to develop journalism. We can not develop journalism, journalistic values, and journalistic techniques, if we do not understand the history of journalistic development,” said Lutfi to complete the story.

Also read Research on Communication with Historical Research Methods