Tag Archive for: Guru Besar

Pidato pengukuhan
Reading Time: 4 minutes

Berbagai gagasan disampaikan oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA dalam rapat terbuka pengukuhan jabatan tertinggi “Profesor” pada 25 Juni 2024 di Auditorium Kahar Mudzakir UII, Yogyakarta. Pidatonya bertajuk Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia mengungkap banyak fenomena tak ideal dalam dunia akademik.

Beliau merupakan profesor bidang Ilmu Media dan Jurnalisme yang telah menerima gelar Guru Besar pada September tahun lalu. Riset-risetnya soal jurnalisme, demokrasi, hingga kebijakan dikemas dalam pidato 30 menit.

Secara umum pidato pengukuhan profesor hari itu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait, mengapa perguruan tinggi absen dalam advokasi pelanggaran HAM? Siapa sejatinya akademisi? Serta apa makna perguruan tinggi dalam kehidupan sosial yang mengarah pada kerja-kerja kepublikan?

Toxic University

Kalimat toxic university menjadi bagian awal yang menggambarkan bentuk tak ideal dalam kerja dan fungsi perguruan tinggi di Indonesia. Kata tersebut mengindikasikan soal lingkungan tak sehat yang merugikan.

Toxic university terjadi karena fenomena resiliensi otoritarianisme, salah satu buku yang cukup provokatif ditulis oleh Mary Evans berjudul Killing Thingking, dilanjutkan penulis Peter Fleming yang menulis Dark Academia. Sementara yang cukup fenomenal adalah riset berjudul Educated acquiescence: how academia sustains authoritarianism in China.

“Bagaimana (pembahasan riset) sebetulnya para akdemisi yang harusnya menjadi agen pencerahan untuk pemberdayaan justru menjadi bagian yang melestarikan otoritarianisme politik,” ucap Prof. Masduki.

Salah satu contoh yang sangat eksplisit terjadi misalnya bagaimana konferensi komunikasi menjadi ruang ekonomi dan politik bukan kepentingan akademik. Studi-studi komunikasi di Indonesia mengalami dark academia, mengalami jalur kgelapan.

Contoh lain dari toxic university adalah persaingan melalui segi kuantitas terkait rangking hingga publikasi tertentu yang berdampak pada remunisasi dalam setiap kerjanya.

“Universitas mengalami toxic university orang-orang di dalamnya dan para pemimpinnya mengalami zombie leadership jadi fisiknya ada tapi jiwanya nyaris tidak ada. Jadi ada badan yang bergerak tanpa rasionalitas. Sementara para dosen digambarkan sebagai academic rockstar, jadi biasanya dipuja-puja karena punya ranking-ranking tertentu. sekarang ada perlombaan indeks scopusnya berapa kemudian remunisasi yang dilihat angka-angka membuat orang seperti rockstar penyanyi suara keras tapi menghibur saja tapi tidak punya makna-makna yang lebih relate dengan kehidupan sosial yang lebih holistic,” jelasnya.

Resiliensi Otoritarianisme dan Kondisi struktural

Indonesia sebagai negara yang sempat mengimani sistem otoriter telah menganut sistem demokrasi. Sayangnya praktinya tak cukup melegakan. Salah satu tuntutan bersikap netral kepada dosen-dosen berstatus PNS justru langkahnya dalam sosial advokasi terkungkung.

“Apalagi dosen yang pegawai negeri (Status PNS) harus memiliki kepatuhan punya netralitas tapi itu artinya bukan berada netral tapi menjaga jarak dengan penyintas atau korban-korban,” jelasnya.

Selain kondisi tersebut, beban administrasi yang dibebankan membuat para akademisi absen dari berbagai peran kemanusiaan.

“Perguruan tinggi academia boro-boro memperhatikan isu pelanggaran HAM justru kita mengalami penyibukan luar biasa untuk urusan-urusan domestic pelaporan-pelaporan sebagaianya,” tambahnya.

Ditambah kebijakan dan regulasi yang diterapkan cenderung berujung ketidakpastian. Demokrasi di Indonesia seolah menjadi bingkai hibrida neoliberal. Artinya pendidikan tinggi bermula dari kebijakan semi publik disertai kontrol birokrasi yang terpusat di Kementerian.

“Sebenarnya membonceng kebijakan-kebijakan neoliberalisasi perguruan tinggi belakangan ini. perubahan menjadi BHMN ada perubahan kontraktual menjadi dosen yang tadinya tetap menjadi musiman dan sekarang ini yang paling rumit tidak ada yang tahu kapan kita bisa menjadi guru besar, kapan kita bisa naik Lektor Kepala karena ada kondisi peraturan jabatan fungsional bisa berubah setiap dua tahun dan menimbulkan ketidakpastian terhadap karier akademik dosen (fenomena neoliberalisasi),” tambahnya.

Akibatnya penyeragaman terhadap budaya kerja dilakukan demi menjaga stabilitas politik penguasa. Dosen dipaksa melakukan tumpukan kerja domestik administratif.

“Dibalik ini semua ada politik otoriter yang tumbuh subur menjaga engineering stability. Menjaga stabilitas politik otoriter dengan menjadikan perguruan tingginya menganut pola kerja-kerja liberal. Rangkingnya tinggi, dosennya sibuk melakukan tugas-tugas domestik.” tambahnya.

Jika di Indonesia akademisi ruang geraknya terbatas, berbeda dengan akademisi di Amerika dan Eropa Utara. Belakangan akademisi di negara tersebut megkampanyekan pelanggaran HAM dan genosida di Palestina walaupun mereka direpresi secara digital tapi berani menyuarakan ini ada masalah human rights secara global.

“Akademisi Di Indonesia tidak ada yang memperhatikan ini karena kita disibukkan oleh persoalan domestik,” pungkasnya.

Kebebasan Akademik

Perguruan tinggi idealnya menjadi ruang yang otonom dan progresif untuk melawan sistem kekuasaan yang tidak sehat. Alih-alih mewujudkan hal tersebut, pemaknaan kebebasan akademik di Indonesia masih cukup rumit.

Setidaknya ada tiga pemaknaan akademik yang menimbulkan masalah. Pertama sciencetific freedom yakni dosen bebas mengajar, meneliti, dan publikasi kemudian melaporkan secara administratif.

“Dalam bahasa lain dosen adalah birokrat (mengerjakan tugas dan melaporkan),” ujarnya.

Makna kedua adalah kebebasan akademik dengan perspektif utilitarian pragmatic. Artinya dosen harus bebas mengajar, meneliti, namun harus fokus menyiapkan lulusan atau mahasiswa yang siap kerja.

Terakhir, sebagai perspektif kepublikan atau demokrasi, tugas akademisi sejatinya memfasilitasi persoalan sosial ekonomi politik. Akademisi dan universitas adalah rujukan moral warga negara.

“Yang menjadi problem adalah pemaknaan atas kebebasan akademik terutama di Indonesia berhenti di kategori satu dan dua. Direduksi menjadi kebebsan otonomi akademik dalam mengembangkan IPTEK dosen bebas tapi harus bertanggung jawab. Mayoritas memahami kebebasan akdemik sebagai kebebasan scientific bukan yang bervisi kepublikan, implikasinya ketika ada represi negara terhadap akademisi untuk berbicara diluar kewenangannya itu dianggap tidak masalah itu tidak masuk dalam kebebasan akademik,” ucap Prof. Masduki.

Sementara pada jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia justru fokus pada tingkat pemaknaan kedua, dan minim ilmu yang memberdayakan.

“Ilmu yang diarahkan murni scientific dan belakangan diarahkan ke utilitarian tapi tidak diarahkan sebagai ilmu yang memberdayakan alumninya memberikan otonomi alumninya. Aktivis kebebasn pers jarang dari lulusan Ilmu Komunikasi. Komunikasi selalu berhubungan dengan kuasa, era kolonialisme sebagai propaganda, era pembangunan Soeharto sama, sekarang Ilmu Komunikasi sebagai agen propaganda bisnis platform digital,” ujarnya lagi.

Catatan Rekomendasi

Setidaknya ada tiga catatan rekomendasi dalam menanggapi persoalan tersebut antara lain:

“Pertama perlu otoritas pendidikan, kemeterian baik institusi dibawahnya untuk berupaya keras mengembalikan Haluan pendidikan kita supaya sesuai dengan konstitusi agar mencerdaskan kehidupan bangsa bukan justru membodohkan.”

“Kedua, akademisi perlu menjaga kewarasan jangan sampai menjadi intelektual yang berkolaborasi tanpa kritik dengan pihak yang selama ini melakukan represi. Perguruan tinggi perlu segera meninjau berbagai standar penyelenggaraan kebebasn akademik. Banyak yang buat tapi tidak ada yang demokrasi.”

“Terakhir, kita perlu satu gerakan global (global movement) karena ada terminologi yang disebut the suistanibility of academic life. Perlu ada keberlanjutan kehidupan akademik yang sehat yang diawali kesadaran bahwa (foucalt) pengetahuan diciplinary power discourse bahwa pengetahuan akademi perguruan tinggi itu bukan sebagai alat untuk penundukan kritisisme politik. Dia bukan hanya homoeconomicus tapi homo ploticus yang kritis dan otonom.”

Gen Z
Reading Time: 4 minutes

Pergulatan argumen soal Pemilu 2024 masih memanas di media sosial. Meski dipastikan hanya satu putaran, para pendukung lainnya seolah masih berharap ada keajaiban dua putaran dalam pemilihan presiden dan wakil presiden untuk periode selanjutnya.

Selain dugaan kecurangan dalam perhitungan suara, kini muncul lagi budaya saling menyalahkan antar pemilih. Pemilih pemula yang didominasi Gen Z dinilai tak mempertimbangkan gagasan dari kandidat, melainkan hanya fomo atau the fear of missing out. Komentar saling sindir terjadi di akun media sosial yang merilis data dan fakta.

Secara umum fomo adalah perasaan takut tertinggal terhadap tren tertentu. Sementara dalam kaitan politik dan Pemilu 2024 Gen Z dianggap memilih salah satu paslon karena masifnya tren di media sosial yang berkaitan dengan kampanye-kampanye unik.

Dari tren tersebut muncul idolisasi figur politisi yang cenderung bias. Sementara dari tiga paslon, kampanye citra “Gemoy” dari Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming memenangkan pasar, dibanding k-popisasi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar ataupun El-chudai dari Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD.

Citra Gemoy terbukti paling banyak dipilih oleh Gen Z berdasarkan riset yang dilakukan oleh Litbang Kompas, semakin muda usia pemilih, ketertarikan kepada paslon Prabowo-Gibran semakin kuat. Tercatat 65,9% Gen Z yang berusia kurang dari 26 tahun memilih pasangan tersebut. Sementara 16,7% memilih Anies-Muhaimin, dan 9,6% memilih Ganjar-Mahfud MD. Sisanya merahasiakan pilihannya.

Sayangnya ditengah-tengah penghitungan suara yang dilakukan KPU para pendukung saling serang dan menyalahkan Gen Z atau pemilih pemula yang disebut fomo. Hal ini mengacu pada deretan selebritas dan influencer tanah air yang turut mendukung pasangan tertentu. Di media sosial mereka tampak begitu aktif dalam keseruan kampanye yang dilakukan paslon. Tak hanya itu stigma akademisi yang turun gunung dianggap sebagai buzzer hingga partisan oleh pendukung salah satu paslon.

Perdebatan Gen Z Dianggap pemilih Fomo

Perdebatan dan narasi fomo dapat dilihat di beberapa unggahan di media sosial, sebut saja unggahan Narasi Newsroom di Instagram yang memuat Exit Poll Litbang Kompas. Dari deretan komentar, pengguna terbelah menjadi dua kubu yakni pemenang dan pendukung dua paslon yang kalah.

Salah satu pemilih pemula menyuarakan alasannya terkait mengapa ia memilih pasangan dengan citra Gemoy. Dalam komentarnya ada gagasan yang ia yakini soal kredibilitas dan netralitas masing-masing paslon.

Saya baca semua komentar saya tau dari semua komentar ini adalah yang memiliki 01 dan 03. Kebanyak komentar menyalahkan anak muda yang korban FOMO. saya anak muda dan ini adalah pertama kali saya nyoblos. Saya gak banyak paham soal politik tapi jika di tinjau dari setiap paslon semua memiliki kekurangan dan saya merasa 02 adalah yang paling netral,” tulis akun @lecilover.

“Gw gen Z, Intinya 01 mabok agama ,02 netral wlpun bnyk isu2 NY ,03 gw GK suka partai NY .udh simpel ny gitu,” tambah akun @ihya_fahlevi.

Sindirin terus muncul, terkait pemilih salah satu paslon dengan membandingan antara memilih berdasar pengetahuan atau hanya fomo belaka.

“Gw pilih yg berwawasan,, Mereka pilih yg gak punya gagasan Gw pilih pendidikan gratis,, Mereka pilih makan gratis. Gw pilih yg cerdas,, Mereka pilih yg gemoy. Gw pilih yg rajin ngaji,, Mereka pilih yg bisa joget. Gw pilih yg naikkan gaji buruh,, Mereka pilih yg naikkan gaji pejabat. Level kita emang beda,” tulis @alzain.68

“Semakin muda, semakin absurd juga alasan milihnya: gemoy,” tandas @nevy_elysa.

Akademisi Merespon Fenomena Fomo dan Dugaan Partisan

Di tengah pro kontra soal fomo, Guru Besar Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Prof. Masduki menjelaskan fenomena fomo mencerminkan sebagai bentuk bahwa masyarakat belum mendapatkan informasi yang memadai.

“Soal fomo tentu memprihatinkan karena mereka belum terpepar informasi yang memadai terkait paslon presiden tiga pasang itu. Ini artinya ada persoalan dengan pendidikan pemilih idealnya siapapun pemilihnya memilih setelah memperoleh informasi yang memadai. Kalau ada tren mereka lebih memilih karena fear of missing out, artinya kita belum memasuki era dimana masyarakat well inform pada Pemilu,” jelas Prof. Masduki.

Namun ia menjelaskan jika ada perdebatan argumen yang menguatkan memilih salah satu paslon dan menolak dianggap fomo artinya mereka memang memiliki argument yang empiric.

“Justru kalau ada perdebatan mereka merasa tidak didasari dengan fomo tapi ada yang relate dari paslon sehingga mereka pilih berarti ini menarik, kalau benar yang memilih karena ada argumen empiric mengenai performa misalnya janji-janji program ini sebenarnya bagus. Tapi overall, perdebatan di medsos yang kita lihat sebagi keriuhan yang belum tentu mencerminkan perdebatan di offlinenya kita lihat saja bagaimana ujungnya,” tambahnya.

Terkait idolisasi figur politisi yang terus diramaikan oleh deretan selebritas dan influencer tanah air hingga menganggap akademisi sebagai buzzer dan menyerang paslon tertentu menurut Prof. Masduki bahwa pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Guru Besar adalah tugas untuk menyampaikan pesan moral. Anggapan buzzer dinilai keliru.

“Bagaimana akademisi itu dianggap buzzer, partisan kalau ini ditunjukkan kemarin membuat petisi Guru Besar itu keliru. Karena kita bisa melihat dari pernyataan-pernyataan mereka yang itu lebih menekankan pada moralitas dalam berpolitik, etika, satu demokrasi yang harusnya dilaksanakan dengan baik itu artinya pesan-pesan moral yang menjadi tugas akademisi disitu. Keliru kalau mereka diam, jadi harusnya akademisi berbicara namun di level bagaimana menegakkan prinsip-prinsip bagaimana nilai moral etika dalam pemilu sebagaimana kita berdemokrasi secara baik yang itu dilandasi oleh keprihatinan sebelumnya perilaku-perilaku dari Presiden Jokowi yang melanggar etik,” jelasnya menanggapi isu buzzer yang dilayangkan netizen kepada akademisi.

Tak hanya menegakkan etika dan moralitas, ada latar belakang yang mendasari jajaran akademisi untuk turun sebagai bentuk ekspresi sebagai perannya sebagai penjaga moral.

“Jadi ada latar belakangnya, ada bentuk ekspresinya yang sebenarnya relate yang menunjukkan bahwa mereka bukan buzzer tapi menunjukkan komitmen dan perannya penjaga moral dari kampus. Beda kalau buzzer mereka cenderung mendukung misalnya secara to the point kepada siapa. Kalau kita lihat moralitas pesan yang dikemukanan Guru Besar itu berlaku kepada semua paslon, kepada Pak Jokowi dan seluruh elit politik. Momennya saja terkait Pilpres tetapi sesungguhnya itu harus disampaikan secara terus menerus,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Profesor
Reading Time: 2 minutes

Istilah pecah telur menjadi kata yang diucap berkali-kali pasca kabar bahagia dari civitas akademik Universitas Islam Indonesia (UII) khususnya di lingkungan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB). Setelah 28 tahun berdiri, akhirnya November 2023 salah satu dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi berhasil meraih gelar tertinggi profesor.

Prof. Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si. menjadi Guru Besar pertama di Prodi Ilmu Komunikasi sekaligus di FPSB.

Dalam agenda Penyambutan Profesor Baru FPSB UII pada 1 Desember 2023, Prof. Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si. menyampaikan rasa syukurnya atas pencapaian ini. Tak hanya itu, istilah pecah telur turut diungkapkan. Menurutnya pecah telur adalah analogi pencapaian yang telah diupayakan.

“Saya cari-cari di Google apa artinya pecah telur, sesuatu yang lama diupayakan tiba-tiba berhasil disebut pecah telur. Mungkin pecah telur itu effortnya besar jadi dipakai analogi sehari-hari mungkin sesungguhnya ada sejarahnya pencapaian yang upayakan sedemikian rupa tapi akhirnya bisa,” ujar Prof. Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si. saat memberikan sambutan.

Setelah keberhasilan ini, diharapkan deretan dosen yang telah menyelesaikan pendidikan doktoral segera menyusul keberhasilan ini. Prof. Masduki percaya jika setelah ada satu Guru Besar dalam satu Fakultas selanjutnya akan segra menyusul satu per satu.

“Mungkin saya hanya tool-nya sebagai proksinya kita bersyukur bahwa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu memulai periode yang baru karena kita mempunyai satu Guru Besar kemudian berikutnya menyusul biasanya gejalanya begitu, pecah telur itu lalu telurnya pecah semua,” tuturnya.

Alasan ini cukup dikuatkan dengan beberapa dosen di lingkungan FPSB yang telah menjalani beberapa tahapan menuju jabatan Guru Besar.

“Seperti curva akan menanjak, berdoa dan dibantu berjuang mendorong,” tambahnya lagi.

Melansir dari laman resmi uii.ac.id, serah terima Surat Keterangan (SK) Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia pada 27 November 2023 di Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.

Profesor

Kenaikan jabatan akademik profesor kepada Prof. Masduki
Foto: Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D

Dalam prosesi serah terima SK profesor tersebut dihadiri oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D, Ketua Pengembangan Pendidikan Pengurus Yayasan Badan Wakaf (PYBW) UII, Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D., Kepala Bagian Umum Lembaga Layanan Dikti (LLDikti) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta, Taufiqurrahman, S.E., serta Penyelia Sumber Daya LLDikti Wilayah V DIY, Rahman Hakim, S.E.

Pada momen tersebut Rektor UII, menyampaikan pesan terkait pemikiran filsafat klasik ilmu pengetahuan serta kebebasannya. Secara umum kebebasan saintifik erat kaitannya dengan kemandirian individu dalam berpikir, sehingga pengetahuan bisa diaplikasikan untuk kepentingan publik.

“Kebebasan saintifik, ketika dipandu oleh prinsip etis, berkontribusi pada pengejaran pengetahuan yang universal, memberikan manfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan,” tutur Prof. Fathul Wahid di tengah penyampaian materi.

Sebelumnya, Prof. Masduki telah menyelesaikan studi S3 pada tahun 2021 lalu di Institute of Communication and Media Studies, University of Munich Jerman. Melalui SK Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi Nomor 63634/M/07/2023 tentang kenaikan jabatan akademik dosen Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si. resmi dinaikkan jabatannya menjadi Profesor dengan angka kredit sebesar 922.

Klaster riset Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si. yakni terkait dengan Media Policy, Comparative Media System, Public Media and Journalism, dan Media Activism.

 

Penulis: Meigitaria Sanita