,

Local Television and Cultural Dynamics: Assessing Contributions to Indonesia’s Cultural Sphere

Local Television and Cultural Dynamics: Assessing Contributions to Indonesia’s Cultural Sphere

Artikel ilmiah garapan dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Puji Rianto, S.IP., M.A. yang berjudul “Local Television and Cultural Dynamics: Assessing Contributions to Indonesia;s Cultural Sphere” berhasil menembus jurnal internasional terindeks Scopus Q3. Artikel tersebut dipublikasikan dalam jurnal Studies in Media and Communication, Redfame Publishing pada September lalu.

Artikel ini membahas kontribusi televisi lokal terhadal cultural sphere yang minim dieksplorasi di Indonesia, tak sepopuler seperti public sphere Habermas. Konsep cultural sphere dari McGuigan menekankan tiga dimensi dalam budaya populer antara lain afektif, estetika, dan emosi. Konsep tersebut fokus pada rasionalitas politik dan jurnalisme.

Beragamnya budaya di Indonesia, cultural sphere menemui banyak tantangan pasca -kolonial dalam membangun budaya nasional baru sembari mempertahankan etnis lama. Hal ini menimbulkan ketegangan sejak era colonial hingga Orde Baru. Ditambah rezim otoriter yang menekan keragaman lokal demi budaya elit Jawa-sentris, ditambah media massa hanya terpusat seperti TV nasional memarginalkan budaya periferi.

Kondisi perlahan berubah, Reformasi 1998 dengan UU No. 32/2002 tentang penyiaran dan UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah mendorong munculnya televisi lokal, antara lain ADiTV di Yogyakarta hingga Bali TV. Televisi lokal tersebut memunculkan ekspresi identitas lokal yang tertindas.

Penelitian kualitatif ini menggunakan wawancara mendalam dengan manajer, pengamat budaya, observasi program, dan analisis dokumen. Temuan menunjukkan televisi lokal berperan sebagai platform ekspresi budaya dominan (Jawa di ADiTV, Bali di Bali TV), misalnya program Jenggleng Manasuka atau Ajeg Bali, tapi kontribusinya terbatas karena faktor politik-ekonomi dan konstruksi budaya. Komersialisasi menjadikan program budaya komoditas yang harus marketable, bergantung sponsor dan biaya rendah, sehingga membatasi akses kelompok minoritas dengan kapital sosial rendah.​

Faktor ekonomi diperparah dominasi TV nasional Jakarta yang oligopolistik, dengan jangkauan FTA luas dan kualitas superior, membuat televisi lokal kalah saing dan audiensnya terbatas (utamanya lansia). Konstruksi budaya esensialis memahami budaya sebagai milik etnis mayoritas statis dan teritorial, menolak hibridisasi serta memandang budaya lain sebagai ancaman seperti gerakan Ajeg Bali yang protektif terhadap pengaruh nasional/global. Hal ini menghambat inklusivitas, partisipasi, dan demokrasi budaya, di mana cultural sphere seharusnya aksesibel bagi semua, bukan didominasi kelompok dominan. Akibatnya, keragaman budaya tetap terpinggirkan, melanjutkan hegemoni pusat meski ada reformasi penyiaran.​

Secara keseluruhan, artikel menegaskan bahwa televisi lokal gagal membangun cultural sphere inklusif karena komodifikasi dan esensialisme budaya, yang membatasi ruang bagi minoritas dan mempertahankan bias sentralistik. Penelitian ini relevan bagi studi media di negara pluralistik, menyerukan kebijakan yang mendukung demokrasi budaya sejati melalui media lokal yang lebih beragam dan inklusif.

Keywords:

Cultural sphere, political economy of media, cultural construction, local television.

Penulis:

Puji Rianto merupakan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang fokus dengan klaster riset regulasi dan Kkbijakan media – kajian khalayak.

Selengkapnya dapat diakses melalui link:

https://redfame.com/journal/index.php/smc/article/view/7930/7052