Menulis Buku Libatkan Kacamata Sejarah Kolonialisme
Menulis dan membahas sebuah problematika umat bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Tak ada pengkotak-kotakan ilmu. Jika ada, sejatinya pengkotak-kotakan ilmu itu warisan imperialisme belanda.
Bagus Riyono menceritakan, ulama-ulama Indonesia sebelum kemerdekaan itu ahli banyak hal. Walaupun yang dikenalkan hanya ilmu agamanya. Menurutnya, Di psikologi juga harusnya ada pembahasan menggunakan quran. “Lalu masuk ke psyche, itu kan jiwa dan karakter. Jadi tujuan pendidikan itu membangun peradaban, bukan hanya individu,” kata Bagus Riyono menambahkan.
“Jika ada pengkotak-kotakan ilmu itu disebut colonial mentality,” kata Bagus Riyono dalam Bedah buku Problematika Umat Kontemporer: Perspektif Islam dan Psikologi pada Sabtu 9 April 2022. Acara ini adalah Bedah Buku sesi pertama dalam Milad ke-27 FPSB UII.
Penulis buku ini terdiri dari beragam ahli. mereka adalah Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si., Nanum Sofia, S.Psi., S.Ant., M.A., Ali Mahmud Ashshiddiqi, S.Pd.I., M.A., Achmad Sholeh, S.Psi., dan juga menghadirkan pembedah yaitu Dr. Bagus Riyono (Ketua IAMP, dosen Psikologi UGM).
Bagus Riyono, pembedah buku ini, mengatakan, agama islam adalah agama peradaban, jadi bukan agama suku dan ras tertentu. Risalah islam adalah risalah untuk membangun peradaban. Menciptakan manusia yang unggul pada zaman rasul.
Maka penting buku ini untuk selanjutnya melihat kolonialisme sebagai cara pandang melihat peristiwa hari ini. Melihat dari sudut pandang sejarah. “Nah inilah PR umat islam bagaimana menerjemahkan undang-undang dan UUD ke dalam pendidikan kita dan membentuk akhlak mulia,” katanya. “Supaya kita betul-betul kembali ke inti dari tujuan pendiri UII: menjadikan UII merdeka dari kolonialisme.
Menurut Bagus, tujuan pendidikan bukan untuk mencari popularitas, kekayaan, melainkan menuju akhlak. Tujuannya adalah kemaslahatan umat, dan akhirnya peradaban.
“Jadi ini harus dikembangkan, bukan parsialisasi sebagai contoh bentuk kolonialisme,” ujarnya. “Jangan alergi dengan buku yang disiplinnya berbeda. Ada buku membahas gunung jangan alergi, karena itu tidak terkait dengan psikologi, misalnya. Padahal sangat terkait,” katanya.
Bagus Riyono menggarisbawahi, buku karya akademisi FPSB ini harus melihat konteks sejarah bagaimana pendidikan kolonialisme memecah keilmuan. “Salah satu peran pendidikan kolonial itu memutus sejarahnya. Karena kalau rakyat terhubung dengan sejarahnya nanti dia akan memberontak. Dia kan jadi tau dia tidak terjajah. Jadi rakyat terjajah dibuat seolah mereka memang tak pernah merdeka. Maka penjajah memutusnya,” papar Bagus panjang lebar.
Menurut Bagus, hal ini sudah dirumuskan ibn khaldun, dan dicatat oleh ahli sejarah paling populer dan paling otoritatif Arnold Toynbee, “dia bilang ibn khaldun adalah perintis filsafat sejarah: sejarah bukan kenyataan, bahwa ia, sejarah, adalah representasi pemikiran si penulis. Maka kita perlu melihat (problematika umat) kondisi saat ini dari kacamata kolonialisme,” paparnya.
Mengenai buku ini, menurutnya, kerangka buku ini sudah bagus adalah sejarah klasik dan kontemporer. “Hanya soal integrasinya harus dikaji lebih dalam dan jauh, dan dari sisi psikologisnya bukan hanya soal perilaku atau behaviour, tapi juga mendalam soal kejiwaan soal akhlak,” tambahnya.
Menurutnya, pendidikan harus terkoneksi dengan Allah SWT. “Dan setiap yang terkoneksi dengan Allah maka akan membuat hati menjadi lebih tenang. Dengan hati tenang, akan terwujud peradaban.”