Problem dan Tantangan Jurnalisme Digital
Ada dua hal yang sangat mempengaruhi bisnis media massa belakangan ini. Pertama, adalah disrupsi digital yang kian lama kian menggurita. Lalu yang kedua adalah pandemi Covid-19. Keduanya dianggap sangat mengubah lanskap pola bisnis media di Indonesia. Tak hanya di hulu, melainkan juga di hilir.
Pada saat masih berada di media konvensional, para jurnalis menguasai hulu sampai hilir. “Sedangkan media kekinian hulu sampai hilir berubah total, bahkan ada masalah distribusi ke pengakses,” kata Suwarjono, Pemimpin Redaksi Arkamedia Grup yang mentereng dengan portal suara.com, itu pada Jumat (10/9/2021) di Webinar Nasional bertema Model Bisnis Jurnalisme Digital di Indonesia.
Webinar Nasional ini merupakan besutan para dosen yang tergabung dalam minat studi dan Klaster riset Jurnalisme Digital. Dosen-dosen di Minat studi ini juga tengah melakukan kolaborasi riset tentang Jurnalisme dan Media Digital.
Jika dahulu media konvensional bisa mengatur distribusi dan bahkan berkembang, kini distribusi dikuasai oleh pengembang raksasa dunia digital seperti google dan media sosial.
Keduanya adalah dua ditributor teratas ke pengakses. “Setelah itu ada agregator seperti babe, kurio, sampai platform percakapan pribadi WhatsApp dan Line,” kata imbuh Suwarjono memberi contoh lini distribusi yang bahkan tidak dikuasai langsung oleh media digital.
Problem lain di sektor media digital adalah soal iklan. Suwarjono bilang, salah satu efek disrupsi digital adalah beberapa pengiklan banyak lari ke Platform media sosial. “Problem di media digital adalah tetap harus bayar pajak, bayar ini itu tapi influencer kan tidak,” kata Suwarjono, yang dahulu adalah Ketua AJI pada 2014.
Di sisi lain, menurut Wahyu, disrupsi digital itu membuat hidup mati media massa di ujung tanduk. Agar dibaca, semua media berlomba memberikan berita teraktual dan tercepat. “Akibatnya yang terjadi adalah banyak berita yang serupa,” kata Wahyu Dhyatmika, CEO Tempo, salah satu pembicara webinar ini. Belum lagi, pandemi covid-19 mengakselerasi disrupsi ini, katanya.
“Ketika berita cenderung seragam, relevansinya untuk kebutuhan publik menurun,” katanya lagi. Secara jangka panjang trust (kepercayaan) publik juga akan menurun. Pada gilirannya, kekayaan konten juga akan menurun pula.
“Ini yang membuat urgensinya menjadi semakin kuat, karena pandemi mengakselerasi disrupsi digital,” kata Wahyu.
Ketika disrupsi itu, terjadi pula apa yamg disebut Elin Kristi sebagai krisis eksistensi pada jurnalisme. Elin Kristi, Wapemred Liputan6.com, mengatakan bisnis media saat ini pun masih dalam proses menemukan bisnis model jurnalisme digital.
Pada era digital ini, beragam tantangan juga bermunculan. “Masyarakat sekarang punya kemampuan dan keleluasaam untuk menyuarakan dirinya sendiri. Setiap orang bsia memnuat media di era digital ini,” imbuh Elin, wartawan kawakan yang memulai karirnya di media Jawa Pos.
Menurut Elin, pendapatan media berita turun drastis dalam beberapa dekade terakhir. “There is no clear busines model to sustain news in digital era. High quality content is the key, but good journalism does not come free,” katanya dalam layar presentasi menjelaskan realitas media digital kini.
Selain itu, ada pula ancaman munculnya hoax dari media sosial. Terutama hoax soal covid-19. Meningkatnya hoax Covid19 di era pandemi secara substantif meningkatkan pula permintaan media yang terpercaya.
“Dari sini kami belajar bahwa melakukan cek fakta, media tak bisa berjalan sendirian. Kita harus bersama publik,” kata Elin, yang juga adalak aktivis digital literacy dan cekfakta.com, ini.
Para narasumber dalam webinar ini semuanya tergabung dalam IFCN international fact checking network. Media-media yang tergabung dalam IFCN berkomitmen dalam melawan hoax. Demi meraih kepercayaan publik, hanya komitmen tersebutlah yang dapat membuat publik mudah menentukan mana yang terpercaya di tengah banjir konten pada era digital kini.