Tag Archive for: film dokumenter

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 2 minutes

Kaliurang Festival Hub seri ke-5 mengambil tema Kabar Tepi Laut. Tema ini dipilih karena sesuai dengan film-film yang telah dikurasi dan akan ditayangkan selama dua hari mulai 27 Juni hingga 28 Juni 2024 di Gedung Rav prodi Ilmu Komunikasi UII.

Dengan tema Kabar Tepi Laut, kolaborasi dilakukan bersama Festival Film Bahari yang berumah di Cirebon. Digawangi oleh Kemala Astika dan Doni Kus Indarto, pihaknya bersama Kaliurang Festival Hub sepakat menayangkan tiga film bertemakan bahari atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tema laut. Tiga film tersebut berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip.

Di hari pertama pembukaan, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII menyampaikan apresiasi kepada para pegiat yang tergabung. Kaliurang Festival Hub mampu membuktikan keberlanjutannya sebagai ruang pertemuan berbagai gagasan hingga diskusi.

“Kalfes Hub menjadi ruang pertemuan berbagai gagasan, ide-ide, diskusi seperti hari ini. dan ini menjadi tradisi jika kita urut ke belakang ini sudah yang kelima yang berarti kita sudah melakukan pembuktian bahwa acara ini berkelanjutan. Apresiasi untuk Pak Gunawan dan Pak Zaki,” ujar Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Beliau juga menceritakan sedikit perjalanan Kaliurang Festival Hub yang selalu membawa tema-tema beragam pada setiap serinya. Mulai isu sosial, lingkungan, hingga ekonomi politik.

Pada kesempatan yang sama, Festival Hub Programmer yakni Dr. Zaki Habibi berharap, kerja-kerja yang dilakukan bersama pegiat lainnya menjadi informasi dan data yang suatu saat bisa dijadikan berbagai bahan penelitian yang memberi warna baru.

“Sejak tahun lalu posisi kami sebagai pengumpul informasi atau pengumpul data tentang festival-festival lain yang ada di Indonesia. Untuk kali ini festival dari Cirebon, jangan heran festival tidak harus dari kota besar gemerlap. Mimpi Kalfest Hub atau Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam jangka panjang siapapun yang pengen tahu tentang festival film bisa datang ke sini, data-data ini terkompilasi oleh teman-teman pegiat dan suatu saat akan terpublikasi sebagai kompilasi tertentu di PDMA Nadim,” ungkapnya.

Preview Film

Secara umum film Perahu Sandeq merupakan genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat. Budaya bahari dalam Sandeq atau kapal bercadik merupakan warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama ini menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Film
Reading Time: 2 minutes

Film dokumenter garapan Laboran Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia berhasil lolos sebagai nominasi Megacities ShortDocs Festival di Paris, Perancis. Hope from the Edge of Town berhasil masuk dalam nominasi Best ShortDoc pada Edition 9 Selection tahun 2024.

Digawangi oleh M Iskandar, film dokumenter ini merekam soal isu lingkungan abrasi akibat perubahan iklim pantai utara Jawa. Laboran Prodi Ilmu Komunikasi itu memulai riset pada pertengahan 2023,

“Riset sudah dimulai dari pertengahan 2023 berupa penelusuran dokumen dan artikel dalam rangka mengumpulan informasi terkait isu dampak abrasi dan perubahan iklim pantai utara Jawa,” ujarnya.

Ia akhirnya bertemu beberapa subjek yang melakukan inisiatif upaya pelestarian hutan mangrove. Salah satu sosok tersebut adalah Zayid yang tergabung dalam komunitas Camar di Tambakrejo, Kecamatan Tanjung Mas, Semarang Utara.

“Riset berlanjut pada penelusuran cerita pada subjek yang berupaya menanggulangi kondisi situasi yang terdampak dengan inisiatif mereka, akhirnya ada dua pihak yang kami survei, pertama Kyai mangrove di Kawasan Pantai Mangkang Semarang, kedua sekelompok warga yang menakam dirinya Camar di kampung Tambakrejo Semarang Utara secara konsisten melakukan penanaman mangrove sejak 10 tahun lalu,” tambahnya lagi.

Sejak tahun 2023 beberapa dosen dan laboran Prodi Ilmu Komunikasi UII telah melakukan pengabdian dan pemberdayaan di sekitar Pantai Utara jawa, hal ini membawa M Iskandar consent terhadap isu abrasi yang terjadi karena perubahan iklim.

Lokasi Tambakrejo yang masuk dalam jajaran kota di Semarang Utara yang memiliki banyak tantangan dan ketimpangan baik lingkungan dan sosial.

“Ini menjadi perhatian dan consent saya dan bagian kepedulian saya pada kondisi alam Indonesia terutama pada dampak situasi global. Ternyata sudah ada dan harus disikapi. Melalui film ini saya ingin memberikan refleksi atas pengalaman kita bisa hidup untuk menghadapi situasi alam yang berubah belajar dari subjek, ini proses berbagai pandangan, pengetahuan, sikap yang perlu kita pelajari,” ujarnya.

Salah satu kru dalam pembuatan film Hope from the Edge of Town yakni Bayu Prabowo membagikan pengalamannya pada produksi selama dua bulan terakhir. Ia fokus pada perekaman suara di lokasi pengambilan film dokumenter.

“Proses produksi kurang lebih dua bulan namun sebelumnya sudah lakukan riset. Ada pengalaman menarik soal produksi kemarin, saya fokus perekaman suara sekitar seperti bunyi kapal, langkah kaki, kicauan dan gerak gerik burung di hutan, serta gemericik air,” ujar Bayu Prabowo.

“Kisah ini penting untuk diangkat karena kehidupan di pinggir kota begitu jelas ketimpangannya bisa dilihat dari dampak alamnya. Semoga pemerintah lebih memperhatikan isu sosial dan lingkungannya,” tambahnya.

Sebagai produser, Gunawan berharap mendapat banyak kesempatan untuk berdialog dengan para penonton. Dialog-dialog ini bisa dilakukan melalu berbagai festival, salah satunya Megacities ShortDocs Film Festival yang akan digelar pada Mei 2024 di Paris, Perancis.

Tercatat sejak tahun 2014 setidaknya lebih dari 1.000 film telah terdaftar dalam Megacities ShortDocs Film Festival. Film-film tersebut mengangkat isu-isu seputar kota besar di seluruh dunia dan bertujuan untuk menciptakan kota yang lebih layak huni. Kota-kota besar adalah tempat yang penuh dengan peluang, tetapi juga memiliki banyak tantangan.

“Setiap festival memiliki kriteria dan standar terhadap film-film yang layak pada festival mereka. Festival ini fokus pada cerita-cerita yang mengungkap inisiatif-inisiatif warga dalam menyikapi situasi lingkungan dan tantangan di kota besar. Film yang dipilih yang memiliki kekuatan mengungkapkan solusi yang diberikan,” tandasnya.

Setelah itu nantinya film ini akan dipublish pada kanal YouTube Ikonisia TV karena masuk dalam program rutin Prodi Ilmu Komunikasi UII.

 

Film songket
Reading Time: 2 minutes

Film dokumentar karya salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Herman Felani, terpilih dalan Program Akuisisi pengetahuan Lokal Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode 1 tahun 2024.

Berjudul “Lahir (kembali) dari Kepunahan” film ini berkisah tentang Songket Canduang dari Agam Sumatera Barat yang pernah berjaya pada tahun 1930 dan mulai punah. Namun kini tengah diupayakan untuh hidup kembali oleh Nanda Wirawan dan Iswandi.

Menurut Dr. Herman Felani kain tenun Minangkabau ini sempat punah pada masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Awalnya Songket Canduang dikembangkan di kaki Gunung Marapi oleh ulama Padri.

“Songket Canduang dari Agam Sumatera Barat yang dulu pernah jaya di tahun 1930an punah karena kolonialisme Belanda dan Jepang. Dulu dikembangkan di kaki Gunung Marapi di basis ulama Padri,” ujarnya.

Mengutip dari Republika, Canduang dikembangkan oleh istri Syekh Achmad Thaher yakni pendiri Pondok Pesantren Miftahul Ulumi Syari’ah (MUS). Tahun 1930an, songket ini diproduksi oleh perempuan disana. Dan benar-benar berhenti berproduksi pada tahun 1945, karena tak ada keturunan yang melanjutkannya.

“Songket ini dihidupkan kembali dari kematiannya oleh dua orang seniman Sumatera Barat Kak Nanda Wirawan dan Uda Iswandi yang terinspirasi dari orang tuanya yang merupakan tokoh budaya dan dari koleksi songket keluarga yang masih tersisa,” ujar Herman.

Film ini layak diproduksi karena hendak menunjukkan upaya dan pengorbanan yang dilakukan seniman-seniman tersebut. “Mereka rela pindah dari kota Padang ke pedesaan di wilayah Canduang. Demi meneliti dan menghasilkan kembali songket khas Canduang yang memiliki makna dan simbol harmonisme agama, alam, adat dan lingkungan,” tambahnya lagi.

Jika pada masa awal pembuatannya Songket Canduang diproduksi untuk diperjualbelikan, kini proses menghidupkan kembali terus dilakukan. Keduanya aktif memamerkan motif-motif tersebut pada event budaya dan hanya bisa dipesan bagi kolektor. Produksi tak bisa dilakukan secara masal karena keterbatasn biaya dan pengrajin.

Produksi film ini dilakukan bersama laboran dan beberapa alumni ini merupakan program rutin karya kreatif dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Sebagai informasi Program Akuisisi Pengetahuan Lokal merupakan kegiatan yang dilakukan BRIN untuk mendapatkan dan mendokumentasikan berbagai konten pengetahuan lokal dalam bentuk buku dan audiovisual. Karya-karya yang terpilih akan disebarluaskan dan menjadi sumber literasi yang terbuka untuk diakses dan dimanfaatkan masyarakat.

Karya kreatif
Reading Time: 2 minutes

Salah satu karya kreatif yang diproduksi dosen dan staf Prodi Ilmu Komunikasi UII terpilih dalam Program Akuisisi Pengetahuan Lokal Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode 1 tahun 2024. Karya kreatif ini berupa video dokumenter berjudul “Sweat Dripping in the Ripples of the Rivers : Peluh yang menetes di riak-riak sungai”.

Film dokumenter ini merupakan kisah seorang perempuan nelayan di Tambak Polo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang berjuang untuk pemenuhan ekonomi keluarga. Menariknya, sosok nelayan perempuan dalam kisah ini tidak hanya bergulat dengan profesinya saja namun upayanya melestarikan lingkungan menjadi bentuk kepedulian untuk keberlangsungan ekosistem perairan di Demak.

Salah satu bentuk pelestarian lingkungan yang dilakukan sosok nelayan perempuan bernama Umro ini adalah menangkap kepiting, udang dan ikan dengan cara konvensional yang tak mengganggu ekosistem. Ia menggunakan bubu sebagai alat untuk mencari kepiting, dan perahu tak bermesin untuk memasang dan mengambil bubu. Penggunaan alat ini tidak merusak bibit-bibit kepiting dan ikan yang masih kecil.

“Video ini bercerita tentang perjuangan nelayan perempuan di Demak dalam mencari nafkah untuk perekonomian keluarga. Video ini sekaligus menunjukkan kepedulian lingkungan dengan cara dia (nelayan perempuan) mencari ikan dengan alat ramah lingkungan atau bubu,” ujar Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom,.

Kisah ini penting untuk diketahui oleh publik secara luas, kerja-kerja yang dilakukan perempuan nelayan kerap tak terdengar. Awalnya para perempuan nelayan ini berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan kesetaraan sebagai nelayan. Kini mereka bisa menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan nelayan yang tangguh.

“Nelayan perempuan dari Tambak Polo Demak, disana awalnya perempuan nelayan belum mendapat identitas sebagai nelayan di KTP, sehingga mereka tidak mendapatkan hak yang sama dari pemerintah berupa bantuan untuk nelayan. Mereka terus berjuang demi kesetaraan sampai akhirnya mendapat pengakuan atas profesi nelayan di KTP,” tambahnya.

Salah satu staf Laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi UII yang turut menjadi kru dalam produksi film tersebut yakni Rizka Aulia Ramadhani menyebut jika perempuan dalam film ini mewakili sosok perempuan-perempuan di Indonesia yang memiliki kekuatan besar meski dalam tekanan hidup yang tinggi. Bu Umro adalah sosok istri yang mengambil alih peran kepala keluarga lantaran suaminya sakit dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Dalam proses produksinya, Rizka menjelaskan jika semua kru mengikuti serangkaian kegiatan Bu Umro dari bangun tidur hingga tidur lagi. Semua kru tinggal di sana dengan tujuan riset mendalam dan mendapat hasil yang orisinil.

“Perempuan memiliki kekuatan yang lebih super dibanding yang kita kira, dengan tekanan hidup bu Umro mampu menjalaninya. Bangun pagi buta menerjang rawa-rawa. Karena ini dokumenter kita benar-benar mengikuti dari beliau bangun tidur hingga tidur lagi live in, kita juga ikut nyemplung ke rawa-rawa demi mendapatkan potret yang nyata,” ujar Rizka.

Sebagai informasi Program Akuisisi Pengetahuan Lokal merupakan kegiatan yang dilakukan BRIN untuk mendapatkan dan mendokumentasikan berbagai konten pengetahuan lokal dalam bentuk buku dan audiovisual. Karya-karya yang terpilih akan disebarluaskan dan menjadi sumber literasi yang terbuka untuk diakses dan dimanfaatkan masyarakat.

Penghargaan ini bukanlah yang pertama bagi Tim Karya Kreatif Prodi Ilmu Komunikasi, tahun 2022 lalu pihaknya juga meraih penghargaan yang sama. Karyanya yang berjudul “Orchidaceae” berhasil masuk pada Program Akuisisi Pengetahuan Lokal periode ketiga tahun 2022.

Masih dengan isu lingkungan dan pelestarian alam, Orchidaceae merupakan video dokumenter tentang kisah perjuangan Pak Musimin yang melestarikan ratusan spesies anggrek endemik Merapi, salah satunya Anggrek Vanda Tricolor.

Muhammad Heri Fadli
Reading Time: 5 minutes

Salah satu alumni Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia sukses menjadi film maker yang mampu menembus festival internasional. Lewat karya-karyanya Muhammad Heri Fadli berkesempatan menyinggahi beberapa negara.

Karya fenomenalnya berjudul Jamal telah dipertontonkan pada 13 festival dalam dan luar negeri. Jamal atau akronim dari “Janda Malaysia” adalah kisah pilu keluarga TKI di Nusa Tenggara Barat. Mengisahkan para istri yang ditinggal suaminya menjadi TKI di Malaysia dan pulang tanpa nyawa. Film ini memperlihatkan realita seorang “Jamal” yang pilu, minim dialog, namun terlihat kuat dan tegar.

Perjalanan Heri menjadi film maker berawal saat dirinya memilih tugas akhir produksi karya film dokumenter sebagai syarat mengajukan kelulusan S1 Ilmu Komunikasi UII. Saat itu film yang diproduksinya berjudul “DAJAL (Dangdut Jalanan) Pembuatan Film Dokumenter Tentang Kesenian Musik Kecimol Sebagai Budaya Populer yang Mulai Mengancam Kesenian Tradisional Gendang Beleq”

Prodi Ilmu Komunikasi UII memang telah menerapkan kebijakan syarat kelulusan dengan berbagai pilihan mulai dari skripsi, proyek komunikasi, proyek kolaboratif internasional, penulisan artikel jurnal, bahkan magang yang laporannya setara dengan skripsi sejak tahun 2015.

Muhammad Heri Fadli

Muhammad Heri Fadli saat mengikuti Toronto Reel Asian International Film Festival

Kebijakan ini akhirnya juga diterapkan pada Merdeka Belajar Episode Ke-26 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada 29 Agustus 2023 lalu. Sontak nama alumni Ilmu Komunikasi yang lebih dulu menjadi sorotan dan rujukan banyak pihak. Penasaran apa saja karya Heri yang tembus festival nasional dan internasional?

Beberapa waktu lalu, Heri telah berbagi pengalaman dan privilesenya memilih lulus jalur karya film dokumenter yang banyak memberinya kemudahan dalam dunia kerja dan studinya.

Berikut beberapa daftar festival yang berhasil diikuti oleh Heri dengan karya-karyanya yang menarik.

Jamal Laurel’s

  1. JAFF-Jogja 2020
  2. Lleida Visual arts-Spain 2020
  3. Ischia Global – Italy 2021
  4. BIKY – Korea 2021
  5. Sundance – Asia 2021
  6. Slamdance – US 2022
  7. Mini Film Fest – Malaysia 2022
  8. Minikino – Bali 2022
  9. Tampere – Finland 2022
  10. Youki – Austria 2021
  11. Toronto Reel Asian 2022
  12. Ningbo Film Festival 2022
  13. Aceh Film Festival 2022

Sepiring Bersama Laurels:

  1. Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018

Blue Poetry Laurels:

  1. Nominasi Raoul Wallenberg, Nominasi Rangkai Award, Nominasi Best Nasional di Minikino Film Week 2023
  2. Show Me Short Film Festival (Academy Award Qualifying) – New Zealand

Berikut wawancara tim redaksi dengan Heri yang berkisah tentang pengalamannya di dunia film dokumenter.

Muhammad heri fadli

Toronto Reel Asian International Film Festival

Kenapa saat itu lebih memilih proyek karya film dokumenter dibandingkan skripsi untuk pengajuan syarat kelulusan?

Di tahun 2016 itu ada beberapa senior sebenarnya juga mengambil proyek satu film fiksi dan film dokumenter lebih awal. Cuma saya mendengar desas-desus tentang akan ada pilihan selain skripsi ketika ujian nanti. Nah di tahun 2015 itu saya sudah mulai mengambil stok footage untuk jaga-jaga pada saat menggarap skripsi atau tugas akhir itu bisa saya ambil proyek. Betul saja bisa mengambil proyek, saya bisa mengambil film dokumenter karena lebih bisa saya kerjakan tanpa kru yang banyak. Sebetulnya saya itu tidak hanya sekedar karya, justru menurut saya lebih capek mengerjakan karya tugas akhir. Karena nanti ada konsep sama seperti proposal skripsi segala macam, konsep kreatif, landasan teorinya juga ada, kemudian nanti membuat cerita dan lain-lain, alasan memilih objek, dan nanti setelah produksi itu kita diharuskan menganalisis film kita sendiri menjabarkan proses kreatif dan segala macam dalam bentuk laporan yang sebetulnya kalau saya pribadi lebih tebal daripada skripsi, sekitar 200an halamanlah untuk laporan dalam bentuk tertulis dari karya itu. Dan ada dua ujian untuk proyek, ada ujian proyek pemutaran secara umum dengan diahadiri oleh panel yang exspert dibidangnya, bidang film tentunya. Kemudian ada ujian Bersama dosen penguji.

Bagaimana proses produksi tersebut mempengaruhi karier saat ini?

Kalau boleh jujur, terus terang karya film dokumeter yang saya kerjakan saat tugas akhir itu sangat berpengaruh. Karena sebelumnya saya membuat sekitar empat film fiksi. Saat itu saya hanya membuat film suka-suka untuk bersenang-senang, untuk mengasah kemampuan bersama dengan teman-teman. Jadi tanpa ada landasan teori yang jelas, asal tahu teknik merekam gambar, dan penceritaan.

Setelah membuat dokumenter untuk tugas akhir, saya merasakan betul bagaimana persiapannya, pdroses risetnya, dan observasinya. Bahkan saya harus bolak-balik ke Lombok sebanyak tiga kali, berarti enam kali flight pulang pergi dari Jogja ke Lombok untuk revisi, karena ada footage yang kurang. Dan itu memakan waktu. Tet,api dari proses itu saya sadar betul setelah lulus, saya tidak bisa sembarang membuat film. Film yang mampu berbicara adalah film yang membutuhkan riset yang bagus, riset yang jelas, dan mampu kita pertanggungjawabkan karena ada landasan teori dan riset yang kita lewati.

Bagaimana menurut Anda tentang proyek Film “DAJAL” ini?

DAJAL adalah proyek “serius” pertama yang saya kerjakan karena ini adalah tugas akhir. Film ini juga tidak dipublish karena ada rencana untuk diupgrade dan perbaiki dalam waktu satu hingga dua tahun kedepan. Harapannya DAJAL akan keluar denganversi terbaru dengan lebih komplit.

Apa sih untungnya untuk mahasiswa? Padahal kalau dilihat laporannya juga hampir setara dengan skripsi?

Meski kelihatannya lebih rumit karena ada proyek film sekaligus laporan mini yang setara dengan skripsi, karena saat itu belum ada acuan ternyata banyak keuntungan yang saya rasakan. Ada dua keuntungan besar bagi saya pribadi.

Pertama, proyek film dokumenter ini menjadi portofolio yang bisa kita bawa ketika lulus tidak hanya pengalaman teoritis saja.

Kedua, karena laporannya setara dengan skripsi saat lanjut S2 sangat membantu. Laporan tugas akhir film dokumenter tersebut dianggap sebagai skripsi saat mengajukan S2 di Malaysia.

Kalau boleh tahu sudah berapa film yang diproduksi saat ini?

Saya agak lupa sudah produksi berapa film, mungkin lebih dari 12. Tapi yang benar-benar serius itu ada 5 film yaitu DAJAL, Sepiring Bersama, Buah Khuldi, Jamal, lalu Blue Poetry. Jadi total ada 5 film yang menurut saya serius secara konsep, penyampaian materi, dan secara produksi.

Kenapa bisa masuk festival internasional? Karena saya memilih untuk menjadi film maker, setelah lulus kuliah saya melakukan segala cara atau segala usaha. Saya juga mengalami banyak sekali penolakan-penolakan dari banyak festival. Mungkin yang orang-orang tahu dari publikasi ‘Wow karya saya masuk banyak festival’. Padahal banyak juga festival yang tidak nyambung dengan film kami.

Nah buat saya proses-proses itu yang membuat kita lebih kuat dalam produksi. Jadi, penolakan dan hujatan segala macam itu sudah biasa. Justru hasil-hasil itu yang di-highlight oleh orang-orang.

Bisa ceritakan kemarin tiba-tiba jadi di-notice oleh publik?

Tiba-tiba dinotice publik karena proyek tugas akhir, yang perlu publik ketahui menurut saya membuat karya ini lebih melelahkan dan butuh effort. Tapi pilihan ini cocok bagi teman-teman yang mengingnkan hasil lebih.

Ketika mendengar akan ada kebijakan ini, inilah hal yang cocok bagi teman-teman yang menginginkan tidak hanya hasil riset dan berakhir di tumpukan rak perpustakaan. Namun tak jarang hasil riset juga dipublish menjadi karya jurnal.

Lantas, sekarang fokus produksi film atau studi juga?

Fokus keduanya, Insya Allah di bulan November atau Desember akan ke Kuala Lumpur untuk wisuda. Saya menyelesaikan studi tahun lalu di bulan Agustus. DiMalaysia menunggu wisuda cukup lama jadi sekitar setahun.  Saya tetap melakukan produksi film ketika studi, misal sedang tidak studi saya menulis naskah persiapan untuk syuting Saat inisedang proses distribusi film selanjutnya berjudul Blue Poetry yang nanti akan premier di Indonesia yakni Bali International Short Film Festival – Minikino Film Week,kita mendapat tiga nominasi, dan akan dilanjutkan di bulan Oktober di New Zealand pada Show Me Shorths Film Festival, merupakan festival film pendek yang sudah disqualified sertifikasi oleh academy film award Oscar.

Terakhir, kebijakan mas Menteri kali ini menurutmu gimana? Menarik ngga?

Terus terang, menurut saya kebijakan baru ini sangat menarik. Seperti saya bilang tadi karena akhirnya teman-teman mahasiswa mendapat banyak pilihan, tidak hanya skripsi. Karena tidak semua orang suka riset. Banyak otak-otak kreatif terutama yang bersifat pengkaryaan atau mungkin teknik. Menurutku tidak semua jurusan harus membuat pengkaryaan tetapi ada jurusan tertentu yang mungkin lebih condong di karya seperti mahasiswa film, televisi, fotografi. Tentu  akan akan lebih keren kalau mereka membuat galeri fotografi, buku fotografi yang nanti tidak hanya sebagai tugas akhir tapi juga sebagai portofolionya.

Itulah pengalaman menarik yang dibagikan oleh alumni Ilmu Komunikasi UII. Tertarik mengikuti jejaknya, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

 

Proyek karya
Reading Time: 5 minutes

Dalam kebijakan baru yang tertuang pada Merdeka Belajar Episode ke-26, disebutkan bahwa skripsi kini bukan satu-satunya syarat lulus untuk skripsi. Jauh sebelum kebijakan ini diluncurkan, Prodi Ilmu Komunikasi UII telah lebih dulu menerapkannya di tahun 2015.

Ketika kabar kebijakan dari Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim diluncurkan, nama salah satu alumni Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia viral di media nasional lantaran karyanya yang mendunia. Sosok itu adalah Muhammad Heri Fadli yang kini tengah menyelesaikan studinya di Malaysia.

Akun Instagram media Kumparan mengunggah postingan tentang Heri dengan tajuk “Gak Bikin Skripsi, Lulus Lewat Film, Kini Karya Mendunia” pada 30 Agustus 2023. Unggahan ini sukses menarik penonton sebanyak 535 ribu, dengan 27 ribu like, 235 komentar, dan lebih dari 1.000 pengguna Instagram membagikan informasi tersebut.

Dalam menyelesaikan kuliah S1 di Prodi Ilmu Komunikasi, Heri memilih jalur karya film dokumenter sebagai syarat kelulusannya. “DAJAL (Dangdut Jalanan) Pembuatan Film Dokumenter Tentang Kesenian Musik Kecimol Sebagai Budaya Populer yang Mulai Mengancam Kesenian Tradisional Gendang Beleq” merupakan karyanya yang mengisahkan budaya di Lombok. Hal ini mengantarkannya sebagai sineas muda yang sukses raih penghargaan ditingkat nasional dan internasional.

Tertarik mengikuti jejak Heri?

Nah berikut ini beberapa contoh karya tugas akhir UII yang bisa jadi inspirasimu. Namun sebelumnya, pastikan bahwa di prodi atau jurusanmu, hal ini sudah diakomodasi ya. Misalnya saja prodi Ilmu Komunikasi UII yang menawarkan lima cara untuk meraih gelar S.I.Kom di kampus Ulil Albab antara lain jalur skripsi, proyek komunikasi, proyek kolaboratif internasional, penulisan artikel jurnal, bahkan magang yang laporannya setara dengan skripsi.

  1. Eksistensi Pelaku Street Art dalam berkarya Melalui Film Dokumenter “Di Balik Tembok” di Yogyakarta

Kreator            : Wiwind Nugraha

Karya ini merupakan film dokumenter berdurasi 20 menit yang membahas detail terkait street art di Yogyakarta. Berfokus pada satu tokoh, dokumenter ini dapat mengupas secara rinci lika-liku kehidupan dan proses berkarya dari street artist, sehingga pesan akan lebih mudah dimengerti oleh penonton menurut sudut pandang si tokoh. Pembuatan karya ini memberikan informasi dan mengupas eksistensi dari street artis dalam berkarya dan tetap bertahan serta mampu menghidupi sebuah keluarga.

  1. BEDA (Pembuatan Film Dokumenter tentang Pondok Pesantren 20 Tahun Pasca Reformasi Islam)

Kreator            : Andi Zulham Jaya

Produksi film dokumenter dengan pendekatan ekspositoris ini merekam tentang pondok pesantren 20 tahun Pasca Reformasi Islam. Pondok pesantren pada umumnya adalah tempat atau rumah sementara untuk belajar agama Islam dan untuk mendalami ajaran-ajaran islam. Pasca reformasi, muncul adanya pesantren yang baru, yakni pesantren bagi anak berkebutuhan khusus.

  1. Engkuk Merbabu (Pembuatan Film Dokumenter Mengenai Ancaman Hama Engkuk di Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)

Kreator            : Farid Iskandar

Berawal dari simpati, film dokumenter ini bercerita tentang permasalahan yang sudah lama dihadapi oleh petani Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Para petani harus menghadapi serangan hama engkuk yang menyerang akar tanaman dan menjadi pemicu utama petani gagal panen dan menanggung kerugian. Dengan pendekatan hybrid, film berdurasi 18 menit ini menceritakan berbagai kegelisahan dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh petani Desa Petung dalam menghadapi hama Engkuk.

  1. Mengungkap Makna di Balik Topeng (Pembuatan Film Dokumenter tentang Pengungkapan Makna-makna Tersembunyi Kesenian Tari Topeng Cirebon, Jawa Barat)

Kreator            : Aldi Iryandi

Film dokumenter ini merekam sebuah desa yang mencoba untuk mempertahankan dan mewariskan makna-makna Tari Topeng, yaitu Desa Slangit. Desa Slangit merupakan tempat lahirnya Tari Topeng Gaya Slangit, yang mana terdapat sanggar bernama Panji Asmara. Sanggar tersebut dipimpin langsung oleh Inu Kertapati selaku maestro dari Tari Topeng Gaya Slangit.

Film dokumenter berjenis news documentary ini menggunakan pendekatan ekspositoris. Pendekatan ini dipakai untuk menjadi perantara dalam menjelaskan narasi dengan menampilkan gambar-gambar yang sesuai, sehingga pesan akan lebih mudah dimengerti oleh penonton.

Film dokumenter ini mencoba untuk membuka pikiran masyarakat akan pentingnya untuk mengetahui makna-makna kelima Wanda Tari Topeng yang mengajarkan tentang proses kehidupan manusia dan menjelaskan tentan nilai-nilai Islam yang terkandung didalamnya.

  1. Produksi Majalah Fotografi Kreatif Berkonsep tentang Dunia Islam di Indonesia “@THINK”

Kreator            : Ici Dian Adilah

Produksi majalah ini menggabungkan dua keahlian yakni fotografi dan penulisan kreatif. Keduanya erat dengan industri kreatif periklanan. Isi majalah fotografi adalah gambaran dunia Islam yang ada di Indonesia dengan cara mengaitkan dengan kegiatan sehari-hari manusia. Unsur kreativitas sangat kental dalam majalah ini karena berisi tulisan dan foto-foto yang telah dikurasi. Majalah ini dibuat untuk melihat citra alternatif dunia Islam melalui fotografi di Indonesia.

  1. DAJAL (Dangdut Jalanan) Pembuatan Film Dokumenter Tentang Kesenian Musik Kecimol Sebagai Budaya Populaer yang Mulai Mengancam Kesenian Tradisional gendang Beleq

Kreator            : Muhammad Heri Fadli

Karya ini termasuk dalam jenis film dokumenter interaktif, merekam tentang budaya populer yang memberikan pengaruh besar terhadap kebudayaan lokal. Musik Kecimol merupakan produk musik pop yang menyedot perhatian publik mulai menggeser musik tradisional Gendang Beleq.

Lokasi pembuatan film ini di Lombok dengan subjek Suku Sasak yang melibatkan pemilik sanggar, pemain, dan tokoh pemuda. Film ini menjadi medium untuk mempresentasikan gambaran kesenian musik Kecimol dari budaya pop yang menggeser kesenian tradisional Gendeng Beleq dalam prosesi adat Nyongkolan masyarakat suku Sasak.

  1. Rekonsiliasi Ruh (Pembuatan Film Dokumenter tentang Peletakan Batu Nisan di Kuburan Massal Korban HAM 1965 yang Berjudul “Rekonsiliasi Ruh” Berlokasi di Kendal, Jawa Tengah)

Kreator            : Tri Rizal Ghofuur

Karya ini merupakan proyek film dokumenter ekspositori dan observasional yang merekam kegiatan pegiat kemanusiaan dalam proses penisanan. Film ini adalah kegiatan upaya rekonsiliasi korban 1965 dengan pihak pemerintah yang belum menemukan kesepakatan. Selain bukti-bukti pembunuhan massal yang terus bermunculan dengan penemuan kuburan masal tragedi 1965 di Semarang dan Kendal, Jawa Tengah.

Diperkirakan lebih lebih dari 100 orang terbunuh secara paksa tanpa peradilan. Hal ini membuat sekelompok pegiat kemanusiaan dari daerah Semarang dan Kendal melakukan penisananan yang menemui banyak kendala. Tujuan pembuatan film dokumenter ini mencoba menawarkan perspektif baru atas tragedi 1965.

  1. Melawan Batas (Pembuatan Film Dokumenter Melawan Stigma Masyarakat Terhadap Teman Tuli)

Kreator            : Kafin Maulana Rijal

Kelompok difabel sering dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki kemampuan untuk bisa hidup layaknya non-difabel. Namun di kota Yogyakarta tinggallah seorang anak difabel dengan kemauan dan semangat juang besar yang bernama Ahmad Roby Nugraha.

Roby mampu mematahkan stigma buruk masyarakat terhadap kaum difabel yang selama ini selalau dipandang sebelah mata. Proyek ini merupakan karya ilm dokumenter berjenis news documentary yang menggunakan pendekatan ekspositoris.

  1. ASA di ZONA BENCANA (Pembuatan Film Dokumenter tentang “Sekolah Gunung Merapi” dalam Memberdayakan Masyarakat di Kawasan Rawan Bencana)

Kreator            : Galih Yoga Wicaksono

Karya ini merupakan film dokumenter dengan pendekatan ekspositoris yang mencoba menceritakan kembali misi yang sedang diemban oleh Sekolah Gunung Merapi, khususnya dalam bidang mitigasi bencana.

Padukuhan Pangukrejo di Umbulharjo, Sleman termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana III Gunung Merapi. Daerah tersebut seharusnya tidak boleh digunakan untuk hunian tetap warga, namun setelah erupsi 2010 banyak warga yang kembali ke sana. Dampaknya mereka tidak bisa mendapatkan fasilitas dan pendidikan yang memadai dari pemerintah. Melalui film ini, diharapkan dapat memberikan wawasan kepada penonton mengenai Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi III dan upaya-upaya yang dilakukan untuk memberikan literasi informasi kebencanaan kepada masyarakat.

  1. FORMART MAGAZINE (Produksi Majalah Tentang Proses Kreatif Street Art dan Penguatan Eksistensi Komunitas Street Art di Yogyakarta)

Kreator            : Azka Destriawan

Proyek karya majalah ini merupakan wacana, proses kreatif, dan dinamika street art di Yogyakarta seperti kesenian lokal, street art graffiti, mural, poster, hingga instalasi yang merespons keresahan masyarakat dan fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar untuk menyuarakan sesuatu di ruang publik.

Melalui dinding dingin kota, artis street art menyuarakan aspirasi masyarakat sebagai bentuk perlawanan. Namun street art kerap dianggap sebagai sesuatu yang ilegal, bentuk vandalisme, bahkan menjadi aksi kriminal karena merusak dan mengotori ruang publik.

Itulah beberapa contoh karya untuk syarat kelulusan S1 dan D4 bagi yang tak ingin memilih skripsi. Bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UII, produksi film menjadi proyek yang paling banyak dilakukan. Lantas bagaimana rencana kamu, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Mahasiswa asing magang di Ilkom
Reading Time: 3 minutes

Lena, mahasiswa asal Jerman, memilih magang di Laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi UII sejak awal April lalu. Pengalaman menarik ia dapatkan selama hampir dua bulan  bergabung, mulai dari produksi film hingga ikut terjun dalam pengabdian di Kampung Nelayan Morodemak, Demak, Jawa Tengah.

Mahasiswa asal University of Cologne, Jerman, ini sebenarnya mengambil jurusan Antropologi dan Islamic Studies, maka sangat relate baginya bergabung dan mencari tahu perspektif Islam di kampus UII. Lantas mengapa memilih magang di Prodi Ilmu Komunikasi, di mana secara keilmuan cukup berbeda dengan jurusan yang ia ambil?

Lena menjelaskan, dalam Ilmu Antropologi yang selama ini dipelajarinya, sebagian besar penelitian tentang masyarakat informasinya hanya berkutat pada kelompok akademik. Sementara dirinya ingin belajar dan mendapatkan pengetahuan lebih dinamis lagi, salah satunya lewat media  film.

Di Laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi memang ada laboran sekaligus sineas film dokumenter yakni Marjito Iskandar Tri Gunawan yang aktif memproduksi film dokumenter dan kerap berkontribusi dalam festival bergengsi di dalam maupun luar negeri. Maka sangat tepat bagi Lena untuk belajar bersama Prodi Ilmu Komunikasi UII.

“Saya memilih magang di Ilkom UII karena saya tertarik bagaimana bisa membuat film dokumenter dan film edukasi. Alasannya khusus kuliah Antropologi. Di Antropologi ada banyak penelitian tentang masalah masyarakat tetapi informasinya hanya tersirkulasi di kelompok akademik. Film bisa menjadi cara untuk menyebarluaskan informasi-informasi ke banyak kelompok sosial,” terang Lena saat diwawancarai.

Benar saja, selama hampir dua bulan magang, beberapa proyek telah diikutinya. Mulai dari produksi film dokumenter di Pondok Pesantren Tunarungu-Tuli Jamhariyah di Sleman hingga terjun dalam pengabdian di Kampung Nelayan tentang pemberdayaan yang diberikan kepada Nelayan Perempuan di Morodemak, Demak, Jawa Tengah.

“Biasanya saya ikut proyek film dan video di Ilkom, seperti membuat video pendek di studio atau film dokumenter di Pondok dan di Demak. Selain itu saya juga diberi kesempatan melakukan proyek kecil sendiri tentang kuliah di luar negeri yang dibantu oleh teman-teman lab IIkom,” tambahnya.

Pengalaman memproduksi film pendek yang dilakukan oleh Lena terbagi menjadi tiga series film berlatar angkringan khas Kota Yogyakarta yang dikemas sebagai tempat bertukar cerita, memotret keberagaman masyarakat dari bahasa dan budaya, hingga obrolan yang menarik mahasiswa dari berbagai daerah bahkan negara.

Series bertajuk “Nongkring: Ngobrol di Angkringan” merupakan ide dari Lena yang disempurnakan dengan kolaborasi bersama tim Laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi UII.

“Ide awalnya dari Lena, kita membantu mengembangkan dan memberikan gambaran dan mematangkan konsep,” terang Marjito Iskandar Tri Gunawan yang mendampingi Lena selama magang.

Dari berbagai kegiatan yang Lena ikuti, ia menemukan berbagai peristiwa dan kondisi yang sebelumnya tak ditemukan di lingkungan akademisnya saat di Jerman. Ia menemukan hal baru dari anak-anak tunarungu yang belajar dan tidak tinggal bersama orang tuanya lewat Pondok Pesantren khusus, hingga perempuan nelayan yang harus berjuang mencari nafkah karena suaminya tak mampu bekerja karena berbagai alasan yang memaksanya bergantung pada perempuan.

Selain itu pengalaman naik kapal karena bencana rob di Kampung Nelayan Morodemak membuatnya melihat berbagai realitas yang terjadi pada masyarakat. Lewat produksi film dokumenter, Ilmu Antropologi yang dipelajarinya menjadi semakin dinamis, dan yang paling penting informasi dapat disampaikan melalui film yang dapat disaksikan secara langsung bukan hanya soal cerita.

Ia menceritakan pengalamannya selama di Kampung Nelayan, melihat perempuan nelayan yang berjuang untuk melanjutkan hidup di tengah-tengah rob dan berbagai keterbatasan akses. Salah satu komunitas yang bernama “Puspita Bahari” adalah pelopor nelayan perempuan yang banyak mengubah hidup yang awalnya putus asa kembali memiliki harapan.

“Di sana saya ikut tim film dokumenter. Kami ikut komunitas perempuan nelayan (Puspita Bahari) dan dikasih tahu bagaimana perempuan-perempuan ini mencoba berdaya dan bagaimana mereka membantu warga Demak,” jelas Lena.

“Pada hari lain kami berkunjung ke desa yang dulu terletak di tengah sawah. Sekarang desa tersebut dikeliling air laut dan hanya bisa diakses dengan naik kapal. Di antara rumah-rumah ada jembatan kecil dan banyak rumah hanya bisa dimasuki dengan cara menunduk karena atap menjadi sangat rendah. Sangat sedih lihat situasi warga ini. Banyak orang mau pindah, tetapi banyak orang tidak punya cukup banyak uang untuk pindah. Alasan lain, keterikatan antara tempat asal dan pemilik terlalu kuat,” tambahnya.

Lena bersyukur dapat bergabung dengan tim pengabdian di Kampung Nelayan tersebut, selain membantu produksi film dokumenter ia meyakini bahwa tak banyak yang tahu kisah tersebut.

“Alasan untuk ikut Ilkom ke Demak adalah situasi banjir di Demak. Tidak banyak orang tahu tentang masalah dan situasi di sana, jadi warga desa yang hampir dibanjiri sendiri tanpa banyak bantu, karena pemerintah juga tidak mendukung banyak dan tidak memberi alternatif kehidupan lain,” jelasnya.

Terakhir, ia merasa berkesan telah bergabung dan magang di Prodi Ilmu Komunikasi. Banyak informasi baru tentang kondisi masyarakat yang diketahuinya. Selain itu ia belajar banyak tentang film.

“Selama magang di Lab, saya dikasih banyak pengalaman, khususnya tentang bagaimana membuat film dokumenter dan proses produksi atau ambil video untuk film dokumenter. Tetapi saya juga memperoleh wawasan format video-podcast dan kesempatan kreatif studio film,” ujar Lena.

“Selain itu saya juga dikasih tahu lebih banyak tentang bermacam-macam cara hidup di Indonesia, saya juga belajar banyak tentang Islam karena teman-teman UII beragama Islam. Jadi saya bisa belajar dari mereka bermacam-macam interpretasi Islam dan kehidupan Islam sehari-hari. Akhirnya saya harap saya bisa meningkatkan Bahasa Indonesia saya dan saya bersyukur sekali untuk tim Lab yang selalu sangat sabar dengan saya dan mengajari saya banyak hal,” pungkas Lena.

Itulah cerita dan pengalaman Lena, mahasiswa asal Jerman yang memilih magang di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Belajar tentang Islamic Studies di kampus Islam dan film menjadi  pengalaman yang sangat menarik.