Tag Archive for: Kaliurang Festival Hub

Kalfest Hub
Reading Time: 4 minutes

Jepang menjadi salah satu negara yang memiliki memori tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia. Sejarah kelam beserta jejak peninggalannya menjadi cerita-cerita yang tak akan terputus hingga kini dan seterusnya. Sebagai negara yang lebih maju, nampaknya cukup menarik menelisik perspektif masyarakat Jepang memandang kehidupan masyarakat di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Seri keenam Kaliurang Festival Hub yang digelar pada 5 September 2024 di Bioskop Sonobudoyo berkolaborasi dengan Visual Documentary Project (VDP) Kyoto menghadirkan Nishi Yoshimi selaku Dewan Pengurus dan Koordinator Kurator serta Sazkia Noor Anggraini, pengajar ISI Yogyakarta sekaligus peneliti dan pembuat film.

Berbeda dengan Kaliurang Festival Hub sebelumnya, pemutaran film dari kurasi VDP sengaja dilakukan di tengah kota Yogyakarta untuk menjaring penonton yang beragam. Diawali dengan pemutaran lima film, lalu dilanjutkan dengan diskusi.

Dipandu oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, Kaliurang Festival Hub #6 ini mengungkap banyak cerita dari kurasi film VDP dan perspektif masyarakat Jepang terkait masyarakat Asia Tenggara. Menurut Nishi Yoshimi, bahasa menjadi aspek paling disoroti dalam menampilkan film-film dokumenter Asia Tenggara.

Kalfest Hub

Sesi diskusi Kaliurang Festival Hub seri ke-enam bersama VDP, Foto: Lab Komunikasi UII

“Tayangan disini ada bahasa Inggris, cerita Kamboja, Thailand, Myanmar, Indonesia dan lainnya sudah jelas visual dan bahasa Inggris (subtitle) sudah benar. Tetapi maksudnya apa, konteksnya apa. Film itu ketika diputar di lokasi lain (bukan negara asal) audiens sudah berbeda perlu penjelasan tambahan agar konteksnya lebih mudah dipahami,” ujar Nishi Yoshimi.

Apalagi dalam film dokumenter ada pesan-pesan tersirat yang tak bisa ditelan mentah-mentah. Ada berbagai pesan yang ingin disampaikan dengan berbagai tujuan. Melalui adegan dan ekspresi tentu akan menyulitkan masyarakat Jepang yang berbeda kultur dengan masyarakat Asia Tenggara.

“Film dokumenter digunakan untuk merekam kenyataan bahkan yang disebut sinema pertama itu film dokumenter. Kemudian dokumenter berkembang menjadi bentuk propaganda misalnya,” ujar Sazkia Noor Anggraini.

Lantas film-film seperti apa yang dipertontonkan kepada masyarakat Jepang? Berikut 5 film hasil kurasi VDP yang dibagikan dalam Kaliurang Festival Hub #6.

Cerita dari Asia Tenggara

Saya di Sini, Kau di Sana (a Tale of the Crocodile’s Twin) merupakan garapan sutradara Indonesia Taufiqurrahman Kifu. Ketika menonton film ini penonton diajak untuk berjalan menyusuri memori-memori dongeng khas anak-anak. Namun ketahuilah bahwa cerita dalam film dokumenter tersebut ingin mengungkap bagaimana manusia sebagai makhluk hidup harus berbagi ruang dengan makhluk lain termasuk hewan. Dalam konteks tersebut adalah buaya.

Dongeng dari Sulawesi Tengah khususnya Kaili, mengangkat ruang hidup dan sungai-sungai. Dongeng yang bercerita tentang bangsawan Lasa Kumbili dengan saudara kembarannya Yale Bonto, sosok buaya menggambarkan prinsip hidup hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. Bahkan di akhir cerita, kesaksian seorang korban tsunami mengaku ditolong oleh buaya. Kesaksian ini menjadi sebuah nilai-nilai lokal yang terus dipegang masyarakat Kaili.

Don’t Know Much About ABC, Kamboja, film garapan Norm Phanith and Sok Chanrado menampilkan ironisnya kehidupan di Phnom Penh. Menonton film ini akan menimbulkan kekhawatiran soal masa depan, ketakutan terjadi hal buruk, hingga ketidaksanggupan untuk bertahan hingga terabaikan.

Seorang ayah tunggal tunawisma sehari-hari bekerja sebagai pengumpul sampah dengan menghidupi putranya. Ron Dara berusaha keras demi pendidikan putranya. Ia bersikeras demi peluang dan meningkatkan kualitas hidup sang anak.

Unsilent Potato, Myanmar, film yang digarap Sein Lyan Tun mengangkat secara detail kisah perempuan muda disabilitas bernama Potato sebagai korban pemerkosaan oleh tetangganya yang sudah beristri. Potato merupakan perempuan etnis Karen yang tangguh memperjuangkan keadilan.

Yang menyedihkan adalah, kasus yang dialami Potato dianggap sebagai tindakan bujuk rayu. Ia ingin bangkit dari kesunyian, namun negara Myanmar adalah negara yang kurang kuat dalam hal supremasi hukum untuk menyelesaikan persoalan seperti itu.

Film keempat, My Grandpa’s Route has been Forever Blocked garapan sineas Thailand. Mungkin film ini menjadi sangat sulit dipahami dari film-film sebelumnya. Dua layar ditampilkan, layar kiri menampilkan bendungan kecil dari sumber sungai ke Bendungan Bhumibol. Sementara layar kanan adalah dokumentasi operator kapal pesiar di Sungai Ping (Bendungan Bhumibol) yang membuat hamparan hutan jati terendam untuk selamanya.

Film garapan Supaparinya Sutthirat membawa penonton menyusuri Sungai Ping yang merupakan jalur perdagangan. Tahun 1958 Bendungan Bhumibol dibangun hingga mengubah sungai masa kakeknya. Film ini sebenarnya mengajak penonton memahami masa lalu dan mengamati isu-isu masa kini.

The Fighter, Indonesia, merupakan film dokumenter yang mengambil latar di Kediri, Jawa Timur. Marjito Iskandar Tri Gunawan mencoba menangkap pertarungan bela diri Pencak Dor di atas ring. Salah satu narasumber bernama Yudi seorang petarung yang melatih para santri menegaskan jika pertarungan tersebut bukan ditujukan untuk memamerkan kekuatan diri melainkan menguji kekuatan keterampilan dalam bertarung.

Pencak Dor juga menjadi arena yang mempertemukan para petarung dari berbagai aliran, seperti gulat, tinju, Muay Thai, wushu, dan lain-lain. Pencak Dor menjadi ruang untuk menyalurkan orang-orang dan menjadi pengganti tawuran: dapat mengurangi potensi munculnya geng-geng anak muda di Jawa Timur, Indonesia. Pencak Dor tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam yang berkembang di pesantren.

Penonton Jepang Menyaksikan Film Dokumenter Asia Tenggara

Secara umum reaksi yang diekspresikan penonton Jepang melihat fenomena yang terjadi di Asia Tenggara adalah merasa bersimpati.

“Reaksi paling dangkal adalah oh kasian juga ada kemiskinan, perkosaan, negaranya masih terbelakang. Karena posisi negara masih di belakang masalah-masalah seperti itu belum diselesaikan masih sedang berkembang masalah seperti itu,” ujar Nishi Yoshimi.

Namun, untuk membuat mereka paham konteks suatu film tentu tak sederhana. Selain histori yang tak semua tahu, pihak VDP secara aktif mengundang pengamat film dari negara masing-masing hingga penerjemah dari Jepang yang fasih dengan bahasa dalam film.

“Mengundang pengamat-pengamat film dari negara asal agar konteksnya lebih memahami mendalam. Kenapa masyarakat jepang bertanya begini, susah begini. Pengamat dari negara pembuat bisa menjembatani,” ungkap Nishi Yoshimi.

Para pengamat, penerjemah, dan penonton saling berdiskusi. Sebut saja soal film The Fighter dari Indonesia. Bagaimana sebuah kekerasan dipertontonkan, bentuk emosi yang harus dikendalikan dan sebagainya. Nishi menyebut jika akar kemunculan kekerasan dalam Pencak Dor tentu tak luput dari insiden 1965 di Indonesia. Jauh dari itu ada masa revolusi, penjajahan Jepang dan masa kolonial. Sehingga dapat ditarik Kesimpulan akar dan bibit kekerasan tersebut mengapa muncul.

“Semakin memahami juga kenapa ada masalah di belakang ada apa kaitannya dengan budaya lokal,” tambahnya.

Sementara, bagi Sazkia Noor Anggraini sebagai pembuat sekaligus peneliti film mengkonfirmasi bahwa diproduksinya film dokumenter terkadang mampu mengungkap Sesutu yang memang belum ditemukan sebelumnya.

“Bagian membangun kenyataan baru,” ujarnya.

“Di area studies menggunakan film sebagai proses mengenal, penelitian, menginterpretasi apa yang terjadi di masyarakat area yang diteliti,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 3 minutes

Film tak sekedar soal hiburan, film adalah ide dan nilai yang disajikan secara audio visual demi membuat penontonnya sama-sama sepakat soal isu yang diangkat. Jika memang demikian, apakah benar film mampu membuat orang semakin peka?

Pada seri ke-5 Kaliurang Festival Hub berkesempatan lakukan kolaborasi dengan Festival Bahari yang berumah di Cirebon. Gelaran sejak 27 Juni hingga 28 Juni 2024 itu mengabil tajuk “Kabar Tepi Laut”. Diawali dengan pemutaran 3 film berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip semua film mengambil latar perairan.

Perahu Sandeq merupakan film genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama yang menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor Kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Film dalam Konteks yang Adil

Movie Talk “Kabar Tepi Laut” dalam seri ke-5 Kaliurang Festival Hub menghadirkan kawan-kawan dari Film Festival Bahari. Mereka adalah Kemala Astika selaku Program Director serta Doni Kus Indarto, Advisory Board. Dipandu oleh Rizka Aulia, kru Film Bertema Perempuan Nelayan sekaligus Laboran Ilmu Komunikasi UII.

Doni Kus Indarto membuka diskusi dengan sebuah konteks keadilan dalam sebuah karya film. Ada keresahan terkait isu tersebut, ia menyebut selama ini film menjadi barang mewah bagi masyarakat ekonomi ke bawah.

Festival Film Bahari ingin mengembalikan film kepada pemiliknya, yakni masyarakat yang menjadi sumber inspirasi dan konten.

“FFB pertama kali hadir karena kegelisahan hampir semua festival film hadir untuk filmmaker bukan ditayangkan untuk penonton. Hampir semua diputar di gedung mewah, yang miskin tidak boleh nonton film.  Di Gedung tiketnya (film) mahal. Beda dulu ada grade semua kalangan bisa masuk,” tuturnya membuka diskusi.

Tak hanya itu, festival lazimnya hanya menyasar komunitas-komunitas tertentu. Doni berpaham bahwa film yang digarap di tengah-tengah masyarakat sudah selayaknya mampu dinikmati bersama. Interaksi antara masyarakat, mengangkat sebuah isu, hinggatimbul diskusi usai menonton tak jarang menemukan sebuah jalan keluar.

“Begitu juga festival filmnya, yang penyelenggaraanya ada di tengah masyarakat lakukan. Audiens di sekitar, layar tancap, ada mbok-mbok jualan di tepi. Sehingga interaksi dilakukan langsung lanjut diskusi soal masalah yang terjadi,” tambahnya.

Kerap kali screening dilakukan di sekolah-sekolah hingga pesantren untuk sebagian film yang memang diproduksi memiliki orientasi pesan kepada pelajar. Jangka panjangnya tak hanya ajang interaksi namun ada pesan yang memiliki manfaat.

“Tema Bahari satu secara geografis Cirebon di pantai. Kesadaran laut pemersatu belum tebal, film bukan tujuan, film adalah media sarana bisa bersilaturahmi dengan masyarakat. Syukur-syukur bisa memunculkan kebermanfaatan,” tandasnya.

Peka dengan Isu Lingkungan

Secara geografis Cirebon berada pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur Pantai Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Kondisi ini membuat sebagian besar masyarakatnya hidup di pesisir pantai dan berprofesi sebagai nelayan, petani tambak, dan sektor serupa lainnya.

Kerja-kerja yang bergantung dengan alam tentu penuh ketidakpastian, menurut Kemala Astika dari cuaca dan kondisi menentu yang berujung pada kondisi ekonomi hingga lubang-lubang utang masyarakat dengan para lintah darat.

“Di sana banyak pantai bukan untuk wisata, karena dangkal dibuat untuk tambak, ada temuan kisah-kisah sudah tidak melaut. Mereka ada yang pindah menjadi petani tambak, menangkap dengan manual, berkostum lengkap menyelam nyari ikan, kepiting, yuyu. Based real story. Nasib nelayan kita banyak banget PRnya. Mereka menghadapi kehidupan dengan tangguh, faktor ekonomi, terlilit lintah darat,” jelas Kemala.

Kemala yang juga sebagai pengajar di salah satu sekolah di Cirebon berharap dengan film-film yang dikurasi oleh Festival Film Bahari mampu membuat orang peka dengan kondisi yang terjadi pada sekitar, termasuk soal isu lingkungan yang pasti berdampak dengan kondisi sosial dan ekonomi.

“Dari film mengenal lebih dekat semua tentang kelautan dan kebaharian. Pertama sebagai ruang belajar, untuk mengenal kelautan. Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia. Tapi narasi-narasi yang sering diberitakan betapa miskinnya para komunitas di sekitar, tapi banyak PR. Sebanranya banyak banget potensi-potensi yang ada pada teman-teman pesisir, budaya, seni, tapi bisa menghidupi sehari-hari,” tambahnya.

Salah satu upaya yang dilakukan Kemala dan kawan-kawan adalah menggandeng para pelajar untuk belajar bersama memproduksi film. Mulai dari riset isu, hingga live in bersama masyarakat nelayan.

“Kepekaan untuk pelajar proses riset paling penting, pentingnya menyelami subjek, bekerja dengan tim, menemukan keunikan isu. Bermanfaat, berdampak setidaknya warga sekitar, ada konsekuensi panjang. Pendektan dengan warga, kenal, stay dulu,” ujaranya lagi.

Ia tak memiliki ekspektasi tinggi soal hasil garapan itu, baginya proses yang dilakukan para pelajar untuk peka terhadap kondisi sosial adalah pencapaian terbaik. Sementara, film yang telah selesai digarap bisa dinikmati bersama para nelayan mampu menjadi pereda lelah seharian melaut.

“Perayaan, habis melaut, bisa menikmati (film). Pak tani punya siklus sendiri, begitupun juga nelayan (bekerja mengikuti kondisi cuaca). Buat warga bisa untuk refleksi, cerminan, Ada temuan baru, bisa berdialog antara warga dengan Kepala Desa,” pungkasnya.

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 2 minutes

Kaliurang Festival Hub seri ke-5 mengambil tema Kabar Tepi Laut. Tema ini dipilih karena sesuai dengan film-film yang telah dikurasi dan akan ditayangkan selama dua hari mulai 27 Juni hingga 28 Juni 2024 di Gedung Rav prodi Ilmu Komunikasi UII.

Dengan tema Kabar Tepi Laut, kolaborasi dilakukan bersama Festival Film Bahari yang berumah di Cirebon. Digawangi oleh Kemala Astika dan Doni Kus Indarto, pihaknya bersama Kaliurang Festival Hub sepakat menayangkan tiga film bertemakan bahari atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tema laut. Tiga film tersebut berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip.

Di hari pertama pembukaan, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII menyampaikan apresiasi kepada para pegiat yang tergabung. Kaliurang Festival Hub mampu membuktikan keberlanjutannya sebagai ruang pertemuan berbagai gagasan hingga diskusi.

“Kalfes Hub menjadi ruang pertemuan berbagai gagasan, ide-ide, diskusi seperti hari ini. dan ini menjadi tradisi jika kita urut ke belakang ini sudah yang kelima yang berarti kita sudah melakukan pembuktian bahwa acara ini berkelanjutan. Apresiasi untuk Pak Gunawan dan Pak Zaki,” ujar Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Beliau juga menceritakan sedikit perjalanan Kaliurang Festival Hub yang selalu membawa tema-tema beragam pada setiap serinya. Mulai isu sosial, lingkungan, hingga ekonomi politik.

Pada kesempatan yang sama, Festival Hub Programmer yakni Dr. Zaki Habibi berharap, kerja-kerja yang dilakukan bersama pegiat lainnya menjadi informasi dan data yang suatu saat bisa dijadikan berbagai bahan penelitian yang memberi warna baru.

“Sejak tahun lalu posisi kami sebagai pengumpul informasi atau pengumpul data tentang festival-festival lain yang ada di Indonesia. Untuk kali ini festival dari Cirebon, jangan heran festival tidak harus dari kota besar gemerlap. Mimpi Kalfest Hub atau Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam jangka panjang siapapun yang pengen tahu tentang festival film bisa datang ke sini, data-data ini terkompilasi oleh teman-teman pegiat dan suatu saat akan terpublikasi sebagai kompilasi tertentu di PDMA Nadim,” ungkapnya.

Preview Film

Secara umum film Perahu Sandeq merupakan genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat. Budaya bahari dalam Sandeq atau kapal bercadik merupakan warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama ini menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 4 minutes

Palestina digempur habis-habisan dengan tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel, informasi terkini yang dilansir dari laman Aljazeera setidaknya 15.000 warga Palestina tewas sejak tindakan Hamas 7 Oktober lalu. Kabar kematian tak pernah berhenti, setelah serangan berjam-jam di Jenin dua anak laki-laki berusia 15 dan 8 tahun tewas oleh pasukan Israel. (29 November 2023)

Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan penindasan. Salah satu cara yang tengah dilakukan sebagian masayarakat Indonesia melalui boikot produk yang terbukti mengalirkan dana untuk mendukung Israel.

Selain boikot produk, mendukung pembebasan Palestina juga bisa dilakukan lewat film, metode ini digagas oleh Madani Film Festival. Diskusi diperdalam pada gelaran Kaliurang Festival Hub pada 24 November 2023.

Diawali dengan pemutaran film R21 di Gedung RAV Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), isu mengalir menjadi topik yang penuh simpati. Diskusi bertajuk “From the River to the See, Solidarity Screening for Palestine” itu dipandu Dian Dwi Anisa Dosen Ilmu Komunikasi UII menggaet Sugar Nadia Direktur Madani Film Festival serta Zaki Habibi seorang Peneliti Kajian Media & Budaya Visual UII.

Film berjudul R21 atau Restoring Solidarity (2022) adalah film dokumenter tentang Palestina yang dikumpulkan dari arsip 20 film oleh para aktivis Jepang yang mendukung pembebasan Palestina.

R21 berisi perlawanan, kehancuran, hingga jeritan hati masyarakat Palestina atas kejahatan kemanuasiaan yang dilakukan Israel. Bom yang sewaktu-waktu diledakkan meluluh lantahkan bangunan dan menewaskan warga Palestina. Tak hanya orang dewasa, anak-anak turut menjadi korban kejahatan ini.

Untuk membuka mata banyak pihak, film menjadi media menguak fakta atas keperihatinan yang dialami oleh masyarakat Palestina yang dibuktikan dengan arsip film sejak 1948.

Solidaritas untuk Pembebasan Palestina Melalui Film

Inisiatif Madani Film Festival mendukung Palestina melalui salah satu programnya yang diberi nama Fokus Palestina. Pihaknya telah melakukan komunikasi intens dengan sutradara film Palestina yakni Mohanad Yaqubi dan berhasil mengumpulkan film tentang Palestina.

“Kumpulan film Palestina sudah terkumpul, eskalasi konflik makin tinggi. Sulit menjangkau film Palestina,” ujar Sugar Nadia.

Dalam program tersebut ada lima film yang diputar yakni R21, Off Frame AKA Revolution Until Victory, Off Frame, No Exit (2014), dan 200 Meters.

Kaliurang Festival Hub

Film menjadi salah satu cara untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan di Palestina

Film R21 dipilih menjadi pembuka karena memiliki kekuatan dalam rekontruksi sejarah berdasarkan ideologi. Melansir dari Tempo, R21 adalah arsip yang terkumpul sejak tahun 1948 hingga 1982. Arsip itu mempertontonkan jika keterpurukan Palestina bukanlah fenomena baru.

“Jika Anda melihat arsip semua film dari tahun 1982 atau film dari tahun 1976 atau bahkan 1946, Anda dapat melihat pada hari ini dari sudut pandang yang berbeda. Kehancuran yang terjadi saat ini bukanlah hal yang asing bagi kita,” ujar Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.

Selain menayangkan film-film yang terkumpul dalam Fokus Palestina dalam Madani Film Festival 2023, pihaknya juga mengajak komunitas, kolektif, lembaga, dan individu dengan aksi nyata solidaritas pemutaran film dan penggalangan dana “From the River to the Sea”. Informasi selengkapnya dapat diakses melalui akun Instagram @madanifilmfest.

“Kita juga mengajak semua pihak untuk melakukan pemutaran dan menggalang dana untuk solidaritas pembebasan Palestina,” ajak Sugar Nadia.

Dengan program Fokus Palestina, film-film tersebut diputar sebagai kerangka ikatan solidaritas kemanusiaan. Dengan menyaksikannya, publik akan mengetahui “militansi sinematik sebagai media bagi para pembuat film Palestina untuk merebut kembali gambar dan narasi Palestina,” Madani Film Festival.

Selain itu film berjudul 200 Meters merupakan film drama fiksi yang menggambarkan keluarga Palestina dengan mengungkap isu-isu konkret sehari-hari yang dihadapi masyarakat Palestina.

Upaya dan solidaritas ini diharapkan mampu menghentikan perang, kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh Palestina. Melalui film yang telah terkumpul tersebut mampu mengungkap realitas di tengah dominasi film Hollywood yang memenangkan pasar Indonesia.

“Sulit [penonton dan akses], di Indonesia didominasi Hollywood, Korea (infiltrasi budaya). Kalau saya enggak jalani Madani juga susah akses dari timur tengah,” tambah Sugar Nadia.

Sementara, Mohanad Yaqubi berharap film tentang Palestina dapat diakses oleh publik secara luas agar dunia tahu tentang penindasan yang telah terjadi selama ratusan tahun.

“Saya pikir itulah sebabnya kami sangat tertarik dengan arsip ini dari sudut pandang itu. Kami juga ingin menyimpan kenangan akan penindasan dan menyebarkan luaskan pada orang yang mengalami hal serupa untuk mengetahui bahwa mereka bukan satu-satunya dan orang pertama yang mengalami penindasan,” kata Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.

“Anda memandang ibu dan ayah Anda dengan cara yang berbeda dan Anda akan berpikir tentang kakek-nenek Anda dengan cara yang berbeda pula. Pengalaman mereka akan membantu Anda bertahan hidup dengan baik dan itulah yang dibawa oleh arsip, arsip film, arsip musik, arsip budaya,” tambahnya lagi

Sulitnya Akses dan Penyebaran Film dari Palestina

Program Fokus Palestina yang diinisiasi Madani Film Festival seolah menjadi angin segar bagi aktivis yang pro Palestina. Pasalnya, film-film di Palestina sangat sulit diakses karena sempitnya ruang gerak.

Sugar Nadia menuturkan jika tak ada kebebasan berekspresi di Palestina, menyuarakan kebebasan hanya bisa dilakukan dengan cara yang tak terang-terangan misalnya dengan simbol buah semangka. Karena perang tak terkendali seniman bergerak hingga menyebarluaskan film secara gratis.

“Menggunakan gambar semangka ngomongin freedom, karena eskalasi makin besar seniman bergerak, menyebarkan film gratis, bebas tanpa screening fee dan izin,” tutur Sugar Nadia.

Meski disebarluaskan secara bebas dan gratis nyatanya film cukup sulit diakses, hal ini berkaitan dengan kondisi konflik dan perang yang terjadi di Palestina. Untuk memproduksinya dibutuhkan usaha yang begitu besar, bahkan para sineas harus bisa keluar dari Palestina, sementara hal itu sangat rumit dilakukan. Inilah alasan minimnya jumlah film dari Palestina

“Perjuangan menyebarluaskan film-film Palestina sungguh tak mudah. Kesulitan sineas di palestina jarang juga [film diproduksi], mereka sulit memproduksi film dalam kondisis konflik war, struggle beda,” tambah Sugar Nadia.

Bagi sineas Palestina jangankan untuk memproduksi film dan mengembangkan menjadi industri, bahkan negara pun mereka tak punya “We have no film industry, because we have no country” penuturan Zaki Habibi terkait perfilman di tanah konflik itu.

“Mari kita perjuangkan, Indonesia mostly Indonesian Hollywood movie, to get film middle east is difficult. Mayority muslim (Indonesia), kita muslim kenapa tidak mengenal muslim lain. Bagaimana kehidupan muslim, kalau misalnya dibandingkan festival lain, Madani lebih banyak bicara soal humanity, kisahnya akan banyak soal, sedih, perang,” tambahnya.

Zaki Habibi juga sepakat jika, gagasan soal Fokus Palestina menjadi prioritas yang tepat karena festival adalah ruang untuk menyaksikan film-film yang sulit untuk dijangkau. Dengan inisiasi ini, publik dapat mengetahui sejarah lebih dalam soal muslim dan Palestina.

“Kita pengen selalu, datang ke festival untuk menjangkau sesuatu yang sulit dijangkau. Festival menuju waktu momen perjumpaan dengan cerita-cerita lain. Banyak isu yang mengajak kita untuk refleksi, sejarah,” terang Zaki Habibi.

Dengan penuh keyakinan, Madani Film Festival hingga Mohanad Yaqubi selaku sineas yang memproduksi film seputar Palestina percaya jika film mampu menghentikan perang. Dengan arsip-arsip tersebut akan membantu publik memahami konteks konflik yang dialami Palestina.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 5 minutes

Film seolah menyuarakan berbagai fenomena yang terjadi pada manusia dan alamnya. Bahkan rumitnya konflik sosial mampu diuraikan dengan atau tanpa dialog yang ada dalam karya visual. Praktik ini dilakukan oleh deretan sineas yang tergabung dalam Aceh Documentary dan Aceh Film Festival.

Kehancuran Aceh atas bencana tsunami justru melahirkan berbagai skill baru, sekedar merekam dan menjahitnya menjadi sebuah tontonan yang bercerita sangat dalam. Gelaran Kaliurang Festival Hub edisi ketiga digelar pada 23 November 2023 berkesempatan untuk melakukan kolaborasi dengan Aceh Film Festival.

Edisi ketiga kali ini dibuka dengan pemutaran tiga film yang telah dikurasi oleh Aceh Film Festival, ketiganya adalah Puing Paling Sunyi, Gelombang Sinema di Ujung Sumatera, dan Surat Kaleng 1949.

Setelah pemutaran film, dilanjutkan dengan movie talk bertajuk “Sinema Pasca-Bencana” oleh Akbar Rafsanjani, Film Programmer & Film Curator Aceh Film Festival yang dipandu oleh Muzayin Nazaruddin Peneliti Komunikasi Lingkungan dan Kebencanaan dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoral di Tartu University, Estonia.

Bermula dari tsunami Aceh 2004 yang menelan korban 227.898 jiwa, LSM dan NGO di berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang mengulurkan tangan. Tak hanya memberikan bantuan dan pertolongan, pemberi donor juga meminta bukti pelaporan. Sehingga para LSM dan NGO melaporkannya dalam dokumentasi tulis, foto, hingga video.

Menurut penuturan Akbar, sebagian masyarakat terlatih memegang dan mengoperasikan kamera berkat LSM dan NGO yang datang pasca tsunami.

“Film baru benar-benar hadir pasca tsunami, asumsi pertama kami muncul LSM dan NGO dari luar datang ke Aceh dengan berbagai tujuan untuk pelaporan kepada donor. Mereka memanfaatkan jurnalis lokal (jurnalis cetak). Temen-temen yang dilatih, kalau dulu jadi kontributor sekarang mereka punya skill baru (memproduksi video),” jelas Akbar membuka sesi Movie Talk.

Geliat Perfilman di Aceh Pasca Bencana di Tengah Keterbatasan Ruang

Pembuka yang disampaikan oleh Akbar menjadi momentum geliat film di Aceh mulai tumbuh. Pasca bencana yang seolah menjadi kiamat bagi masyarakat ternyata membawa Aceh bangkit dengan wajah baru.

Menilik ke belakang, riset-riset yang dilakukan oleh Akbar dan rekan-rekannya tak menemukan jika Aceh memiliki sejarah tentang perfilman, seni pada masa konflik berhenti pada pertunjukan panggung sandiwara. Artinya, sejarah bermulanya film di Aceh sangat muda.

“Kalo ditelusuri lebih lama kita mentok di seni panggung sandiwara pada masa konflik,” ujar Akbar.

Kaliurang Festival Hub

Akbar Rafsanjani bersama Muzayin Nazaruddin saat diskusi terkait geliat film di Aceh yang menjadi media untuk menyuarakan konflik sosial

Berangkat dari skill yang muncul pasca tsunami, geliat memproduksi film muncul. Hingga lahir beberapa komunitas salah satunya Aceh Documentary yang menjadi rumah bagi para sisneas muda di Aceh. Berbagai kelas, produksi film, hingga kompetisi dilakukan untuk melanjutkan mimpi.

Tak mudah membangun perfilman di Aceh, salah satu kendala nyata terkait dengan ruang. Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tak memiliki bioskop. Absennya ruang bisokop di Aceh lantaran dorongan berbagai kelompok yang berpendapat jika kehadiran bioskop bertentangan dengan syariat Islam.

“Aceh merupakan daerah khusus yang menjalankan syariat Islam secara kaffah (secara menyeluruh),” ujar Rijaluddin, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dilansir dari Kompas.com.

Namun, kendala ini menjadi hal tak berarti bagi para pegiat film di Aceh. Mereka tetap melakukan screening film secara sederhana, mulai dari konsep berkeliling memutarnya di daerah-daerah, hingga pemutaran besar di sebuah ruang serba guna dengan memisah antara perempuan dan laki-laki yang tentu dengan pengawasan Polisi Wilayatul Hisbah.

Seperti yang disampaikan Akbar, tak pernah terjadi hal-hal pelanggaran selama pemutaran film dilakukan. Justru yang dilakukan oleh Polisi Wilayatul Hisbah adalah mengimbau penonton agar tak merekam film selama pemutaran.

“Jadi malah tak ada pelanggaran syariat Islam, mereka [Polisi Wilayatul Hisbah] justru akhirnya mengimbau penonton untuk tidak merekam, mendokumentasikan film selama pemutaran saja,” ujar Akbar.

Satu dekade sejak 2013, Aceh Documentary menjadi wajah baru yang mendorong perfilman terus bertumbuh. Hingga tahun 2015 dibentuklah Aceh Film Festival sebagai ajang penghargaan bagi sineas yang terus berjuang.

Untuk mempertahankan geliat perfilman di Aceh, ada strategi yang terus dilakukan yakni dengan menyesuaikan dengan kebiasaan dan jadwal menonton masyarakat Aceh.

“Masyarakat Aceh duduk di warung kopi, ada TV menonton sepak bola, film yang tayang tengah malam. Kami mengikuti jadwal menonton masyarakat untuk mempertontonkan film yang diproduksi (Aceh Film Festival, Aceh Documentary),” tambah Akbar.

Hingga kini perfilman di Aceh mulai diminati oleh generasi muda, mereka yang kuliah di Jawa akan kembali dengan bekal pengalaman dan melirik isu-isu sosial yang terjadi di tanah kelahirannya.

Film Media Mengurai Konflik Sosial di Aceh

Ada pertanyaan menarik dalam sesi Movie Talk “Sinema Pasca Bencana”, Muzayin Nazaruddin selaku moderator melontarkan kalimat cukup menarik “Kira-kira film di Aceh menjadi medium perubahan sosial atau hiburan?”

Seolah penuh konflik sosial, film ternyata mampu menjadi medium untuk mengurainya. Jauh sebelum bencana tsunami Aceh 2004, sekitar tiga puluh tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus bergulir.

Selama periode 1976 hingga 2005 kisah pelik itu menjatuhkan 15.000 korban jiwa dan ribuan pelanggaran HAM terjadi. Dalam penelitian yang berjudul Konflik Vertikal Antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005 yang dilakukan Kurnia Jayanti dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut jumlah kasus pelanggaran HAM selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sebagai berikut kasus tewas/terbunuh 1.321 kasus, 1.958 kasus hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran.

Secara singkat konflik di Aceh terjadi lantaran kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara Pemerintah pusat dan daerah, ketidakadilan selama puluhan tahun dirasa tidak terlalu diperhatikan. Kesejahteraan, pembagian sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Aceh, hingga aspirasi terkait keistimewaan identitas dan etno religious syariat Islam yang tak diakomodasi menjadi faktor kekecewaan melalui gerakan separatis GAM.

Sementara kebijakan di masa orde baru yang sangat militeristik penuh kekerasan semakin membuat masyarakat Aceh terus mengalami penderitaan.

Meski pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, rekonsiliasi dan dialog dilakukan nyatanya hingga tahun 2001 tak ada hasil yang berarti. Hingga tsunami datang di tahun 2004, NGO dan LSM internasional nyatanya malah membawa kompleksitas sendiri dalam proses Pembangunan perdamaian.

Konflik-konflik sosial ini mulai diurai dan disuarakan melalui film. Film yang diproduksi oleh pegiat di Aceh menjadi penanda the voice of voiceless. Film Puing Paling Sunyi menjadi gambaran penderitaan masyarakat Aceh akibat konflik. Meski menyingkap dan menyuarakan konflik, film ini tampak lembut tanpa memasukkan kata konflik, GAM, Pembunuhan, dan pelanggaran HAM lainnya.

“Film yang diproduksi adalah the voice of voiceless. Warga aceh biasa kehilangan suami, anak kehilangan bapak. Ada upaya melupakan itu secara sistematik, kesedihan yang panjang Puing Paling Sunyi adalah tubuh itu sendiri,” ujar Muzayin Nazaruddin.

“Tidak ada kosa kata GAM, Konflik, dan lainnya,” tambahnya.

Hadirnya Akbar dalam sesi Movie Talk menjadi validasi terkait konflik yang pernah terjadi namun tak ada upaya rekonsiliasi.

“Ada dua film (Puing Paling Sunyi, Surat Kaleng 1949) yang apabila tidak hadir disini konteksnya akan hilang,” jelas Akbar.

Puing Paling Sunyi disutradai oleh mahasiswa yang lahir tahun 2004, artinya ia adalah sosok yang tak mengalami langsung konflik di Aceh namun merasakan dampaknya.

“Sutradara orang Aceh, lahir 2004 dia bukan generasi konflik Aceh. Dia punya memori tentang ayahnya sperti ibu dalam film tersebut yang mengalami kekerasan, [pajak Nangroe] ketika tidak ada uang diancam tembak mati, sering takut, marah, menggigil,” tambahnya.

Perbedaan memori dan pengalaman antara sutradara dengan produser yakni Akbar Rafsanjani, sengaja tak diintervensi demi menghasilkan karya yang murni. Menurut Akbar, ada persepsi dan perbedaan dalam meromantisasi konflik di Aceh. Inilah yang menjadi perbedaan di setiap generasi.

Puing Paling Sunyi, sepakat untuk tidak mengintervensi. Penting diproduksi karena ada gap antar generasi, meromantisasi konflik, romantisasi kekerasan,” sebut Akbar.

Menututp, diskusi film-film yang diproduksi pasca bencana adalah upaya menyingkap pesan secara alegoris dengan mencari makna di balik visual dalam film.

“Sekejam apa sih sampai membuat ayahnya traumatik, riset tentang psikologi, memori yang tersimpan dalam tubuh, film ini sangat alegoris,” tutup Muzayin Nazaruddin.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 4 minutes

Film lokal dan film horor seolah memiliki batasan makna yang tipis. Di Indonesia, film yang mengusung konsep lokal bergenre horor tampaknya telah menjadi keniscayaan. Bagaimana tidak film jenis ini terbukti memenangkan pasar dari awal tahun 2023 hingga saat ini.

Tercatat 7 di antara 10 film yang paling laris dari Januari hingga Maret 2023 adalah film bergenre horor antara lain Waktu Magrib dengan 2,3 juta penonton; Mangkujiwo 2 dengan 554,5 ribu penonton; Bayi Ajaib dengan 434,2 ribu penonton; Perjanjian Gaib dengan 342 ribu penonton; Pesugihan Bersekutu Iblis dengan 248 ribu penonton; Betina Pengikut Iblis  dengan 214,5 ribu penonton; dan Iblis dalam Darah dengan 201 ribu penonton.

Namun sebenarnya, menyebut film lokal sama dengan film horor adalah keliru. Keduanya memiliki makna dan ide yang berbeda. Film lokal adalah film yang mengusung isu keseharian, tidak hanya soal tempat melainkan juga bercerita tentang perlawanan. Sementara film horor adalah genre film yang menampilkan adegan-adegan menyeramkan, mengungkap hal mistis dan gaib yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan pada penonton dengan orientasi memenangkan pasar.

Seperti disebutkan oleh Anugrah Pambudi Wicaksono yang menggawangi Festival Film Disabilitas tahun 2013-2016, isu film lokal sebenarnya berlawanan dengan isu mainstream yang diproduksi oleh rumah produksi besar yang kini memenangkan pasar.

“Saya iseng cari film lokal di Google, (yang muncul paling banyak adalah film horor) jadi film lokal yang dimaksud adalah yang orientasinya pasar. (Sebenarnya) film lokal adalah film-film yang mengangkat isu keseharian. Jadi lokal itu juga lokus atau tempat, isunya juga isu yang berlawanan dengan isu mainstream. Jadi ketika kita menyelenggarakan festival film disabilitas kami sangat mempertimbangkan isu. Karena memang kalau festival film disabilitas di-setting sebagai film yang berbeda,” sebutnya saat menjadi pembicara Kaliurang Festival Hub pada 7 Juli 2023.

Hal senada disampaikan pula oleh Ade Hidayat, Direktur Festival Aruh Film Kalimantan (AFK) yang kini membangun ekosistem film di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya mulai dari produksi, kurasi, hingga memamerkan film-film dari Kalimantan

“Ekosistem film sederhananya ada yang memproduksi film ada yang mengkonsumsi film (kegiatan AFK). Sementara film lokal itu soal isu, di Aruh Film Kalimantan tiga tahun pertama konsentrasinya kita pada film-film dari provinsi Kalimantan, produksi, kemudian dikumpulin lalu kita pamerkan,”  ujar Ade pada momen yang sama.

Selain itu, fakta lain terkait film horor di Indonesia adalah seringnya tokoh perempuan menjadi objek eksploitasi. Tercatat film KKN di Desa Penari tembus 10 juta lebih penonton dan dinobatkan sebagai film terlaris sepanjang sejarah di Indonesia. Hantu Badarawuhi adalah sosok perempuan yang memenangkan rasa penasaran penonton se-Indonesia.

Sementara pasca reformasi beberapa film horor seperti Kuntilanak (2006), Suster Ngesot the Movie (2007) secara dominan menampilkan hantu perempuan sebagai antagonis. Artinya ada ketimpangan representasi perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam sejarah film horor di Indonesia, ditambah kerasnya budaya patriarki dan misogini.

Dari 559 film horor Indonesia yang terbit selama periode 1970-2019 menunjukkan bahwa perempuan sangat dominan direpresentasikan sebagai hantu dan karakter utama. Setidaknya 60,47 persen atau 338 film horor sosok hantu diperankan oleh perempuan, sementara 24,15 persen atau sekitar 135 film horor pemeran hantunya adalah laki-laki.

Sisanya film horor yang menampilkan posisi peran berimbang hantu laki-laki dan perempuan hanya 15,38 persen atau 86 film saja.  (Selengkapnya baca: Film Horor Paling Laris di Indonesia, Kenapa Hantunya Rata-rata Perempuan?)

Pambudi mengamini jika ingin memenangkan pasar memang cara tersebut paling efektif.

“Film horor didominasi oleh hantu perempuan: bayi, muda, tua mewakili semua. Perempuan dan minoritas itu paling juara, seksi banget untuk dijual. Jadi kalau kamu mau dapat banyak duit gunakan difabel, perempuan, anak, orangtua untuk jadi objekmu. Tapi di mana nuranimu? Bagaimana film lokal itu sekarang mau kembali ke pasar atau mau kembali ke akarnya kita,” ungkap Pambudi.

Tujuan diproduksinya film-film lokal dalam festival adalah melawan isu mainstream, jika Festival Film Difabel yang digawangi Pambudi 2013 silam bertujuan mengadvokasi isu-isu difabel, Aruh Film Kalimantan juga demikian.

Ade Hidayat bercerita mirisnya tinggal di Kalimantan yang terus menerus ikhlas menerima tentang stereotipe negatif yang terus dilanggengkan. Sehingga produksi Aruh Film Kalimantan adalah bentuk perlawanan dari para seniman melalui karya.

“Narasi besar yang melekat pada Kalimantan itu cenderung negatif. Saya kemarin pernah survei, saya menyebutkan kata Kalimantan terhadap teman-teman luar daerah yang disebutkan itu aneh-aneh. Kalau saya sebutkan kata Kalimantan apa yang muncul di benakmu? Mistis, hutan, tambang, mandau terbang apalah macem-macem. Ini kok negatif semua, ternyata ketika bertemu dengan teman-teman seniman lainnya ternyata narasi itu memang dibikin oleh sebut saja oknum. Oknum ini semacam sesuatu yang besar, sebut saja mafia yang mereka tidak mau terlibat banyak, SDA kita itu benar-benar harta di sana buat mereka, dan dia tidak mau diganggu. Maka narasi-narasi besar ini selalu dibikin oleh mereka. Nah sebagai seniman kita bisa melawannya hanya dengan karya, dan banyak sekali keinginan kami melahirkan film-film yang memang berani untuk menembus itu,” jelas Ade.

Isu sosial tentu banyak disoroti pada film lokal yang telah dikurasi oleh Aruh Film Kalimantan. Salah satu isu yang disoroti terkait dengan isu lingkungan hingga tambang yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak. Namun kini, geliat film lokal cukup gencar dilakukan, salah satu ruang baru yang digagas oleh Laaboratorium Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yakni “Kaliurang Festival Hub” yang menjadi ruang dengan wajah baru yang diharapkan mempertemukan ide, kolaborasi, hingga momen apresiasi dalam ekosistem film.

“Makanya festival seperti Kaliurang Festival Hub, Festival Aruh Film Kalimantan penting untuk digemakan. Dari bawah kita menerobos lokalitas macam apa yang mau kita bentuk problem perebutan makna juga. Potret realitas kita seperti itu, jadi kepala kita belum melokal kepala kita mengglobal, sukanya horor,” tandasnya.

Sebenarnya Kaliurang Festival Hub bukanlah festival yang melulu soal kompetisi film. Dr. Zaki Habibi selaku Festival Hub Programmer menyebutkan bahwa program ini merupakan ruang untuk berjejaring dan momen apresiasi dalam ekosistem film.

“Program ini menyediakan ruang dan platform bagi berbagai festival film. Hub dalam konteks ini artinya mempertemukan, perjumpaan ide, hingga kolaborasi. Selanjutnya Kaliurang Festival Hub menjadi bertemunya momen kreasi dan momen apresiasi dalam ekosistem film secara luas secara berkala melalui dua bentuk kegiatan utama, yakni pemutaran karya-karya film terkurasi dan diskusi dengan pengelola festival maupun undangan relevan lainnya dari setiap festival film,” ungkapnya membuka Movie Talk pada 7 Juli 2023.

Penulis: Meigitaria Sanita