Tag Archive for: Komunikasi Geografi

Reading Time: 2 minutes

The Covid-19 pandemic has clearly limited space for movement. The short period bored everyone, and people wanted to immediately engage in activities within those limitations. The entertainment world is also looking for alternative solutions to keep the economy running. Many K-Pop music industries are also trying to make digital concerts amid the pandemic.

One of the phenomena of this digital concert was brought up by Salsabila Dewi Kemuning for her to explore more deeply as the topic of her thesis research. Results of her research, in addition to being presented in the final exam, She also presented in international seminars 6th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS). On Tuesday, 28 June 2022, this research will also be presented in the Monthly Discussion Center for Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM Communication Department UII.

Kemuning’s research is entitled Digital K-Pop Concert Room. This research wants to know three things that are also stated in the research objectives. The first problem is how to construct liveness in digital concert shows. The second is how the audience positions themselves in the digital liveness concert ‘space.’

Third, how does this K-POP digital concert-show work as an ideology that produces liveness and space? The first and second points are how the concert organizers make the audience and the concert feels so real as if they feel the atmosphere of a real concert.

Ethnographic Qualitative Research 

This research uses an ethnographic qualitative approach. The way to do this is by joining the informants when watching the concert digitally. After that, the researcher will record all behavioral expressions, expressions, and habits made by the informants during the digital concert. Usually, the informants and researchers already have a close and fluid relationship, so all expressions and behaviors that appear are very natural.

The Kemuning process in selecting resource persons must be selective so that the data generated in the research is credible. The resulting data can certainly be justified scientifically. Kemuning is looking for college students who are true K-pop fans. At least the informant has been fond of K-Pop for three years. “What is certain is that he or she will watch a digital concert,” said Kemuning, referring to her research sources who are digital concertgoers. The next criterion is that the source is a reputable fandom, meaning those closest to him/ her know very well that he/ she is a K-Pop fandom.

During the research period, Kemuning conducted interviews and direct observations related to the experience of the informants watching. Kemuning recorded what they felt and saw their expressions while watching, as well as the expressions they said while watching or after watching.

You can watch the video here too:

Reading Time: 2 minutes

Pandemi Covid-19 jelas membuat ruang gerak terbatas. Rentang waktunya yang tidak sebentar jelas membuat semua orang bosan dan ingin segera berkegiatan dalam keterbatasan itu. Dunia hiburan juga mencari alternatif solusi agar tetap bisa menjalankan roda ekonominya. Banyak industri musik K-Pop pun menjajal untuk membuat konser digital di tengah pandemi yang melanda.

Salah satu fenomena konser digital ini diusung oleh Salsabila Dwi Kemuning untuk dia telusuri lebih dalam sebagai topik riset skripsinya. Hasil risetnya, selain dia paparkan dalam ujian akhir, juga dia presentasikan dalam seminar Internasional Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) ke-6. Pada Selasa, 28 Juni 2022, riset ini juga dipaparkan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII.

Riset Kemuning ini berjudul Ruang Konser Digital K-Pop. Riset ini ingin mengetahui tiga (3) hal yang juga tertuang dalam ‘tujuan penelitian’. Pemasalahan yang pertama adalah bagaimana mengkonstruksi liveness dalam tayangan konser digital. Kedua adalah bagaimana penonton memposisikan diri dalam ‘ruang’ konser liveness digital.

Ketiga, bagaimana tayangan konser digital K-POP ini bekerja sebagai ideologi yang memproduksi liveness dan keruangan. Poin pertama dan kedua ini sebetulnya adalah bagaimana penyelenggara konser membuat seolah penonton dan konsernya terasa begitu nyata seolah merasakan atmosfir konser nyata.

Riset Kualitiatif Etnografis

Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif etnografis. Cara melakukannya adalah dengan ikut serta dengan narasumber ketika menonton konsernya secara digital. Setelah itu, peneliti akan mencatat segala ekspresi perilaku, ungkapan, kebiasaan yang dilakukan oleh narasumber saat konser digital tersebut berlangsung. Biasanya narasumber dan peneliti sudah memiliki hubungan yang cair dan dekat, sehingga semua ekpresi dan perilaku yang muncul sangat natural.

Proses Kemuning memilih narasumberpun harus selektif supaya data yang dihasilkan dalam penelitiannya kredibel. Data yang dihasilkanpun tentu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kemuning mencari mahasiswa kuliah yang benar-benar penggemar K-pop. Setidaknya, informannya sudah menggemari K-Pop tiga tahun. “Yang pasti ia akan menonton konser digital,” kata Kemuning merujuk pada narasumber penelitiannya yang adalah penonton konser digital. Kriteria berikutnya adalah narasumber merupakan fandom yang punya reputasi, maksudnya orang-oarng terdekatnya tahu betul bahwa ia adalah fandom K-Pop.

Selama masa penelitian, kemuning melakukan wawancara dan observasi langsung terkait pengalaman narasumber menonton. Kemuning mencatat apa yang dirasakan, melihat ekspresi ketika menonton, juga ungkapan yang mereka ucapkan saat menonton atau setetelah menonton.

Reading Time: < 1 minute

Diskusi PSDMA Nadim Komunikasi UII

Diskusi PSDMA Nadim kembali digelar. Kali ini Nadim menghadirkan riset di klaster Komunikasi Geografi. Diskusi akan diselenggarakan dengan mengangkat tema:

Music Topophilia: Makna Jakarta bagi Penggemar JKT48

Jadwal:

Kamis, 17 Juni 2021

15.30 WIB

Pembicara:

Ameylia Firza Tamara

Live Uniicoms TV dan Daring Zoom di Poster berikut:

Reading Time: 2 minutes

Di sebuah sekolah inklusi ada desain universal yang harus matang disiapkan. Desain ini harus juga diimani oleh semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Tak hanya guru melainkan juga orang dewasa lain. Desain itu biasa disebut Universal Design for Learning (UDL).

UDL adalah sebuah kerangka berpikir yang memungkinkan orang dewasa menyediakan beragam pilihan kepada anak. “Anak bisa terlibat memilih cara menyerap informasi dan mengekspesikan hasil belajarnya,” kata Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), sebuah pusat informasi dan layanan anak usia dini, yang berbicara pada Sabtu, 5 Juni 2021 secara daring. Menurut Ana, cara pandang UDL ini harus memungkinkan tiga aspek pembelajaran yaitu Minat & Atensi, Penyerapan Informasi, dan Ekspresi.

Dalam aspek ‘minat dan atensi’, orang dewa dipercaya mampu merangsang motivasi dan mempertahankan antuasme siswa dalam beajar. Selain itu,dalam perpekttif UDL ini orang dewasa harus bisa mengenali minat dan kekuatan (potensi) anak.

Dalam aspek penyerapan informasi, orang dewasa dituntut untuk memeberikan informasi dan materi dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan bergam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Sedangkan dalam aspek ekspresi, orang dewasa harus mampu menawarkan berbagai pilihan dan dukungan agar setiap siswa dapat menciptakan, mempelajari, dan berbagi informasi sesuai dengan gaya dan ekpresi siswa. Orang dewasa juga harus menyediagam beragam metode penialain yang juga disesuaikan dengan ekspresi siswa.

Informasi dan materi dibuat dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan beragam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Holy Rafika Dhona, MA, Dosen Komunikasi UII, dan beberapa mahasiswa klaster riset ini menggelar diskusi ini sebagai rangkaian event pemberdayaan masyarakat dalam empat tema diskusi. Diskusi kali ini adalah diskusi yang pertama. Momen diskusi bersama Ana dari ECCDRC ini merupakan bagian dari implementasi kluster Riset Komunikasi UII yaitu klaster Geography and Environmental Communication.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini berusaha mendiskusikan kembali ruang-ruang belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Apakah ia sudah ideal, apakah masih sebatas jargon. “Ruang adalah konstruksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

 

 

Reading Time: 2 minutes

In an inclusive school, there is a universal design that must be carefully prepared. This design must also be believed by all parties involved in the teaching and learning process. Not only teachers but also other adults. This design is known as Universal Design for Learning (UDL).

UDL is a framework that allows adults to provide a variety of choices to children. “Children can be involved in choosing how to absorb information and express their learning outcomes,” said Ana Rukma Dewi from ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), an early childhood information and service center, who spoke on Saturday, June 5, 2021 online. According to Ana, this UDL perspective must allow three aspects of learning, namely Interest & Attention, Information Absorption, and Expression.

In the aspect of ‘interest and attention’, the gods are believed to be able to stimulate motivation and maintain student enthusiasm in learning. In addition, in this UDL perspective, adults must be able to recognize the interests and strengths (potential) of children.

In the aspect of information absorption, adults are required to provide information and material in various ways so that students are able to understand it easily. Adults are also required to provide a variety of learning media that are adapted to children’s learning styles.

Whereas in the aspect of expression, adults must be able to offer various choices and support so that each student can create, learn, and share information according to the student’s style and expression. Adults must also provide a variety of assessment methods that are also adapted to students’ expressions.

Information and materials are made in various ways so that students can understand them easily. Adults are also required to provide a variety of learning media that are adapted to children’s learning styles.

Holy Rafika Dhona, MA, UII Communication Lecturer, and several students of this research cluster held this discussion as a series of community empowerment events in four discussion themes. This discussion is the first one. The moment of discussion with Ana from ECCDRC is part of the implementation of the UII Communication Research cluster, namely the Geography and Environmental Communication Research cluster.

The discussion entitled ‘Reconnection 2021: introduction of inclusive schools and their practice in Indonesia’ seeks to re-discuss learning spaces for Children with Special Needs (ABK). Is he already ideal, is it still just jargon? “The space is a joint construction including a study room for ABK. So far, inclusive schools have been mere slogans,” said Dhona.

 

 

 

 

 

Reading Time: 5 minutes

Oleh Ifa Zulkurnaini

Wisata bencana adalah topik perdebatan yang pelik: ada yang sinis dan ada yang simpatik. Sikap media pun bergeser dari masa ke masa.

Di tengah perang dengan pandemi dan anjuran untuk karantina diri, beberapa gunung di Indonesia tersadar dari tidurnya. Gunung Merapi erupsi pada 10 April 2020 pagi. Malamnya, Anak Krakatau menyusul. Tampaknya, hidup di Indonesia, berarti bersiap berhadapan dengan bencana yang beragam.

Warga Indonesia sudah sejak lama menggunakan kreativitas sebagai respon bencana. Kita mengenal adanya “wisata bencana”, yakni kegiatan wisata yang memperlakukan bencana sebagai tontonan. Konsep dan praktik ini bisa ditelisik mundur setidaknya sejak 1982. Ada satu hal penting ketika kita membicarakan “wisata bencana”.

Sejak awal kemunculannya, media berperan penting dalam mendefinisikan, membangun, dan menilai wacana mengenai “wisata bencana”. Posisi media dalam melihat “wisata bencana” juga berubah di sepanjang sejarah.

Artikel ini sendiri akan membicarakan bagaimana Harian Umum Kompas—media cetak yang memiliki oplah tinggi di Indonesia—mendefinisikan “wisata bencana” semenjak 1970an hingga 2000an awal. Artikel ini juga akan membicarakan bagaimana kemudian Kompas bergeser dalam menilai “wisata bencana” menjadi dua hal yang berbeda.

Piknik Bencana Sebagai ”Tindakan Tidak Etis”

Teks yang berhubungan dengan wisata bencana pertama kali muncul di Kompas pada 26 Juli 1976. Ketika itu, terjadi gempa bumi yang terjadi di Seririt, Bali, salah satu kota kecamatan yang terkenal sebagai tempat wisata. Artinya, dalam kemunculan ini, “wisata bencana” dapat diartikan sebagai “bencana yang terjadi di daerah wisata”.

Kompas mewacanakan konsep ini dengan lebih sistematis, serta lebih dekat dengan pemaknaan kita hari ini, pada 1982. Ketika Gunung Galunggung meletus dan menyapu beberapa kecamatan di Garut. Kala itu, Kompas memberitakan sebuah kegiatan yang dinamai sebagai “piknik bencana”.

“…yang lebih ramai lagi adalah bila Anda bisa minta kepada penjaga palang pintu untuk membukakan jalan, dan masuk mengikuti jalan yang menuju ke arah Desa Sinagar, desa yang sudah dimusnahkan oleh delapan kali Letusan galunggung. Di Desa Sukaratu, jalan itu melintasi Kali Cibanjaran, alur yang menjadi jalan lahar dingin dari kawah Cekok dan kawah Hejo yang sekarang mengepul menjadi satu kepundan… Di situlah pusat keramaiannya… kebanyakan orang kota, dengan pakaian lengkap dengan kamera, gaya piknik.” (Piknik ke Galunggung”, Kompas 2 Juni 1982).

Melalui teks tersebut, Kompas memposisikan kegiatan masyarakat menonton bencana itu sebagai “piknik”. Secara simbolik, istilah piknik digunakan sebagai strategi untuk memproduksi ruang yang bukan wisata menjadi ruang wisata.

Kompas memilih diksi yang menarik untuk kita bahas di sini: “orang kota”. Sewajarnya, dalam piknik, pelakunya umum disebut sebagai “wisatawan”, “pelancong”, atau “turis”. Dengan menggunakan diksi “orang kota”, Kompas hendak menggarisbawahi tegangan sosial yang terlibat di dalamnya. Pada satu sisi ada subjek “orang kota” yang “berpakaian lengkap”, dan menenteng “kamera”. Pada sisi lain, ada objek pemandangan warga terdampak, desa yang “dimusnahkan oleh delapan kali Letusan galunggung”.

Bingkai etika yang dipakai Kompas ini semakin keras dan gamblang pada 2006. Kritik ini disampaikan melalui artikel dengan judul “Santir Rupa Lindunisia”, yang menyamakan pengunjung wisata bencana sebagai “orang berhati Iblis”.

“Rupanya bencana memunculkan pula peluang bagi orang-orang berhati iblis untuk mendirikan kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Paling tidak membikin mereka berkesempatan piknik ke ‘desa wisata gempa’, …” (Wahyuddin, “Santir Rupa Lindunisia”, Kompas 24 September 2006).

Cerpen berjudul “Piknik” ikut memberi penggambaran sinis atas aktivitas ini.

“Bila kau merencanakan liburan akhir pekan—dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga—air mata. (Agus Noor, “Piknik”, Kompas, 2 Juli 2006)

Nada satir pada kalimat terakhir di penggalan cerpen Agus Noor memberikan kesaksian bahwa kegiatan “piknik bencana” bukanlah hal yang dikehendaki penyintas. Dalam teks-teks ini, bencana dipahami sebagai kondisi yang menyedihkan. Dengan demikian, tak elok jika dinikmati sebagai objek pengisi waktu luang.

Hal lain yang menarik dari fenomena “piknik bencana” dalam terbitan Kompas di sepanjang 1982-2010 adalah kegiatannya yang bersifat aksidental, tanpa persiapan atau tanpa pengelolaan. Fokusnya pun hanya sebatas apa yang bisa dilakukan oleh penonton, seperti “orang kota” dalam letusan Gunung Galunggung.

Pemberitaan Kompas mengenai Letusan Gunung Merapi pada 1993 memang menunjukkan adanya aktivitas dari penyintas yang menjadi pemandu wisata, serta adanya pemberian imbalan (“Rame-Rame Nonton Letusan”, Kompas, 24 April 1993). Namun, praktik ini tidak terorganisir dan tidak ada penerapan tarif khusus. Hal sama yang terjadi ketika Galunggung meletus pada 1982, ketika masyarakat ramai menemani “orang kota” melihat letusan Galunggung.

“Wisata Bencana” sebagai Tontonan yang Dikelola

Perubahan cara pandang Kompas mulai terjadi setidaknya pada 2010. Pada era tersebut itu, Kompas mulai menukar istilah “piknik bencana” menjadi “wisata bencana”. Penggunaan istilah ini menandai sejumlah pergeseran dalam menempatkan warga terdampak, pengunjung, serta aktivitas wisata itu sendiri. Lebih dari itu, penggunaan istilah “wisata bencana” juga menandai peralihan peran Kompas dalam menyebarkan pengetahuan bahwa bencana dapat dijadikan sebagai komoditas wisata.

Hal ini terjadi terutama setelah meletusnya Gunung Merapi pada 2010. Selepas bencana ini terjadi, warga terdampak tak lagi digambarkan sebagai objek yang pasif, yang tak berdaya menjadi bahan tontonan. Warga terdampak digambarkan secara simpatik sebagai aktif memanfaatkan ramainya pengunjung.

“Orang ingin tahu seperti apa rumah Mbah Maridjan dan bagaimana kondisi dusun kami—daripada nasib kami menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan. Itulah ide awal Lava Tour Merapi,” ungkap Asih (“Merapi yang Selalu Menghidupi”, Kompas, 18 Februari 2012).

“Wisata bencana” adalah istilah yang merujuk pada sebuah kegiatan wisata yang dikelola. Dalam peliputannya, Kompas pun menghadirkan industri wisata baru yang dikelola warga terdampak bencana ini sebagai wisata yang wajar dan profesional. Mulai dari pengelola yang mengenakan seragam, hingga cetakan karcis masuk dan biaya parkir yang sudah diseragamkan (Kompas, 28 Januari 2011).

Pengelola pun menyediakan fasilitas berupa mobil Jeep dan motor trail untuk memperkaya pengalaman wisata.

Perubahan juga terjadi dalam cara Kompas mendeskripsikan pengunjung. Bukan lagi sebagai “orang kota” yang hendak “piknik”, melainkan sebagai “wisatawan”. Aktivitas para wisatawan ini pun tak lagi disindir atau dikritik sebagai aktivitas yang tak bermoral. Praktik menonton sambil menenteng kamera atau smartphone untuk merekam bencana dianggap hal yang lumrah.

Kompas menyamakan kegiatan ini dengan “napak tilas”. Penggunaan istilah napak tilas terlihat memberikan gambaran bahwa aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan sebagai penghormatan, sebagai rasa empati terhadap warga terdampak.

Refleksi

Ada hal yang berubah dari cara Kompas membicarakan wisata bencana. Sejak pemberitaan awal pada 1982, Kompas teguh untuk menganggap piknik bencana sebagai perbuatan yang tidak elok. Namun setelah letusan Gunung Merapi pada 2010, Kompas tidak lagi mengkritik wisata bencana sebagai hal yang negatif, mereka lebih tertarik pada pada bagaimana masyarakat mengkomodifikasi bencana menjadi wisata.

Tentu ada dimensi etika yang patut untuk dipertimbangkan: apakah tindak “menonton” bencana adalah hal yang etis untuk dilakukan dan menghormati warga terdampak? Apakah ketika warga terdampak berperan secara aktif dalam menyelenggarakan wisata itu membuatnya jadi kegiatan yang lebih etis?

Namun, di luar dimensi etika, hal lain yang menarik untuk kita refleksikan adalah mengenai relasi kita dengan ruang. Dalam studi komunikasi geografi, komunikasi dan media memiliki peran krusial dalam mengkonstruksi ruang yang baru bagi manusia (Dhona, 2018: Dhona, 2017).

Dalam kasus wisata bencana, media—diwakili oleh Kompas—sebagai pihak yang secara aktif memaknai dan membentuk pemahaman kita mengenai situs bencana. Hal ini menunjukkan bahwa juga memberikan gambaran bahwa ruang tidaklah tetap. Pemahaman kita atas ruang dibentuk oleh aktivitas kita di dalamnya, termasuk juga bagaimana kita membicarakannya (Dhona, 2019).

——-

Ifa Zulkurnaini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Klaster Riset Komunikasi Geografi dan Lingkungan. Tulisan ini telah terbit lebih dahulu pada 16 Juni 2020 di laman Remotivi, sebuah Pusat Kajian Media dan Komunikasi yang telah eksis lama di dunia kajian media Indonesia. Gagasan ini kami terbitkan ulang sebagai #kliping untuk kepentingan edukasi dan kajian komunikasi terutama komunikasi geografi.  Gambar merupakan karya Remotivi.or.id digunakan ulang untuk ilustrasi dan edukasi.

Reading Time: 2 minutes

Sore itu, Vivi Mulia Ningrum dan Retyan Sekar Nurani, mahasiswa Ilmu Komunikasi (2015), mulai duduk di depan para peserta di Ruang Audio Visual (RAV Mini Theatre) Prodi Ilmu Komunikasi UII. Keduanya ditemani Risky Wahyudi, peneliti dan staf dari Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia  (UII). Kali ini, Selasa, 9 April 2019, mereka bertiga adalah pusat perhatian dari para hadirin di Diskusi Rutin Bulanan Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan tema Ruang dan Kuasa di Jogja. Diskusi ini adalah diskusi seri pertama dari diskusi seri penelitian mahasiswa dalam klaster Komunikasi Geografi.

 

Risky Wahyudi mengatakan, prodi punya harapan Diskusi Bulanan dengan model seperti ini dapat menguatkan kultur akademik, mimbar akademik, dan menjadi ruang pembelajaran atas kerja-kerja penelitian, pengabdian, dan dakwah terdahulu. Baik itu penelitian yang dilakukan dosen, mahasiswa, maupun sivitas akademika yang dapat dijadikan pembelajaran dan ruang apresiasi.

 

Vivi dan Retyan, dalam penelitian skripsinya, berusaha membongkar ideologi dan praktek produksi ruang di Jogja. Hasilnya beragam, Vivi misalnya, menemukan dalam risetnya bahwa Jogja Scrummy memproduksi ruang-ruang gerai dan outlet-nya sedemikian rupa secara serampangan hanya untuk membentuk ideologi bahwa Jogja dibentuk sebagai kota pariwisata. “Bagaimana bisa iklan Dude Herlino mengatakan Jogja Scrummy adalah produk khas Jogja tetapi ia memakai pakaian adat jawa yang beskapnya bukan khas jogja, melainkan Surakarta?” kata Vivi yang . Tagline yang dikemas berbunyi “Ingat Jogja, Ingat Jogja Scrummy” mengesankan bahwa konsumen mereka juga adalah wisatawan: orang yang berwisata. Jogja bukan lagi dibentuk sebagai kota pelajar, melainkan pariwisata, meski secara ngawur, katanya.

 

Desain ruang interiornya pun diatur sehingga konsumen yang datang tak hanya berbelanja tapi juga berswafoto. “Jadi foto artis Dude Herlino adalah sudah mediasi, lalu konsumen berswafoto juga sudah termasuk termediatisasi, dua kali termediatisasi ini,” tambah Vivi yang mengaku telah bolak-balik outlet Jogja Scrummy hampir lebih dari 15 kali. Mulai dari mewawancarai beragam pembeli di sana, Ia juga mencatat wawancara, melihat bentuk, menemukan pola, dan sekaligus mendaras makna di balik ruang di Jogja Scrummy.

Suasana diskusi pun menghangat saat kemudian Risky Wahyudi, moderator, mempertanyakan konsepsi konsumen sebagai wisatawan yang tidak sepenuhnya tepat. Baginya dan menurut pengamatannya tahun-tahun belakangan, konsumen Jogja Scrummy terlihat bukanlah wisatawan melainkan mahasiswa atau orang jogja yang membeli produknya untuk dijadikan oleh-oleh. Pembentukan Jogja sebagai kota wisata sepertinya belum tepat. Vivi menjawabnya dengan menjelaskan titik tekannya pada makna tafsir tagline Jogja Scrummy yang melihat seakan segmen konsumennya adalah wisatawan terlihat dari pilihan-pilihan kata dalam tagline.

 

Diskusi #SeriPenelitian Klaster Komunikasi Geografi