Hari Buruh 2024: Bagaimana Nasib Digital Labour di Indonesia?

Hari buruh
Reading Time: 2 minutes

Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh atau May Day, segala ketidakadilan terkait kesejahteraan akan disuarakan diberbagai penjuru negeri untuk masa depan yang lebih baik. Dua tuntutan utama yang disuarakan oleh para teman-teman buruh pada 1 Mei 2024 di Istana Negara dan Gelora Bung Karno adalah pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan Outsourcing dengan upah murah.

Merujuk pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, buruh diartikan sebagai setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menariknya menjadi buruh adalah kondisi objektif atau status sosial buruh tidak ditentukan berdasarkan merasa atau tidak, sadar atau tidak. Padahal sejatinya entah posisi manajer atau kepala cabang suatu perusahaan ia tetaplah buruh karena mendapat upah dari tempatnya bekerja.

Beranjak dari definisi buruh, istilah digital labour mungkin tak terlalu terdengar nyaring namun hal ini penting untuk diketahui banyak pihak. Menurut International Labour Organization (ILO), digital labour merupakan seseorang yang bekerja di bidang ekonomi platform berbasis web dengan tipe pekerjaan yang sangat terbuka kepada semua orang dan tersebar secara geografis atau crowdwork.

Ada masalah layaknya gunung es yang dialami oleh digital labour, artikel yang ditulis oleh Christian Fuch dan Sebastian Sevignani dari University of Wetminster UK pada laman trippleC menyebutkan argumen terkait konsep ekonomi politik dalam internet yang merujuk model akumulasi modal yang dominan dari platform internet perusahaan didasarkan pada eksploitasi tenaga kerja tak berbayar dari pengguna yang terlibat dalam pembuatan konten dan penggunaan blog, situs jejaring sosial, dan platform global.

Bagi kita pengguna Instagram, Facebook, WhatsApp, YouTube, Google, dan lainnya akan menciptakan keuntungan bagi pemilik platform. Kegiatan tersebut menciptakan komoditas data yang akan dijual kepada klien periklanan.

Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. dosen Ilmu Komunikasi UII memberikan contoh terkait kreator konten di Indonesia, sejatinya mereka bukanlah pengusaha melainkan buruh platform.

“Dalam teori ekonomi politik media kita mengenal istilah digital labour, jadi kita bukan pelaku digital, bukan pengusaha digital tapi buruh digital,” jelasnya pada sesi Kuliah Umum Pascasarjana UII, 27 April 2024.

“Contoh kecil podcast Deddy Corbuzier, per paket itu berapa juta incomenya minimal Rp 350 juta revenuenya. Tapi pernahkah anda tahu keuntungan bahwa yang diraih itu hanya 10 persen dari keuntungan yang sesungguhnya. Sisanya milik owner platform,” tambahnya.

Kita sebagai pengguna menjadi objek atau angka algoritma yang menguntungkan bagi pemilik platform.

“Jadi sebenarnya konten kreator yang dijual bukan kontennya tapi jumlah viewersnya, jumlah subscriber, bahkan jumlah likesnya bisa dijual. Jadi sebenarnya Anda ini tidak dipedulikan mau dicerdaskan atau engga yang penting please subscribe, like, and comment hanya itu yang mereka mau dari Anda,” ujarnya lagi.

Lantas, bagaimana menciptakan kondisi yang adil?

Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar tentu sangat menguntungkan pemilik platform global. Sementara, negara Indonesia tak mendapat pemasukan ataupun pajak atas bisnis tersebut. Selain itu data yang kita tautkan tanpa persetujuan akan dijual, artinya pengguna turut menjadi asset untuk kepentingan pemilik platform.

Prof. Masduki menyebutkan masyarakat Indonesia dapat mendorong pemerintah agar memaksa pemilik platform global agar mendirikan kantor di Indonesia dan membayar pajak agar kondisi ini juga adil untuk negara.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh insan pers di Indonesia beberapa waktu lalu adalah adalah mendorong pengesahan Publisher Rights, dalam aturan tersebut platform digital global mau tidak mau harus memberi keuntungan secara adil karena yang terjadi selama ini platform digital selalu mengagregasi berita-berita siber dari media online di Indonesia.

Menurutmu langkah apalagi yang perlu dilakukan oleh Indonesia agar kondisi ini sama-sama menguntungkan, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita