Letak geografis negara Indonesia selama ini dianggap keuntungan luar biasa. Selalu dikagumi dan disanjung dengan kata-kata cantik, indah, dan menakjubkan karena laut dan gunungnya yang menyimpan sumber daya dan selalu estetik dalam potret yang bertebaran di media.
Namun, ada hal yang luput tentang keindahan Indonesia. Seolah terbuai dengan keindahan, Indonesia ternyata negara rawan bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga banjir.
Berdasarkan riset bertajuk World Risk Report 2022 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft bersama Institute for International Law of Peace and Armed Conflict (IFHV) of the Ruhr-University Bochum menyebut bahwa Indonesia merupakan negara paling berisiko terkena bencana kedua di dunia dengan skor World Risk Index (WRI) sebesar 43,50 poin.
Dalam laporan tersebut terdapat 193 negara berisiko terkena bencana di dunia, posisi pertama adalah Filipina dengan skor WRI 46,86 poin, disusul Indonesia. Selengkapnya dapat diakses melalui https://reliefweb.int/report/world/worldriskreport-2023-disaster-risk-and-diversity.
Setidaknya ada lima indikator mengapa Indonesia masuk dalam negara kedua paling rawan bencana di dunia yakni paparan (exposure), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility), kurangnya kapasitas mengatasi masalah (lack of coping capacities), kurangnya kapsitas adaptasi (lack of adaptive capacities).
Peliknya persoalan bencana di Indonesia seolah tak banyak dilirik, terbukti dengan minimnya edukasi dan literasi kebencanaan di ranah pendidikan. Melihat keresahan ini, International Program Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop bertajuk “The 4th Annual Workshop on Globalization 2023: Media and Disaster Journalism, Comparing Indonesian and Japanese Experiences” pada 19 Oktober 2023 di Perpustakaan Pusat UII.
Annual Workshop on Globalization (AWG) ini merupakan workshop tahunan yang digelar oleh International Program Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dalam diskusi yang dipandu oleh Dr. Zaki Habibi hadir tiga pembicara yakni Yoshimi Nishi, Professor and Researcher in The Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Pembicara kedua adalah Ahmad Arif, General Chairman of Disaster Journalist for Indonesia and Kompas Journalist. Ketiga, Muzayin Nazaruddin, Researcher on Disaster and Enviromental Communication, Universitas Islam Indonesia.
Comparing Indonesian and Japanese Experiences
Membandingan Indonesia dan Jepang dalam segi pengalaman bencana menjadi inti pembahasan AWG kali ini. Jika Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi tangisan kehilangan akibat bencana di media, ternyata Jepang lebih memberikan edukasi cara bangkit hingga antisipasi bencana susulan dalam berita di media lokal dan nasional.
Yoshimi Nishi menyampaikan materi terkait “Collective Memory and Inheritance of Disaster Experience in Jepang”, ia menjelaskan konsep mitigasi bencana, komunikasi bencana yang dibangun pemerintah di Jepang, hingga Memorial Day yang terus disampaikan dalam sistem pendidikan di Jepang agar semua siswa dari generasi memahami negaranya adalah tempat rawan bencana sehingga mampu beradaptasi dan bangkit dari bencana.
Salah satu komunikasi dan edukasi dibangun melalui film dan drama series. Tahun 2016 ada Your Name atau dalam bahasa Jepang Kimi no Na Wa, Shin Godzilla (2016), Crimson Fat (1976), Oshin (1983-1984), dan banyak lainnya.
Film sengaja dijadikan media edukasi bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka memiliki kalimat ampuh yakni “sonae” “kakugo” yang berarti kesiapsiagaan.
“Disaster film is strategy disaster management. From costume to culture, sonae kakugo,” ucap Yoshimi Nishi.
Ia menjelaskan terkait cerita yang dibangun melalui berbagai cara dan upaya mampu membangkitkan kesiapsiagaan masyarakat di Jepang dalam menghadapi bencana besar seperti tsunami maupun gempa.
“Your body moves without you even thinking abaout it, culture transmitted acrros generations. Stories can experience events you have never experienced before,” imbuhnya.
Jika di Jepang masyarakat telah siap dan beradaptasi dengan bencana, lain halnya dengan Indonesia. Ahmad Arif yang telah malang melintang di dunia media menyampaikan materi terkait “Lesson from Aceh Tsunami 2004 in Japan 2011: Disaster Similiarities, Differences in Media Responses” menyebut bahwa media di Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi kesedihan bencana.
Dari pengalaman meliput kedua bencana, Ahmad Arif membuka materi dengan membandingkan data kedua bencana yang berkekuatan sama, gempa tsunami di Aceh berkekuatan Mw 9,1 memakan korban 126.915 orang meninggal, 37.063 dinyatakan hilang. Sementara di Sendai, Japan dengan kekuatan gempa tsunami Mw 9,1 dengan korban meninggal 15.883 meninggal dan 2.681 korban hilang.
Angka-angka itu menjadi fakta bahwa Indonesia masih minim kapasitas dalam mengatasi dan adaptasi bencana. Banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal jauh dalam menghadapi bencana karena budaya dan kebiasaan masyarakat.
“Indonesia tertinggal dari Jepang, agak susah meniru karena berbagai faktor mulai dari budaya, antropologi, dan sejarah,” terang Ahmad Arif.
Minimnya pengetahuan mitigasi bencana semakin diperparah dengan karakter media di Indonesia. Dari riset yang dilakukan oleh Ahmad Arif ada perbedaan mencolok dalam segi peliputan. Bencana tsunami Aceh 2004 seolah terputus karena akses dan informasi terputus sehingga foto kejadian itu diketahui di hari kedua. Sementara pada tsunami Sendai 2011, informasi langsung diketahui di hari yang sama karena media di Jepang telah mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi.
“Foto tsunami Aceh baru diketahui di hari kedua, foto yang dicantumkan pada hari pertama itu tsunami di India. Berbeda dengan di media Jepang yakni Yomiuri Shimbun, media di sana sudah mengantisipasi peristiwa ini (bencana) akan terjadi,” jelasnya.
Ditambah fokus media di Indonesia adalah fokus memotret tragedi dengan konten yang sama dengan gambar kerusakan, orang menangis, dan gambar korban. Sementara di Jepang lebih fokus pada proses recovery.
Terakhir materi terkait “Media and Disasters: Indonesian Experiences (Some Early Reflections)” yang disampaikan oleh Muzayin Nazaruddin yang telah aktif mendalami kajian komunikasi bencana.
Pada awal penyampaian materi, ia melempar pertanyaan terkait bencana tsunami Aceh kepada audiens. Ia menanyakan apakah para mahasiswa yang lahir pada tahun sekitar tahun 2004 tahu informasi terkait bencana tersebut. Menariknya, mahasiswa menjawab mereka mengetahui dari media dan cerita orang tua namun tidak dari sekolah atau institusi pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa minim edukasi mitigasi bencana di bangku sekolah.
Akibat eksploitasi media Indonesia terhadap tragedi bencana, berdampak pada korban bencana yang mudah mendapat informasi hoaks.
“The media landscape has dramatically changed more effective for risk communication, its mean more hoax, more rumors,” pungkas Muzayin Nazarudin.
Muzayin memberikan lima tawaran untuk menghadapi dan merespons bencana di Indonesia antara lain mengintegrasikan kebijakan redaksi dengan kebijakan pengurangan risiko bencana yang lebih komprehensif dengan kebijakan pengurangan risiko bencana.
Kedua, transformasi dari “bencana sebagai peristiwa media” menjadi “jurnalisme pengurangan risiko bencana” lebih “pengurangan risiko bencana” komitmen yang lebih besar terhadap PRB, terkait komunikasi risiko, peringatan dini, dan pendidikan bencana.
Ketiga, peningkatan keterampilan jurnalis secara terus menerus terkait dengan isu-isu risiko dan terkait dengan isu-isu risiko dan bencana.
Keempat, media arus utama media lama harus menjadi sumber yang berwibawa dan terpercaya, mengklarifikasi rumor, dan menyajikan berita yang akurat.
Terakhir, mengedukasi masyarakat tentang keterampilan pengecekan fakta keterampilan literasi media, terutama dalam isu risiko dan bencana kolaborasi dengan pemangku kepentingan yang relevan.
Itulah catatan terkait perbandingan pengalaman mengatasi bencana antara Indonesia dan Jepang. Bagaimana Indonesia ke depan ya Comms? Apakah media di Indonesia akan berhenti menyoroti tragedi dan beralih pada proses recovery seperti media di Jepang?