Tag Archive for: jurnalis

Hari Pers Nasional 9 Februari Perlu Dikaji Ulang?

Merayakan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari nampaknya perlu dikaji ulang. Kilas balik sejarahnya yang mengacu kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dinilai tak mewakili beberapa komunitas-komunitas pers.

Ditambah konflik internal dualisme kepemimpinan di tubuh PWI Pusat. Akibatnya dalam rapat pleno 29 September 2024, Dewan Pers mengambil beberapa tindakan salah satunya tidak memperbolehkan PWI menggelar uji kompetensi wartawan (UKW).

Terlepas dari konflik tersebut, perayaan HPN tetap digelar dengan tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa” di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada Minggu, 9 Februari 2025.

Menanggapi hal ini, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Prof. Masduki memberikan beberapa tanggapan kritis.

Berikut hasil wawancara dengan Prof.  Masduki, Profesor Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme

  1. Mengapa penetapan 9 februari sebagai Hari Pers Nasional perlu dikaji ulang?

“Momentum apa yang disebut hari pers 9 Februari itu, sebetulnya secara historis hari kelahiran PWI. Namun tahun ini PWI lagi pecah, [Dualisme pemimpin], jadi dua organisasi. Ada yang mau bikin acara di Bajarmasin, ada yang mau bikin acara di Sumatera. Akhirnya apa yang terjadi sekarang? Orang bingung, sebenarnya peringatan hari persnya gimana ini. Dari sisi ini saya ingin mengatakan momentum apa yang disebut 9 Februari sebagai hari pers. Tahun ini harusnya menjadi refleksi ulang bahwa hari pers nasional perlu ditinjau.

Bukan hari pers yang bisa disepakati oleh seluruh komunitas pers. Termasuk Dewan Pers. Dalam diskusi dengan teman-teman Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen, beberapa hari ini saya menyampaikan intinya hari pers nasional perlu disepakati ulang karena itu warisan orde baru. Dan kemudian dicari momen sejarah yang lebih mewakili semua.

  1. Lantas mengacu dengan momen apa kesepakatan Hari Pers Nasional?

Misalnya kelahiran dari Medan Priayi di Bandung atau mungkin pas penetapan undang-undang pers tahun 1999. Satu poin pertama bahwa momentum 9 Februari harus dijadikan sarana untuk merefleksikan, mengkaji ulang kapan sebetulnya hari pers nasional Indonesia yang mencerminkan situasi lebih kompleks pada hari ini.

  1. Sementara, bagaimana dengan pers di Indonesia sudahkah ideal?

Nah kemudian yang kedua seperti yang ditanyakan tentu ini momentum ya. Apapun moment historisnya bahwa pers Indonesia itu harus segera berbenah, harus segera mengakselerasi kesiapan menghadapi disrupsi digital yang sudah berjalan ya. Karena dengan demikian dia bisa menjadi institusi yang sustainable.

  1. Dengan situasi Indonesia saat ini dengan berbagai kebijakan lawak, apa yang perlu dilakukan pelaku pers?

Ada tiga masalah besar pers Indonesia hari ini. Pertama soal yang disebut dengan independensi. Dia harus independen dari pemilik yang merupakan partai atau politisi. Dia harus bebas dari intervensi politik. Yang kedua, ini ada masalah dengan bagaimana pers Indonesia beradaptasi dengan pelakon digital. Yang ekosistem bisnisnya ini berubah total. Dan ini membutuhkan tidak hanya kesiapan skill, kompetensi, tapi juga perubahan regulasi yang diproduksi oleh Kementerian Komunikasi dan Digital, juga DPR. Nah yang ketiga yang menjadi banyak sekali perhatian adalah bagaimana keberlanjutan dari jurnalisme yang berkualitas. Yang dulu itu dikerjakan oleh media cetak. Sekarang media cetak berguguran, tapi yang muncul media digital, media siber itu isinya clickbait atau berita yang berbau hoax disinformasi. Ada ancaman namanya hilangnya jurnalisme berkualitas. Kedalaman berita investigasi, berita yang seharusnya watchdog, memantau kekuasaan.

  1. Langkah apa yang mampu menjadi solusi?

Ini harus jadi konsen bersama. Baik itu dalam kerangka misalnya melindungi dan mendorong tumbuhnya media-media alternatif yang fokusnya pada jurnalisme, maupun mengembangkan pendanaan publik yang bisa dicollect dari negara, hibah negara, juga hibah dari platform digital, juga para charity, para filantropis, sehingga jurnalisme-jurnalisme yang bertumbuh sekarang yang dikelola oleh independent journalist di luar media mainstream itu bisa mendapat tempat.

Karena Indonesia harus merawat demokrasi yang berbasis pada well-informed society, masyarakat yang memiliki informasi memadai kesadaran yang cukup, posisinya sebagai warga negara yang harus selalu aware dan mengontrol kekuasaannya. Pers itu harus menjadi watchdog dalam situasi ini.

SABA WANUA

Pulitzer Center telah memberikan grant atau hibah untuk proyek terkait isu-isu climate change. Salah satu penerima grant tersebut adalah Prof. Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII. Proyek yang dikerjakan bertajuk SABA WANUA: Belajar Hidup di Samigaluh pada 3 hingga 5 November 2024.

Proyek tersebut merupakan hasil kolaborasi dengan wartawan senior Majalah Tempo, Sinta Maharani dan Anang Saptoto seorang seniman sekaligus aktivis di Yogyakarta.

“Hibah ini saya peroleh dari Pulitzer Center Asia Tenggara yang berkantor di Jakarta. Ini lembaga internasional yang concern dalam isu-isu climate change. Mereka memiliki program khusus untuk akademisi komunikasi yang dalam pelaksanaanya harus berkolaborasi dengan jurnalis,” ujar Prof. Masduki.

Gagasan yang digarap Prof. Masduki bersama timnya adalah pengembangan jurnalisme konstruktif, kemudian direalisasikan melalui workshop kepada 15 orang yang terdiri dari jurnalis, seniman, dan warga Samigaluh Kulon Progo.

Bagaimana Proyek SABA WANUA?

SABA WANUA: Belajar Hidup di Samigaluh merupakan workshop dengan metode live in selama tiga hari. Materi yang disampaikan dalam workshop mengacu pada isu lingkungan yang terjadi di Samigaluh.

SABA WANUA

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Raih Grant Pulitzer Center, ‘Penguatan Perpektif Climate Change pada Jurnalis’

Dari pengamatan yang dilakukan Prof. Masduki dan tim 5 hingga 10 tahun terjadi krisis air di Kawasan tersebut. Ironisnya bukan karena kekeringan, Samigaluh sebagai kawasan pegunungan kaya air.

Ketersediaan air di Samigaluh sangat mencukupi masyarakatnya, namun terjadi privatisasi air di wilayah tersebut. Negara telah mengkomersialisasi, sehingga masyarakat harus membeli miliknya sendiri.

Dari kasus tersebut, salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan melakukan workshop SABA WANUA.

“Intinya adalah kita ingin mengembangkan pendekatan-pendekatan kritis, memahami bagaimana krisis air yang terjadi di Samigaluh itu dihubungkan dengan proyek strategis nasional terkait kawasan wisata Borubudur, yang itu melewati bukit Menoreh karena dialirkan atau dikoneksikan dengan bandara YIA,” jelasnya.

Akibatnya, masyarakat yang terus menerus harus membayar mulai mencari solusi dengan melakukan perawatan-perawatan sumber air alternatif.

“Ada namanya gerakan masyarakat setempat, itu yang menginisiasi penemuan perawatan sumber-sumber air alternatif untuk sustainable air supply di sana,” jelasnya.

Tujuan Proyek SABA WANUA

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam workshop ini meliputi tiga hal. Pertama menguatkan perspektif tentang climate change terutama terkait krisis lingkungan yang dihubungkan dengan proyek strategis pemerintah, khususnya dalam konteks pariwisata.

Kedua, menguatkan keterampilan jurnalis dalam hal ini anggota PERSMA Himah UII dalam membuat liputan jurnalistik isu lingkungan.

Ketiga, bagi dosen selain berkaitan dengan data riset juga pemahaman tentang bagaimana jurnalisme berperan dalam advokasi lingkungan.

Prof. Masduki juga menambahkan harapannya dengan grant yang diterimanya mampu menambah kepercayaan Prodi Ilmu Komunikasi UII pada jejaring internasional.

“Bagi prodi penting karena juga menambah jejaring lembaga internasional yang memberi kepercayaan baik kepada dosen maupun kepada institusi. Mudah-mudahan nanti ke depan ada dosen lain lagi yang mendapatkan hibah yang sama,” tandasnya.

Kebebasan Pers

3 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day. UNESCO merilis tema “A Press for the Planet: Journalism in the face of the Environmental Crisis” yang menyoroti jurnalisme dalam menghadapi krisis lingkungan.

Momen ini merupakan dukungan besar bagi para jurnalis di seluruh dunia dalam pemberitaan krisis lingkungan global. Pentingnya jurnalisme dan kebebasan berekspresi mampu membawa perubahan dan solusi pada kondisi ini.

Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal PBB menegaskan dalam pidatonya soal kondisi lingkungan yang darurat.

“Dunia sedang mengalami keadaan darurat lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menimbulkan ancaman nyata bagi generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya dalam kanal YouTube UNESCO.

Melalui kerja-kerja jurnalis masyarakat akan memahami penderitaan planet kita hingga memobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan.

“Media lokal, nasional, dan global dapat menyoroti berita tentang krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan lingkungan. Melalui pekerjaan mereka, masyarakat menjadi memahami penderitaan planet kita, dan dimobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan,” tambahnya.

Kebebasan pers menjadi kunci utama dalam membawa lingkungan semakin baik. Sementara kondisi dan keselamatan jurnalis tak selalu menguntungkan.

“Tidak mengherankan jika sejumlah orang, perusahaan, dan lembaga berpengaruh tidak melakukan apa pun untuk menghalangi jurnalis lingkungan melakukan pekerjaannya. Kebebasan media sedang terkepung. Dan jurnalisme lingkungan hidup adalah profesi yang semakin berbahaya. Sejumlah jurnalis yang meliput pertambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu-isu lingkungan lainnya telah dibunuh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam sebagian besar kasus, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban,” tambahnya.

Data dari UNESCO menyebutkan selama lima belas tahun terakhir tercatat 750 serangan terjadi kepada jurnalis dan kantor berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup. Ironisnya proses hukum juga disalahgunakan untuk menyensor, membungkam, menahan, dan melecehkan jurnalis lingkungan.

Rekomendasi Buku Jurnalisme Lingkungan

Salah satu rekomendasi buku yang layak dibaca dan mendukung riset dalam kajian ini adalah buku berjuduk Jurnalisme Warga, Radio Publik dan Pemberitaan Bencana yang digarap oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muyazin Nazaruddin, S.Sos., M.A, dan Dr. Zaki Habibi., M.Comms. yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI), serta Jalin Merapi.

Buku ini menjelaskan terkait ketidakpastian informasi pasca bencana erupsi Gunung Merapi. Masifnya informasi pasca bencana membawa banyak media penyiaran berlomba-lomba mengeksploitasi dampak bencana yang justru menimbulkan keresahan masyarakat. Kondisi tersebut menandakan pentingnya media alternatif yang memberitakan bencana untuk memberi perspektif yang berbeda.

Dari isu tersebut, penulis menagaskan bahwa praktik jurnalistik yang dilakukan merupakan jurnalisme alternatif dengan argument memegang beberapa prinsip, yakni prinsip dasar pemberitaan bencana yakni akurasi, prinsip kemanusiaan atau berangkat dengan perspektif korban dan warga setempat, prinsip komitmen menuju rehabilitasi, serta prinsip control atas bantuan bencana.

Selain buku tersebut ada pula buku yang berkaitan dengan isu lingkungan, bencana, kebebasan pers seperti Jurnalisme di Cincin Api: Tak Ada Berita Seharga Nyawa, Mengatur Kebebasan Pers, Komunikasi Lingkungan: Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi, dan Komunikasi Bencana.

Selengkapnya dapat diakses melalui laman https://communication.uii.ac.id/nadim/

Atau dapat mengunjungi ruang NADIM dan membaca langsung koleksi buku-bukunya.

Dosen Ilmu Komunikasi

Bagi mahasiswa yang tertarik dengan kajian Jurnalisme dan Media dapat memantau beberapa riset yang dilakukan oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII. Berikut daftar nama dosen beserta daftar klaster riset.

https://communication.uii.ac.id/dosen/#top

 

Media perempuan

Media yang membahas khusus perempuan tercatat sangat minim di Indonesia, baik media arus utama maupun media alternatif. Tentu fenomena ini menarik untuk dibahas sejalan dengan pesatnya media yang muncul di Indonesia. 

Data menunjukkan media di Indonesia mencapai 47 ribu dengan 43 ribu berbasis online dengan jumlah perusahaan media sebanyak 1.700 yang telah tercatat di Dewan Pers. Menariknya, tak ada data yang menunjukkan kategorisasi segmen pembaca serta temanya. Seperti diungkapkan oleh Dosen LSPR Lestari Nurhajati sekaligus Peneliti di Konde.co yang menyebutkan tentang keberlanjutan media perempuan di Indonesia dalam  diskusi “Selebrasi Kolaborasi Media Perempuan Menolak Mati” yang digelar di GoetheHaus, Jakarta, pada Sabtu, 3 Juni 2023.  

Diskusi ini juga dipantik oleh jurnalis Konde.co Nani Afrida, Sonya Helen Sinombor jurnalis Kompas, Pimred Digitalmamaid Catur Ratna Wulandari, Direktur PR2Media dan Dosen Ilmu Komunikasi UII Masduki, dan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. 

“Pemetaan media perempuan sudah lama sekali tidak dilakukan, yang sedang kritis yang mana, sudah punah yang mana, yang menuju masa depan cerah yang bagaimana,” ungkap Lestari. 

Dalam diskusi itu, Lestari memberikan penjelasan terkait gerakan feminisme yang tengah masif diperjuangkan oleh perempuan-perempuan Indonesia, termasuk kaum laki-laki yang turut mendukungnya. Ia menyebut, cikal bakal gerakan ini memang berakar dari Indonesia. 

“Indonesia sudah lama sekali mengenal gerakan perempuan. Orang kalau bilang gerakan feminisme itu dari Barat, no! Itu salah. Indonesia itu punya gerakan perempuan yang memang bercita-cita untuk memajukan perempuan, kesejahteraan perempuan, ini yang coba kita angkat lagi,” tegasnya. 

Terkait tantangan media perempuan di Indonesia, dari hasil riset yang dilakoninya, Lestari mengategorikan dalam tiga periode waktu yakni era 1970-1990, 1990-2000, dan saat ini. Tampaknya, isu terkait pergerakan feminisme justru kurang laku, artinya isu konten cukup menjadi penghalang bagi media untuk menemukan audiens. 

Sementara untuk mendapatkan banyak pembaca Media Perempuan pada rentang tahun 1970-1990 cenderung didominasi dengan konten domestik, seperti kuliner, fesyen, dan lainnya. Sementara periode tahun 1990-2000, media perempuan lebih banyak mengeksplorasi tema perempuan muslimah yang digambarkan dengan perempuan yang taat dna menurut.  

“Muslimah itu ada satu titik dibatasi, yang sayangnya isinya tak jauh berbeda dengan kita harapkan untuk memperjuangkan gerakan,” tutur Lestari. 

“Dalam pendekatan Ilmu Kajian Media, media-media perempuan yang maju adalah yang masih menggunakan pendekatan dengan ragam rubrikasi yang menunjukkan sifat-sifat dalam konteks domestikasi kuliner, fesyen,” tambahnya.  

Hingga kini, hanya ada delapan majalah perempuan cetak yang masih bertahan, mayoritas franchise dari luar. Yang asli Indonesia hanya ada dua yakni Femina dan Kartini. Ada pula  11 radio, sementara tak ada satu pun televisi yang khusus untuk program tentang perempuan. 

Dalam diskusi tersebut juga turut dibahas isu bias gender ruang redaksi, namun beranjak dari segi kuantitas perempuan yang tergabung bergelut pada media nampaknya masih ada persoalan lain yang perlu mendapat sorotan. Nyatanya Jurnal Perempuan masih konsisten dan eksis hingga kini sejak berdiri pada tahun 1995. 

Jurnal Perempuan berkomitmen menulis isu tentang gender dan feminisme secara serius dan akademis. Apakah media ini lantas mendapatkan pangsa pasar yang tepat? Atau sekadar komitmen menyediakan public service news? 

Sementara Nani Afrida menyebutkan, tantangan saat ini adalah terkait keberlanjutan media yang didirikan. Selain dari berbagai isu, untuk mengisi konten Media Perempuan dianggap tak semudah menciptakan konten layaknya media mainstream. 

“Menjadi jurnalis untuk media perempuan itu gak hanya harus tahu 5W 1H, dia juga harus tahu konsep, harus tahu tentang perempuan, dan lain-lain, dan itu tidak bisa dimiliki semua orang,” terang Nani. 

Selaras dengan Nani, Catur Ratna Wulandari pendiri digitalmama.id mengeluhkan bahwa media sosial turut mengubah itu. Ia harus bersaing dengan influencer mama yang kerap membagikan konten menarik lewat Instagram, TikTok, dan media sosial lainnya. 

“Konten kita saingannya dengan influencer mama,” sebut Catur. 

Hal ini membuatnya lebih luwes lagi dan sering kehilangan arah tentang Media Perempuan yang pertama kali Ia gagas sebagai bentuk upaya kesejahteraan perempuan dan kesetaraan gender. Namun bukan berarti influencer mama memproduksi konten yang tak mengedukasi, melainkan pilihan variasi konten yang dinilai lebih menarik untuk dinikmati. 

Menjawab berbagai persoalan “Media Perempuan yang menolak Mati”, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus Direktur PR2Media, Masduki, menawarkan beberapa solusi kepada media alternatif yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk meminta dukungan dari segi pembiayaan. 

Ia mengutarakan tiga mazhab terkait tawaran solusi tersebut. Pertama mazhab Eropa yang memberikan subsidi rutin setiap tahun untuk lembaga-lembaga alternatif. Kedua mazhab Amerika yang cenderung memberi subsidi kecil-kecilan seperti pengurangan pajak, upaya sumbangan atau hibah dari negara. Terakhir, meminta platform global seperti Google dan Facebook untuk memberikan donasi demi mendukung literasi berita yang tidak berhenti pada penciptaan tren dan acara saja. 

“Selain kita berkolaborasi, menurut saya karena ini kerja-kerja menyediakan publik servis news nutrisi untuk otak, seharusnya negara membantu kita, negara bertanggung jawab,” ungkap Masduki. 

Dalam kesempatan itu, Masduki juga mengapresiasi terbitnya buku hasil riset yang digagas oleh Konde.co yang selama ini kurang terjamah dan luput dari sorotan publik dan pemilik media di Indonesia. 

“Memproduksi pengetahuan baru, kita punya problem langkanya pengetahuan tentang jurnalisme gender berbasis perempuan. Buku ini memberikan amunisi yang penting sekali,” ucapnya. 

Dalam acara yang digagas oleh Konde.co yang bekerja sama dengan Voice dan Google News Iniative itu sekaligus dilakukan peluncuran riset berjudul “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” yang berisi tentang tantangan yang dihadapi media perempuan di Indonesia, baik media alternatif maupun media perempuan arus utama. Konde.co juga meluncurkan sebuah film berjudul “Silenced Worker” atau pekerja yang dibungkam. 

Usai pemutaran film dilanjutkan peluncuran buku “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” hadir juga dan Jurnalis Kompas Sonya Helen Sinombor dan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita