Tag Archive for: Content Creator

Studium Generale 2025: Suara Mahasiswa untuk Demokrasi di Ruang Digital

Gen Z sebagai digital native menghabiskan waktu setidaknya lima jam per hari untuk berselancar di media sosial. Menurut survei yang dilakukan YouGov tahun 2025, aktivitas yang dilakukan Gen Z beragam mulai dari scrolling, join the trend, hingga menciptakan content. Dari 81 persen masyarakat Indonesia yang aktif bermedia sosial, 48 persennya adalah Gen Z. Jumlah yang dominan adalah peluang, lantas bagaimana cara membawanya kea rah positif?

Jurusan Ilmu Komunikasi UII, menggelar Studium Generale bertajuk “Suara Mahasiswa untuk Masa Depan” pada 15 November 2025 di Gedung Mohammad Natsir, UII untuk menyambut sekaligus memberikan pengalaman bertukar dalam forum yang lebih general dan memiliki keterkaitan dalam kajian Ilmu Komunikasi untuk mahasiswa baru.

“Sebagai mahasiswa baru, kita mendapat privilese akses, perjumpaan, dan kesempatan yang lengkap untuk belajar. Setelah melewati masa ujian, kita diingatkan bahwa menjadi mahasiswa berarti melampaui cara belajar yang biasa. Hari ini, lewat Studium Generale, kita disambut dalam forum umum yang memperluas perspektif sebuah ruang untuk memahami ilmu secara lebih menyeluruh,” ucap Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi saat membuka agenda tersebut.

Ungkapan itu juga dipertegas oleh Nizamuddin Sadiq, Ph.D. selaku Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni, bahwa mahasiswa akan terus bertumbuh lewat kemandirian belajar, dengan penguatan dialog dan diskusi.

“Saya meyakini bahwa letak ‘kemahaan’ pada mahasiswa adalah dalam kemandirian belajar mereka yang tumbuh melalui proses, dialog, dan diskusi. Hari ini, saya kembali mempertanyakan relevansi demonstrasi di era digital jika dulu suara harus diteriakkan di jalan untuk didengar, kini ruang digital membuka cara baru untuk menyuarakan gagasan dan memperjuangkan demokrasi,” ujarnya.

Proses Gen Z Menemukan ‘Suaranya’ di Dunia Digital untuk Demokrasi

Menghadirkan dua pembicara yang aktif dalam dunia media digital, Retyan Sekar Nurani alumni sekaligus jurnalis Kumparan serta Ali Maaruf seorang penulis sekaligus kreator konten memberikan banyak perspektif unik dan orisinal.

Retyan Sekar meyoroti “Gen Z Bersuara di Dunia Digital” lewat pengalamannya menjadi jurnalis di awal pandemi Covid-19. Ekspektasinya, seorang jurnalis adalah sosok yang turun ke lapangan menghampiri narasumber. Namun kondisi yang dihadapinya berbeda, pambatasan bertemu fisik yang dilakukan pemerintah ternyata menjadi peluang baru baginya.

“Aku belajar menjadi jurnalis dengan transisi yang luar biasa [pandemi],” ungkapnya.

Ia menjelaskan kuatnya suara di platform digital hingga membuat semua pihak memiliki kesempatan yang sama. Meski demikian Gen Z sangat perlu mempelajari isu dan menguatkan konteks sebelum bersuara. Aktivisme bergeser dari demo jalanan menjadi digital activism, meski demikian esensi demokrasi terus menguat.

“Beberapa orang ingin menyuarakan tapi tidak tau diksinya. Kita punya priviledge. I meet medium to find out the voice, now digital activism,” tambahnya.

“Di era digital, akses, visibilitas, dan konektivitas suara sekcil apa pun dapat menjadi suara bersama. Tantangannya bukan soal berani bersuara, tapi kritis dan tidak ceroboh. Pikir sebelum memposting, verifikasi sebelum membagikan, dan lakukan dialog dan diskusi bukan perang digital,” tambah Retyan Sekar.

Hal senada diungkap oleh Ali Maaruf, ia menggunakan istilah “demorezim” untuk mengungkapkan perubahan bentuk demokrasi. Dari demo fisik yang kini punya banyak medium baru.  Ali menegaskan untuk menemukan “suara diri” yang khas dan orisinal lewat penerimaan diri.

Sebagai penulis dan kreator konten spesialis patah hati, karya-karyanya adalah kejujuran dalam bersuara. Dengan menggunakan konsep unique story proposition lewat penebalan persona, dan tone of voice.

Salah satu fenomena “Gejayan Memanggil” beberapa tahun silam menampilkan realita bahwawa kreativitas visual dan pesan yang lentur justru menjadi gelombang suara kolektif.

“Demokrasi hari ini tidak selalu turun ke jalan, suara kini punya banyak bentuk. Cara menemukannya, kita harus mengenali diri, memahami konteks, dan menciptakan cerita unik yang benar-benar milik kita,” ucap Ali Maaruf.

Hak cipta

Jumlah kreator konten (Content Creator) di Indonesia mencapai 17 juta, 8 juta diantaranya telah berpenghasilan di atas UMR. Data ini diungkap oleh Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya akhir tahun 2024 lalu.

Jumlah tersebut mengindikasikan profesi ini sangat diminati, apalagi pundi-pundi rupiah yang ditawarkan cukup fantastis dengan jam kerja yang fleksibel. Jadi tak heran pengguna media digital berbondong-bondong membuat konten berharap viral dan menjadi content creator.

Namun, sebelum terjun menjadi content creator salah satu prinsip yang perlu dipahami tentu tentang hak cipta. Hal ini penting karena pengabaian hak cipta dapat merugikan secara materiil maupun non materiil.

Content creator sebagai orang yang membuat konten (teks, audio, video) dalam bentuk fisik maupun digital bertujuan untuk memikat, edukasi, hingga hiburan semata.

Dengan profesi yang berkutat dengan materi penciptaan, seorang content creator akan sering bersinggungan dengan hak cipta.

Memahami Hak Cipta

Melansir dari laman Kementerian Hukum Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kekayan Intelektual, hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang melekat secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif atas ciptaan yang diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terkait hak cipta telah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 dan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Selengkapnya dapat diakses melalui laman https://peraturan.bpk.go.id/details/38690.

Realita saat ini pelanggaran hak cipta di era digital sangat kompleks. Dari riset yang dilakukan Fenny Wulandari tentang Problematika Pelanggaran Hak Cipta di Era Digital pada Journal of contemporary Law Studies menyebut kemudahan penggandaan dan pendistribusian karya digital di platform digital dilakukan tanpa kontrol yang memadai.

Kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia yang berkaitan dengan teknologi digital didominasi oleh distribusi ilegal.

Sialnya, jika seorang content creator tak memahami pentingnya pengetahuan hak cipta kerugian bisa saja menimpa. Hukuman pidana beragam dari 5 hingga 7 tahun penjara, atau denda dari Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar.

Bijak dalam Mencipta

Jika saat ini content creator menjadi profesi incaranmu sebaiknya perhatikan baik-baik dalam proses menciptakan karya. Terlebih soal karya-karya yang akan menjadi pendukung konten yang tengah diproduksi.

Sederhananya, content creator akan membutuhkan gambar visual, instrument, musik, hingga video. Sebenarnya banyak laman penyedia gratis yang dapat diakses. Namun hal yang sebaiknya tak dilewatkan adalah keterangan syarat dan ketentuan sebelum mengunduhnya.

Konten-konten di sosial media cenderung dinamis namun seragam, sesuai dengan tren yang tengah banyak digemari penggunanya. Hal yang paling umum adalah penggunaan karya seni, misalnya menambahkan musik terbaru saat mengunggah konten video ke Instagram. Beberapa musik dan instrument bisa jadi bebas akses, namun jika tujuan komersil hal tersebut perlu dipelajari lebih lanjut.

Sebagai contoh, anda merupakan seorang content creator yang akan menerima endorsement suatu produk. Untuk mengoptimalkan engagement anda menambahkan lagu dari salah satu seniman. Artinya anda akan mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut, sementara pencipta lagu tidak mendapatkan apapun dari hal tersebut.

Tidak masalah jika lagu tersebut bisa diakses secara bebas dan disediakan oleh pencipta karena karyanya turut dipromosikan. Akan sangat merugikan jika anda memilih lagu dari seniman yang sama tapi mengambil dari sumber yang bukan aslinya, di Indonesia aktivitas cover-mengcover lagu tanpa izin yang tengah booming sudah dinormalisasi.

Namun, untuk menjadi content creator yang juga mencipta karya sebaiknya prinsip-prinsip terkait hak cipta menjadi pedoman utama. Bagaimana menurutmu Comms?

Hari media sosial

Menyambut Hari Media Sosial di Indonesia yang jatuh pada 10 Juni 2023 tentu menjadi momen yang tepat untuk mengulas balik jejak digital yang pernah kita buat. Kira-kira, kegilaan apa yang sudah kita lakukan dengan media sosial? 

Hari Media Sosial perlu kita rayakan karena masyarakat Indonesia telah menempatkan media sosial menjadi rujukan utama sumber informasi, seperti terungkap dalam laporan hasil survei Kemenkominfo bersama Katadata Insight Center (KIC). Disebutkan bahwa media sosial kini menjadi rujukan informasi masyarakat Indonesia dengan persentase 72,6 persen dan bertahan dari tahun 2020 hingga 2022 mengalahkan televisi dan portal media daring. 

Di sisi lain, sifat media sosial yang membuat penggunanya mampu berinteraksi secara dua arah kerap kali menjadi forum adu komentar negatif hingga ujaran kebencian. Percaya tidak percaya, media sosial dapat mengubah manusia menjadi apa pun dan tak terduga karena kegilaannya. 

Perkembangan era digital yang pesat membuat kita dapat dinilai hanya dengan melihat beranda media sosial kita. Aktivitas digital kita terekam jelas. Maka tak heran, tak sedikit perusahaan yang meminta calon karyawannya mencantumkan akun media sosial yang dimiliki untuk melakukan screening awal.  

Tak hanya itu, dosa paling menakutkan justru adalah aib yang terbongkar dan tersebar melalui media sosial. Alasannya, masifnya penyebaran informasi melalui media sosial tak bisa kita bendung. Hal ini beberapa kali terjadi pada pesohor tanah air yang terjun di dunia entertainment. Ketika namanya tengah moncer, isu tak sedap seketika membuatnya menuai pujian dan atau hujatan di mana-mana. 

Beberapa pekan terakhir mungkin media sosial tengah dihebohkan video syur berdurasi 47 detik yang diduga RK. Awal mula video tersebar melalui media sosial Twitter sontak membuat korban tak tenang hingga berujung pelaporan melalui  kuasa hukumnya, Sandy Arifin dengan nomor laporan LP/B/113/V/2023/SPKT/Bareskrim Polri. Dalam laporan tersebut, pelaku dijerat Pasal 45 ayat 1 juncto 27 ayat 1 UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang Undang RI nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. 

Dalam konteks ini RB adalah korban, namun dengan segala ketakutan dan dukungan dari orang-orang terdekat Ia berani menghadapi publik yang berkoar-koar memojokkan dirinya. Ia meminta maaf ke hadapan publik atas kegaduhan yang sebenarnya dilakukan oleh pelaku penyebaran video diduga mirip dirinya yang tak bertanggung jawab. 

Sesuai dengan laporan yang dilakukan oleh kuasa hukum RK, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. 

Sementara untuk RK yang saat ini menjadi korban, LBH HKTI siap memberikan bantuan hukum agar RK tidak terus menerus menjadi sorotan negatif. Secara terbuka pihak RK juga akan meminta pendampingan psikolog dan selayaknya mendapatkan meminta bantuan dari Komnas Perlindungan Perempuan. 

Salah satu kegilaan di media sosial yang berefek brutal terjadi ketika video rekaman Mario Dandy, anak seorang Dirjen Pajak Kemenkeu RI, dengan sadar menganiaya David Ozora, anak petinggi GP Anshor, tersebar. Aksi yang sengaja direkam oleh Shane Lukas, sahabat pelaku,  viral di berbagai platform media sosial dan menjadi headline banyak media massa.  

Bahkan hingga kini proses hukum masih terus berjalan dan menetapkan Mario Dandy dan Shane Lukas sebagai tersangka atas kekejaman itu. Kasus ini juga menyeret ayah Mario Dandy yakni Rafael Alun Trisambodo yang menjadi sorotan publik karena kehidupan tak wajarnya yang bergelimang harta. Istrinya yang cenderung flexing  membuatnya diseret KPK dan dipecat secara tidak hormat sebagai aparatur sipil negara (ASN).  

Contoh kegilaan media sosial yang mampu mengubah nasib seseorang lainnya dialami oleh Fuji, adik ipar almarhum Vanessa Angel. Kepergian Vanessa pada penghujung tahun 2021 membuat Fuji menjadi sorotan publik. Warganet ramai-ramai memuji Fuji atas sikap dan kepeduliannya terhadap putra semata wayang Vanessa Angel dan Febri Andrianysah. Hal ini membuat Fuji mendadak populer dan dikenal publik, namun kebaikan itu tak selamanya disambut positif. Tak sedikit pengguna media sosial menghujatnya dengan sebutan terkenal dengan “jalur kematian”. 

Apapun itu, sebenarnya media sosial telah memberikan pengalaman dan informasi berharga. Tak sedikit keuntungan serta peluang muncul dari media sosial yang sebelumnya mungkin tak terpikirkan. 

Seperti yang dilakukan oleh Meilisa Sunora, salah satu alumni dari Prodi Ilmu Komunikasi UII, yang kini berprofesi sebagai pegawai bank sekaligus content creator di TikTok. Ia mengaku menjadi sosok yang lebih produktif dan kreatif berkat media sosial. Menariknya, hobinya membuat konten makan siang adalah sebuah ketidaksengajaan alias iseng-iseng yang justru mampu menghasilkan pundi-pundi yang tidak sedikit. 

“Pertama ekonomi aku dapet penghasilan dari TikTok itu dari keranjang kuning (affiliate) yang selama ini aku jual lewat video. Selain itu juga dapat endorsment dari berbagai brand. Itu nolong banget buat menambah uang jajan,” ujar Meilisa. 

Tak hanya itu, kini ia dikenal banyak orang ketika sedang beraktivitas di luar kantor. Hal ini membuatnya merasa mendapat banyak dukungan karena konten yang ia buat ternyata diterima pengguna media sosial. 

“Segi sosial aku jadi banyak banget teman yang tidak aku kenal tapi selalu support aku. Sampe  kadang lucu sendiri ketika aku makan di mana gitu suka ada aja yang menyapa tapi aku gak kenal, suka aja jadi ketemu temen baru,” tambahnya. 

“Ketika videoku banyak yang like itu senengnya luar biasa karena aku merasa karyaku diapresiasikan. Di sisi lain ternyata selama aku ngedit itu bisa ngilangin stres, sedih, dan overthingking,” tutur perempuan berusia 27 tahun itu. 

Meilisa tak memungkiri bahwa kenaikan follower-nya di TikTok cenderung cepat, berawal dari nol hingga Agustus 2022 video makan siang dengan menu natto viral hingga tembus 1 juta penonton seolah mengubah hidupnya. Ia kini konsisten mengunggah konten makan siang minimal 5 kali dalam seminggu. 

Meski terdengar asyik dan menikmatinya, ternyata tingkah ulah pengguna media sosial cukup unik. Tak jarang ada yang memberikan komentar negatif hingga menghina fisik. Tak hanya itu, sesama pengguna terkadang justru bertengkar karena ada yang membela dan menjatuhkannya. 

Khawatir dengan komentar warganet juga dirasakan oleh Natasia Nurwitasari alumni Prodi Ilmu Komunikasi UII yang kini menjadi Influencer Mama, Ia mengaku menonaktifkan notifikasi di Media Sosialnya demi mengurangi rasa stres. 

“Aku sampe sekarang mematikan notifikasi terus. Gak pernah terlalu mau ngecek kolom komentar, awalnya lumayan stres banget baca komentar-komentar negatif. Disitu aku dituduh “membohongi anak” padahal aku merasa di video udah jelas kok maksudnya itu untuk apa,” terang Natasia. 

Ibu satu anak itu pernah mendapat cibiran dari warganet terkait tips dan trik agar anak tidak selalu meminta mainan baru ketika berkunjung di pusat perbelanjaan. Ia juga telah menjelaskan alasannya secara detail. Namun tak semua orang menerima dengan positif ide tersebut. Hal ini membuatnya sempat ogah-ogahan membuat konten baru. Namun, kreativitasnya seolah tak bisa berhenti, Ia akhirnya bergabung dengan sebuah agency dan menerima endorsment dari beberapa brand ternama. 

“Aku sebenarnya masih belum terlalu mau melabeli diri aku sebagai influencer. Tapi keadaannya sekarang aku sudsh bergabung di agency, jadi mau tidak mau aku sudah kerja & berkecimpung di dunia digital creator. Untungnya yang dirasain banyak banget alhamdulillah Aku bisa tetep kerja biarpun sbg ibu rumah tangga,” jelasnya. 

Lantas bagaimana dengan kamu, sudahkah memanfaatkan dengan bijak kegilaan media sosial?  

Jika melihat peluang di Indonesia sepertinya cukup menguntungkan, tercatat masyarakat Indonesia memiliki setidaknya 8 media sosial. Selain itu, menurut survei Global Web Indeks, konsumen di Indonesia menghabiskan waktu selama 148 menit per hari untuk mengakses media sosial. 

Sebagai informasi Hari Media Sosial diinisiasi oleh Handi Irawan, CEO Frontier Group dan juga penggagas Hari Pelanggan Nasional. Gagasan Hari Media Sosial muncul karena fenomena penggunaan media sosial di Indonesia. Diharapkan dengan pesatnya perkembangan media sosial diimbangi dengan sikap yang bijak dan memanfaatkan kegilaan secara positif.

 

Penulis: Meigitaria Sanita