Tag Archive for: PSDMA Nadim

Reading Time: < 1 minute

Program Studi Ilmu Komunikasi UII kembali menggelar diskusi bulanan.

Turut mengundang Pembicara kali ini adalah:

Vadhiya Rahma N. ( Mahasiswi Ilmu Komunikasi UII 2018)

Kali ini Vadhiya akan berbicara tentangpengabdian yang pernah ia lakukan
bersama teman-teman dalampendampingan pembuatan tie dye
di komunitas Difabelzone.id.

 

Jangan lupa merapat pada:
hari Rabu, 31 Maret 2021.
Pukul 14:00 WIB.

Via Zoom, ya!

 

Tautan:

Reading Time: 4 minutes

Seperti apa film yang mengangkat problematika TKI di daerah indonesia bagian timur? Bagaimana film soal TKI digarap oleh kru yang sama sekali belum pernah pegang kamera dan nonton bioskop?

Muhammad Heri Fadli, sineas muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang pernah menimba ilmu di Prodi Ilmu Komunikasi UII, ini punya inisiatif bikin film soal keseharian di kampungnya: bekerja ke luar negeri jadi TKI. Ada yang legal, ada yang ilegal. Ia mengangkatnya dalam sebuah film dokumenter bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama.

Kamis, 25 Februari 2021, Heri diundang dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII. Diskusi bulanan ini diselenggarakan dengan aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di saluran resmi Komunikasi UII di Youtube: Uniicoms TV.

PSDMA Nadim Komunikasi UII adalah pusat studi yang menaruh fokus kajiannya pada upaya, sumber pengetahuan, dan medium alternatif. Sejak didirikan pada 2008, Nadim berupaya menjadi pengelola pengetahuan dan center of excellence dari beragam koleksi dan studi pelbagai sumber dan mengemasulangnya menjadi pengetahuan baru. Nama Nadim terinspirasi dari Ilmuwan cum pustakawan muslim bernama Ibn Al Nadim sebagai orang pertama di dunia yang melakukan proses dokumentasi, koleksi, dan temukenali pengetahuan pada 14 abad yang lalu.

Profesi Ibn Al Nadim inilah yang pada masa sekarang disebut sebagai ilmuwan cum pustakawan, bibliografer, atau bahkan lebih dari itu, sebagai pusat penelitian dan pengembangan: Knowledge Manager. Ibn Al Nadim membuat katalog pertama di dunia yang diberi judul Al Fihrist. Sebuah magnum opus dalam sejarah pengetahuan umat manusia. Kitab ini, menurut catatan sejarah, berisi katalog sekira 10 ribu koleksi dari 2000 penulis di era pertengahan islam.

Proses Kreatif Produksi Film Jamal

Alumni Ilmu Komunikasi UII ini mengatakan, film Sepiring Bersama digarap selama empat hari. Meski lamanya persiapan produksi justru melebihi masa produksi film, Heri justru mengapresiasi proses ini. Pasalnya semua kru filmnya adalah tetangga dan keluarga dekat yang sama sekali belum pernah terlibat produksi film. “Bahkan nonton bioskop saja belum pernah, tapi semangatnya itu besar sekali. Saya belum pernah menemui semangat besar mereka ini selama saya produksi film,” katanya.

Beberapa hal juga patut dijadikan pembelajaran bagi mahasiswa Komunikasi UII soal hal-hal tak terduga yang terjadi pada saat produksi film Jamal dan beberapa film lain yang digarapnya. Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi, ini membahas kepulangan para TKI dalam kondisi sudah tidak bernyawa dan produksi film Jamal yang tidak berjalan mudah.

Jamal merupakan film yang mengangkat permasalahan pemulangan TKI ke Lombok dalam keadaan tak bernyawa. Angka kepulangan terus meningkat sejak 2019 hingga 2021.

Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah siapa Jamal? Jamal merupakan gabungan suku kata yaitu “Janda Malaysia” atau bisa disebut sebagai wanita yang ditinggalkan oleh suaminya merantau ke negeri Jiran.

Film Jamal terlahir dari kisah yang melekat di tempat Heri tinggal dan menjadi sebuah keresahan tersendiri buatnya. Untuk mengungkap permasalahan ini, Heri merasa harus membuat sebuah film terkait problematika tersebut.

Film Jamal menggunakan bahasa Sasak di keseluruhan film. Bahasa sasak merupakan bahasa utama yang digunakan di Pulau Lombok. Alur cerita Jamal yang minim dialog namun memiliki isyarat yang kuat dari para pemeran Jamal  membuat film ini tetap mampu menyampaikan perasaan nestapa yang terjadi pada film tersebut kepada penonton, tanpa harus mengerti bahasa sasak.

Produksi film Jamal ini menggunakan kru yang merupakan orang terdekat Heri di Lombok. Mayoritas kru film ini merupakan orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarga mereka merantau menjadi TKI. Heri mengungkapkan bahwa para kru ini minim akan pengetahuan produksi film. Bermodal semangat yang tinggi, para kru merasa bahwa problematika TKI dalam film ini adalah hal penting yang harus dituntaskan dan dipublikasikan secara luas.

Tak hanya Jamal, film sebelumnya, Sepiring Bersama juga bercerita tentang TKI. Bedanya, jika Jamal masuk dalam pemutaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 2020, Sepiring Bersama lebih dulu masuk JAFF pada 2018. Setelah pemutaran Sepiring Bersama, Heri melanjutkan bahwa dia mendapatkan sebuah serangan ataupun ancaman setelah pemuturan film Sepiring Bersama, film tentang TKI juga, milik Heri. Ancaman tersebut dari seorang pengantar pesan yang belakangan mengaku dari orang petinggi di NTB. Pesan tersebut berisi untuk Heri agar tidak sembarang memutar film Sepiring Bersama. Sepiring Bersama dianggap sebagai film yang menunjukkan cacatnya provinsi Nusa Tenggara Barat.

Harapan di Balik Proses Kreatif

Heri mengatakan, ada sekira 14 trilyun pemasukan dari BMI masuk menjadi pendapatan daerah NTB. Jumlah itu tidak terhitung sebagai sumbangsih Buruh Migran Indonesia (BMI) yang begitu besar. “Tapi saya pengin ayo kita pikirkan bareng-bareng, di atas sumbangsih mereka ini, tolong kasih jaminan untuk anak-anak mereka. Minimal jaminan pendidikan,” harap Heri pada saat diskusi dengan dipandu Risky Wahyudi, moderator sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UII.

“Karena saya bukan pengin mereka berhenti bekerja di luar negeri, setidaknya, ada keterampilan mumpuni yang mereka bawa di sana. Saya ingin mereka yang kerja di luar negeri ini membawa sesuatu,” katanya menjelaskan.

Heri bilang, kebanyakan TKI dari Lombok yang bekerja di Malaysia jadi kuli panggul sawit, tukang bangunan, yang notabene itu bisa mereka lakukan di rumahnya, di Lombok. “Sama saya berharap semua pihak tidak terkecuali di NTB atau di luar, dengan cara berdiskusi seperti ini, setidaknya ada pandangan baru dan solusi. Tidak hanya di NTB,tapi juga di daerah lain. Di jawa barat. Istri-istri ini jangan lagi disebut sebagai jamal. Karena itu rasanya seperti pelecehan. Dilabeli jamal padahal suaminya masih ada di Malaysia,” katanya.

Padahal, menurut Heri, mereka ini pasangan berani mengorbankan kebersamaan untuk menghidupi anak-anaknya. “Saya berharap semua pihak yang makan dari pengiriman BMI ilegal ini sadar diri, jangan sembarangan kita kirim orang ke luar negeri untuk bekerja,” katanya kemudian, sembari menilai banyak TKI berangkat kerja dengan hanya modal nekat.

————————————————

Penulis: Muhammad Malik Hamka Sukarman (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014, Magang di PSDMA Nadim, Komunikasi UII) dan A. Pambudi W.

Reading Time: 3 minutes

Bagaimana riset praproduksi film bisa membuat filmmaker menemukan banyak fakta yang mencengkan? Apa saja temuan sineas ini ketika menelisik lika-liku wajah TKI di tanah kelahirannya itu?

Pada 2019,Muhammad Heri Fadli, mulai menjejaki beragam dokumen dan data. Pasalnya, ia ingin memahami lanskap dunia buruh migran dan lika-likunya. Meski ia sehari-hari, bahkan sejak kecil, hidup di lingkungan terbanyak pengirim buruh migram ke Malaysia, tapi itu tak membuatnya urung membaca puluhan bahkan ratusan angka soal TKI dari Lombok. Beginilah temuan Heri ketika melakukan riset praproduksi filmnya bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama. Film-film itu bercerita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok, tempat lahirnya.

Heri hadir pada kesempatan diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim pada Kamis (25/2) di awal 2021 ini. Sebagai alumni Komunikasi UII, ia berbagi dan menceritakan fakta dan temuan mengagetkannya, bahkan mengesalkan untuk bahan produksi filmnya. Tak hanya itu, ia juga ceritakan bagaimana proses kerja produksi filmnya itu . Uniicoms TV menyiarkan secara Live diskusi ini yang rutin digelar PSDM Nadim Komunikasi UII.

Heri menceritakan bagaimana persoalan TKI di Lombok begitu pelik hingga sulit ditangani oleh pemerintah. Heri heran setelah mengetahui rumitnya penyelesaian soal migrasi tenaga kerja ini terutama di Lombok. Ia menyitir beberapa temuan data dari riset awalnya sebelum membuat film. Misalnya, jumlah pemulangan TKI NTB pada 2019 mencapai 766 orang. Tiga kabupaten di NTB bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang Buruh Migran Indonesia/BMI di Indonesia.

Fakta dan Lumbung  Segala Masalah

Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten tertinggi, di Indonesia khususnya, sebagai penyumbang TKI dengan jumlah 28 ribu TKI per tahun. Lalu menyusul Lombok Tengah sebesar 16 ribu per tahun. Di urutan ketiga baru Lombok Barat masuk daftar.

Data-data ini membuatnya kaget becampur heran. Seketika lalu memantiknya memiliki ide membuat film soal ini. Menurut Heri dan produsernya, Ida Bagus, “inilah lumbung semua masalah di NTB. Mulai dari stunting, begal, angka putus sekolah, kemiskinan,” katanya.

Pada gilirannya Heri menemukan data lain yang juga membuat tercengang. “Akhirnya saya menemukan sejumlah 73 jenazah BMI dipulangkan pada 2019,” katanya. “Namun ketika saya ke bandara, justru saya menemukan tiap hari ada saja jenazah yang dipulangkan. Itu yang ilegal. Mereka tidak masuk di data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2019,” sambungnya.

Menurutnya, ketika melihat fakta ini, ia tak bisa tinggal diam. “Angka-angka ini yang bikin saya merasa ini benar nggak sih kalau saya diam saja?” Batinnya berkecamuk kemudian.

Heri menambahkan sederet data lagi yang membuatnya geram. “Ada satu fakta yang buat saya kesal. Lombok Tengah ini selalu dapat juara satu untuk penanganan BMI. Namun di sisi lain, dapat nomor satu pengiriman BMI ilegal,” keluhnya sembari heran.

Ada satu kebiasaan masyarakat yang mengakar di masyarakat, kata Heri. Orang-orang yang tidak bisa berangkat lewat Lombok Tengah, maka dia berangkat melalui pintu Lombok Timur. “Orang lombok ini nekat-nekat. Tanpa modal skill mereka berani berangkat ke Malaysia. Di keberangkatan kedua, mereka melancong, tinggal di hutan. Jarang ke kota,”kata Heri. “Sampai-sampai mereka kalau sakit, nggak ke pelayanan kesehatan. Jadi diurus teman-temannya,” tambahnya.

Catatan kasus para TKI ini juga banyak sekali. Ketika Heri bertemu dengan Kepala BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Mataram, pemda urusan TKI ini mengatakan bahwa ia sudah kerepotan bagaimana menangani orang yang berangkat menjadi BMI. “Ada satu fakta pada 2019 saat Suriah sedang konflik, ada tiga orang lombok dikirim ke sana,“ kata Heri menirukan kata Kepala BP3TKI itu. “Duta Besar RI di sana bilang, kenapa kok Lombok malah kirim ke sini. Saat dicek di Lombok sini keberangkatan mereka juga tak tercatat,” imbuh Heri.

Heri menuturkan, banyak kisah-kisah aneh juga yang ia dapatkan. Banyak orang yang nggak punya keterampilan dan pengalaman. “Mereka cuma diantar ke pulau-pulau sekitar. Seperti Sumbawa, Gili, dan lain-lain. Lalu uang mereka bagaimana? Mereka sudah nggak tau, udah dimakan penyalur jasa. Ini ternyata sudah berlangsung sejak 1980an,” tuturnya.

Tren dan Perubahan Sosial Keluarga TKI

Risky Wahyudi, moderator diskusi kali ini, mencoba memerdalam kajian ini dengan bertanya tentang tren sosial yang berkembang di Lombok beberapa tahun terakhir. Secara historis, kata Heri Fadli yang juga lahir di Lombok, mengungkapkan, tren berangkat ke menjadi TKI di Malaysia sudah menjadi hal biasa. Misalnya pada 2000an, anak muda semua berangkat ke Malaysia,” kata Heri menjawab pertanyaan Risky. “Termasuk di sebelah kampung saya, itu berangkat semua.”

Namun, seiring waktu, semuanya akhirnya lambat laun berubah. Meskipun tak semua kampung. “Sekarang misalnya, dari sekira 60an anak muda, hanya 4 yang berangkat malaysia, sisanya sudah mulai menjalani tren kuliah, sarjana dan bahkan, master. Kalau di kampung saya alhamdulillah sekarang sudah berubah trennya,” katanya menjelaskan.

Pada zaman dulu juga, pada era 1980an sampai 2000an, menurut tuturan Heri, paradigma dan tren masih tidak seperti sekarang. Orang dianggap sukses kalau anaknya bisa kirim uang banyak. Maka TKI jadi pilihan. Belakangan tren itu mulai berubah. Yang dulunya orang sarjana tidak dianggap, karena tak kirim uang banyak, tapi akhirnya berangsur-angsur kini mulai berbondong-bondong anak muda berkuliah. “Ada yang di Jogja seperti saya, Malang, Semarang, Bandung, dan lain-lain.”

Meski begitu, di kampung sebelah rumah tinggalnya, masih saja ada yang merasa penting mencari nafkah di Malaysia, kata Heri. Sampai-sampai di daerahnya, orang sudah merasa seakan Malaysia bukan luar negeri. Cuma seperti tempat melancong imbuhnya.

Reading Time: < 1 minute

Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII, membuka lowongan magang bagi mahasiswa.

Tawaran yang disediakan di antaranya:
1. Kegiatan internal
2. Dokumentasi Data Digital
3. Project foto dokumenter media warga di Yogyakarta
4. Project foto dokumenter di luar Yogyakarta

Silahkan bergabung bagi yang berminat. Info lebih lanjut bisa menghubungi kontak yang tertera di poster.

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar:

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 14)

Topik:

Hoedjin Tjamboek Berdoeri: Sejarah Mikro sebagai Pendekatan Membaca Koran

Pembicara:

Eunike Gloria Setiadarma

Sedang menempuh studi doktoral di Departemen Sejarah di Northwestern University. Tertarik meneliti sejarah intelektual dan sejarah sosial pembangunan. Sebelumnya memperoleh pendidikan master Pembangunan Internasional dari University of Manchester.

Jadwal:
Jumat, 17 Oktober 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

atau

Registrasi:

Reading Time: 3 minutes

Tourism Journalism – Elements of Journalism is a Must. Even though tourism journalism is look like a trivial think, a good standard on the elements of journalism should be applied on every tourism journalism writing. Now if you surf in cyberspace, no doubt you will find tourism news content, travel, touring, trips to exotic areas, to unspoiled tourist places. The reason is, the spread of content like this cannot be separated from the increasing use of social media and the level of tourism literacy in Indonesian society, especially young people.

The popularity of tourist attractions like this has made many content providers and news portals uphold tourism journalism as the primary content of their content. Although this kind of journalism is synonymous with travel and tourism, it is claimed that it is not just traveling.

That was the discussion that emerged from the Monthly Discussion of the PSDMA (Center for Alternative Media Studies and Documentation) Nadim of Communication Science Department, Universitas Islam Indonesia (UII). Risky Wahyudi  became the host of the event inviting Nur Rizna Feramerina.

Feramerina is an UII Communication Science student who conducts research on the phenomenon of Tourism Journalism and its current developments. She researched several portals. Apart from research, he is also active in writing on Detik Travel Indonesia.

Elements of Tourism Journalism

Are there any tips or special characters for becoming a journalist or contributing traveling content writer? How many people are there behind the scenes on this travelling website?

That question was asked by Risky Wahyudi, the host  of this discussion program. Feramerina said there were approximately 50 people more, for example in the Travellindo website in which she researched. Even Feramerina is also surprised that there are more than 5,000 contributors of traveling content that they had.

“They also have a contributor group in the Telegram application to foster contributors to produce better, more creative, quality content in accordance with the elements of journalism,” he said.

According to her research, there is no special character to become a writer or journalist for this Travel Writer. All the same. Writing must conform to journalism standards or elements. So you cannot write just randomly without understanding the elements of journalism. So, more than 5000 contributors must also fulfill the principles and basic elements of journalism in writing content with the tourism journalism genre.

Recommendations for Advanced Research on Tourism Journalism

Feramerina and Risky reach the conclusion that not much research has been done on Tourism Journalism. You can do research on this, for example, Risky’s idea, how  traveling websiite manages thousands of contributors, or like Feramerina said, no one has yet compared the content of tourism journalism on various news website.

Different portals, different standards. That’s how important it is to be researched. Feramerina shared her experience writing this travelling content for example. She writes on two portals: detik travel and Travellindo. Both have the same focus, but according to her experience, Travellindo is more selective and rigid in writing content, even photos.

According to her, there are not many references that talk about the genre in this journalism. She herself had to find and trace foreign sources who discussed this. This search finally found results. The primary reference that examines the tourism journalism genre that she is researching is a book entitled Specialist Journalism, edited by Barry Turner and Richard Orange.

Besides discussing technical coverage and how to do this, this main book also contains reflections on the fields of journalism. Such as journalism in sports, culinary, music, law, media, war, art and tourism. This book also discusses including how to write complex data from science research.

 

Reading Time: 2 minutes

Kini jika anda berselancar di dunia maya, tak ayal anda akan menemui konten berita pariwisata, perjalanan, touring, perjalanan ke daerah-daerah eksotik, hingga tempat-tempat wisata yang belum terjamah. Pasalnya, merebaknya konten seperti ini tak bisa dipisahkan dari meningkatnya penggunaan media sosial dan tingakt literasi wisata pada masyarakat indonesia, khususnya kaum muda.

Popularitas tempat wisata seperti ini membuat banyak content provider dan portal berita menegakkan jurnalisme pariwisata sebagai primadona kontennya. Meski jurnalisme ini identik dengan perjalanan dan wisata, ia diklaim bukan sekadar jalan-jalan.

Begitulah diskusi yang muncul dari gelaran Diskusi Bulanan PSDMA (Pusat Studi dan Dokumentasi MEdia Alternatif) Nadim Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Risky Wahyudi kali ini menjadi pembawa acara mengundang Nur Rizna Feramerina. Feramerina adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII yang melakukan riset tentang fenomena Jurnalisme Pariwisata dan perkembangannya saat ini. Ia meneliti beberapa portal. Selain riset, ia juga aktif menulis di Detik Travel Indonesia.

Apakah ada tips atau karakter khusus untuk menjadi jurnalis atau kontributor penulis konten travelling? Tim di balik layarnya ada berapa orang di portal travelling ini?

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Risky Wahyudi, pembaca acara diskusi ini. Feramerina mengatakan ada sekira 50 orang lebih misalnya di portal travellindo di portal konten travelling yang ia teliti. Bahkan Feramerina juga kaget ada 5000 lebih orang kontributor konten travelling.

“Mereka juga punya grup kontributor di aplikasi Telegram untuk membina kontributor aga dapat menghasilkan konten yang lebih bagus, kreatif, bermutu, sesuai dengan elemen jurnalisme,” katanya.

Menurut penelitiannya ini, tidak ada karakter khusus untuk menjadi penulis atau jurnalis Travel ini. Semuanya sama. Tulisan harus sesuai dengan standar atau elemen-elemen jurnalisme. Jadi tidak bisa juga sembarang menulis tanpa memahami standar jurnalisme. Jadi, lebih dari 5000 kontributor juga harus memnuhi kaidah dan elemen dasar jurnalisme dalam menulis konten dengan genre jurnalisme pariwisata.

Rekomendasi Riset Lanjutan Jurnalime Pariwisata

Feramerina dan Risky mencapai kesimpulan bahwa belum banyak riset yang membahsa tentang Jurnalisme Pariwisata. Anda bisa melakukan riset soal ini misalnya, ide Risky,  bagaimana portal travelling mengelola ribuan kontributor, atau kata seperti kata Feramerina,  belum ada yang membandingkan konten jurnalisme pariwisata pada beragam portal.

Beda portal, beda strandar. Begitulah pentingnya membandingkan. Feramerina berbagi pengalamannya menulis konten ini misalnya. Ia menulis di dua portal: detik travel dan Travellindo. Keduanya punya fokus yang sama, tapi menurut pengalamnnya, travellindo lebih selektif dan rigid dalam menulis konten, bahkan foto.

Menurut Feramerina, belum banyak referensi yang bicara soal genre dalam jurnalisme ini. Ia sendiri harus mencari dan melacak sumber-sumber asing yang membahas tentang ini. Pencariannya ini akhirnya menemukan hasil. Referensi induk (babon) yang mengkaji genre jurnalisme yang ia teliti ini adalah buku berjudul Specialist Journalism, suntingan Barry Turner dan Richard Orange.

Buku babon ini selain membahas tentang teknis peliputan dan bagaimana melakukannya, juga memuat refleksi pada bidang-bidang jurnalisme. Seperti jurnalisme di bidang olah raga, kuliner, musik, hukum, media, perang, seni, dan wisata.  Buku ini juga membahas termasuk bagaimana menulis data yang rumit dari penelitian sains.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar bincang sejarah komunikasi seri 3

Topik: Penelusuran Awal Sejarah Komunikasi Indonesia: Kasus Universitas Indonesia

Pembicara:

Ignatius Haryanto

Sabtu, 18 Juli 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

Registrasi:

https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasiseri3

atau tonton di kanal Uniicoms TV Prodi Ilmu Komunikasi UII

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes0Seconds

UNDANGAN DISKUSI
Forum Bang Amir Effendi Siregar

SERIAL BINCANG SEJARAH KOMUNIKASI

Pusat Studi dan Dokumentasi NADIM Prodi Ilmu Komunikasi UII


Sesi 1: Sejarah sebagai Metode Riset Komunikasi

Pembicara
Luthfi Adam, Ph.D

Disertasinya “Cultivating Power: The Buitenzorg Botanic Garden and Empire Building in Netherland East Indies, 1745-1919” adalah pemenang Harold Perkin Prize sebagai disertasi terbaik tahun 2019-2020 di Departemen Sejarah Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat. Sebelumnya kuliah Jurnalistik Unpad dan Kajian Budaya Media UGM.

Jadwal

Minggu, 28 Juni 2020
09.30 WIB
via Zoom (in Bahasa)

 

Registrasi: tidak dipungut biaya

https://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasi

 

 

Reading Time: < 1 minute

​Dari pada ngabuburitnya bingung mau ngapain. Mending mantengin diskusi ini.
Nadim bersama @krisaljustin akan berbagi pengetahuan seputar Imaji Lingkungan di Sekolah Alam yang merupakan karya tugas akhirnya di perkuliahan. Sangat cocok buat kamu yang sedang menaruh perhatian terhadap isu lingkungan supaya bisa menambah wawasan kamu terkait imaji atas lingkungan tersebut 


“Terus hubungannya dengan komunikasi apa?” Nah di diskusi ini nantinya akan kamu temukan jawabannya lewat perspektif komunikasi geografi.

Ke depannya Nadim juga akan menggelar diskusi seputar riset mahasiswa yang bisa jadi motivasi buat kamu mahasiswa tingkat akhir sedang kebingungan sama skripsinya supaya terus bisa tetep semangat.
Catat tanggalnya dan silahkan bergabung

#psdmanadimkomunikasiuii #mediaalternatif#diskusibulanan