Kasus pelanggaran akademis di tingkat universitas menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi hingga publik. Kasus ini perlu mendapat perhatian dan solusi karena merugikan pemerintah dan rakyat.
Dari investigasi yang dilakukan The Conversation Indonesia, Tempo, dan jaring.id, pelanggaran akademis yang terjadi pada tingkat universitas antara lain plagiarisme, kepengarangan yang tidak sah (ghostwriting dan paper mill), fabrikasi dan falsifikasi (pemalsuan data), pengajuan jamak, hingga konflik kepentingan penerbitan karya ilmiah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.
Akibat palanggaran tersebut, tiga bulan pertama di tahun 2024 sebanyak 27 artikel ilmiah penulis Indonesia diretraksi atau dicabut dari laman penerbitan.
Beberapa bulan terakhir, deretan nama dosen dipecat dari institusi karena ketahuan melakukan pelanggaran akademis. Melansir dari jaring.id, pihak rektorat salah satu universitas swasta di Banten mengumumkan pencopotan Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat (dosen berusia 33 tahun) karena terbukti artikelnya yang dimuat pada Journal of Tourism and Attraction Vol 11 nomor 1 yang terbit tahun 2023 mencatut data dari mahasiswa Pascasarjana Universiti Malaya, Malaysia, Ghozian Aulia Perdana. Merasa dirugikan, mahasiswa tersebut mengunggah kecurangan tersebut.
Kejanggalan terjadi karena dosen berusia 33 tahun itu memiliki produktivitas tinggi dalam menghasilkan jurnal. Dalam setahun puluhan jurnal berhasil diproduksi dengan rata-rata 1-2 jurnal setiap bulannya. Kondisi ini diragukan oleh rekan sejawatnya, mengingat beban dosen cukup tinggi mulai dari mengajar, bimbingan mahasiswa, hingga pengabdian.
Tak hanya itu, melansir dari The Conversation Indonesia, pelanggaran akademik juga mewarnai perjalanan akademisi menuju guru besar. Hal ini berkaitan karena posisi guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang mempengaruhi akreditasi bagi perguruan tinggi.
Sementara salah satu syarat untuk meraih gelar guru besar cukup kompleks, salah satunya adalah menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal internasional bereputasi.
Mengapa Pelanggaran Akademis Terjadi?
Pelanggaran akademis terjadi karena berbagai faktor, mulai dari tarik menarik antara neoliberalisme, otoritarianisme, dan demokrasi pendidikan tinggi di Indonesia (Masduki dalam laman the Conversation).
Karier dosen atau akademisi bergantung pada angka kredit penilaian di mana hal ini dibentuk oleh negara melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 2023. Dalam peraturan tersebut, angka kredit dapat dicapai melalui beberapa kegiatan antara lain pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan publikasi jurnal ilmiah.
Alasan kedua, terkait dengan mental akademisi Indonesia yang dianggap tak siap dengan budaya penerbitan jurnal. Dan terakhir pengaruh ekosistem akademis di Indonesia yang kurang mendukung iklim penelitian dan penulisan.
Terlepas dari beberapa alasan tersebut, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A. berrgumen bahwa plagiasi berkaitan dengan praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur hingga risiko kultur meniru di kampus.
“Pelanggaran akademis itu, misalnya plagiasi punya sejarahnya. Dia punya relasi dengan kultur akademis, kultur menulis, intinya kultur pengetahuan di kampus,” ujarnya.
“Bagaimana pengetahuan/ilmu dipahami (termasuk dikomunikasikan lewat buku, diktat, modul, dan jurnal ilmiah),” tambahnya.
Kampus sebagai tempat transmisi pengetahuan menganggap mahasiswa yang sukses ketika mampu menghafal pengetahuan yang diajarkan. Sehingga menyalin isi buku dianggap penting dan hal biasa. Kasus ini terjadi pada Hamzah Ya’qub, pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS). Tahun 1973 ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan tekni Dakwah. Menariknya tahun 1986 bukunitu disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam: Dari Zaman ke Zaman. Penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, namun hingga kini taka da isu plagiasi terkait kemiripan dua buku tersebut. (Holy Rafika Dhona, The Conversation)
Jalan Keluar untuk Menghentikan Pelanggaran Akademis
Untuk menyelesaikan persoalan ini, dibutuhkan komitmen dari pemerintah dan perguruan tinggi. Selain itu keterlibatan berbagai pihak untuk mengangkat dan memproses secara kolektif perlu dilakukan dengan melibatkan jurnalis dan akademisi. Karena kultur di Indonesia “No viral, no justice” maka melibatkan media untuk menyebarluaskan informasi mesti dilakukan.
“Jadi pelanggaran itu tidak hanya butuh solusi adanya kode etik, perbaikan sistem kinerja dosen, tapi juga perubahan kultur,” tandasnya.
Artikel ini ditulis dalam rangka memeperingati Hari Pendidikan Nasional 2024, harapannya catatan ini selain memberikan pengetahuan terkait pelanggaran akademis juga bisa membawa setitik perubahan pada dunia akademis yang terkadang serampangan.
Penulis: Meigitaria Sanita