Tag Archive for: Konser

Hari Film Nasional 2025: Merayakan dengan Membaca Hasil Riset Kajian Film

Hari film nasional yang dirayakan setiap 30 Maret menjadi momentum untuk berefleksi terkait proses dan perkembangan film di Indonesia. Singkatnya, perayaan ini mengacu pada film pertama Darah dan Doa yang diproduksi pada 30 Maret 1950 oleh 1950.

Beragam genre mewarnai bioskop tanah air, meski demikian data menyebut film horor mendominasi daftar judul film beberapa tahun terakhir. Tanpa agenda khusus sekalipun, setiap hari film selalu dirayakan.

Tercatat 80 juta penonton menyaksikan film di bioskop di tahun 2024. Sementara tahun 2025 diprediksi 150 hingga 200 judul film akan tayang. Terlepas dari jumlahnya yang fantastis, data yang dihimpun oleh Cinepoint (2024) genre paling mendominasi adalah horor 63 film, drama 54 film, komedi 18 film, sisanya dokumenter, aksi, dan animasi. Tentu film horor Indonesia paling banyak disorot hingga tuai kritik-kritik tajam.

Berbagai eksploitasi mulai dari perempuan hingga agama menjadi modal utama dalam pembuatan film horor. Di kajian Ilmu Komunikasi tentu ada kritik-kritik yang disampaikan untuk membangun film berkualitas. Tawaran solusi juga disampaikan dari berbagai riset.

Selengkapnya: https://communication.uii.ac.id/kritik-soal-film-horor-religi-dan-tawaran-solusi/

https://communication.uii.ac.id/eksplorasi-film-berdasarkan-kisah-nyata-hingga-riuhnya-respon-netizen/

https://communication.uii.ac.id/film-horor/

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan kajian film, berikut beberapa judul riset yang telah dilakukan oleh civitas akademika di Departemen Ilmu Komunikasi UII.

  1. Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to the World – Dr. Zaki Habibi

Riset ini fokus pada tiga festival film independen yang diadakan di tiga negara berbeda di Asia. Ketiga festival tersebut adalah (1) Jeonju International Film Festival (JIFF) di Jeonju, Korea Selatan, (2) Cinemalaya Philippine Independent Film Festival di Manila, Filipina, dan (3) Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, Indonesia.

Dengan menganalisis penyelenggaraan festival film independen, beberapa temuannya meliputi film sebagai produk budaya, festival film independen, dan wacana budaya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ketiga festival film yang dianalisis menawarkan cara alternatif dalam distribusi film, kemudian menunjukkan cara pengorganisasian festival yang tidak konvensional, dan memperkuat kekuatan komunitas dan jaringannya sebagai basis pengembangan festival mereka.

Selengkapnya: https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6385

  1. Citra Indonesia dalam Film dan Serial Televisi Hollywood – Dr. Herman Felani

Penelitian ini bertujuan untuk membahas citra Indonesia dalam film dan serial televisi Hollywood. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme yang berdasarkan pada teori orientalisme dari Edward Said. Berdasarkan temuan penelitian ini, Indonesia digambarkan sebagai negara yang aneh, kacau, dan tertinggal, sarang penjahat, tempat yang eksotis, terpencil, mistis dan misterius, dan pusat teroris. Munculnya citra tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang Amerika tentang Indonesia yang disebabkan oleh distorsi media massa.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/9805

  1. Pembungkaman Kaum Perempuan dalam Film Indonesia (Penerapan Teori Muted Group dalam Film “Pertaruhan”) – Ratna Permata Sari, M.A

Definisi gender kerap disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya berbeda. Dalam artikel ini membahas detail bagaimana gender atau sifat yang melekat pada proses kultural yang memunculkan berbagai ketimpangan dalam masyarakat seperti marginalisasi, stereotip, kekerasan dan pelabelan negatif. Dari teori muted group, analisis dilakukan pada peran perempuan dan pembungkaman di ruang publik dalam film “At Stake (Pertaruhan)”. Film ini terdiri dari empat cerita pendek yaitu Usaha untuk Cinta, Apa Gunanya, Nona atau Nyonya, Harta Anak-Anak.

 https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6777

  1. Sinema Independen di Yogyakarta 1999-2008: Idealisme di Tengah Krisis Infrastruktur – Prof. Masduki

Pada periode 1999-2008, perfilman Indonesia berkembang dengan banyaknya karya kreatif dan bioskop alternatif berbasis komunitas, terutama di Yogyakarta. Penelitian di Yogyakarta menemukan tiga faktor utama: adanya komunitas independen di kalangan mahasiswa dan non-mahasiswa, munculnya bioskop alternatif seperti Kinoki dan Pusat Kebudayaan Prancis, serta adanya festival film lokal dan regional yang mendukung film indie. Produksi film independen didorong oleh kebebasan berekspresi dan kepedulian sosial-politik. Namun, keterbatasan infrastruktur dan dukungan publik menjadi tantangan yang perlu diatasi.

https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/5649

Itulah beberapa riset yang bisa menjadi inspirasi dan rekomendasi bagi akademisi komunikasi yang tertarik dengan kajian film.

Karakter penonton

Tren menonton konser pasca pandemi menjadi ajang mencari hiburan hingga eksistensi bagi beberapa orang sepanjang akhir tahun 2022 hingga 2023. Tak jarang calon penonton rela ”war tiket” seharga belasan juta.  

Pandemi Covid-19 menutup segala lini akses hiburan yang digelar secara offline. Menjelang meredanya kasus positif Covid-19 konser offline mulai bermunculan seolah memuaskan dahaga para penikmat musik di Indonesia yang haus hiburan. 

Pada bulan Februari deretan konser spektakuler digelar di Indonesia mulai dari konser Tulus yang digelar 11 Kota, ITZY: The 1st World Tour Checkmate, Sehun dan Chanyeol, dan Westlife yang digelar pada Februari 2023.  

Disusul bulan Maret yang tak kalah menyita perhatian yakni dibuka dengan Konser NCT Dream, Blackpink World Tour, Joyland Festival, dan Arctic Monkeys.  

Usai digelar konser-konser spektakuler tersebut ramai lagi konser Coldplay yang akan digelar pada 15 November 2023. Meski digelar menjelang akhir tahun konser bertajuk Coldplay Music of The Spheres World Tour memulai penjualan tiket pada 17 Mei 2023. 

Menariknya tiket konser-konser besar ini selalu sukses terjual tanpa tersisa meski harganya cukup tinggi. Para calon penonton rela “war tiket” dengan berbagai cara, mulai dengan berusaha sendiri hingga jastip kepada penyedia jasa demi dapat menonton grup musik kesayangannya tampil. 

Sebut saja konser Blackpink bertajuk Born Pink yang digelar selama dua hari di Stadion Gelora Bung Karno mampu menggaet penonton hingga 70 ribu. Diluar dari 70 ribu orang tersebut ternyata lebih banyak orang yang tak kebagian tiket dan gagal nonton konser grup musik asal Korea Selatan tersebut. 

Tiket konser Blackpink kala itu dibanderol dari yang termurah Rp1,3 juta hingga Rp3,8 juta terjual habis hanya dalam waktu 30 menit. Sementara tiket Coldplay akan dijual dari range Rp11 juta hingga Rp800 ribu. 

Meski dengan harga belasan juta nyatanya para calon penonton tak gentar dan menyerah mereka tetap akan war tiket. Lantas apa alasan mereka melakukan hal ini? Apakah memang fans sejati, haus hiburan, atau hanya fomo dan eksistensi semata? 

Salah satu perempuan bernama Linda menyebutkan jika Ia akan mengikuti war tiket Coldplay pada presale 17 Mei 2023 nanti. Alasannya karena memang menyukai Coldplay sejak Ia remaja. 

“Berencana nonton dan war tiket Coldplay, sebenarnya mau nonton konser Justin Bieber tapi karena cancel akhirnya nonton Coldplay,” ujar Linda. 

Perempuan berusia 29 tahun itu juga menyaksikan konser Blackpink pada bulan Maret lalu, bahkan Ia telah menyiapkan dana sekitar Rp5-6 juta demi bertemu Girlband kenamaan Korea Selatan itu. Disinggung soal pengeluaran yang fantastis Linda menyampaikan jika itu “Worth it” dengan keseruan yang Ia dapatkan. 

“Tidak masalah harganya tinggi, bisa kan kita bayangkan bagaimana serunya lagu Viva La Vida dinyanyikan bareng-bareng. Bahkan bos di tempat kerjaku akan meliburkan karyawannya karena mereka juga ingin nonton konser Coldplay,” tandasnya. 

War tiket konser Coldplay di Jakarta juga akan dilakukan oleh Rizka Aulia seorang staff salah satu Institusi Pendidikan di Yogyakarta. Jika Linda akan war tiket sendiri, berbeda dengan Rizka yang lebih memilih untuk jastip kepada adiknya yang kerap kali membuka jasa war tiket. 

“Kalau dapet ya nonton, aku mau minta carikan adikku yang biasa buka jasa war tiket konser K-Pop. Kalau ditanya soal alasan nonton aku memang suka Coldplay dan suka dateng ke konser,” ujar Rizka. 

Selain alasan kesukaannya terhadap grup musik asal Britania itu, Rizka menyebut ingin menyaksikan konser yang mengusung konsep ramah lingkungan mengingat Coldplay telah menggelar konser ramah lingkungan dengan cara mengurangi emisi CO2 hingga 50 persen, mendukung teknologi baru dengan energi hijau, dan membiayai proyek lingkunganyang bisa mengembalikan jejak karbon dari hasil tur yang mereka lakukan. 

“Aku penasaran dengan konser Coldplay yang ramah lingkungan, dari pemasangan lantai kinetik hingga sepeda kayuh listrik. Semakin kita seru loncat-loncatnya maka akan menghasilkan sumber energi listrik,” pungkasnya. 

Tren nonton konser pasca pandemi ini turut meluluhkan hati para atasan di tempat kerja hingga membuat keputusan humanis demi mendukung kesenangan karyawannya. Selain kelonggaran libur yang disampaikan Linda tadi ternyata ada CEO disebuah perusahaan yang rela memberi pinjaman kepada karyawannya yang ingin menonton konser Coldplay. 

Sebuah cuitan dari pengguna Twitter @aetheraz menyebut jika bosnya akan memberi pinjaman dengan bunga nol persen bagi karyawannya agar bisa mengikuti keseruan konser Coldplay. 

“Kantor gue, especially CEO gue, ngasih pinjaman dengan bunga 0% untuk yang mau nonton Coldplay. Kalau Taylor Swift ke Indonesia, dia juga bakal ngasih pinjaman.” Tulis akun @aetheraz. 

Sebenarnya gerombolan orang-orang yang rela berbondong-bondong demi mendapatkan tiket konser itu memang benar adalah fans garis keras atau memang mereka yang fomo nonton konser pasca Pandemi Covid-19? 

Seorang bernama Nita penyedia jasa war tiket menyebutkan jika pelanggan yang datang pada dirinya berasal dari lintas generasi. Selain itu memang karena cari hiburan setelah Pandemi Covid-19. 

“Kalo coldplay kayanya fans lintas generasi dari yang kelahiran tahun 80-2000an pun masuk dan pengen pada nonton,” ujarnya. 

Pekerjaan yang menumpuk serta beban kerja selama pandemi membuat mereka ingin mencari penyegaran dengan cara menonton konser. 

“Iya salah satunya  karena habis pandemi, butuh hiburan dari capenya kerja Coldplay salah satunya,” jelas Nita. 

Nita juga menyebutkan jika pada konser Coldplay di Indonesia war tiket jauh lebih menantang karena jumlahnya lebih banyak dibandingkan saat konser Blackpink Maret lalu. Sementara dalam melakukan war tiket juga dibatasi setiap akun. Artinya Ia membutuhkan banyak anggota dalam melakukan war tiket Coldplay nanti. 

“Yang Coldplay presale  nembus 70 tix, biasanya kalo kpop 50an. Dibatesin tergantung team yang bantuin, soalnya dari web sendiri pembelian tiket dibatasin. Coldplay ini , 1 akun maksimal beli 4 tiket,” pungkas perempuan berusia 27 tahun itu. 

Jika merujuk pada pengakuan tiga narasumber di atas, hampir semua menyatakan ingi merasakan euforia dan mencari kesenangan, meski ada yang penasaran dengan unsur unik dari konser Coldplay yang ramah lingkung. 

Sebenarnya bagaimana sih karakter penonton konser itu? Dari artikel yang dipublikasikan oleh Mummar Syarif di kanal The Conversation terdapat tiga karakteristik penonton konser di Indonesia. Tiga kategori ini Ia dapatkan dari hasil wawancara dengan Harriman Samuel Saragih, Assistant Professor dari Monash University Indonesia. 

Pertama adalah Pleasure seeker, didominasi kaum muda rata-rata usia 22 tahu. Mereka adalah penonton yang mendatangi konser untuk mencari hiburan, kesenangan, serta menjauhkan diri sejenak dari kesibukan sehari-hari. 

Kedua, pengunjung yang belajar biasanya mereka berasal dari seniman atau pengamat musik yang sedang mencari banyak pengetahuan dan referensi demi pengembangan diri. 

Terakhir, transcendentalist mereka adalah orang-orang yang merasa turut serta berkontribusi pada konser musik tersebut. Selain menikmati musik, mereka juga pelaku kreatif di dalamnya, tidak hanya pada acara saja tapi juga terhadap ekonomi dan industri musik itu sendiri. 

Dari deretan pernyataan dan pendapat ahli di atas bagaimana menurutmu Comms dengan fenomena nonton konser setelah pandemi? Lebih cenderung datang ingin bertemu fans dan menikmati konser atau sekedar mengikuti tren agar tak ketinggalan? 

 

Penulis: Meigitaria Sanita