Perspekti Baru dalam Komunikasi Profetik: Membela Kaum Lemah
Belakangan, muncul kritik pada kajian komunikasi islam. Komunikasi islam dianggap mengalami kemandekan. Bagaimana tidak. Selama ini kajian komunikasi islam tak beranjak pada bahasan seputar prinsip komunikasi dalam al-quran. Seperti qaulan syadiidan dan baliigha. Sesungguhnya, dimensi komunikasi dalam Quran lebih dari itu.
Holy Rafika Dhona, Dosen Komunikasi UII, mengatakan hal tersebut dalam bedah bukunya berjudul Komunikasi Profetik, ‘Perspektif Profetika Islam’ dalam Komunikasi pada Minggu (17/1) secara daring. Forum Alumni KBM (Kajian Budaya dan Media) membedah buku karya Holy Rafika dengan mengundang dua pembedah. Pertama Fita Fathurokhmah, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kedua, M. Heychael, Dosen Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara.
“Komunikasi islam itu mandek cuma di mengenali apakah ini di qoulan balighan, qaulan syadiidan, dan lain-lain. Tetapi, ketika ada mustad’afin kok nggak dibahas?” kata Holy Rafika, penulis buku yang terbit pada akhir 2020 ini. Menurut Holy, buku yang diterbitkan oleh UII Press, ini mencoba mendorong gagasan islam yang memberi rahmat untuk semesta bahkan untuk mereka yang tertindas.
Holy mempertegas dengan pengandaian, “ini ada orang tertindas lho di sini. Kok dibiarin saja. Islam itu nggak begitu harusnya. Islam itu kan membahas prinsip soal keadilan,” sambung Holy.
Apa hubungan keadilan dan orang yang tertindas dalam Komunikasi Profetik? Menurut Holy melihat fenomena ketertindasan dengan nilai keadilan mudah sekali. Holy menegaskan bahwa dari kacamata Islam. Islam memiliki konsep bahwa orang yang tertindas menandakan bahwa ia tidak medapatkan keadilan. Menurutnya, Islam hadir untuk membela yang lemah agar keadilan apat ditegakan. “Orang tertindas itu kan orang yang nggak mendapatkan Keadilan. Maka islam hadir untuk membela mereka yang lemah, agar mendapat keadilan,” jelas Holy.
Fita Fathurokhmah, di sisi yang lain, memberi catatan atas terbitnya buku ini. ia memberikan masukan agar buku ini disusun dengan lebih praksis agar “Masukan saya, Mas Holy, bisa tulis buku selanjutnya lebih ke praksis. Ini akan laku pasti. Bagaimana Komunikasi Profetik dari level intrapribadi, dari level antarpribadi, kelompok, massa, publik, hingga level media dan organisasi,” usul Fita.
Selain itu, Tita juga mengkritik mengapa buku ini tidak membahas bangunan konseptualisasi pengetahuannya menganai apa epistimologi, apa aksiologi, danapa epistemologinya.
Holy menunjukkan bahwa soal konseptualisasi pengetahuan telah dibahas oleh penulis sebelumnya, misalnya Prof Iswandi dan Heddy Ahimsa. Prof Heddy Shri Ahimsa dan Iswandi Syahputra sudah menulis penekanannya pada konseptualisasi pengetahuan dan lain-lain. Ada perbincangan soal ontologi, aksiologi, dan epistemologi profetik. “Kalau Prof Iswandi dan Ahimsa itu mustad’afin (membela kaum lemah)–nya hilang,” ungkapnya. Disini Holy ingin melengkapai kajian komunikasi rofetik degna perpektif yang kurang selama ini, ia menambal bagian lain.
“Kalau lihat versi pak Ahimsa, nanti jadinya perdebatan ilmu atau bukan. Tapi, menurut saya ilmu itu harus rahmatan lil alamin,” tambahnya.