Syawalan Daring: Ibadah dan Solidaritas Kemanusiaan
Setiap ibadah tidak semata ritual. Ibadah yang sifatnya ritualpun punya misi penting yaitu pembentukan akhlak mulia, akhlakul karimah. Ibarat pohon, ritual adalah batang yang akan bercabang dan berbuah manis berupa akhlak yang mengejawantah salah satunya pada solidaritas sosial.
Tema solidaritas sosial ini mengemuka saat Syawalan Daring yang diadakan oleh Keluaga Besar Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, 5 Juni 2021. Syawalan daring ini menghadirkan K.H. Dr. Tulus Musthofa, Lc., MA dihadiri oleh seluruh staf pengajaran tenaga kependidikan FPSB UII, juga oleh wakilorangtua mahasiswa FPSB UII.
Mustafa menegaskan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad di dunia adalah untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak mulia adalah hal pokok sebagaimana Pohon ada akar, ada dahan, daun, akhirnya buah. Sedangkan akan dan batang utamanya adalah ritual seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Sadangkan buahnya adalah akhak mulia. “Di balik ritual ada sholat, ada nilai kepemimpian, sensititas soal, disiplin, keimanan, dan lain-lain. Di balik puasan ada ikhlas, pengendalian diri, mawas diri, dan sebagainya,” ungkap Mustafa.
Untuk mengukur diri apakah kita sudah memiliki akhlak mulia atau belum adalah dengan mencek diri apakah kita sudah mampu bersikap dan berbuat baik secara reflek atau belum. Orang yang sudah mampu bersikap dan bertindak baik secara reflek atinya dalam dirinya sudah tertanam akhlak yang baik. Mustafa merujuk Imam Ghozali unruk mendefiniskan apa itu akhlak. Berasal dari kata khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya peruabahan dengan mudah, ringan, tanpa pertimbangan dan pikiran mendalam.
Akhlak Mulia dapat terbentuk dengan proses yang tidak sebentar. Menurut Mustafa, ada tiga proses yang harus dilakui. Proses pertama adalah membersihkan diri dari nafsu. Hal ini tidaklah mudah karena setiap manusia diberi nafsu oleh Allah swt, tetapi manusia harus mampu mengendalikannya untuk menghilangkan nafsunya meskipun keinginannya masih ada dalam dirinya.
Proses kedua adalah mendidik diri (self education). Dalam proses ini pastilah tidak mudah karena mendidik diri butuh konsistensi yang tinggi. Bukan hanya sekali dua kali saja, tapi terus menerus. Ketiga adalah atmofer atau lingkungan positif. Lingkungan hidup positif akan mempermudah seseorang untuk berrsikap dan membiasakan hidup dengan cara tertentu.
“Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.
Solidaritas sosial dapat ditumbuhkan dengan tiga proset tersebut. Solidaritas sosial tak hanya dilakukan saat bulan suci saja. Tapi bulan suci harusnya menjadi pemicu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. “nabi muhammad SAW itu orang yang paling dermawan. Dan ketika Ramadhan, kedermawanan beliau seperi angin kencang,” kata Mustafa.
“Kedermawanan bisa dengan harta benda. Tapi bagaimana jika saya tidak punya harta? Bisa dengan membantu pekerjaan orng lain dengan tenaga. Bagaimana jika masih tak bisa menggunakan tenaga? Bisa dengan mengajak kebaikan. Tapi bagaimana tak berilmu? Jika sudah begitu, jangan berbuat buruk. Itu sudah sodakoh,” kata Mustafa menjelaskan jenis-jenis sodakoh.
Bersodakoh tak hanya dengan memberikan bantuan dan kepedulian tehadap menyantuni yatim, jompo, janda, kebutuhan khusus. Kepedulian pada tiga kategori ini adalah utama. Tapi solidaritas dalam bentuk memerdekakan hamba, memberi makan yang lapar, membela yang terhimpit, menyantuni orang berkebutuhan khusus juga pokok. “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.