Jurnalisme Investigasi di Masa Jurnalisme Digital
Jurnalisme investigasi adalah keharusan. Ia menjadi pendobrak dan penguak aktor di balik kezaliman kekuasaan. Namun tampaknya banyak buku tentang jurnalisme investigasi hanya berkutat di wilayah teori. Ia hanya menjadi textbook atau buku ajar di ruang-ruang kelas. Padahal ada realitas politis dan psikologis di lapangan yang juga penting dipotret sehingga dapat menjadi pembelajaran dan pengembangan jurnalisme investigasi.
Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi UII mengatakan, buku yang bisa menjadi rujukan selama ini soal Jurnalisme Investigasi adalah buku jurnalisme investigasinya yang ditulis oleh Dhandy Dwi Laksono. “Sedangkan buku yang lain adalah buku yang ditulis mantan praktisi yang kini menjadi akademisi,” kata Masduki sebagai pembicara dalam Bedah Buku “Serba Serbi Jurnalisme Investigasi” pada 24 September 2021 via Zoom meeting. “Kelemahannya adalah, buku seperti ini hanya mereproduksi teksbook dan lebih teoritis,” imbuhnya. Bedah buku yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, ini juga menghadirkan penulis buku, Agoeng Wijaya (Redaktur Pelaksana Majalah Tempo), Yogi Zul Fadhli (Direktur LBH Jogja), dan juga dipandu oleh Faried Cahyono (Anggota AJI Yogyakarta) sebagai moderator.
Buku ini, kata Masduki, akan menambah referensi tentang jurnalisme investigasi itu sendiri tapi juga menjadi pembelajaran bagi jurnalis/praktisi, akademisi, calon jurnalis dan para pengamat. “Dengan begitu, AJI Jogja sudah meluaskan jangkauannya pada tidak hahya jurnalis tapi juga pada institusi-institusi penunjangnya,” kata Masduki.
Menurut Masduki, Ini juga membuktikan bahwa jurnalis itu memang srharusnya tidak hanya mampu menulis berita yang menawarkan informasi tetapi juga menjadi jurnalis yang juga sebagai intelektual. Sebagai jurnalis dan intelektual, ia adalah insan yang punya otoritas untuk menulis pandangan-pandangannya. Baik tentang profesinya maupun hal-hal di luar dirihya.
Buku ini juga menjadi bukti bahwa buku ini sebagai penanda penulisnya memiliki kepedulian pada generasi agar lebih concern pada keterampilan yang lebih spesifik yakni investigasi. “Saya juga melihat buku tentang jurnalisme investigasi itu masih langka. Baik secara kuantitas maupun kualitas,” ujarnya.
Bagi Masduki, yang juga adalah doktor di bidang media dan penyiaran publik, kekurangan lainnya dari buku teksbook adalah ia luput dan tertinggal menangkap suasana. Misalnya, kata Masduki, suasana empiris di lapangan, atau tekanan psikologis maupun politik jurnalis di lapangan. Buku ajar di kelas kuliahan juga tertinggal memotret perkembangan pola kerja jurnalisme itu sendiri. “Sekarang kan eranya digital. Jurnalisme digital. Kalau dulu yang disebut tadi kan resep jurnalisme investigasi yang klasik itu, Itu kan ada tiga resep: paper trail, people trail, dan money trail,” jelas Masduki. “Itu kan sekarang sebagiannya bisa dilacak menggunakan platform digital. Ini tidak dibahas dalam buku jurnalisme digital, bahkan buku-buku jurnalisme di indonesia.”