Tag Archive for: Hamas

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 4 minutes

Palestina digempur habis-habisan dengan tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel, informasi terkini yang dilansir dari laman Aljazeera setidaknya 15.000 warga Palestina tewas sejak tindakan Hamas 7 Oktober lalu. Kabar kematian tak pernah berhenti, setelah serangan berjam-jam di Jenin dua anak laki-laki berusia 15 dan 8 tahun tewas oleh pasukan Israel. (29 November 2023)

Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan penindasan. Salah satu cara yang tengah dilakukan sebagian masayarakat Indonesia melalui boikot produk yang terbukti mengalirkan dana untuk mendukung Israel.

Selain boikot produk, mendukung pembebasan Palestina juga bisa dilakukan lewat film, metode ini digagas oleh Madani Film Festival. Diskusi diperdalam pada gelaran Kaliurang Festival Hub pada 24 November 2023.

Diawali dengan pemutaran film R21 di Gedung RAV Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), isu mengalir menjadi topik yang penuh simpati. Diskusi bertajuk “From the River to the See, Solidarity Screening for Palestine” itu dipandu Dian Dwi Anisa Dosen Ilmu Komunikasi UII menggaet Sugar Nadia Direktur Madani Film Festival serta Zaki Habibi seorang Peneliti Kajian Media & Budaya Visual UII.

Film berjudul R21 atau Restoring Solidarity (2022) adalah film dokumenter tentang Palestina yang dikumpulkan dari arsip 20 film oleh para aktivis Jepang yang mendukung pembebasan Palestina.

R21 berisi perlawanan, kehancuran, hingga jeritan hati masyarakat Palestina atas kejahatan kemanuasiaan yang dilakukan Israel. Bom yang sewaktu-waktu diledakkan meluluh lantahkan bangunan dan menewaskan warga Palestina. Tak hanya orang dewasa, anak-anak turut menjadi korban kejahatan ini.

Untuk membuka mata banyak pihak, film menjadi media menguak fakta atas keperihatinan yang dialami oleh masyarakat Palestina yang dibuktikan dengan arsip film sejak 1948.

Solidaritas untuk Pembebasan Palestina Melalui Film

Inisiatif Madani Film Festival mendukung Palestina melalui salah satu programnya yang diberi nama Fokus Palestina. Pihaknya telah melakukan komunikasi intens dengan sutradara film Palestina yakni Mohanad Yaqubi dan berhasil mengumpulkan film tentang Palestina.

“Kumpulan film Palestina sudah terkumpul, eskalasi konflik makin tinggi. Sulit menjangkau film Palestina,” ujar Sugar Nadia.

Dalam program tersebut ada lima film yang diputar yakni R21, Off Frame AKA Revolution Until Victory, Off Frame, No Exit (2014), dan 200 Meters.

Kaliurang Festival Hub

Film menjadi salah satu cara untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan di Palestina

Film R21 dipilih menjadi pembuka karena memiliki kekuatan dalam rekontruksi sejarah berdasarkan ideologi. Melansir dari Tempo, R21 adalah arsip yang terkumpul sejak tahun 1948 hingga 1982. Arsip itu mempertontonkan jika keterpurukan Palestina bukanlah fenomena baru.

“Jika Anda melihat arsip semua film dari tahun 1982 atau film dari tahun 1976 atau bahkan 1946, Anda dapat melihat pada hari ini dari sudut pandang yang berbeda. Kehancuran yang terjadi saat ini bukanlah hal yang asing bagi kita,” ujar Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.

Selain menayangkan film-film yang terkumpul dalam Fokus Palestina dalam Madani Film Festival 2023, pihaknya juga mengajak komunitas, kolektif, lembaga, dan individu dengan aksi nyata solidaritas pemutaran film dan penggalangan dana “From the River to the Sea”. Informasi selengkapnya dapat diakses melalui akun Instagram @madanifilmfest.

“Kita juga mengajak semua pihak untuk melakukan pemutaran dan menggalang dana untuk solidaritas pembebasan Palestina,” ajak Sugar Nadia.

Dengan program Fokus Palestina, film-film tersebut diputar sebagai kerangka ikatan solidaritas kemanusiaan. Dengan menyaksikannya, publik akan mengetahui “militansi sinematik sebagai media bagi para pembuat film Palestina untuk merebut kembali gambar dan narasi Palestina,” Madani Film Festival.

Selain itu film berjudul 200 Meters merupakan film drama fiksi yang menggambarkan keluarga Palestina dengan mengungkap isu-isu konkret sehari-hari yang dihadapi masyarakat Palestina.

Upaya dan solidaritas ini diharapkan mampu menghentikan perang, kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh Palestina. Melalui film yang telah terkumpul tersebut mampu mengungkap realitas di tengah dominasi film Hollywood yang memenangkan pasar Indonesia.

“Sulit [penonton dan akses], di Indonesia didominasi Hollywood, Korea (infiltrasi budaya). Kalau saya enggak jalani Madani juga susah akses dari timur tengah,” tambah Sugar Nadia.

Sementara, Mohanad Yaqubi berharap film tentang Palestina dapat diakses oleh publik secara luas agar dunia tahu tentang penindasan yang telah terjadi selama ratusan tahun.

“Saya pikir itulah sebabnya kami sangat tertarik dengan arsip ini dari sudut pandang itu. Kami juga ingin menyimpan kenangan akan penindasan dan menyebarkan luaskan pada orang yang mengalami hal serupa untuk mengetahui bahwa mereka bukan satu-satunya dan orang pertama yang mengalami penindasan,” kata Mohanad Yaqubi dilansir dari Tempo.

“Anda memandang ibu dan ayah Anda dengan cara yang berbeda dan Anda akan berpikir tentang kakek-nenek Anda dengan cara yang berbeda pula. Pengalaman mereka akan membantu Anda bertahan hidup dengan baik dan itulah yang dibawa oleh arsip, arsip film, arsip musik, arsip budaya,” tambahnya lagi

Sulitnya Akses dan Penyebaran Film dari Palestina

Program Fokus Palestina yang diinisiasi Madani Film Festival seolah menjadi angin segar bagi aktivis yang pro Palestina. Pasalnya, film-film di Palestina sangat sulit diakses karena sempitnya ruang gerak.

Sugar Nadia menuturkan jika tak ada kebebasan berekspresi di Palestina, menyuarakan kebebasan hanya bisa dilakukan dengan cara yang tak terang-terangan misalnya dengan simbol buah semangka. Karena perang tak terkendali seniman bergerak hingga menyebarluaskan film secara gratis.

“Menggunakan gambar semangka ngomongin freedom, karena eskalasi makin besar seniman bergerak, menyebarkan film gratis, bebas tanpa screening fee dan izin,” tutur Sugar Nadia.

Meski disebarluaskan secara bebas dan gratis nyatanya film cukup sulit diakses, hal ini berkaitan dengan kondisi konflik dan perang yang terjadi di Palestina. Untuk memproduksinya dibutuhkan usaha yang begitu besar, bahkan para sineas harus bisa keluar dari Palestina, sementara hal itu sangat rumit dilakukan. Inilah alasan minimnya jumlah film dari Palestina

“Perjuangan menyebarluaskan film-film Palestina sungguh tak mudah. Kesulitan sineas di palestina jarang juga [film diproduksi], mereka sulit memproduksi film dalam kondisis konflik war, struggle beda,” tambah Sugar Nadia.

Bagi sineas Palestina jangankan untuk memproduksi film dan mengembangkan menjadi industri, bahkan negara pun mereka tak punya “We have no film industry, because we have no country” penuturan Zaki Habibi terkait perfilman di tanah konflik itu.

“Mari kita perjuangkan, Indonesia mostly Indonesian Hollywood movie, to get film middle east is difficult. Mayority muslim (Indonesia), kita muslim kenapa tidak mengenal muslim lain. Bagaimana kehidupan muslim, kalau misalnya dibandingkan festival lain, Madani lebih banyak bicara soal humanity, kisahnya akan banyak soal, sedih, perang,” tambahnya.

Zaki Habibi juga sepakat jika, gagasan soal Fokus Palestina menjadi prioritas yang tepat karena festival adalah ruang untuk menyaksikan film-film yang sulit untuk dijangkau. Dengan inisiasi ini, publik dapat mengetahui sejarah lebih dalam soal muslim dan Palestina.

“Kita pengen selalu, datang ke festival untuk menjangkau sesuatu yang sulit dijangkau. Festival menuju waktu momen perjumpaan dengan cerita-cerita lain. Banyak isu yang mengajak kita untuk refleksi, sejarah,” terang Zaki Habibi.

Dengan penuh keyakinan, Madani Film Festival hingga Mohanad Yaqubi selaku sineas yang memproduksi film seputar Palestina percaya jika film mampu menghentikan perang. Dengan arsip-arsip tersebut akan membantu publik memahami konteks konflik yang dialami Palestina.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Semangka
Reading Time: 4 minutes

Seruan membela Palestina atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel yang terjadi di sepanjang jalur Gaza terus menggema. Seruan ini diekspresikan lewat ilustrasi buah semangka yang menjadi simbol Palestina tak henti-hentinya menghiasi media sosial.

Media sosial menjadi ruang ekspresi dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pembebasan Palestina. Tak hanya itu, baru saja Aksi Damai Bela Palestina digelar di Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 5 November 2023.

Ilustrasi buah semangka menjadi properti yang melengkapi aksi damai dari pagi hingga siang. Mulai dari masyarakat, influencer, hingga publik figur turun ke jalan dengan mengibarkan poster ilustrasi buah semangka.

Deretan petinggi negeri turut hadir, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, hingga Muhadjir Effendi selaku Menko PMK turut hadir dalam gelaran aksi damai tersebut. Secara tegas Indonesia mendeklarasikan dukungan pembebasan Palestina.

“Atas nama pemerintah Indonesia, kami ingin menegaskan kembali dukungan Indonesia pada perjuangan bangsa Palestina,” ujar Menlu Retno Marsudi, dikutip pada laman Kompas.com.

Senada dengan Menlu, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jika membela Palestiana adalah bentuk membela kemanusiaan.

“Posisi Indonesia jelas. Kita akan berdiri bersama Palestina. Membela rakyat Palestina adalah membela kemanusiaan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi Kemenag RI.

Sejak 7 Oktober 2023, Hamas atau Harrakat al-Muqawwamatul Islamiyah memulai gerakan sebagai tanda eskalasi antara Palestina dan Israel sejak keterlibatan perang pada tahun 2021 yang berlangsung selama 11 hari. Gerakan yang dilakukan Hamas merupakan bentuk respon atas kekejaman Israel selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan update terkini (6 November 2023) dilansir dari laman Aljazeera, korban tewas di jalur Gaza terus meningkat setidaknya 9.770 warga Palestina meninggal dalam serangan Israel dan 1.400 orang Israel tewas atas serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu.

Makna dan Sejarah Buah Semangka untuk Palestina

Mengulik sejarah tentang simbol buah semangka yang digunakan untuk menyerukan pembelaan terhadap Palestina dari tragedi kemanusiaan sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Mengutip dari laman media Time, hal ini dilakukan perang enam hari pasca Israel menguasai jalur Gaza.

Di tahun 2023, kejadian berulang pada bulan Januari Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memberikan perintah kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Disusul pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang melarang orang-orang mengibarkan bendera Palestina di kantor pemerintahan termasuk universitas pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan penuturan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang mengkaji lebih dalam terkait ilmu semiotik dan komunikasi, buah semangka dipilih karena memiliki nilai historis. Tak hanya itu, pada tahun 1967 pihak Israel juga melarang pengibaran bendera Palestina. Mereka menganggap mengibarkan bendera Palestina di ruang publik adalah tindakan kriminal.

“Semangka (dan sendok) adalah simbol perlawanan Palestina. Tentu, keduanya punya kisah historis masing-masing mengapa menjadi simbol perlawanan Palestina. Semangka menjadi simbol perlawanan sejak 1960-an ketika Perang Enam Hari 1967 terjadi dan Israel melarang pengibaran bendera Palestina karena dikhawatirkan bisa mengobarkan semangat nasionalisme Arab-Palestina,” tuturnya.

Tak sekedar warna buah semangka yang mewakili bendera Palestina, buah ini ternyata juga berkaitan dengan aspek kedaulatan pangan. Semangka merupakan varietas yang tumbuh subur di Palestina. Mengutip dari Tempo, selama masa Intifada tahun 1987-1993, Israel melarang petani Palestina menanam semangka yang dikenal dengan Jadu’i. hal ini dilakukan demi menekan pemberontakan mengingat sumber perekonomian terbesar dari bidang pertanian.

“Semangka dipilih karena kesamaan warna dengan bendera Palestina. Tentu saja, pilihan itu historis dan kontekstual, warga Palestina memilih semangka karena memang buah itu tumbuh subur di negara mereka. Kebetulan semangka, ketika dibelah, memiliki paduan warna yang sama dengan bendera negara Palestina,” tambah Muzayin.

Kampanye Semangka di Media Sosial

Saat ini ilustrasi semangka telah menjadi bagian dari kampanye di berbagai media, termasuk media sosial hingga media masa. Beberapa laman berita online nasional seperti Republika dan Detik dengan lugas menyisipkan ilustrasi semangka pada logo portalnya.

Begitupun dengan para influencer di tanah air yang terus menerus menerus membagikan ilustrasi dan emoticon semangka di akun media sosialnya untuk sebagai bentuk advokasi pembebasan Palestina.

Meski di Indonesia sebenarnya tak ada larangan mengunggah bendera Palestina, simbol semangka digunakan untuk menghindari sensor dunia maya.

“Dalam invasi Israel di tahun 2023 ini, semangka kembali menjadi simbol yang populer karena bisa menghindari sensor ‘dunia maya’. Yang menarik adalah ketika penggunaan simbol semangka itu mengglobal, orang dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menggunakan semangka sebagai bentuk dukungan dan simpati mereka pada penduduk Palestina. Bukankah mereka, yang di luar Palestina, bisa dengan bebas mengibarkan bendera Palestina ketika berunjuk rasa? Mengapa mereka memilih semangka?,” ujarnya.

Secara umum, menyerukan aksi dengan mengibarkan bendera saat berdemonstrasi atau melakukan berbagai gerakan perlawanan adalah pilihan yang tampak gagah dan patriotik. Bendera dikibarkan dengan gagah, dengan semangat kuat membela bendera itu sendiri.

Namun, lebih dari itu semangka adalah pilihan yang berbeda. Jika bendera hanya menunjukkan perang antara negara, semangka adalah tentang kejahatan kemanusiaan.

“Sementara, pilihan semangka menunjukkan hal yang sangat berbeda. Yang terjadi bukanlah perang dua negara, “dua bendera”, yang sama-sama kuat, yang sama-sama mengibarkan bendera dengan gagah, yang memperjuangkan klaimnya masing-masing. Yang terjadi adalah “kejahatan kemanusiaan” dari satu negara yang mengibarkan bendera mereka dengan pongah, terhadap negara lain yang bahkan untuk mengibarkan bendera mereka pun tidak boleh,” jelasnya.

Dengan mengkampanyekan ilustrasi ini, masyarakat global diingatkan untuk terus membuka mata betapa pilu dan terkoyaknya kondisi Palestina saat ini.

“Semangka adalah simbol perlawanan yang ‘pilu’ dan ‘terkoyak’. Ketika masyarakat global memilih simbol itu, kita sebenarnya tengah mendefinisikan apa yang tengah terjadi, kemanusiaan yang tercabik dan kepiluan karena ketidakmampuan, bahkan warga global sekalipun, untuk segera menghentikan itu,” tandasnya.

Media sebagai ruang ekspresi dan advokasi pembebasan untuk Palestina. Secara tidak langsung masyarakat global yang memposting ilustrasi semangka di media sosial secara berulang telah melakukan propaganda untuk membela mereka yang tertindas.

Bagaimana dengan dirimu Comms, sudahkah turut mengkampanyekan semangka di media sosial sebagai bentuk aksi kemanusiaan?

 

Penulis: Meigitaria Sanita