Masihkah Kita Perlu Dewan Pengawas LPP?
Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik/LPP jamak dipahami sebagai entitas tertinggi di dalam tata kelola LPP, terutama di Indonesia. Dewas berisi dari beragam unsur. Mulai dari unsur publik, pemerintah, hingga unsur LPP.
Keterlibatan publik dalam Dewas, atau seyogyanya menurut Masduki lebih tepat bernama Dewan Penyiaran Publik, adalah vital bagi LPP. “Dewan penyiaran publik itu kata kuncinya adalah representasi. Semakin representatif, maka semakin ideal,” kata Masduki, Dosen Komunikasi UII, spesialis riset soal Public Service Media di Webinar yang diselenggarakan pada Minggu, 4 April 2021.
Webinar akhir pekan menyambut Hari Penyiaran Nasional ini berjudul ‘Masihkah Kita Perlu Dewan Pengawas LPP?’ Webinar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Masyarakat Peduli Media (MPM), Yogyakarta, ini dihadiri oleh beragam akademisi, praktisi, dan partisipan umum lainnya.
Selain Masduki, pembicara lain adalah M. Mistam (Ketua Dewas LPP RRI 2016-2020), Paulus Widiyanto (Ketua Pansus DPR pada UU Penyiaran Nomor 32/2002), dan Mira Rochyadi Reetz, akademisi dari Institute of Media and Communication Science Ilmenau University od Technology, Jerman.
Mengutip Profesor Hanrietty, dalam buku Public broadcasting and the political interference, Masduki mengatakan bahwa ada dua hal yang perlu disoroti dalam sebuah struktur dewan pengawas atau dewan penyiaran publik. Pertama adalah keterwakilan dan kedua adalah appointment tata cara pemilihannya.
Masduki menjelaskan ada tiga model representasi PSB di dunia. Pertama adalah open competitive representation yang liberalistik. “Ini seperti yang dipakai sistem di Indonesia, ada potensi klientelisme,” jelas Masduki. “Artinya hanya yang dekat dengan tim pemilih yang berpeluang besar menjadi dewas.”
Sedangkan model kedua adalah civic representation. Semua perwakilan elemen di masyarakat disarankan mendaftar menjadi dewas. “Contoh di Jerman, jumlahnya bisa banyak sekali. Dan sifatnya voluntaristik. “Indonesia punya contoh, ya itu dewan pers,” imbuhnya.
Sedangkan Model ketiga adalah primordialistic representation. Perwakilan berdasarkan daerah, suku, gender, dll. “Dan di Indonesia sudah ada pengalaman model pertama keterwakilan dewas ini tidak baik. Harus kita usulkan diubah di revisi UU penyiaran,” usul Masduki yang juga adalah Dewan Pendiri Rumah Perubahan LPP (RPLPP).
Masduki menyarakan, kini ke depan, Dewas yang sedang dalam proses pemilihan kali ini
Semakin banyak berasal dari wakil publik, semakin baik. “Prinsip dewas seharusnya begitu. Misal dari RRI satu orang, pemerintah satu orang, lalu wakil publik semakin banyak,” papar Masduki yang disertasinya di Jerman khusus membahas penyiaran publik di Indonesia (RRI dan TVRI) ini. Menurutnya, ini adalah upaya rekondisi menuju civic representation yang ideal dalam keterwakilan di dalam dewas LPP.