Tag Archive for: jurnalis

Kebebasan Pers
Reading Time: 2 minutes

3 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day. UNESCO merilis tema “A Press for the Planet: Journalism in the face of the Environmental Crisis” yang menyoroti jurnalisme dalam menghadapi krisis lingkungan.

Momen ini merupakan dukungan besar bagi para jurnalis di seluruh dunia dalam pemberitaan krisis lingkungan global. Pentingnya jurnalisme dan kebebasan berekspresi mampu membawa perubahan dan solusi pada kondisi ini.

Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal PBB menegaskan dalam pidatonya soal kondisi lingkungan yang darurat.

“Dunia sedang mengalami keadaan darurat lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menimbulkan ancaman nyata bagi generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya dalam kanal YouTube UNESCO.

Melalui kerja-kerja jurnalis masyarakat akan memahami penderitaan planet kita hingga memobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan.

“Media lokal, nasional, dan global dapat menyoroti berita tentang krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan lingkungan. Melalui pekerjaan mereka, masyarakat menjadi memahami penderitaan planet kita, dan dimobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan,” tambahnya.

Kebebasan pers menjadi kunci utama dalam membawa lingkungan semakin baik. Sementara kondisi dan keselamatan jurnalis tak selalu menguntungkan.

“Tidak mengherankan jika sejumlah orang, perusahaan, dan lembaga berpengaruh tidak melakukan apa pun untuk menghalangi jurnalis lingkungan melakukan pekerjaannya. Kebebasan media sedang terkepung. Dan jurnalisme lingkungan hidup adalah profesi yang semakin berbahaya. Sejumlah jurnalis yang meliput pertambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu-isu lingkungan lainnya telah dibunuh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam sebagian besar kasus, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban,” tambahnya.

Data dari UNESCO menyebutkan selama lima belas tahun terakhir tercatat 750 serangan terjadi kepada jurnalis dan kantor berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup. Ironisnya proses hukum juga disalahgunakan untuk menyensor, membungkam, menahan, dan melecehkan jurnalis lingkungan.

Rekomendasi Buku Jurnalisme Lingkungan

Salah satu rekomendasi buku yang layak dibaca dan mendukung riset dalam kajian ini adalah buku berjuduk Jurnalisme Warga, Radio Publik dan Pemberitaan Bencana yang digarap oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muyazin Nazaruddin, S.Sos., M.A, dan Dr. Zaki Habibi., M.Comms. yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI), serta Jalin Merapi.

Buku ini menjelaskan terkait ketidakpastian informasi pasca bencana erupsi Gunung Merapi. Masifnya informasi pasca bencana membawa banyak media penyiaran berlomba-lomba mengeksploitasi dampak bencana yang justru menimbulkan keresahan masyarakat. Kondisi tersebut menandakan pentingnya media alternatif yang memberitakan bencana untuk memberi perspektif yang berbeda.

Dari isu tersebut, penulis menagaskan bahwa praktik jurnalistik yang dilakukan merupakan jurnalisme alternatif dengan argument memegang beberapa prinsip, yakni prinsip dasar pemberitaan bencana yakni akurasi, prinsip kemanusiaan atau berangkat dengan perspektif korban dan warga setempat, prinsip komitmen menuju rehabilitasi, serta prinsip control atas bantuan bencana.

Selain buku tersebut ada pula buku yang berkaitan dengan isu lingkungan, bencana, kebebasan pers seperti Jurnalisme di Cincin Api: Tak Ada Berita Seharga Nyawa, Mengatur Kebebasan Pers, Komunikasi Lingkungan: Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi, dan Komunikasi Bencana.

Selengkapnya dapat diakses melalui laman https://communication.uii.ac.id/nadim/

Atau dapat mengunjungi ruang NADIM dan membaca langsung koleksi buku-bukunya.

Dosen Ilmu Komunikasi

Bagi mahasiswa yang tertarik dengan kajian Jurnalisme dan Media dapat memantau beberapa riset yang dilakukan oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII. Berikut daftar nama dosen beserta daftar klaster riset.

https://communication.uii.ac.id/dosen/#top

 

Media perempuan
Reading Time: 3 minutes

Media yang membahas khusus perempuan tercatat sangat minim di Indonesia, baik media arus utama maupun media alternatif. Tentu fenomena ini menarik untuk dibahas sejalan dengan pesatnya media yang muncul di Indonesia. 

Data menunjukkan media di Indonesia mencapai 47 ribu dengan 43 ribu berbasis online dengan jumlah perusahaan media sebanyak 1.700 yang telah tercatat di Dewan Pers. Menariknya, tak ada data yang menunjukkan kategorisasi segmen pembaca serta temanya. Seperti diungkapkan oleh Dosen LSPR Lestari Nurhajati sekaligus Peneliti di Konde.co yang menyebutkan tentang keberlanjutan media perempuan di Indonesia dalam  diskusi “Selebrasi Kolaborasi Media Perempuan Menolak Mati” yang digelar di GoetheHaus, Jakarta, pada Sabtu, 3 Juni 2023.  

Diskusi ini juga dipantik oleh jurnalis Konde.co Nani Afrida, Sonya Helen Sinombor jurnalis Kompas, Pimred Digitalmamaid Catur Ratna Wulandari, Direktur PR2Media dan Dosen Ilmu Komunikasi UII Masduki, dan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. 

“Pemetaan media perempuan sudah lama sekali tidak dilakukan, yang sedang kritis yang mana, sudah punah yang mana, yang menuju masa depan cerah yang bagaimana,” ungkap Lestari. 

Dalam diskusi itu, Lestari memberikan penjelasan terkait gerakan feminisme yang tengah masif diperjuangkan oleh perempuan-perempuan Indonesia, termasuk kaum laki-laki yang turut mendukungnya. Ia menyebut, cikal bakal gerakan ini memang berakar dari Indonesia. 

“Indonesia sudah lama sekali mengenal gerakan perempuan. Orang kalau bilang gerakan feminisme itu dari Barat, no! Itu salah. Indonesia itu punya gerakan perempuan yang memang bercita-cita untuk memajukan perempuan, kesejahteraan perempuan, ini yang coba kita angkat lagi,” tegasnya. 

Terkait tantangan media perempuan di Indonesia, dari hasil riset yang dilakoninya, Lestari mengategorikan dalam tiga periode waktu yakni era 1970-1990, 1990-2000, dan saat ini. Tampaknya, isu terkait pergerakan feminisme justru kurang laku, artinya isu konten cukup menjadi penghalang bagi media untuk menemukan audiens. 

Sementara untuk mendapatkan banyak pembaca Media Perempuan pada rentang tahun 1970-1990 cenderung didominasi dengan konten domestik, seperti kuliner, fesyen, dan lainnya. Sementara periode tahun 1990-2000, media perempuan lebih banyak mengeksplorasi tema perempuan muslimah yang digambarkan dengan perempuan yang taat dna menurut.  

“Muslimah itu ada satu titik dibatasi, yang sayangnya isinya tak jauh berbeda dengan kita harapkan untuk memperjuangkan gerakan,” tutur Lestari. 

“Dalam pendekatan Ilmu Kajian Media, media-media perempuan yang maju adalah yang masih menggunakan pendekatan dengan ragam rubrikasi yang menunjukkan sifat-sifat dalam konteks domestikasi kuliner, fesyen,” tambahnya.  

Hingga kini, hanya ada delapan majalah perempuan cetak yang masih bertahan, mayoritas franchise dari luar. Yang asli Indonesia hanya ada dua yakni Femina dan Kartini. Ada pula  11 radio, sementara tak ada satu pun televisi yang khusus untuk program tentang perempuan. 

Dalam diskusi tersebut juga turut dibahas isu bias gender ruang redaksi, namun beranjak dari segi kuantitas perempuan yang tergabung bergelut pada media nampaknya masih ada persoalan lain yang perlu mendapat sorotan. Nyatanya Jurnal Perempuan masih konsisten dan eksis hingga kini sejak berdiri pada tahun 1995. 

Jurnal Perempuan berkomitmen menulis isu tentang gender dan feminisme secara serius dan akademis. Apakah media ini lantas mendapatkan pangsa pasar yang tepat? Atau sekadar komitmen menyediakan public service news? 

Sementara Nani Afrida menyebutkan, tantangan saat ini adalah terkait keberlanjutan media yang didirikan. Selain dari berbagai isu, untuk mengisi konten Media Perempuan dianggap tak semudah menciptakan konten layaknya media mainstream. 

“Menjadi jurnalis untuk media perempuan itu gak hanya harus tahu 5W 1H, dia juga harus tahu konsep, harus tahu tentang perempuan, dan lain-lain, dan itu tidak bisa dimiliki semua orang,” terang Nani. 

Selaras dengan Nani, Catur Ratna Wulandari pendiri digitalmama.id mengeluhkan bahwa media sosial turut mengubah itu. Ia harus bersaing dengan influencer mama yang kerap membagikan konten menarik lewat Instagram, TikTok, dan media sosial lainnya. 

“Konten kita saingannya dengan influencer mama,” sebut Catur. 

Hal ini membuatnya lebih luwes lagi dan sering kehilangan arah tentang Media Perempuan yang pertama kali Ia gagas sebagai bentuk upaya kesejahteraan perempuan dan kesetaraan gender. Namun bukan berarti influencer mama memproduksi konten yang tak mengedukasi, melainkan pilihan variasi konten yang dinilai lebih menarik untuk dinikmati. 

Menjawab berbagai persoalan “Media Perempuan yang menolak Mati”, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus Direktur PR2Media, Masduki, menawarkan beberapa solusi kepada media alternatif yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk meminta dukungan dari segi pembiayaan. 

Ia mengutarakan tiga mazhab terkait tawaran solusi tersebut. Pertama mazhab Eropa yang memberikan subsidi rutin setiap tahun untuk lembaga-lembaga alternatif. Kedua mazhab Amerika yang cenderung memberi subsidi kecil-kecilan seperti pengurangan pajak, upaya sumbangan atau hibah dari negara. Terakhir, meminta platform global seperti Google dan Facebook untuk memberikan donasi demi mendukung literasi berita yang tidak berhenti pada penciptaan tren dan acara saja. 

“Selain kita berkolaborasi, menurut saya karena ini kerja-kerja menyediakan publik servis news nutrisi untuk otak, seharusnya negara membantu kita, negara bertanggung jawab,” ungkap Masduki. 

Dalam kesempatan itu, Masduki juga mengapresiasi terbitnya buku hasil riset yang digagas oleh Konde.co yang selama ini kurang terjamah dan luput dari sorotan publik dan pemilik media di Indonesia. 

“Memproduksi pengetahuan baru, kita punya problem langkanya pengetahuan tentang jurnalisme gender berbasis perempuan. Buku ini memberikan amunisi yang penting sekali,” ucapnya. 

Dalam acara yang digagas oleh Konde.co yang bekerja sama dengan Voice dan Google News Iniative itu sekaligus dilakukan peluncuran riset berjudul “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” yang berisi tentang tantangan yang dihadapi media perempuan di Indonesia, baik media alternatif maupun media perempuan arus utama. Konde.co juga meluncurkan sebuah film berjudul “Silenced Worker” atau pekerja yang dibungkam. 

Usai pemutaran film dilanjutkan peluncuran buku “Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia” hadir juga dan Jurnalis Kompas Sonya Helen Sinombor dan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita