Tag Archive for: mitigasi bencana

AWG
Reading Time: 4 minutes

Letak geografis negara Indonesia selama ini dianggap keuntungan luar biasa. Selalu dikagumi dan disanjung dengan kata-kata cantik, indah, dan menakjubkan karena laut dan gunungnya yang  menyimpan sumber daya dan selalu estetik dalam potret yang bertebaran di media.

Namun, ada hal yang luput tentang keindahan Indonesia. Seolah terbuai dengan keindahan, Indonesia ternyata negara rawan bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga banjir.

Berdasarkan riset bertajuk World Risk Report 2022 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft bersama Institute for International Law of Peace and Armed Conflict (IFHV) of the Ruhr-University Bochum menyebut bahwa Indonesia merupakan negara paling berisiko terkena bencana kedua di dunia dengan skor World Risk Index (WRI) sebesar 43,50 poin.

Dalam laporan tersebut terdapat 193 negara berisiko terkena bencana di dunia, posisi pertama adalah Filipina dengan skor WRI 46,86 poin, disusul Indonesia. Selengkapnya dapat diakses melalui https://reliefweb.int/report/world/worldriskreport-2023-disaster-risk-and-diversity.

Setidaknya ada lima indikator mengapa Indonesia masuk dalam negara kedua paling rawan bencana di dunia yakni paparan (exposure), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility), kurangnya kapasitas mengatasi masalah (lack of coping capacities), kurangnya kapsitas adaptasi (lack of adaptive capacities).

Peliknya persoalan bencana di Indonesia seolah tak banyak dilirik, terbukti dengan minimnya edukasi dan literasi kebencanaan di ranah pendidikan. Melihat keresahan ini, International Program Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop bertajuk “The 4th Annual Workshop on Globalization 2023: Media and Disaster Journalism, Comparing Indonesian and Japanese Experiences” pada 19 Oktober 2023 di Perpustakaan Pusat UII.

Annual Workshop on Globalization (AWG) ini merupakan workshop tahunan yang digelar oleh International Program Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dalam diskusi yang dipandu oleh Dr. Zaki Habibi hadir tiga pembicara yakni Yoshimi Nishi, Professor and Researcher in The Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Pembicara kedua adalah Ahmad Arif, General Chairman of Disaster Journalist for Indonesia and Kompas Journalist. Ketiga, Muzayin Nazaruddin, Researcher on Disaster and Enviromental Communication, Universitas Islam Indonesia.

AWG

Annual Workshop Globalization, foto bersama pembicara dan mahasiswa
Foto: Rizka Aulia Ramadhani

Comparing Indonesian and Japanese Experiences

Membandingan Indonesia dan Jepang dalam segi pengalaman bencana menjadi inti pembahasan AWG kali ini. Jika Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi tangisan kehilangan akibat bencana di media, ternyata Jepang lebih memberikan edukasi cara bangkit hingga antisipasi bencana susulan dalam berita di media lokal dan nasional.

Yoshimi Nishi menyampaikan materi terkait “Collective Memory and Inheritance of Disaster Experience in Jepang”, ia menjelaskan konsep mitigasi bencana, komunikasi bencana yang dibangun pemerintah di Jepang, hingga Memorial Day yang terus disampaikan dalam sistem pendidikan di Jepang agar semua siswa dari generasi memahami negaranya adalah tempat rawan bencana sehingga mampu beradaptasi dan bangkit dari bencana.

Salah satu komunikasi dan edukasi dibangun melalui film dan drama series. Tahun 2016 ada Your Name atau dalam bahasa Jepang Kimi no Na Wa, Shin Godzilla (2016), Crimson Fat (1976), Oshin (1983-1984), dan banyak lainnya.

Film sengaja dijadikan media edukasi bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka memiliki kalimat ampuh yakni “sonae” “kakugo” yang berarti kesiapsiagaan.

Disaster film is strategy disaster management. From costume to culture, sonae kakugo,” ucap Yoshimi Nishi.

Ia menjelaskan terkait cerita yang dibangun melalui berbagai cara dan upaya mampu membangkitkan kesiapsiagaan masyarakat di Jepang dalam menghadapi bencana besar seperti tsunami maupun gempa.

Your body moves without you even thinking abaout it, culture transmitted acrros generations. Stories can experience events you have never experienced before,” imbuhnya.

Jika di Jepang masyarakat telah siap dan beradaptasi dengan bencana, lain halnya dengan Indonesia. Ahmad Arif yang telah malang melintang di dunia media menyampaikan materi terkait “Lesson from Aceh Tsunami 2004 in Japan 2011: Disaster Similiarities, Differences in Media Responses” menyebut bahwa media di Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi kesedihan bencana.

Dari pengalaman meliput kedua bencana, Ahmad Arif membuka materi dengan membandingkan data kedua bencana yang berkekuatan sama, gempa tsunami di Aceh berkekuatan Mw 9,1 memakan korban 126.915 orang meninggal, 37.063 dinyatakan hilang. Sementara di Sendai, Japan dengan kekuatan gempa tsunami Mw 9,1 dengan korban meninggal 15.883 meninggal dan 2.681 korban hilang.

Angka-angka itu menjadi fakta bahwa Indonesia masih minim kapasitas dalam mengatasi dan adaptasi bencana. Banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal jauh dalam menghadapi bencana karena budaya dan kebiasaan masyarakat.

“Indonesia tertinggal dari Jepang, agak susah meniru karena berbagai faktor mulai dari budaya, antropologi, dan sejarah,” terang Ahmad Arif.

Minimnya pengetahuan mitigasi bencana semakin diperparah dengan karakter media di Indonesia. Dari riset yang dilakukan oleh Ahmad Arif ada perbedaan mencolok dalam segi peliputan. Bencana tsunami Aceh 2004 seolah terputus karena akses dan informasi terputus sehingga foto kejadian itu diketahui di hari kedua. Sementara pada tsunami Sendai 2011, informasi langsung diketahui di hari yang sama karena media di Jepang telah mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi.

“Foto tsunami Aceh baru diketahui di hari kedua, foto yang dicantumkan pada hari pertama itu tsunami di India. Berbeda dengan di media Jepang yakni Yomiuri Shimbun, media di sana sudah mengantisipasi peristiwa ini (bencana) akan terjadi,” jelasnya.

Ditambah fokus media di Indonesia adalah fokus memotret tragedi dengan konten yang sama dengan gambar kerusakan, orang menangis, dan gambar korban. Sementara di Jepang lebih fokus pada proses recovery.

Terakhir materi terkait “Media and Disasters: Indonesian Experiences (Some Early Reflections)” yang disampaikan oleh Muzayin Nazaruddin yang telah aktif mendalami kajian komunikasi bencana.

Pada awal penyampaian materi, ia melempar pertanyaan terkait bencana tsunami Aceh kepada audiens. Ia menanyakan apakah para mahasiswa yang lahir pada tahun sekitar tahun 2004 tahu informasi terkait bencana tersebut. Menariknya, mahasiswa menjawab mereka mengetahui dari media dan cerita orang tua namun tidak dari sekolah atau institusi pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa minim edukasi mitigasi bencana di bangku sekolah.

Akibat eksploitasi media Indonesia terhadap tragedi bencana, berdampak pada korban bencana yang mudah mendapat informasi hoaks.

The media landscape has dramatically changed more effective for risk communication, its mean more hoax, more rumors,” pungkas Muzayin Nazarudin.

Muzayin memberikan lima tawaran untuk menghadapi dan merespons bencana di Indonesia antara lain mengintegrasikan kebijakan redaksi dengan kebijakan pengurangan risiko bencana yang lebih komprehensif dengan kebijakan pengurangan risiko bencana.

Kedua, transformasi dari “bencana sebagai peristiwa media” menjadi “jurnalisme pengurangan risiko bencana” lebih “pengurangan risiko bencana” komitmen yang lebih besar terhadap PRB, terkait komunikasi risiko, peringatan dini, dan pendidikan bencana.

Ketiga, peningkatan keterampilan jurnalis secara terus menerus terkait dengan isu-isu risiko dan terkait dengan isu-isu risiko dan bencana.

Keempat, media arus utama media lama harus  menjadi sumber yang berwibawa dan terpercaya, mengklarifikasi rumor, dan menyajikan berita yang akurat.

Terakhir, mengedukasi masyarakat tentang keterampilan pengecekan fakta keterampilan literasi media, terutama dalam isu risiko dan bencana kolaborasi dengan pemangku kepentingan yang relevan.

Itulah catatan terkait perbandingan pengalaman mengatasi bencana antara Indonesia dan Jepang. Bagaimana Indonesia ke depan ya Comms? Apakah media di Indonesia akan berhenti menyoroti tragedi dan beralih pada proses recovery seperti media di Jepang?

Gempa Jogja
Reading Time: 4 minutes

Gempa Jogja yang terjadi pada 27 Mei 2006 menyisakan duka dan luka mendalam bagi warga DIY. Meski 17 tahun berlalu, ingatan dan trauma masih tergambar jelas, mencekam, dan menyeramkan di setiap sudut Yogyakarta. 

Bencana layaknya kiamat itu terjadi pada Sabtu sekitar pukul 05:53 WIB, tepat saat para pelajar bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Minggu terakhir masuk sekolah itu seolah gelap tanpa harapan. 

Gempa berkekuatan Magnitudo (M) 6,3 yang berlangsung selama 57 detik itu tercatat dalam sejarah sebagai gempa paling mematikan di dunia yang terjadi pada rentang tahun 2000-2022. Gempa Jogja 2006 menempati posisi ke-9 atas jumlah korban jiwa yang melayang. 

Dari data BPBD Bantul, total korban meninggal mencapai 5.782 jiwa dan 26.299 luka berat serta ringan. Sementara jumlah rumah rusak total 71.763, rusak berat 71.372, dan 66.359 rumah rusak ringan.  

Trauma masih dirasakan oleh Nur Arifin Hakim, warga Kota Jogja yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMP. Hakim saat itu mengira gempa terjadi karena Gunung Merapi yang berstatus Siaga 3, namun dugaannya salah. “Teman TPA ku meninggal gara-gara itu (red: Gempa Jogja 2006) 

Pusat gempa berada di Sungai Opak Dusun Potrobayan, Sriharjo, Pundong, Bantul. Dari Pundong sebagai titik episentrum dan jalur gempa menuju ke Klaten. Artinya lokasi gempa berjarak kurang lebih 19 km dari rumah Hakim yang terletak di Pandeyan, Umbulharjo, Kota Jogja. 

“Aku hampir ketiban tumpukan Coca-cola beberapa kerat yang disusun di dalam rumah, aku lari dari kamar mandi. Banyak rumah ambruk, temanku ada yang meninggal, bapaknya temanku juga ada yang meninggal. Kukira itu hari kiamat,” ucapnya menenang pengalaman mencekam itu. 

Kabar temannya yang meninggal ia ketahui sekitar sehari pascagempa, terkejut dan campur aduk. Orang yang selama ini menemani masa-masa belajar di masjid setiap sore tak akan ia lihat lagi raut wajahnya. Kehilangan teman kali ini menjadi pengalaman perpisahan yang sebenarnya bagi Hakim. Kesedihan itu perlahan-lahan memudar bersama proses pendewasaan dirinya. 

Serupa dengan Hakim, Eni Puji Utami yang kala itu kelas 1 SMP tak menyadari ada gempa. Ia sedang bersantai naik sepeda di sekitar desanya. Sesampai rumah ia terkejut, rumah-rumah di Bambanglipuro tak sedikit yang hancur. Ia berpikir akan terjadi tsunami hingga ketakutan terpisah dari ibunya. 

“Ketakutan pasti ada, takut tsunami, takut kehilangan keluarga, hingga takut terpisah dengan ibuku,” ucapnya mengingat kejadian 17 tahun silam. 

Jika warga DIY ketakutan dan trauma kehilangan orang-orang terdekatnya karena gempa, namun para ahli sepakat bahwa bukan gempa yang membunuh manusia tetapi bangunan yang menimpa mereka. 

“Berkaca dari fenomena gempa Jogja 2006, para ahli mengingatkan bukan gempa yang membunuh manusia. Namun bangunannya. Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh. Sementara itu korban luka-luka banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa,ungkap Dwi Daryanto, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul, dilansir dari laman elshinta. 

Menilik penelitian berjudul “Jurnalisme Bencana di Indonesia, Setelah Sepuluh Tahun” yang dipublikasikan oleh Muzayin Nazaruddin pada Jurnal Komunikasi Volume 10, Nomor 1, tahun 2015, secara gamblang tertulis bahwa bencana yang terjadi di Indonesia selain dari spek geologis juga aspek sosial demografis. 

Kondisi yang terjadi saat Gempa Jogja 2006 tak ada prediksi apapun sebelumnya. “Gempa bumi dapat terjadi tanpa adanya tanda-tanda pasti; dan dapat terjadi kapan pun. Teknologi ciptaan manusia belum mampu untuk memprediksi waktu gempa akan terjadi,ujar Dr. Raditya Jati Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dilansir dari laman bnpb.go.id. 

Indonesia termasuk dalam wilayah Pasific Ring of Fire (Deretan Gunung Berapi Pasifik) yang berbentuk melengkung dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi Utara ditambah pertemuan dua lempeng tektonik dunia. 

Selanjutnya aspek sosial demografis yang sangat berperan penting pada sikap dan tindakan yang mampu meningkatkan kerentanan terhadap bencana. Keragaman budaya, etnis, agama selain menjadi kekayaan ternyata di sisi lain justru menjadi potensi bencana jika tidak dikelola dengan baik. 

Sementara kondisi Gempa Jogja 2006 kala itu benar-benar kaos, mulai dari mitigasi bencana hingga simpang siur dan hoaks muncul di mana-mana. Hal ini diungkapkan oleh salah satu Dosen Ilmu Komunikasi UII, Narayana Mahendra Prastya, yang saat itu menjadi wartawan Detik Biro Jogja. 

“Kondisi chaos di mana-mana, banyak hoaks dan pesan berantai. Karena listrik dimatikan akses berita hanya mengandalkan radio. Akhirnya banyak orang meninggalkan rumah lupa mengunci pintu, maling beraksi,” ujarnya. 

Sementara pada penelitian yang disebutkan oleh Muzayin Nazaruddin, media massa dalam menyikapi pemberitaan bencana justru cenderung menunjukkan euforia pemberitaan bencana dibandingkan mitigasi bencana dan langkah selanjutnya. 

Secara tidak langsung eksploitasi bencana sebagai “kisah satir yang menghibur” karena dianggap sebagai sumber informasi yang tak pernah kering dari nilai berita. 

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan masyarakat Indonesia setelah mengetahui bahwa daerah yang ditinggalinya merupakan ladang bencana”?  

Setelah belajar dari Gempa Jogja 2006, Sumatera Barat 2009, Pidie Jaya 2016, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat 2018, dan Sulawesi Barat 2020 pihak BNPB menawarkan tiga solusi yang komprehensif.  

Pertama, pada pengelolaan risiko bencana, investasi pengurangan risiko bencana (PRB) dapat dilakukan demi upaya mitigasi bencana. Sementara sebagai upaya pencegahan maupun mitigasi bencana pada konteks wilayah yang pernah terdampak, prinsip build back better and safer menjadi sangat penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.  

Negara maju seperti Jepang, telah melakukan retrofitting pada salah satu ruang yang ada di rumah. Retrofit ini merupakan teknik melengkapi bangunan dengan memodifikasi atau membangun kembali dengan menambah bagian atau peralatan baru yang dianggap perlu karena tidak tersedia pada saat awal pembuatannya.  

Kedua, pendekatan kolaborasi pentaheliks, pentaheliks ini terdiri dari pemerintah, pakar atau akademisi, lembaga usaha, masyarakat, dan media massa memiliki peran yang luar biasa dalam penanggulangan bencana.  

Pendekatan ini akan meningkatkan aspek kewaspadaan, akses ke sumber daya, koordinasi dalam PRB maupun pemulihan, serta memperkuat pengambilan keputusan, akses komunikasi serta koordinasi saat tanggap darurat. Dalam hal ini kritik terhadap media massa agar tak hanya eksploitasi kisah kesedihan saja melainkan edukasi kepada masyarakat. 

Terakhir, pendekatan adaptasi revolusi industri 4.0. Pendekatan ini dapat berkolaborasi dengan pendekatan pentaheliks dan diharapkan terwujud inter-konektivitas. Dari proses ini akan menghasilkan big data yang dapat digunakan sebagai kajian maupun penciptaan sesuatu. End to end dari terobosan ini untuk keselamatan nyawa manusia.   

Selain tiga pendekatan tersebut, pemulihan pascabencana melalui konteks sosial juga menjadi hal penting untuk membangun resiliensi keluarga keberlanjutan hidup di tengah porak poranda pemukiman. Kekuatan gotong royong membangun kembali kehidupan pascabencana. Namun hal ini akan terwujud dengan adanya sikap kepemimpinan dan komitmen kepala daerah.  

 

Penulis: Meigitaria Sanita