Strategi Komunikasi Pemasaran Industri Tembakau dan Konsumsi Rokok yang Meningkat di Tengah COVID
Masduki, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Di tengah pandemi COVID-19 yang memukul semua sektor dan menurunkan pendapatan sebagian besar masyarakat, konsumsi rokok di Indonesia justru meningkat. Murahnya harga rokok merupakan salah satu pemicu naiknya konsumsi rokok di negeri ini.
Konsumsi yang tinggi ini merupakan “hasil” dari kuatnya pengaruh industri rokok di satu sisi, dan di sisi lain karena lemahnya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO.
Riset terbaru bertajuk Indeks Gangguan Industri Tembakau 2020 menunjukkan industri tembakau di Indonesia selalu berupaya terus menghambat upaya pengendalian tembakau lebih ketat. Hal itu terus berlangsung tahunan.
Dalam indeks serupa di Asian Tenggara, Indonesia menempati posisi teratas (82 poin, dari indeks 0-100) mengalami gangguan dari perusahaan rokok. Sedangkan indeks Malaysia 63 dan Thailand 43. Posisi negeri kita tidak membaik dibanding tahun lalu, bahkan dibanding era sebelum pandemi.
Kedigdayaan industri tembakau
Riset ini menemukan beberapa fakta penting bahwa pemerintah lebih berpihak kepada industri tembakau. Rakyat yang terbelenggu nikotin menghadapi ancaman penurunan kualitas kesehatan berlipat ganda, pascapandemi COVID-19.
Keberpihakan pemerintah, antara lain, ditunjukkan dengan berbagai insentif kepada pelaku industri besar dan kecil dan berbagai kemudahan bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) pada masa pandemi.
Sikap ini kontradiktif dengan Pasal 2(1a) Undang-Undang Cukai yang menyatakan hasil tembakau harus dikendalikan konsumsinya karena pemakaiannya berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat.
Kenyataannya, pemerintah memberikan berbagai kemudahan bagi industri hasil tembakau pada masa pandemi untuk meningkatkan produksi. Peningkatan produksi rokok berarti mendorong peningkatan konsumsinya oleh masyarakat.
Pada awal 2021, Kantor Bea dan Cukai Kabupaten Kudus, Jawa Tengah misalnya, mencatat penambahan jumlah pabrik rokok dari semula 80 menjadi 114 unit. Alih alih mengendalikan, industri hasil tembakau besar dan kecil justru mendapat perhatian yang sama seperti industri produk konsumsi lainnya.
Selain mendorong peningkatan produksi, pemerintah memberikan insentif relaksasi pembayaran pita cukai dan tidak menaikkan tarif cukai jenis sigaret kretek tangan (SKT) tahun 2021. Relaksasi ini dinikmati industri tembakau berskala kecil dan besar. Pemerintah juga memfasilitasi produk nikotin baru untuk mendapat Standar Nasional Indonesia.
Selain itu, perwakilan industri tembakau tercatat aktif melobi dan menegosiasi kebijakan. Ini terjadi karena tidak adanya instrumen hukum yang melarang partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan.
Pemerintah harus menerapkan kode etik yang mengatur interaksi dengan pihak industri tembakau dan kelompok pendukungnya seperti Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), dan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo). Perlakuan istimewa kepada industri tembakau selama pandemi perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan kerugian kesehatan dalam jangka panjang.
Pemerintah seharusnya menunjukkan sikap yang berpihak kepada kepentingan kesehatan dalam jangka panjang, bukan semata kepentingan ekonomi. Caranya dengan menempatkan diri secara independen dan kuat, menghadapi gangguan industri tembakau.
Sepanjang 2020, kalangan industri tembakau sangat aktif membangun pencitraan positif di media massa, termasuk dengan cara menonjolkan data-data tertentu dengan melibatkan berbagai media utama dan tokoh atau akademisi berskala nasional.
Ada dua strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan industri tembakau: melalui teknik kehumasan (public relations) dan manipulasi media. Ini mereka lakukan sebagai upaya menjaga citra rokok sebagai produk yang normal untuk diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat.
Misalnya, selama 2020, industri tembakau secara massif menggalang liputan media untuk menolak kenaikan cukai. Strategi PR ditempuh terutama melalui program tanggung jawab sosial perusahaan selama masa pandemi.
Mereka berhasil memanfaatkan pandemi untuk mendapatkan citra baik melalui berbagai bantuan kepada pemerintah untuk penanganan COVID-19. Bentuk sumbangan sangat beragam, mulai dari bantuan sembako, alat pelindung, mesin tes PCR dan ambulans.
Puncaknya, pemerintah selalu mengapresiasi program tanggung jawab sosial perusahaan tembakau, seperti beasiswa bulu tangkis Djarum.
Pemantauan masyarakat sipil
Sejak 2015, sembilan asosiasi masyarakat sipil di Asia Tenggara memantau dan mengukur Indeks Gangguan Industri Tembakau (Tobacco Industry Interference Index) di masing-masing negara.
Mereka tergabung dalam Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), aliansi multi-sektor non-pemerintah yang mempromosikan kesehatan melalui upaya pengendalian industri tembakau, dengan merujuk pada Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau WHO.
Ada tujuh parameter yang digunakan untuk survei ini: (1) tingkat partisipasi industri rokok dalam penyusunan kebijakan, (2) kegiatan perusahaan rokok yang diklaim sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, (3) manfaat bagi industri tembakau, (4) interaksi yang tidak perlu, (5) transparansi, (6) konflik kepentingan dan (7) tindakan pencegahan.
Dari tujuh indikator tersebut, dalam kasus Indonesia, regulasi yang lemah menjadi persoalan mendasar yang terus berlangsung. Ini termasuk regulasi komunikasi publik pemerintah dan regulasi yang mengendalikan iklan, sponsorship dan promosi rokok di media.
Nilai indeks gangguan industri tembakau setiap tahun cenderung fluktuatif. Namun yang sudah pasti, dari sembilan negara ASEAN selama 2015-2020, Indonesia secara konsisten berada pada peringkat tertinggi setiap tahun.
Semakin tinggi nilai indeks semakin rendah keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dibandingkan kepada industri tembakau. Tabel di bawah ini menunjukkan tren indeks gangguan industri tembakau di Indonesia relatif kuat dan stabil dalam lima tahun terakhir.
Perbaikan posisi indeks Indonesia secara tentatif pernah terjadi pada 2017 dan 2018 setelah Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri No. 50 Tahun 2016 tentang mitigasi konflik kepentingan dengan industri tembakau dan implementasinya mulai 2017.
Mandegnya rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau membuktikan adanya tekanan penolakan industri tembakau, parlemen dan beberapa kementerian bidang ekonomi. Alasan mereka: revisi tersebut tidak urgen di tengah pandemi.
Argumen yang mengemuka adalah revisi PP No. 109 Tahun 2012 kontra produktif terhadap upaya pemulihan ekonomi, berisiko mematikan petani tembakau dan memicu pemutusan hubungan kerja buruh rokok.
Alasan seperti ini berulang kali disampaikan oleh kelompok pro industri tembakau tatkala ada desakan untuk memperketat regulasi pengendalian tembakau.
Kelompok miskin terus merokok
Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada keluarga miskin di lima kota menyebutkan 73,2% perokok miskin mempertahankan pengeluarannya untuk membeli rokok dengan mengurangi kebutuhan lainnya. Sebagian beralih ke rokok dengan harga lebih murah karena tak berdaya melawan kecanduannya.
Dari riset itu cukup jelas bahwa tubuh para perokok sudah berada di bawah kendali industri dan ketergantungan mereka menjadi komoditas ekonomi. Dari sudut pengetahuan dan kebijakan, Indeks 2020 mengkonfirmasi adanya pembentukan opini dan sekaligus manipulasi informasi di seputar konsumsi rokok sebagai suatu kegiatan yang normal.
Sebenarnya, jalan bagi pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat dan intervensi industri rokok cukup jelas: segera ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO yang menyediakan poin-poin kebijakan yang lengkap dan detail. Tanpa ratifikasi itu, celah-celah pengendalian tembakau parsial seperti saat ini mudah dimanfaatkan oleh industri tembakau.
Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
=====================================================
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.