FKI 2nd: Pembelajaran Merancang Media Kreatif dari Awarding FKI ke-2
FKI (Festival Konten Inspiratif) kedua kali ini akhirnya sampai ke puncak acara. Ajang kompetisi membuat konten kreatif dan terutama inspiratif yang dikelar Ikonisia TV menggelar acara penghargaan, penganugrahan, dan bincang-bincang bersama para juri. Peserta langsung mendapat ulasan atas karyanya baik yang berhasil meraih juara maupun tidak.
Pengumuman dan pemberian penghargaan FKI 2nd ini dilaksanakan secara live melalui channel Youtube Ikonisia TV pada 30 November 2021. Acara yang dipandu oleh Ifa Zulkurnaini, Peneliti di Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII, ini menghadirkan Bagoes Kresnawan, salah satu juri FKI kedua, dan Juga Heri Fadlie, juri lainnya.
Dalam kompetisi FKI tahun ini, terdapat tiga kategori lomba. Pertama, adalah kaegori fiksi. Menurut bagoes tiap peserta yang memilih karya dalam kategori Fiksi, jangan takut karya dinilai dan segala ketakutan lain. “Ini milestone buat teman-teman, membangun pondasi pertama. Soal kualitas yang Berharga nanti akan terbangun lama kelamaan,” kata Bagoes mengomentari karya-karya yang masuk di kategori Fiksi.
Kategori lainnya adalah Video podcast. Menurut Bagoes, podcast ini adalah kategori yang penuh jebakan. “Kedengarannya mudah, ngobrol lalu share bisa didengar orang. Tapi bagaimana orang bertahan untuk stay nonton sampai akhir,” kata Bagoes yang juga adalah pendiri huntingpasar(dot) id. “Tapi tidak apa-apa, media podcast yang nyaman bisa ngomongin opini. Beda dibanding yg lain, ipod broadcasting, misalnya, Orang ngobrol, intim. Poinnya adalah keiintiman, kedalaman,” tambahnya.
Sedangkan untuk kategori documenter, ia harus menangkap dunia apa adanya. “Harus menginspirasi atau menggerakkan,” kata Bagoes. Menurutnya, karya dokumenter juga menjadi media untuk kritik sosial. Orang akan merasa tergerak hatinya. Banyak jebakan yang muncul ketika menggarap dokumenter, kata Bagus, kadang dokumenter itu bikin bosan. “Aku paling suka kalau banyak konfliknya, fenomena mafia tanah misalnya. Gimana menghadapi konflik-konflik yang terus menerus. Secara story telling ada naik turun. Menggerakan orang untuk berpikir dan bertindak,” imbuh Bagoes menceritakan pengalamannya mengenai karakteristik dokumenter.
Terutama hal yang perlu dipersiapkan dan dimatangkan oleh teman-teman peserta adalah dalam hal penulisan cerita. “Terkadang kita merasakan ini bisa lebih menarik sebetulnya. Gemes harusnya bisa begini saja plotnya. Menarik. Masalah kualitas gambar, itu gampang, itu soal alat. Bisa beli atau sewa,” kata Bagoes. Paling penting adalah soal menulis naskah.
Namun tentang pesan apa yang akan kita sampaikan itu butuh perenungan panjang.
Kunci bagusnya dokumenter, kata Bagoes, adalah juga soal pendekatan pada subyek film. “Aku pendekatan ke pak min subjek dokumenterku dulu itu bisa dua minggu. Aku makan di sana, pesen makan dan minum berkali kali. Ngobrol, dia percaya kita, nyaman,” Kata Bagoes. Bahkan Bagoes akhirnya jadi kenal, dan paham apakah si subyek gampang bercanda atau keras kepala dan lain-lain. “Jadi kita kenal dulu karakternya,” katanya. Jadi tidak ujug-ujug bikin. Pengin cepet viral. Anda bisa mampir, tanya kabar, main, dekat dulu. Hubungan baik antar manusianya. Sebab, inti dokumenter adalah menangkap realita.
Bagoes mengatakan ada banyak teori dalam mendekati subyek dalam film kita. “Jangan cuma terkesan memanfaatkan atau memperalat. yang penting itu sambil ambil gambar, nanti mau jadi keren atau bangkrut ya terserah. Secara berkala kontak dengan subyek. Nanya kabar. Lalu juga menjalin hubungan baik,” kata Bagoes menceritakan pengalamannya.
Menurut Heri Fadli, juri lainnya, banyak pendekatan atau teknik penyampaian cerita yang bisa digunakan dalam memproduksi dokumenter. Baik itu dokumenter pendek ataupun panjang bahkan. Misalnya pendekatan interaktif, ekspository, partisipational, hingga observasional.