Tag Archive for: festival

Kalfest Hub
Reading Time: 4 minutes

Jepang menjadi salah satu negara yang memiliki memori tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia. Sejarah kelam beserta jejak peninggalannya menjadi cerita-cerita yang tak akan terputus hingga kini dan seterusnya. Sebagai negara yang lebih maju, nampaknya cukup menarik menelisik perspektif masyarakat Jepang memandang kehidupan masyarakat di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Seri keenam Kaliurang Festival Hub yang digelar pada 5 September 2024 di Bioskop Sonobudoyo berkolaborasi dengan Visual Documentary Project (VDP) Kyoto menghadirkan Nishi Yoshimi selaku Dewan Pengurus dan Koordinator Kurator serta Sazkia Noor Anggraini, pengajar ISI Yogyakarta sekaligus peneliti dan pembuat film.

Berbeda dengan Kaliurang Festival Hub sebelumnya, pemutaran film dari kurasi VDP sengaja dilakukan di tengah kota Yogyakarta untuk menjaring penonton yang beragam. Diawali dengan pemutaran lima film, lalu dilanjutkan dengan diskusi.

Dipandu oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, Kaliurang Festival Hub #6 ini mengungkap banyak cerita dari kurasi film VDP dan perspektif masyarakat Jepang terkait masyarakat Asia Tenggara. Menurut Nishi Yoshimi, bahasa menjadi aspek paling disoroti dalam menampilkan film-film dokumenter Asia Tenggara.

Kalfest Hub

Sesi diskusi Kaliurang Festival Hub seri ke-enam bersama VDP, Foto: Lab Komunikasi UII

“Tayangan disini ada bahasa Inggris, cerita Kamboja, Thailand, Myanmar, Indonesia dan lainnya sudah jelas visual dan bahasa Inggris (subtitle) sudah benar. Tetapi maksudnya apa, konteksnya apa. Film itu ketika diputar di lokasi lain (bukan negara asal) audiens sudah berbeda perlu penjelasan tambahan agar konteksnya lebih mudah dipahami,” ujar Nishi Yoshimi.

Apalagi dalam film dokumenter ada pesan-pesan tersirat yang tak bisa ditelan mentah-mentah. Ada berbagai pesan yang ingin disampaikan dengan berbagai tujuan. Melalui adegan dan ekspresi tentu akan menyulitkan masyarakat Jepang yang berbeda kultur dengan masyarakat Asia Tenggara.

“Film dokumenter digunakan untuk merekam kenyataan bahkan yang disebut sinema pertama itu film dokumenter. Kemudian dokumenter berkembang menjadi bentuk propaganda misalnya,” ujar Sazkia Noor Anggraini.

Lantas film-film seperti apa yang dipertontonkan kepada masyarakat Jepang? Berikut 5 film hasil kurasi VDP yang dibagikan dalam Kaliurang Festival Hub #6.

Cerita dari Asia Tenggara

Saya di Sini, Kau di Sana (a Tale of the Crocodile’s Twin) merupakan garapan sutradara Indonesia Taufiqurrahman Kifu. Ketika menonton film ini penonton diajak untuk berjalan menyusuri memori-memori dongeng khas anak-anak. Namun ketahuilah bahwa cerita dalam film dokumenter tersebut ingin mengungkap bagaimana manusia sebagai makhluk hidup harus berbagi ruang dengan makhluk lain termasuk hewan. Dalam konteks tersebut adalah buaya.

Dongeng dari Sulawesi Tengah khususnya Kaili, mengangkat ruang hidup dan sungai-sungai. Dongeng yang bercerita tentang bangsawan Lasa Kumbili dengan saudara kembarannya Yale Bonto, sosok buaya menggambarkan prinsip hidup hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. Bahkan di akhir cerita, kesaksian seorang korban tsunami mengaku ditolong oleh buaya. Kesaksian ini menjadi sebuah nilai-nilai lokal yang terus dipegang masyarakat Kaili.

Don’t Know Much About ABC, Kamboja, film garapan Norm Phanith and Sok Chanrado menampilkan ironisnya kehidupan di Phnom Penh. Menonton film ini akan menimbulkan kekhawatiran soal masa depan, ketakutan terjadi hal buruk, hingga ketidaksanggupan untuk bertahan hingga terabaikan.

Seorang ayah tunggal tunawisma sehari-hari bekerja sebagai pengumpul sampah dengan menghidupi putranya. Ron Dara berusaha keras demi pendidikan putranya. Ia bersikeras demi peluang dan meningkatkan kualitas hidup sang anak.

Unsilent Potato, Myanmar, film yang digarap Sein Lyan Tun mengangkat secara detail kisah perempuan muda disabilitas bernama Potato sebagai korban pemerkosaan oleh tetangganya yang sudah beristri. Potato merupakan perempuan etnis Karen yang tangguh memperjuangkan keadilan.

Yang menyedihkan adalah, kasus yang dialami Potato dianggap sebagai tindakan bujuk rayu. Ia ingin bangkit dari kesunyian, namun negara Myanmar adalah negara yang kurang kuat dalam hal supremasi hukum untuk menyelesaikan persoalan seperti itu.

Film keempat, My Grandpa’s Route has been Forever Blocked garapan sineas Thailand. Mungkin film ini menjadi sangat sulit dipahami dari film-film sebelumnya. Dua layar ditampilkan, layar kiri menampilkan bendungan kecil dari sumber sungai ke Bendungan Bhumibol. Sementara layar kanan adalah dokumentasi operator kapal pesiar di Sungai Ping (Bendungan Bhumibol) yang membuat hamparan hutan jati terendam untuk selamanya.

Film garapan Supaparinya Sutthirat membawa penonton menyusuri Sungai Ping yang merupakan jalur perdagangan. Tahun 1958 Bendungan Bhumibol dibangun hingga mengubah sungai masa kakeknya. Film ini sebenarnya mengajak penonton memahami masa lalu dan mengamati isu-isu masa kini.

The Fighter, Indonesia, merupakan film dokumenter yang mengambil latar di Kediri, Jawa Timur. Marjito Iskandar Tri Gunawan mencoba menangkap pertarungan bela diri Pencak Dor di atas ring. Salah satu narasumber bernama Yudi seorang petarung yang melatih para santri menegaskan jika pertarungan tersebut bukan ditujukan untuk memamerkan kekuatan diri melainkan menguji kekuatan keterampilan dalam bertarung.

Pencak Dor juga menjadi arena yang mempertemukan para petarung dari berbagai aliran, seperti gulat, tinju, Muay Thai, wushu, dan lain-lain. Pencak Dor menjadi ruang untuk menyalurkan orang-orang dan menjadi pengganti tawuran: dapat mengurangi potensi munculnya geng-geng anak muda di Jawa Timur, Indonesia. Pencak Dor tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam yang berkembang di pesantren.

Penonton Jepang Menyaksikan Film Dokumenter Asia Tenggara

Secara umum reaksi yang diekspresikan penonton Jepang melihat fenomena yang terjadi di Asia Tenggara adalah merasa bersimpati.

“Reaksi paling dangkal adalah oh kasian juga ada kemiskinan, perkosaan, negaranya masih terbelakang. Karena posisi negara masih di belakang masalah-masalah seperti itu belum diselesaikan masih sedang berkembang masalah seperti itu,” ujar Nishi Yoshimi.

Namun, untuk membuat mereka paham konteks suatu film tentu tak sederhana. Selain histori yang tak semua tahu, pihak VDP secara aktif mengundang pengamat film dari negara masing-masing hingga penerjemah dari Jepang yang fasih dengan bahasa dalam film.

“Mengundang pengamat-pengamat film dari negara asal agar konteksnya lebih memahami mendalam. Kenapa masyarakat jepang bertanya begini, susah begini. Pengamat dari negara pembuat bisa menjembatani,” ungkap Nishi Yoshimi.

Para pengamat, penerjemah, dan penonton saling berdiskusi. Sebut saja soal film The Fighter dari Indonesia. Bagaimana sebuah kekerasan dipertontonkan, bentuk emosi yang harus dikendalikan dan sebagainya. Nishi menyebut jika akar kemunculan kekerasan dalam Pencak Dor tentu tak luput dari insiden 1965 di Indonesia. Jauh dari itu ada masa revolusi, penjajahan Jepang dan masa kolonial. Sehingga dapat ditarik Kesimpulan akar dan bibit kekerasan tersebut mengapa muncul.

“Semakin memahami juga kenapa ada masalah di belakang ada apa kaitannya dengan budaya lokal,” tambahnya.

Sementara, bagi Sazkia Noor Anggraini sebagai pembuat sekaligus peneliti film mengkonfirmasi bahwa diproduksinya film dokumenter terkadang mampu mengungkap Sesutu yang memang belum ditemukan sebelumnya.

“Bagian membangun kenyataan baru,” ujarnya.

“Di area studies menggunakan film sebagai proses mengenal, penelitian, menginterpretasi apa yang terjadi di masyarakat area yang diteliti,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 3 minutes

Film tak sekedar soal hiburan, film adalah ide dan nilai yang disajikan secara audio visual demi membuat penontonnya sama-sama sepakat soal isu yang diangkat. Jika memang demikian, apakah benar film mampu membuat orang semakin peka?

Pada seri ke-5 Kaliurang Festival Hub berkesempatan lakukan kolaborasi dengan Festival Bahari yang berumah di Cirebon. Gelaran sejak 27 Juni hingga 28 Juni 2024 itu mengabil tajuk “Kabar Tepi Laut”. Diawali dengan pemutaran 3 film berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip semua film mengambil latar perairan.

Perahu Sandeq merupakan film genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama yang menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor Kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Film dalam Konteks yang Adil

Movie Talk “Kabar Tepi Laut” dalam seri ke-5 Kaliurang Festival Hub menghadirkan kawan-kawan dari Film Festival Bahari. Mereka adalah Kemala Astika selaku Program Director serta Doni Kus Indarto, Advisory Board. Dipandu oleh Rizka Aulia, kru Film Bertema Perempuan Nelayan sekaligus Laboran Ilmu Komunikasi UII.

Doni Kus Indarto membuka diskusi dengan sebuah konteks keadilan dalam sebuah karya film. Ada keresahan terkait isu tersebut, ia menyebut selama ini film menjadi barang mewah bagi masyarakat ekonomi ke bawah.

Festival Film Bahari ingin mengembalikan film kepada pemiliknya, yakni masyarakat yang menjadi sumber inspirasi dan konten.

“FFB pertama kali hadir karena kegelisahan hampir semua festival film hadir untuk filmmaker bukan ditayangkan untuk penonton. Hampir semua diputar di gedung mewah, yang miskin tidak boleh nonton film.  Di Gedung tiketnya (film) mahal. Beda dulu ada grade semua kalangan bisa masuk,” tuturnya membuka diskusi.

Tak hanya itu, festival lazimnya hanya menyasar komunitas-komunitas tertentu. Doni berpaham bahwa film yang digarap di tengah-tengah masyarakat sudah selayaknya mampu dinikmati bersama. Interaksi antara masyarakat, mengangkat sebuah isu, hinggatimbul diskusi usai menonton tak jarang menemukan sebuah jalan keluar.

“Begitu juga festival filmnya, yang penyelenggaraanya ada di tengah masyarakat lakukan. Audiens di sekitar, layar tancap, ada mbok-mbok jualan di tepi. Sehingga interaksi dilakukan langsung lanjut diskusi soal masalah yang terjadi,” tambahnya.

Kerap kali screening dilakukan di sekolah-sekolah hingga pesantren untuk sebagian film yang memang diproduksi memiliki orientasi pesan kepada pelajar. Jangka panjangnya tak hanya ajang interaksi namun ada pesan yang memiliki manfaat.

“Tema Bahari satu secara geografis Cirebon di pantai. Kesadaran laut pemersatu belum tebal, film bukan tujuan, film adalah media sarana bisa bersilaturahmi dengan masyarakat. Syukur-syukur bisa memunculkan kebermanfaatan,” tandasnya.

Peka dengan Isu Lingkungan

Secara geografis Cirebon berada pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur Pantai Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Kondisi ini membuat sebagian besar masyarakatnya hidup di pesisir pantai dan berprofesi sebagai nelayan, petani tambak, dan sektor serupa lainnya.

Kerja-kerja yang bergantung dengan alam tentu penuh ketidakpastian, menurut Kemala Astika dari cuaca dan kondisi menentu yang berujung pada kondisi ekonomi hingga lubang-lubang utang masyarakat dengan para lintah darat.

“Di sana banyak pantai bukan untuk wisata, karena dangkal dibuat untuk tambak, ada temuan kisah-kisah sudah tidak melaut. Mereka ada yang pindah menjadi petani tambak, menangkap dengan manual, berkostum lengkap menyelam nyari ikan, kepiting, yuyu. Based real story. Nasib nelayan kita banyak banget PRnya. Mereka menghadapi kehidupan dengan tangguh, faktor ekonomi, terlilit lintah darat,” jelas Kemala.

Kemala yang juga sebagai pengajar di salah satu sekolah di Cirebon berharap dengan film-film yang dikurasi oleh Festival Film Bahari mampu membuat orang peka dengan kondisi yang terjadi pada sekitar, termasuk soal isu lingkungan yang pasti berdampak dengan kondisi sosial dan ekonomi.

“Dari film mengenal lebih dekat semua tentang kelautan dan kebaharian. Pertama sebagai ruang belajar, untuk mengenal kelautan. Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia. Tapi narasi-narasi yang sering diberitakan betapa miskinnya para komunitas di sekitar, tapi banyak PR. Sebanranya banyak banget potensi-potensi yang ada pada teman-teman pesisir, budaya, seni, tapi bisa menghidupi sehari-hari,” tambahnya.

Salah satu upaya yang dilakukan Kemala dan kawan-kawan adalah menggandeng para pelajar untuk belajar bersama memproduksi film. Mulai dari riset isu, hingga live in bersama masyarakat nelayan.

“Kepekaan untuk pelajar proses riset paling penting, pentingnya menyelami subjek, bekerja dengan tim, menemukan keunikan isu. Bermanfaat, berdampak setidaknya warga sekitar, ada konsekuensi panjang. Pendektan dengan warga, kenal, stay dulu,” ujaranya lagi.

Ia tak memiliki ekspektasi tinggi soal hasil garapan itu, baginya proses yang dilakukan para pelajar untuk peka terhadap kondisi sosial adalah pencapaian terbaik. Sementara, film yang telah selesai digarap bisa dinikmati bersama para nelayan mampu menjadi pereda lelah seharian melaut.

“Perayaan, habis melaut, bisa menikmati (film). Pak tani punya siklus sendiri, begitupun juga nelayan (bekerja mengikuti kondisi cuaca). Buat warga bisa untuk refleksi, cerminan, Ada temuan baru, bisa berdialog antara warga dengan Kepala Desa,” pungkasnya.

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 2 minutes

Kaliurang Festival Hub seri ke-5 mengambil tema Kabar Tepi Laut. Tema ini dipilih karena sesuai dengan film-film yang telah dikurasi dan akan ditayangkan selama dua hari mulai 27 Juni hingga 28 Juni 2024 di Gedung Rav prodi Ilmu Komunikasi UII.

Dengan tema Kabar Tepi Laut, kolaborasi dilakukan bersama Festival Film Bahari yang berumah di Cirebon. Digawangi oleh Kemala Astika dan Doni Kus Indarto, pihaknya bersama Kaliurang Festival Hub sepakat menayangkan tiga film bertemakan bahari atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tema laut. Tiga film tersebut berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip.

Di hari pertama pembukaan, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII menyampaikan apresiasi kepada para pegiat yang tergabung. Kaliurang Festival Hub mampu membuktikan keberlanjutannya sebagai ruang pertemuan berbagai gagasan hingga diskusi.

“Kalfes Hub menjadi ruang pertemuan berbagai gagasan, ide-ide, diskusi seperti hari ini. dan ini menjadi tradisi jika kita urut ke belakang ini sudah yang kelima yang berarti kita sudah melakukan pembuktian bahwa acara ini berkelanjutan. Apresiasi untuk Pak Gunawan dan Pak Zaki,” ujar Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Beliau juga menceritakan sedikit perjalanan Kaliurang Festival Hub yang selalu membawa tema-tema beragam pada setiap serinya. Mulai isu sosial, lingkungan, hingga ekonomi politik.

Pada kesempatan yang sama, Festival Hub Programmer yakni Dr. Zaki Habibi berharap, kerja-kerja yang dilakukan bersama pegiat lainnya menjadi informasi dan data yang suatu saat bisa dijadikan berbagai bahan penelitian yang memberi warna baru.

“Sejak tahun lalu posisi kami sebagai pengumpul informasi atau pengumpul data tentang festival-festival lain yang ada di Indonesia. Untuk kali ini festival dari Cirebon, jangan heran festival tidak harus dari kota besar gemerlap. Mimpi Kalfest Hub atau Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam jangka panjang siapapun yang pengen tahu tentang festival film bisa datang ke sini, data-data ini terkompilasi oleh teman-teman pegiat dan suatu saat akan terpublikasi sebagai kompilasi tertentu di PDMA Nadim,” ungkapnya.

Preview Film

Secara umum film Perahu Sandeq merupakan genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat. Budaya bahari dalam Sandeq atau kapal bercadik merupakan warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama ini menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Film
Reading Time: 2 minutes

Film dokumenter garapan Laboran Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia berhasil lolos sebagai nominasi Megacities ShortDocs Festival di Paris, Perancis. Hope from the Edge of Town berhasil masuk dalam nominasi Best ShortDoc pada Edition 9 Selection tahun 2024.

Digawangi oleh M Iskandar, film dokumenter ini merekam soal isu lingkungan abrasi akibat perubahan iklim pantai utara Jawa. Laboran Prodi Ilmu Komunikasi itu memulai riset pada pertengahan 2023,

“Riset sudah dimulai dari pertengahan 2023 berupa penelusuran dokumen dan artikel dalam rangka mengumpulan informasi terkait isu dampak abrasi dan perubahan iklim pantai utara Jawa,” ujarnya.

Ia akhirnya bertemu beberapa subjek yang melakukan inisiatif upaya pelestarian hutan mangrove. Salah satu sosok tersebut adalah Zayid yang tergabung dalam komunitas Camar di Tambakrejo, Kecamatan Tanjung Mas, Semarang Utara.

“Riset berlanjut pada penelusuran cerita pada subjek yang berupaya menanggulangi kondisi situasi yang terdampak dengan inisiatif mereka, akhirnya ada dua pihak yang kami survei, pertama Kyai mangrove di Kawasan Pantai Mangkang Semarang, kedua sekelompok warga yang menakam dirinya Camar di kampung Tambakrejo Semarang Utara secara konsisten melakukan penanaman mangrove sejak 10 tahun lalu,” tambahnya lagi.

Sejak tahun 2023 beberapa dosen dan laboran Prodi Ilmu Komunikasi UII telah melakukan pengabdian dan pemberdayaan di sekitar Pantai Utara jawa, hal ini membawa M Iskandar consent terhadap isu abrasi yang terjadi karena perubahan iklim.

Lokasi Tambakrejo yang masuk dalam jajaran kota di Semarang Utara yang memiliki banyak tantangan dan ketimpangan baik lingkungan dan sosial.

“Ini menjadi perhatian dan consent saya dan bagian kepedulian saya pada kondisi alam Indonesia terutama pada dampak situasi global. Ternyata sudah ada dan harus disikapi. Melalui film ini saya ingin memberikan refleksi atas pengalaman kita bisa hidup untuk menghadapi situasi alam yang berubah belajar dari subjek, ini proses berbagai pandangan, pengetahuan, sikap yang perlu kita pelajari,” ujarnya.

Salah satu kru dalam pembuatan film Hope from the Edge of Town yakni Bayu Prabowo membagikan pengalamannya pada produksi selama dua bulan terakhir. Ia fokus pada perekaman suara di lokasi pengambilan film dokumenter.

“Proses produksi kurang lebih dua bulan namun sebelumnya sudah lakukan riset. Ada pengalaman menarik soal produksi kemarin, saya fokus perekaman suara sekitar seperti bunyi kapal, langkah kaki, kicauan dan gerak gerik burung di hutan, serta gemericik air,” ujar Bayu Prabowo.

“Kisah ini penting untuk diangkat karena kehidupan di pinggir kota begitu jelas ketimpangannya bisa dilihat dari dampak alamnya. Semoga pemerintah lebih memperhatikan isu sosial dan lingkungannya,” tambahnya.

Sebagai produser, Gunawan berharap mendapat banyak kesempatan untuk berdialog dengan para penonton. Dialog-dialog ini bisa dilakukan melalu berbagai festival, salah satunya Megacities ShortDocs Film Festival yang akan digelar pada Mei 2024 di Paris, Perancis.

Tercatat sejak tahun 2014 setidaknya lebih dari 1.000 film telah terdaftar dalam Megacities ShortDocs Film Festival. Film-film tersebut mengangkat isu-isu seputar kota besar di seluruh dunia dan bertujuan untuk menciptakan kota yang lebih layak huni. Kota-kota besar adalah tempat yang penuh dengan peluang, tetapi juga memiliki banyak tantangan.

“Setiap festival memiliki kriteria dan standar terhadap film-film yang layak pada festival mereka. Festival ini fokus pada cerita-cerita yang mengungkap inisiatif-inisiatif warga dalam menyikapi situasi lingkungan dan tantangan di kota besar. Film yang dipilih yang memiliki kekuatan mengungkapkan solusi yang diberikan,” tandasnya.

Setelah itu nantinya film ini akan dipublish pada kanal YouTube Ikonisia TV karena masuk dalam program rutin Prodi Ilmu Komunikasi UII.

 

Reading Time: < 1 minute

Assalamualaikum Wr.Wb
SUBMIT KARYA FKI DIPERPANJANG

Pengiriman karya sampai tanggal 1 Desember 2020 dan pengumuman pemenang 5 Desember 2020.

Yuk masih ada waktu untuk  ambil gambar, atau edit videonya, yuk, yuk, yuk!
Kami tunggu karya terbaik kalian.

Wassalamualikum Wr.Wb

Info FKI 2020

Contact Us:
WhatsApp 081372056146 (Iven)