,

Pak Rektor Mengajar: Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi

Pak Rektor Mengajar: Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi

Pemanfaatan artificial intelligence (AI) dalam dunia akademik nampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Alih-alih menyelesaikan tugas secara efisien, justru AI semakin mengambil peran dominan dan menguasai cara berfikir. Bagaimana seharusnya?

Dalam sesi kuliah pakar bersama Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. pada Sabtu, 19 Juli 2025 keabu-abuan AI dalam bidang akademik dibahas mendalam dalam materi bertajuk “Prinsip Etika dalam Pemanfaatan Akal Imitasi”. Dibuka dengan ilustrasi suasana ruang kelas SD, salah satu siswa menggunakan kalkulator sementara siswa lainnya mengerjakan tanpa bantuan alat.

Sekitar lima menit ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi diajak menganalisis ilustrasi tersebut. “Bagaimana pendapat anda terkait ilustrasi yang saya buat dengan AI ini?” ujar Pak Rektor. Jawaban beragam, mulai dari cara cepat mendapatkan hasil, ketergantungan terhadap alat, hingga perspektif ketidakadilan.

Pertanyaan dilempar ulang, “kalau yang menggunakan kalkulator adalah pedagang di pasar?” seluruh mahasiswa sepakat menjawab tak keberatan. Sama halnya dengan AI, ada etika dalam pemanfaatannya.

Meski demikian, Pak Rektor menekankan bahwa kehadiran AI tidak untuk ditolak melainkan menempatkan AI sebagai mitra kolaborasi yang adil.

“Pendekatan etis dan kolaboratif untuk mengembangkan AI sebagai mitra, bukan pengganti,” ujarnya.

“Perlu perdebatan kritis dan partisipatif untuk arah perkembangan AI yang adil,” tambahnya.

Sementara realita penggunaan AI dalam bidang akademik semakin menjauh dari etika. Secara sadar beberapa mahasiswa memanfaatkannya untuk mengambil alih pengerjaan proyek riset. Riset dari Tirto.id bersama Jakpat tahun 2024 menunjukkan jika 86,21 persen responden (mahasiswa dan siswa SMA) menggunakan AI untuk meyelesaikan tugasnya.

Menyerahkan sepenuhnya tugas pada AI sangat berdampak, secara umum manusia akan kehilangan otonomi berfikir.

“Membuat kalimat saja tidak otonom, membuat kalimat saja diserahkan ke AI. Kita kehilangan kemampuan pengambilan Keputusan,” jelas Pak rektor kepada mahasiswa.

Lebih luas, dampak dalam masyarakat akan menyebabkan terganggunya demokrasi, ekonomi, hingga keadilan. Di Hollywood beberapa pekerja seni, perawat, dan pekerja lainnya melakukan pemogokan kerja selama lima bulan lantaran sistem pengumpulan informasi pada mesin AI mengmbil karya dan riset mereka tanpa persetujuan.

“Karena model AI menggunakan rujukan karya mereka tanpa concern. Ada basis data untuk belajar, dari sini akan digunakan untuk rujukan. Memuat referensi karya-karya tanpa persetujuan,” jelasnya.

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Nilai-Nilai Dasar

Empat nilai dasar yang menjadi landasan bagi sistem AI yang bekerja untuk kebaikan umat manusia, individu, masyarakat, dan lingkungan.

  1. Menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak asasi manusia, kebebasan dasar, dan martabat manusia
  2. Hidup dalam masyarakat yang damai, adil, dan saling terhubung
  3. Menjamin keragaman dan inklusivitas
  4. Kesejahteraan lingkungan dan ekosistem

Etika Kecerdasan Buatan (AI): Prinsip-Prinsip

  1. Berproporsi dan tidak merugikan
  2. Keamanan dan keselamatan
  3. Keadilan dan non-diskriminasi
  4. Keberlanjutan
  5. Hak privasi dan perlindungan data
  6. Pengawasan dan keputusan manusia
  7. Transparansi dan keterjelaskan
  8. Tanggung jawab dan akuntabilitas
  9. Kesadaran dan literasi
  10. Pemerintahan dan kolaborasi multi-pihak yang adaptif

Lantas, apakah mahasiswa boleh menggunakan AI dalam menyelesaikan tugasnya? Jawaban Pak Rektor “jangan sampai kehadiran AI menginjak martabat manusia,” jawabnya lugas.