Tag Archive for: Gen Z

Perpus

Jika menilik data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), secara umum jenjang sarjana didominasi oleh Gen Z. Hal ini didasarkan pada rentang usia Gen Z di tahun 2023 yakni 11 hingga 26 tahun.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas Gen Z saat ini paling banyak adalah menempuh pendidikan hingga menyiapkan karier. Namun, bagi Gen Z yang menjadi mahasiswa semester akhir tentu kesibukan utamanya adalah menyusun skripsi.

Kira-kira topik apa yang menarik digali oleh Gen Z sebagai bahan penelitian skripsi atau tugas akhir? Salah satu caranya adalah dengan mencari isu yang tepat dan menarik bagi Gen Z dan tentu harus relate dengan kehidupan yang tengah dijalani.

Social issues atau isu-isu sosial menjadi sangat menarik digali oleh Gen Z mengingat karakternya yang cukup unik.

Melansir dari laman Oxford Royale, terdapat tujuh karakter unik yang dimiliki oleh Gen Z. Ciri khas tersebut antara lain Gen Z adalah penduduk asli digital, Gen Z merasa dunia yang ditinggali tidak aman, Gen Z cenderung menerima, Gen Z sangat aware dengan kesehatan, Gen Z menghargai privasi, Gen Z juga memiliki jiwa entrepreneur karena khawatir akan masa depan, hingga mampu menempatkan diri setelah menjadi dewasa.

Jika dikaitkan dengan karakter unik tersebut, berikut beberapa social issues yang berkaitan dengan Gen Z dilansir dari laman The Annie E. Casey Foundation (AECF), salah satu lembaga sosial di Amerika Serikat yang fokus menangani isu keluarga, ekonomi, dan anak.

5 Social Issues yang Relate untuk Skripsi Gen Z

  1. Isu Health Care

Health care atau perawatan kesehatan termasuk menjadi masalah utama bagi Gen Z. Riset-riset yang dapat digali antara lain terkait rencana asuransi, efisiensi layanan kesehatan, dan banyak isu lainnya.

Selain itu tren menggunakan layanan kesehatan online ternyata menjadi habit bagi Gen Z. Perusahaan Fierce Healthcare di Amerika menyebut, Gen Z lebih nyaman berbagi informasi pribadi secara virtual.

  1. Mental Health

Data dari American Psycological Association menunjukkan 35 persen Gen Z yang disurvei melaporkan kondisi kesehatan mental memburuk selama pandemi Covid-19. Kesehatan mental Gen Z yang memburuk terjadi karena beberapa alasan termasuk karena berita-berita buruk di dunia. Tentu isu ini dapat digali dalam perspektif kajian Ilmu Komunikasi

  1. Pendidikan Tinggi

Gen Z juga sangat memperhatikan isu pendidikan tinggi. Tak hanya berpendidikan tinggi, Gen Z juga harus memperoleh keterampilan karier. Tumbuh di era digital, wajib bagi gen Z untuk bekerja secara kreatif, praktis, dan melek teknologi. Untuk itu duduk diam mendengarkan dosen dalam kelas saja tampaknya tak akan cukup. Isu ini juga berkaitan dengan ekonomi dan masa depan karier. Isu ini cukup menarik jika dikaji dengan perspektif Ilmu Komunikasi.

  1. Racial Equality

Racial Equality atau kesetaraan ras menjadi masalah sosial utama bagi Gen Z. Tak heran jika Gen Z sangat menyadari kesenjangan antar ras dan etnis. Mereka lebih positif memandang keberagaman dibanding dengan generasi sebelumnya. Melihat keberagaman di Indonesia, tentu isu ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dengan berbagai perspektif ilmu, termasuk kajian Komunikasi.

  1. Lingkungan

Gen Z sangat peduli dengan lingkungan. Ancaman perubahan iklim adalah bahaya bencana yang akan berdampak besar dalam kehidupan.

Menurut survei First Insight, Inc., platform analisis prediktif ini menemukan bahwa 73 persen responden Gen Z tidak keberatan membayar lebih mahal untuk produk yang berkelanjutan. Tak hanya itu, akhir-akhir ini kajian Komunikasi lingkungan juga menjadi isu yang diseriusi oleh prodi Ilmu Komunikasi UII, bahkan ada beberapa dosen yang fokus dengan riset tersebut.

Itulah beberapa social issues yang relate dengan kehidupan Gen Z dan cocok menjadi bahan skripsi. Bagaimana menurutmu Comms, tertarik dengan isu apa?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Typing ganteng

Ada saja hal baru yang mengiringi perjalanan Gen Z di media sosial, terutama soal typing atau cara mengetik. “Typing ganteng” atau “typing cantik” adalah tren yang menjadi identitas dan perjalanan Gen Z di media sosial.

Kronologi kemunculan istilah typing ganteng bermula sekitar tahun 2019 dipopulerkan oleh Ivan Lanin, seorang yang melabeli dirinya sebagai Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia. Ivan membagikan ilmunya terkait tata bahasa Indonesia sesuai EYD melalui Twitter dan berbagai platform media sosial lainnya.

Mengutip definisi dari Oxford English Dictionary, typing adalah kegiatan menulis atau menyalin dengan menggunakan mesin ketik. Sementara pada kondisi saat ini kegiatan typing dilakukan dengan laptop, komputer, hingga smartphone.

Sementara typing ganteng yang dipopulerkan Ivan Lanin didefinisikan sebagai gaya menulis atau chat yang rapi sesuai kaidah penulisan EYD agar enak dibaca. Berkat mempopulerkan typing ganteng, Ivan Lanin dijuluki sebagai Bapak Typing Ganteng Nasional.

Lantas mengapa Gen Z kini memilih untuk mengikuti tren typing ganteng di media sosial? Menurut salah satu mahasiswa Sastra Inggris Universitas Brawijaya, Rida Bawa Carita yang merupakan Gen Z menyebutkan alasan mengikuti tren typing ganteng agar tak dianggap sebagai sosok yang tertinggal.

“Agar lebih kerasa santai (typing ganteng), soalnya kalau typing alay merasa chattingan dengan orang yang tertinggal banget. Kita sudah 2023 dia masih 2010,” ungkapnya.

Mahasiswa Sastra Inggris itu menyebut, typing ganteng wajib dilakukan kepada orang yang baru saja ia kenal untuk menciptakan kesan positif.

Typing ganteng untuk yang baru kenal, minimal tidak chat “aku” dengan “aq”. Minimal sesuai EYD,” tambahnya.

Hal ini juga diamini oleh Iven Sumardiyantoro selaku Gen Z awal yang lahir di tahun 1997. Ia berani melakukan typing alay ketika bersama sahabatnya, sementara bersama pacarnya yang sama-sama Gen Z wajib typing ganteng.

Typing alay hanya sama sahabat dekat, kalau sama pacar typing ganteng. Dia (pacar) selalu chat sesuai EYD, menulis nama dengan awalan huruf kapital,” ujarnya.

Dalam berbagai artikel populer yang diterbitkan oleh beberapa portal media online menyebut bahwa typing ganteng adalah tips untuk mendapatkan citra positif dalam langkah pendekatan dengan gebetan.

Seperti dalam artikel yang terbit pada Kumparan.com berjudul “Pengertian Typing Ganteng dan Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan agar PDKT Lancar” lalu artikel berjudul “Apa Sih Arti Typing Ganteng? Benarkah Bisa Bikin Netizen Jatuh Hati?” pada portal Grid Kompas Gramedia, hingga “7 Cara Typing Ganteng yang Bikin Lancar PDKT Sama Cewek Gen Z” di laman IDN Media yang memberi framing bahwa cara mengetik yang baik dan benar akan memberi kesan positif dan tidak berlebihan di mata calon gebetan.

Selain berbagai artikel tersebut, viral di TikTok berbagai kalimat “muka gak harus ganteng, tapi kalau typing harus ganteng” yang telah ditonton 1,9 juta pengguna TikTok, “ganteng itu bonus, typing ganteng itu harus” yang ditonton sekitar 2,8 juta pengguna TikTok.

Typing ganteng identitas bagi Gen Z?

Jika menulis dengan gaya alay sempat tren di tahun 2000an hingga 2010 dan menjadi identitas bagi generasi pengguna Facebook awal, tampaknya typing ganteng menjadi identitas Gen Z dalam perjalanan di media sosial.

Mengutip dalam Psychology Today, identitas mencakup nilai yang dianut oleh seseorang yang menentukan pilihan dan keputusan yang diambil. Identitas dalam diri seseorang akan terus berkembang sepanjang hidup berdasarkan pengalaman.

Berdasarkan data yang dipublish GWI, salah satu lembaga market research di Amerika Serikat, menyebut bahwa salah satu karakter Gen Z adalah menggunakan media sosial dengan cara yang unik, 11% Gen Z menyebut bahwa media sosial adalah tempat mencari inspirasi.

Sehingga tren positif dengan typing ganteng ini bisa menjadi motivasi dan inspirasi untuk membentuk citra positif pada diri Gen Z.

Ciri-ciri typing ganteng

Bagi Anda yang masih bingung dengan typing ganteng yang dipopulerkan Ivan Lanin, berikut empat ciri-ciri yang mudah dikenali dan dapat dilakukan agar tak dianggap alay di media sosial.

  1. Tidak menyingkat kata

Ciri utama dalam typing ganteng adalah tidak menyingkat kata. Gunakan kata yang benar sesuai EYD, seperti kata “banget” tidak disingkat “bgt” dan singkatan-singkatan lainnya.

  1. Mengakhiri kalimat dengan titik

Konsep typing ganteng adalah rapi dan enak dibaca, untuk mengakhiri kalimat gunakan tanda titik untuk menampilkan kesan cool dan berwibawa.

  1. Tanda baca sesuai fungsi

Ciri typing ganteng selanjutnya adalah menggunakan tanda baca sesuai fungsi baik seperti koma, titik, tanda seru, hingga huruf yang tidak dobel. Kata “iya” tidak ditulis “iyaaa!”.

  1. Menggunakan kata sesuai EYD bukan kata alay

Typing alay mungkin sangat populer di tahun 2000an awal, namun hal ini benar-benar haram pada konsep typing ganteng. Penulisan kata “aku” bukan “aq” semua kata ditulis sesuai kaidah EYD.

Demikian informasi terkait typing ganteng yang menjadi identitas Gen Z di media sosial. Lantas bagaimana menurutmu, Comms? Apakah typing ganteng akan menjadi identitas yang Gen Z di media sosial?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

AI

Artificial Intelligence (AI) telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Berkat teknologi AI pekerjaan manusia mampu diselesaikan secara efisien. Bahkan fakta terbaru muncul terkait kreativitas AI yang mampu melampaui manusia. Benarkah fakta tersebut?

Berdasarkan laporan dari Future of Jobs Report 2023 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF), keterampilan paling penting bagi pekerja di tahun 2023 adalah keterampilan kognitif untuk berpikir secara analitis dan kreatif. Bahkan disebut-sebut pemikiran kreatif lebih penting jika dibandingkan dengan pemikiran analitis untuk memecahkan suatu masalah.

Fakta terkait kreativitas AI yang berhasil melampaui manusia ini diamini dari hasil riset yang dipublikasikan oleh University of Montana pada Juli 2023. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa AI khususnya GPT-4 terbukti menyamai 1% di atas kreativitas manusia.

Aplikasi AI ChatGPT yang dikembangkan dengan GPT-4 terbukti unggul dalam orisinalitas dengan alat ukur Torrance Test of Creative Thingking (TTCT), sebuah alat ukur yang telah diakui untuk menilai kreativitas.

“Untuk ChatGPT dan GPT-4, kami menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa AI ini berada di posisi 1% teratas untuk orisinalitas. Hal ini merupakan sesuatu yang baru,” ungkap Erik Guzik, asisten profesor Klinis Fakultas Bisnis di University of Montana, dikutip dari laman resmi universitas.

Para peneliti mengirimkan delapan respons yang dihasilkan oleh ChatGPT dan mengumpulkan jawaban dari 24 mahasiswa University of Montana yang tergabung dalam kelas kewirausahaan dan keuangan. Selanjutnya dibandingkan dengan 2.700 mahasiswa (nasional) yang mengikuti TTCT pada tahun 2016.

Hasilnya AI ChatGPT yang dikembangkan GPT-4 berada pada urutan atas dalam hal menghasilkan ide dengan jumlah yang lebih besar, orisinalitas, serta ide-ide baru. Meski demikian AI tak unggul dalam hal fleksibilitas dan jenis atau kategori ide.

“Kami sangat berhati-hati dalam konferensi tersebut untuk tidak menginterpretasikan data secara berlebihan. Kami hanya mempresentasikan hasilnya. Namun kami membagikan bukti kuat bahwa AI tampaknya mengembangkan kemampuan kreatif yang setara atau bahkan melebihi kemampuan manusia,” tuturnya.

Terlepas dari keunggulan ChatGPT dalam tes kreativitas pada mahasiswa, peneliti tetap mengakui perlunya alat yang lebih canggih demi mencari tahu perbedaan antara ide yang diproduksi oleh AI dan manusia.

“ChatGPT memberi tahu kami bahwa kami mungkin tidak sepenuhnya memahami kreativitas manusia, dan saya yakin itu benar. Hal ini juga menunjukkan bahwa kita mungkin membutuhkan alat penilaian yang lebih canggih yang dapat membedakan antara ide yang dihasilkan oleh manusia dan AI,” pungkas Erik Guzik.

Mengutip dari Psychology Today, kelemahan kreativitas AI juga didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Simone Grassini seorang Profesor di Department of Psychosocial Science, University of Bergen. Ia bersama rekan-rekannya menyebut bahwa model bahasa dan data adalah algoritma yang diadaptasi oleh AI yang diperoleh dari internet untuk menciptakan konten baru.

Model bahasa yang besar termasuk OpenAI Codex dan OpenAI LLM untuk chatbot AI ChatGPT (GPT-4 dan GPT-3), GPT-4 untuk chatbot AI Microsoft, Bing Chat, BLOOM oleh HuggingFace, Megatron-Turing Natural Language Generation 530B oleh NVIDIA dan Microsoft, Claude dari Anthropic (untuk chatbot AI Claude 2), LLaMA dari Meta, Salesforce Einstein GPT (Menggunakan OpenAI LLM), PaLM 2 yang mendukung Bard, chatbot AI Google, dan Titan dari Amazon.Psikolog Amerika J.P Guilford dalam teorinya structure of intellect menjabarkan kreativitas sebagai kemampuan pemecahan masalah dideskripsikan menjadi tiga hal yakni kefasihan (ideasional, asosiasional, dan ekspresif), dan fleksibilitas (spontan dan adaptif).

Berdasarkan hasil penelitian dari University of Montana yang menyebut kelemahan AI dalam bidang fleksibilitas, artinya dapat disimpulkan bahwa chatbot AI tidak memiliki konsistensi layaknya manusia.

Tak hanya itu, karya yang diciptakan AI dinilai tak memiliki kekhasan khusus. Hal ini diungkapkan oleh Wahyu Wijayanto salah satu alumni DKV ISI Yogyakarta yang menjalani profesi sebagai desain grafis lebih dari 10 tahun terakhir. Ia menyebut, ada “taste” yang tak bisa dimiliki oleh AI.

“Masih bisa (dibedakan karya AI dan manusia) untuk orang yang sudah tau, bedanya di taste,” ujar Wahyu Wijayanto.

Pesatnya perkembangan dan kreativitas AI baginya justru bukan lagi soal ancaman, melainkan kemudahan yang dapat dimanfaatkan. Namun ia juga menyebut terkadang karena terlalu kreatif AI tampak tak rasional dan mudah dikenali.

“Enggak menganggap sebagai ancaman, kita saja yang harus menyesuaikan. Justru dalam beberapa hal AI memang sangat membantu, tapi masih butuh kontrol dari manusia. Kalau kreativitas iya memang melebihi kemampuan manusia, tapi karena saking lebihnya justru itu gampang dikenali sebagi hasil dari AI. Itu untuk saat ini, gak tau untuk nanti,” pungkasnya.

Lantas bagaimana pendapatmu soal AI, Comms? Kira-kira mampukah AI melampaui pemikiran manusia mengingat teknologi akan selalu berkembang.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

 

 

 

 

Society 5.0

Menghadapi era Society 5.0 tentu membutuhkan persiapan matang, mulai dari keterampilan hingga mental. Lantas bagaimana cara menghadapinya?

Society 5.0 yang digagas oleh Pemerintah Jepang menempatkan masyarakat yang berpusat pada manusia untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan penyelesaian masalah sosial dengan sistem yang saling berintegrasi antara ruang siber dan fisik.

Melansir dari laman resmi Japan Cabinett Office, Society 5.0 merupakan inovasi yang akan mewujudkan masyarakat berwawasan ke depan dan mendobrak stagnansi. Perubahan nyata yang saat ini tengah kita hadapi terkait dengan pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) dalam berbagai bidang.

Konsep Society 5.0 memiliki kaitan erat dengan AI. Besarnya informasi dari sensor di ruang fisik dihimpun di ruang siber selanjutnya dianalisis oleh AI dan hasil analisis tersebut akan dikirim kembali ke manusia dalam berbagai bentuk.

Membahas soal AI, Indonesia menjadi negara paling optimis akan penggunaan teknologi tersebut untuk kegiatan sehari-hari. Berdasarkan survei Ipsos pada Mei 2023, sebanyak 78% masyarakat Indonesia percaya AI membawa banyak manfaat dibandingkan dengan kerugiannya. Negara yang optimis selanjutnya adalah Thailand (74%), Meksiko (73%), Malaysia (69%), Peru (67%), Turki (67%), Korea Selatan (66%), Kolombia (65%), India (65%), dan Brasil (65%).

Kondisi ini juga didukung oleh Pemerintah Indonesia. Kemdikbud menyampaikan pernyataan resmi terkait penyiapan Pendidik Professional di Era Society 5.0 demi SDM unggul.

“Untuk menjawab tantangan Revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 dalam dunia pendidikan diperlukan kecakapan hidup abad 21 atau lebih dikenal dengan istilah 4C (Creativity, Critical Thinking, Communication, Collaboration). Diharapkan guru menjadi pribadi yang kreatif, mampu mengajar, mendidik, menginspirasi serta menjadi suri teladan,” ujar Dwi Nurani, S.KM, M.Si, Analis Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Direktorat Sekolah Dasar yang dikutip pada laman Kemdikbud.

“Menghadapi era society 5.0 ini dibutuhkan kemampuan 6 literasi dasar seperti literasi data yaitu kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital. Kemudian literasi teknologi, memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence, machine learning, engineering principles, biotech). Dan terakhir adalah literasi manusia yaitu humanities, komunikasi, & desain,” tambahnya.

5 Tips Menghadapi Era Society 5.0

Mengutip dari laman Indonesia Baik, ada berbagai cara yang bisa Anda lakukan agar siap menghadapi Society 5.0. Apa saja?

  1. Keterampilan Digital

Pesatnya transformasi secara digital menuntut kita untuk memiliki keterampilan dalam mengikuti kemajuan teknologi. Dengan kemampuan ini, kita akan mampu beradaptasi dengan dinamika lingkungan kerja maupun masyarakat. Keterampilan digital ini melingkupi literasi teknologi, analisis data, inovasi digital, keterampilan komunikasi, keterampilan kewirausahaan, dan lainnya.

  1. Pemahaman Teknologi dan Inovasi

Untuk beradaptasi di era Society 5.0, selain memiliki pemikiran yang terbuka , kita juga harus memiliki pemahaman tren teknologi baru. Teknologi baru misalnya blockchain dan AI yang mampu membantu membuat keputusan lebih efektif dan efisien.

  1. Pendidikan yang Relevan

Demi mengejar era Society 5.0, dibutuhkan wawasan yang luas termasuk soal akses informasi. Untuk bersaing dalam era ini, dibutuhkan pendidikan yang relevan baik formal maupun nonformal. Ada baiknya kita menambah wawasan dengan mengikuti kursus online, seminar, workshop, ataupun pelatihan bersertifikat yang berkaitan dengan minat dan bidang pekerjaan yang kita jalani.

  1. Sikap Adaptif

Percepatan dalam dunia kerja dan masyarakat yang tak terduga dibutuhkan sikap adaptif dalam menghadapi kondisi tersebut. Sikap adaptif termasuk berpikir kreatif, memecahkan masalah, hingga team work. Selain itu kita perlu memiliki kemauan dalam mengembangkan keterampilan baru.

  1. Kesiapan Mental

Percepatan ini tentu membuat kita mudah stres. Maka dari itu, kesiapan mental menjadi hal penting demi menghadapi tekanan yang terjadi pada lingkungan kerja maupun sosial. Kemampuan mengelola emosi, mengatasi stres, dan menjaga kondisi fisik juga menjadi prioritas utama.

Demikian beberapa cara menghadapi era Society 5.0. Bagaimana menurutmu, Comms? Sudah siap menghadapi era ini?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Gen Z

Ada beberapa stereotipe negatif yang melekat pada Generasi Z atau sering kita sebut Gen Z. Generasi yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga 2012 ini konon dianggap kurang mampu bekerja sama dalam dunia kerja. Benarkah begitu?

Dalam data yang dipublish GWI salah satu Lembaga market research di USA disebutkan bahwa 72% Gen Z sangat membatasi diri dalam urusan kehidupan maupun pekerjaan mereka, menolak hustle culture, hingga menganut the soft life (gaya hidup santai dan nyaman) sehingga lebih sering dianggap malas dan kurang mampu bekerja sama dengan tim dalam dunia kerja.

Anggapan negatif lainnya adalah generasi ini rentan terhadap kecemasan. Setidaknya 29% Gen Z mengaku bahwa dirinya memang rentan dengan kecemasan. Hal ini menuai kritik dan anggapan bahwa Gen Z adalah sosok yang baperan.

Terlepas dari judgement tersebut, nyatanya lebih dari 37% mengaku menghargai arahan dari rekan lainnya.

Sebelum jauh memberi label buruk terhadap Gen Z, ada baiknya untuk membaca hasil riset terkait kecenderungan Gen Z dalam dunia kerja yang diterbitkan IDN Research Institue. Hasil riset menunjukkan bahwa Gen Z di Indonesia termasuk sosok yang mau bekerja lembur dan sangat mempertimbangkan waktu ideal dalam sebuah perusahaan tempatnya bekerja demi kestabilan karier.

Fakta-fakta Gen Z dalam Dunia Kerja

  1. Bersedia bekerja lembur

Penolakan soal hustle culture ternyata tak sepenuhnya terjadi pada Gen Z di Indonesia. Justru 67% Gen Z bersedia dan tidak keberatan untuk bekerja lebih lama atau lembur dengan tambahan gaji. Sementara hanya 11% yang menolak untuk bekerja lembuh.

Bahkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2021 menunjukkan, Gen Z bekerja lebih lama dibanding Milenial. Tercatat Gen Z (15-19 tahun) bekerja 44 jam, Gen Z (20-24 tahun) 42 jam, dan Milenial 40 jam dalam seminggu.

  1. Faktor Gen Z memilih pekerjaan

Sering dianggap tak gigih dalam bekerja oleh generasi sebelumnya, ternyata Gen Z cukup memperhatikan prioritas jenjang karier. Setidaknya 64% Gen Z menganggap jenjang karier sangat penting.

Jenjang karier masuk pada urutan kedua alasan Gen Z memilih pekerjaan setelah gaji yang memiliki persentase 80%. Faktor lain yang memengaruhi adalah minat 60%, jam kerja 58%, lokasi 53%, kesesuaian latar belakang pendidikan 49%, dan lingkungan kerja 47%.

  1. Perspektif soal “Work Life Balance”

Gen Z terbukti sangat memilih lingkungan kerja yang mendukungnya untuk sukses, bertumbuh, dan adil. Namun hampir seluruh perusahaan menuntut pekerjanya cepat beradaptasi bukan sebaliknya.

Tercatat 69% Gen Z setuju soal work life balance, sementara hanya 5% Gen Z yang tak setuju dengan perspektif tersebut.

  1. Sistem dan Lokasi Kerja

Work from home (WFH) ternyata masih menjadi dambaan Gen Z dengan persentase 36%. Namun sebanyak 32% tak mempermasalahkan WFH maupun WFO. Sementara 33% memilih WFO karena menganggap tengah membangun relasi dan memulai karier.

  1. Bukan Kutu Loncat?

Label soal Gen Z sebagai kutu loncat atau sering pindah tempat kerja nyatanya tak sepenuhnya benar. Mayoritas Gen Z (88%) percaya setidaknya tiga tahun adalah waktu yang ideal menetap dalam suatu perusahaan.

Sekitar 12% percaya waktu ideal 1-2 tahun, 28% percaya 3-4 tahun, 25% menganggap 5-6 tahun, dan 35% percaya lebih dari 6 tahun adalah waktu yang ideal menetap di perusahaan.

Itulah beberapa fakta terkait karakter dan preferensi Gen Z dalam dunia kerja. Lantas apakah kamu masih memandang Gen Z sebagai sosok yang susah diajak bekerja sama? Gimana menurutmu, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Desain Grafis

Siapa yang tidak tahu klub sepak bola PSS Sleman? Klub asal Sleman DIY itu tengah berjuang di kasta tertinggi sepak bola Indonesia atau Liga 1. Selain memiliki fans fanatik yang solid seperti BCS, Slemania, dan Sleman Fans, klub ini memiliki engagement yang luar biasa melalui media sosial yang dibangun.

Tampilan feed Instagram klub ini tak pernah gagal membuat para fans bangga mengidolakan Super Elang Jawa dan kerap me-repost ke media sosial pribadi masing-masing. Tak hanya itu, salah satu fans menyebut bahwa tampilan grafis Instagram @pssleman selalu menjadi trendsetter bagi klub sepak bola lainnya.

“Menariknya karena design kekinian dan selalu menjadi trendsetter design bagi klub-klub lain. Selain itu ilustrasinya selalu menarik dan informatif,” ucap Bayu Prabowo yang mengaku sebagai Sleman Fans.

Didukung dengan design graphic yang menarik, hal ini menempatkan Instagram PSS Sleman menempati peringkat 10 besar peringkat klub Liga 1 Indonesia dengan jumlah followers Instagram terbanyak. Seperti dikutip dari Katadata.co.id, Instagram PSS Sleman berada di urutan ke-delapan dengan 700 ribu followers (per 19 Juni 2023).

Ternyata, sosok di balik graphic design menarik itu adalah Rosikhul Ilmi. Ia adalah alumni Ilmu Komunikasi UII Angkatan 2016. Berbekal segudang pengalaman dan portofolio menarik, pemuda itu mantap mengikuti seleksi menjadi graphic designer di PSS Sleman sejak tahun 2021.

Rosikhul Ilmi tak hanya bercerita tentang pekerjaannya, ia juga membagikan beberapa tips yang berguna bagi Gen Z yang juga tertarik dengan dunia design. Menurutnya, kecenderungan Gen Z yang ekspresif dan menyukai hal-hal dinamis cocok banget untuk profesi ini.

Penasaran bagaimana proses kerja dan rahasia design graphic PSS Sleman? Berikut hasil wawancara kami dengan Roshikul Ilmi  pada 7 Agustus 2023

Sejak kapan mulai bergabung menjadi bagian PSS Sleman?

“Sejak 2021, bulannya lupa. Yang pasti ketika sepak bola Liga 1 mulai musim 2021/2022.

Bagaimana tipsnya agar dilirik oleh klub PSS Sleman?

“Waktu itu sih masuk lewat proses open recruitment, ada bukaan lowongan untuk desainer grafis ya udah coba-coba saja. Kalau untuk tipsnya yang pasti portofolio karya sangat berpengaruh. Alhamdulillah waktu kuliah saya lumayan punya banyak portofolio karya waktu bergabung dengan berbagai event git. Jadi waktu apply di PSS bisa saya pamerin itu portofolio-portofolionya.”

Apakah pekerjaan ini sesuai dengan bidang minat atau passion?

“Iya, sejalan dengan minat saya di bidang desain visual.”

Demi menghasilkan desain yang menarik, apa tantangan dan solusinya?

“Untuk tantangannya, menurut saya pribadi itu desainer grafis pasti dituntut untuk selalu menciptakan karya yang fresh dan baru agar audiens tidak bosan. Jadi proses mencari idenya itu yang menjadi tantangan. Selain itu, tugas utama desainer grafis juga salah satunya adalah untuk menyampaikan pesan ke dalam elemen grafis, jadi biar pesan lebih gampang dipahami sama audiens. Percuma desainnya bagus-bagus tapi pesan yang mau disampaikan malah gak efektif. Nah cara kita mengolah dan membungkus pesannya itu juga jadi tantangan.”

Soal flow kerja, apakah ada target dan berapa desain yang harus diselesaikan dalam satu hari?

“Nah, bedanya pekerjaan bidang sepak bola dan industri-industri lain salah satunya adalah flow kerja yang sangat cepat. Contoh kalau sepak bola, misal sore ini ada daftar pemain yang akan bertanding nanti sore, bisa aja setengah jam selanjutnya itu daftar pemainnya berubah lagi karena ada yang cedera. Bisa dibilang juga kami gak ada jadwal atau agenda yang saklek karena semuanya bisa berubah kapan saja. Jadi untuk flow kerja cepat banget. Untuk target gak ada, kerjaan saya sebagai desainer grafis itu ngikutin agenda dari tim, jadwal-jadwal pertandingannya, jadwal latihannya dan sebagainya. Ya bisa dibilang fleksibel sih, gak ada yang saklek.”

Kalau boleh tahu, apa saja job desc kamu?

Job desc saya membuat semua kebutuhan-kebutuhan grafis di media sosial, konten-konten Instagram, thumbnail YouTube, grafis match promotion ketika menjelang pertandingan, kadang bikin konten gambar ilustrasi-ilustrasi juga untuk di media sosial.”

Tips kerja cepat dan efektif bagi graphic designer?

“Setiap awal musim itu kami pasti bikin kaya sejenis panduan grafis gitu, graphic guideline untuk 1 musim ke depan. Pemilihan font, pemilihan warna, dll. Jadi ya itu mempermudah juga buat kerja cepet.”

Kalau boleh tahu ada berapa graphic designer di klub PSS Sleman?

“Desainer grafis di tim kami ada 3. Saya sendiri tanggung jawab di bagian media sosial utama, ada yang fokus untuk sosial media di tim muda (Akademi PSS), sama satu lagi fokus untuk kebutuhan PSS Store.”

Apakah pekerjaan ini cocok bagi Gen Z yang cenderung dinamis dan ekspresif? Dan apakah kamu wajib ngantor?

“Cocok, apalagi ini industri olahraga gak bosenin soalnya, asik juga. Kalo pertanyaannya wajib ngantor apa engga? Untuk divisi saya sendiri kan media, nah itu kerjanya fleksibel soalnya kadang ngikut tim juga kan jadi gak bisa selalu di kantor. Ya fleksibel sih, yang penting presensi dan kerjaan beres.”

Itulah hasil perbincangan dengan sosok di balik design menarik klub PSS Sleman. Gimana, kamu tertarik untuk menjadi graphic designer seperti Rosikhul Ilmi? Yuk optimalkan selagi belajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII ya, Comms.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Peluang kerja jurusan Ilmu Komunikasi

Memilih jurusan Ilmu Komunikasi ternyata memiliki peluang pekerjaan yang menjanjikan bagi Gen Z. Bukan tanpa alasan, digitalisasi menjadi salah satu faktor yang memperluas peluang. Hampir semua konten yang kita konsumsi di internet bisa dikerjakan oleh lulusan sarjana Ilmu Komunikasi.

Lantas apa saja peluang pekerjaan lulusan sarjana Ilmu Komunikasi yang relate dengan karakter Gen Z?

Berdasarkan data dari Kemdikbud, Gen Z adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1997-2012. Artinya Gen Z adalah mereka yang saat ini berusia 11 hingga 26 tahun. Gen Z juga disebut sebagai masyarakat digital, mereka telah terpapar internet, jejaring seluler sejak dini. Hal ini membentuk generasi hiperkognitif yang nyaman mencari referensi dari berbagai sumber baik pengalaman virtual maupun offline. Hal ini juga mempengaruhi kecenderungan Gen Z terkait jenis pekerjaan yang akan dipilih.

Riset yang dilakukan Deloitte menyebutkan bahwa Gen Z menyukai pekerjaan yang fleksibel dan dapat dikerjakan kapanpun dan di manapun tanpa harus pergi ke kantor. Tak hanya itu, Gen Z menyukai pekerjaan yang dinamis dan banyak tantangan.

Ternyata, kemungkinan-kemungkinan pekerjaan yang tak perlu dilakukan di kantor sangat relate dengan beberapa skill yang didapatkan jika Anda mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.

Hal ini dikonfirmasi oleh Iven Sumardiyantoro, salah satu Gen Z yang berprofesi sebagai videographer. Ia menyebut banyak side job yang dikerjakan berbekal dari skill yang didapatkannya selama berkuliah jurusan Ilmu Komunikasi.

“Gen Z tipe bosenan menurutku karena suka tantangan dan hal baru tidak bisa stay di satu tempat, tapi saya tipe yang loyal. Rata-rata Gen Z kerjaannya freelance dan banyak side job. Aku videographer dan editor, aku kerja kantoran dan punya side job,” ungkap Iven.

Pemuda 26 tahun itu cukup percaya diri mengambil berbagai side job karena benar-benar relate dengan keterampilan yang dimilikinya.

Relate banget (dengan jurusan Ilmu Komunikasi) Gen Z itu generasi yang ekspresif cocok banget sama ilmu komunikasi dengan dunia digital,” tambahnya.

Sosok Gen Z lain yang setuju dengan pernyataan tersebut adalah Zaidan yang berprofesi sebagai graphic designer. Ia berani mengambil pekerjaan di luar jurusan semasa kuliah karena merasa tertarik. Memulai dari dasar dan banyak belajar dengan beberapa temannya yang berasal dari jurusan Ilmu Komunikasi untuk mengembangkan skill.

“Saya desainer grafis, mengambil bidang ini yang di luar jurusan karena tertarik dengan dunia editing. Skill justru banyak saya dapatkan dari teman-teman di jurusan Ilmu Komunikasi yang fokus pada bidang minat kreatif. Dengan minat ini saya juga merasa mudah berkembang, selain itu skill ini ternyata banyak dibutuhkan. Jadi saya tidak salah pilih,” sebut pemuda 23 tahun itu.

Secara umum, beberapa jurusan Ilmu Komunikasi akan mempelajari Public Relations (PR), Jurnalistik, Kajian Media, dan Media Kreatif. Lantas pekerjaan apa saja yang menjadi peluang emas bagi Gen Z lulusan sarjana Ilmu Komunikasi?

  1. Digital Content Producer

Sepertinya profesi ini menduduki posisi pertama yang cocok bagi Gen Z setelah mendapat gelar sarjana Ilmu Komunikasi. Pesatnya platform digital menuntut semua organisasi merekrut digital content producer. Outputnya adalah produksi konten untuk website, media sosial, hingga materi pemasaran.

Pekerjaan yang dilakukan digital content producer:

  • Riset audiens
  • Kerja kolaboratif dengan semua creator
  • Membuat konten digital
  • Mengedit dan mengoreksi
  • Memelihara dan memperbarui sistem manajemen konten

Dalam sistem kerja yang dibangun digital content producer keterampilan fotografi, videografi, penulisan, hingga desain menjadi penunjang utama.

  1. Copywriter dan Content Writer

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi tentu tidak akan asing dengan pekerjaan ini. Skill menulis yang didapatkan selama masa kuliah akan sangat berguna. Menjadi copywriter maupun content writer membutuhkan ide dan kreativitas yang tinggi. Namun, Anda tak akan bosan karena pekerjaan ini bisa dikerjakan di mana saja. Profesi ini sangat dibutuhkan oleh agensi pemasaran, media, perusahaaan, dan organisasi lainnya.

Pekerjaan yang dilakukan copywriter dan content writer:

  • Menulis naskah dengan menarik
  • Edit dan proofread
  • Menciptakan keunikan brand lewat tulisan
  • Riset audiens dan topik
  • Riset SEO
  • Kolaborasi dengan desain grafis dan divisi pemasaran

Pekerjaan ini menuntut Gen Z untuk cepat beradaptasi, detail dan kreatif, serta memiliki jiwa riset yang tinggi.

  1. Social Media Manager

Secara umum pekerjaan ini termasuk pendatang baru dalam dunia komunikasi karena perkembangan media dan digitalisasi. Social media manager bertanggung jawab mengkurasi seluruh platform media social suatu perusahaan ataupun organisasi.

Pekerjaan yang dilakukan social media manager:

  • Memantau, memoderasi, dan menanggapi komentar audiens
  • Mengelola kemitraan media social
  • Kampanye pemasaran digital multi-platform
  • Menganalisis dan mengatur strategi media sosial

Bagi Gen Z yang tertarik dengan pekerjaan ini tentu sangat relevan, kebiasaan memantau media sosial bisa menjadi modal besar. Selain sistem kerja yang kolaboratif, pekerjaan ini juga membutuhkan skill riset audiens. Tenang, pekerjaan ini cukup fleksibel dikerjakan di mana saja.

  1. Bidang Public Relations (PR)

Public Relations (PR) adalah bagian penting yang ada pada setiap organisasi dan bekerja sebagai pemecah masalah dan bertindak cepat dalam menangani krisis yang terjadi pada sebuah organisasi. Menjadi PR sangat tepat bagi Gen Z yang mudah bosan dan menyukai tantangan. Profesi PR dibutuhkan pada sektor pemerintah, perusahaan, media dan LSM.

Pekerjaan yang dilakukan PR:

  • Menjalin dan menjaga hubungan dengan para stakeholder organisasi
  • Merancang dan mengembangkan materi media
  • Manajemen acara
  • Mengevaluasi opini publik
  • Mengelola masalah dan krisis organisasi.

Menjadi PR artinya harus percaya diri untuk tampil di depan publik serta mengikuti perkembangan dan tren media.

Demikian beberapa peluang pekerjaan yang cocok bagi Gen Z setelah mendapat gelar sarjana Ilmu Komunikasi. Kira-kira tertarik yang mana nih?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

HP jadul

Generasi Z di Amerika Serikat saat ini sedang ramai berburu handphone jadul. Akibat tren ini perusahaan HMD Global yang memproduksi ponsel Nokia terus menjual HP jadul yang mirip keluaran tahun 2000-an hingga jutaan perangkat. 

Tercatat sejak tahun 2022 HMD Global mengalami peningkatan penjualan HP jadul dengan puluhan ribu terjual setiap bulan.  

HP jadul termasuk ponsel flip atau slide yang kini dicari memiliki fitur tambahan GPS atau hotspot. Lantas apa alasan utama Gen Z di Amerika Serikat memilih HP jadul? Sementara di Indonesia kini tengah berlomba-lomba membeli smartphone keluaran terbaru. 

Gen Z yang lahir pada rentang tahun 1997-2012 saat ini berusia 11 hingga 26 adalah generasi pertama yang tumbuh pada evolusi teknologi pintar. Artinya smartphone telah menjadi aksesoris sehari-hari bagi mereka. 

Kondisi ini yang membuat Gen Z di Amerika Serikat merasa bosan dan beralih menggunakan HP jadul. Pernyataan ini diungkapkan oleh Jose Briones seorang influencer asal Colorado Amerika Serikat. Selain bosan, dampak terhadap kesehatan mental juga menjadi alasan utama. 

“Saya rasa Anda bisa melihatnya pada populasi Gen Z tertentu – mereka bosan dengan layar. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan kesehatan mental dan mereka mencoba mengurangi penggunaan ponsel.” Ungkap pemuda 27 tahun kepada CNBC. 

Gen Z yang biasanya beralih ke doomscrolling untuk mendapatkan kenyamanan, secara sukarela kembali ke tahun 2000-an untuk berlindung dari ekonomi konsumen yang merajalela. 

“Saya pikir saya ingin mendapatkan [saya kira] rasa lebih terhubung dengan teman dan keluarga saya. Dan kemudian saya juga hanya ingin mengurangi waktu di depan layar,” ujar reporter Buzzfeed berusia 23 tahun, Fjolla Arifi, kepada ABC News, setelah secara ketat menggunakan ponsel flip selama seminggu. 

Kebiasaan Gen Z yang menonton video di smartphone hampir 7,2 jam setiap hari, terpaku dengan estetika feed Instagram yang dikurasi membuat waktu dan kesehatan mental mereka terganggu. 

“Kami menyadari bahwa setiap masalah yang kami alami saat keluar malam, semua hal yang membuat kami menangis, semua hal yang membuat kami bersenang-senang, berawal dari ponsel kami,” jelas pengguna TikTok @skzzolno tentang alasan mengapa ia dan teman-temannya hanya membawa ponsel mereka. 

Selain alasan tersebut mereka ingin mengenang masa ketika teknologi tidak sepenuhnya memakan waktu, tetapi hanya sebagai aksesori.  

Alasan ini sesuai dengan hasil penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Experimental Psychology: Applied. Pada penelitian tersebut menyebutkan tiga poin penting terkait durasi menggunakan smartphone terhadap kesehatan mental. 

Pertama, mengurangi penggunaan smartphone hanya satu jam sehari selama seminggu dapat meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi kecemasan hingga depresi. 

Kedua, memantau penggunaan smartphone dan bagaimana dampaknya dapat membantu kita menciptakan perubahan positif. 

Namun temuan ketiga ini cukup menarik bahwa menghentikan penggunaan smartphone sepenuhnya ternyata tidak begitu bermanfaat bagi kesehatan mental. 

“Menurut penelitian, perubahan sadar dan terkendali dari waktu harian yang dihabiskan untuk menggunakan smartphone dapat berkontribusi pada kesejahteraan subjektif – lebih sedikit gejala depresi dan kecemasan, kecenderungan penggunaan yang lebih sedikit, lebih banyak kepuasan hidup – dan gaya hidup yang lebih sehat, [termasuk] lebih banyak aktivitas fisik, [dan] lebih sedikit perilaku merokok, dalam jangka panjang,” kata Yalda Safai, MD, MPH, seorang psikiater di New York. 

Tren ini turut menyumbang data merosotnya pengiriman smartphone global di tahun 2022 yang mencapai 1,2 miliar unit yakni sekitar 11,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sementara Gen Z di Indonesia kini tengah berburu smartphone terbaru seperti iPhone 13 dan iPhone 14 ternyata juga tak terlalu mendongkrak pembelian smartphone di Indonesia. Berdasarkan laporan International Data Corporation (IDC) pasar smartphone di Indonesia tahun 2022 juga alami penurunan hingga 35 juta unit atau sekitar 14,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun penurunan di Indonesia ini terjadi karena faktor ekonomi seperti inflasi sehingga berdampak pada daya beli konsumen. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita