Palestina digempur habis-habisan dengan tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel, informasi terkini yang dilansir dari laman Aljazeera setidaknya 15.000 warga Palestina tewas sejak tindakan Hamas 7 Oktober lalu. Kabar kematian tak pernah berhenti, setelah serangan berjam-jam di Jenin dua anak laki-laki berusia 15 dan 8 tahun tewas oleh pasukan Israel. (29 November 2023)
Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan penindasan. Salah satu cara yang tengah dilakukan sebagian masayarakat Indonesia melalui boikot produk yang terbukti mengalirkan dana untuk mendukung Israel.
Selain boikot produk, mendukung pembebasan Palestina juga bisa dilakukan lewat film, metode ini digagas oleh Madani Film Festival. Diskusi diperdalam pada gelaran Kaliurang Festival Hub pada 24 November 2023.
Diawali dengan pemutaran film R21 di Gedung RAV Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), isu mengalir menjadi topik yang penuh simpati. Diskusi bertajuk “From the River to the See, Solidarity Screening for Palestine” itu dipandu Dian Dwi Anisa Dosen Ilmu Komunikasi UII menggaet Sugar Nadia Direktur Madani Film Festival serta Zaki Habibi seorang Peneliti Kajian Media & Budaya Visual UII.
Film berjudul R21 atau Restoring Solidarity (2022) adalah film dokumenter tentang Palestina yang dikumpulkan dari arsip 20 film oleh para aktivis Jepang yang mendukung pembebasan Palestina.
R21 berisi perlawanan, kehancuran, hingga jeritan hati masyarakat Palestina atas kejahatan kemanuasiaan yang dilakukan Israel. Bom yang sewaktu-waktu diledakkan meluluh lantahkan bangunan dan menewaskan warga Palestina. Tak hanya orang dewasa, anak-anak turut menjadi korban kejahatan ini.
Untuk membuka mata banyak pihak, film menjadi media menguak fakta atas keperihatinan yang dialami oleh masyarakat Palestina yang dibuktikan dengan arsip film sejak 1948.
Solidaritas untuk Pembebasan Palestina Melalui Film
Inisiatif Madani Film Festival mendukung Palestina melalui salah satu programnya yang diberi nama Fokus Palestina. Pihaknya telah melakukan komunikasi intens dengan sutradara film Palestina yakni Mohanad Yaqubi dan berhasil mengumpulkan film tentang Palestina.
“Kumpulan film Palestina sudah terkumpul, eskalasi konflik makin tinggi. Sulit menjangkau film Palestina,” ujar Sugar Nadia.
Dalam program tersebut ada lima film yang diputar yakni R21, Off Frame AKA Revolution Until Victory, Off Frame, No Exit (2014), dan 200 Meters.
Film R21 dipilih menjadi pembuka karena memiliki kekuatan dalam rekontruksi sejarah berdasarkan ideologi. Melansir dari Tempo, R21 adalah arsip yang terkumpul sejak tahun 1948 hingga 1982. Arsip itu mempertontonkan jika keterpurukan Palestina bukanlah fenomena baru.
“Jika Anda melihat arsip semua film dari tahun 1982 atau film dari tahun 1976 atau bahkan 1946, Anda dapat melihat pada hari ini dari sudut pandang yang berbeda. Kehancuran yang terjadi saat ini bukanlah hal yang asing bagi kita,” ujar Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.
Selain menayangkan film-film yang terkumpul dalam Fokus Palestina dalam Madani Film Festival 2023, pihaknya juga mengajak komunitas, kolektif, lembaga, dan individu dengan aksi nyata solidaritas pemutaran film dan penggalangan dana “From the River to the Sea”. Informasi selengkapnya dapat diakses melalui akun Instagram @madanifilmfest.
“Kita juga mengajak semua pihak untuk melakukan pemutaran dan menggalang dana untuk solidaritas pembebasan Palestina,” ajak Sugar Nadia.
Dengan program Fokus Palestina, film-film tersebut diputar sebagai kerangka ikatan solidaritas kemanusiaan. Dengan menyaksikannya, publik akan mengetahui “militansi sinematik sebagai media bagi para pembuat film Palestina untuk merebut kembali gambar dan narasi Palestina,” Madani Film Festival.
Selain itu film berjudul 200 Meters merupakan film drama fiksi yang menggambarkan keluarga Palestina dengan mengungkap isu-isu konkret sehari-hari yang dihadapi masyarakat Palestina.
Upaya dan solidaritas ini diharapkan mampu menghentikan perang, kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh Palestina. Melalui film yang telah terkumpul tersebut mampu mengungkap realitas di tengah dominasi film Hollywood yang memenangkan pasar Indonesia.
“Sulit [penonton dan akses], di Indonesia didominasi Hollywood, Korea (infiltrasi budaya). Kalau saya enggak jalani Madani juga susah akses dari timur tengah,” tambah Sugar Nadia.
Sementara, Mohanad Yaqubi berharap film tentang Palestina dapat diakses oleh publik secara luas agar dunia tahu tentang penindasan yang telah terjadi selama ratusan tahun.
“Saya pikir itulah sebabnya kami sangat tertarik dengan arsip ini dari sudut pandang itu. Kami juga ingin menyimpan kenangan akan penindasan dan menyebarkan luaskan pada orang yang mengalami hal serupa untuk mengetahui bahwa mereka bukan satu-satunya dan orang pertama yang mengalami penindasan,” kata Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.
“Anda memandang ibu dan ayah Anda dengan cara yang berbeda dan Anda akan berpikir tentang kakek-nenek Anda dengan cara yang berbeda pula. Pengalaman mereka akan membantu Anda bertahan hidup dengan baik dan itulah yang dibawa oleh arsip, arsip film, arsip musik, arsip budaya,” tambahnya lagi
Sulitnya Akses dan Penyebaran Film dari Palestina
Program Fokus Palestina yang diinisiasi Madani Film Festival seolah menjadi angin segar bagi aktivis yang pro Palestina. Pasalnya, film-film di Palestina sangat sulit diakses karena sempitnya ruang gerak.
Sugar Nadia menuturkan jika tak ada kebebasan berekspresi di Palestina, menyuarakan kebebasan hanya bisa dilakukan dengan cara yang tak terang-terangan misalnya dengan simbol buah semangka. Karena perang tak terkendali seniman bergerak hingga menyebarluaskan film secara gratis.
“Menggunakan gambar semangka ngomongin freedom, karena eskalasi makin besar seniman bergerak, menyebarkan film gratis, bebas tanpa screening fee dan izin,” tutur Sugar Nadia.
Meski disebarluaskan secara bebas dan gratis nyatanya film cukup sulit diakses, hal ini berkaitan dengan kondisi konflik dan perang yang terjadi di Palestina. Untuk memproduksinya dibutuhkan usaha yang begitu besar, bahkan para sineas harus bisa keluar dari Palestina, sementara hal itu sangat rumit dilakukan. Inilah alasan minimnya jumlah film dari Palestina
“Perjuangan menyebarluaskan film-film Palestina sungguh tak mudah. Kesulitan sineas di palestina jarang juga [film diproduksi], mereka sulit memproduksi film dalam kondisis konflik war, struggle beda,” tambah Sugar Nadia.
Bagi sineas Palestina jangankan untuk memproduksi film dan mengembangkan menjadi industri, bahkan negara pun mereka tak punya “We have no film industry, because we have no country” penuturan Zaki Habibi terkait perfilman di tanah konflik itu.
“Mari kita perjuangkan, Indonesia mostly Indonesian Hollywood movie, to get film middle east is difficult. Mayority muslim (Indonesia), kita muslim kenapa tidak mengenal muslim lain. Bagaimana kehidupan muslim, kalau misalnya dibandingkan festival lain, Madani lebih banyak bicara soal humanity, kisahnya akan banyak soal, sedih, perang,” tambahnya.
Zaki Habibi juga sepakat jika, gagasan soal Fokus Palestina menjadi prioritas yang tepat karena festival adalah ruang untuk menyaksikan film-film yang sulit untuk dijangkau. Dengan inisiasi ini, publik dapat mengetahui sejarah lebih dalam soal muslim dan Palestina.
“Kita pengen selalu, datang ke festival untuk menjangkau sesuatu yang sulit dijangkau. Festival menuju waktu momen perjumpaan dengan cerita-cerita lain. Banyak isu yang mengajak kita untuk refleksi, sejarah,” terang Zaki Habibi.
Dengan penuh keyakinan, Madani Film Festival hingga Mohanad Yaqubi selaku sineas yang memproduksi film seputar Palestina percaya jika film mampu menghentikan perang. Dengan arsip-arsip tersebut akan membantu publik memahami konteks konflik yang dialami Palestina.
Penulis: Meigitaria Sanita