,

Dari Peringatan Hari HAM Sedunia di FISB UII: Negara Gagal Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat

Dari Peringatan Hari HAM Sedunia di FISB UII: Negara Gagal Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat

Penanganan pelanggaran HAM berat yang banyak terjadi di Indonesia selama ini belum kunjung tuntas.  Upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ini dapat dibagi atas beberapa koridor penyelesaian. Pertama, melewati koridor politik dan hukum. Lalu kedua, melalui kreativitas budaya. Jalur pertama ini tidak mudah dan menghadapi resistensi. Upaya untuk menuntut melalui pengadilan HAM adhoc tidak berjalan. Demikian pula dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR).

“Undang-Undang KKR sempat dibuat setelah berjuang sekian lama, namun anggota KKR itu tidak kunjung diangkat Presiden dan kemudian Undang-Undang itu dirubuhkan oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Assidhiqie,” ungkap Prof. Asvi Warman Adam, dalam acara Orasi Kebudayaan yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB), Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), UII, pada 12 Desember 2025 di Auditorium FK UII. Selain itu, Prof. Asvi mengatakan, perbaikan kurikulum sejarah telah dilakukan tahun 2004 namun dimentahkan kembali pada kurikulum yang dikeluarkan Mendiknas tahun 2006. Class action yang dilakukan para korban pada tahun 2005 pun ditolak oleh pengadilan. Menurut Asvi, negara telah gagal menyelesaikan pelbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak negara ini merdeka.

Para peserta juga turut membubuhkan tanda tangan sebagai aksi solidaritas hari HAM sedunia. “Hadirin sekalian silakan ikut tanda tangan sebagai bentuk aksi solidaritas terhadap korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia selama ini dan menuntut agar negara mengusut tuntas dan menyelesaikan beragam pelanggaran HAM berat yang sampai hari ini juga belum selesai,” kata Prof. Masduki, Dekan FISB UII sekaligus Ketua PSAD UII, dalam sambutannya di awal acara.

Aksi ini merupakan bukti bahwa publik banyak masih terus menggedor negara agar tidak menutup dan segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tak kunjung usai, bahkan kini muncul dugaan sejarah pelanggaran HAM ini hendak direkayasa dan ditutupi oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia lewat pembuatan buku sejarah nasional versi pemerintah. Prof. Asvi Warman Adam mengatakan dalam teks orasinya berjudul Krisis Memori Kolektif  Pelanggaran Ham Berat Era Soeharto Sampai Kini (1965-2025), ini, “Yang menarik adalah tiga orang, Ketua Fadli Zon, Wakil Ketua Susanto Zuhdi dan anggota Agus Mulyana adalah tiga penanggungjawab buku Sejarah nasional. Bisa saja orang akan berpikir bahwa penulisan sejarah nasional dan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional November 2025 merupakan satu paket.” Ia menambahkan bahwa belakangan santer dibicarakan lewat seminar dan penerbitan buku dua tokoh yaitu Soemitro Djojohadikoesomo (ayah Prabowo) dan Margono Djojohadikoesoemo (kakek Prabowo). Apakah ketiganya (mantan mertua, ayah dan kakek) sekaligus akan menjadi Pahlawan Nasional? Ada adagium yang populer “Sejarah ditulis oleh pemenang”. Namun ternyata sejarah itu bukan hanya ditulis tetapi juga dikuasai sepenuhnya, lanjut Prof. Asvi.

Pada masa Orde Baru, rekayasa sejarah itu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Misalnya buku “40 Hari setelah keguagalan G30S” diterbitkan militer 40 hari setelah kejadian itu berlangsung. Sementara itu buku putih Sekneg “Pemberontakan G30S/PKI terbit tahun 1995. Di lain pihak gebrakan menulis ulang sejarah yang satu paket dengan pengangkatan pahlawan nasional dilakukan dalam satu tahun pemerintahan Prabowo. Mengapa demikian terburu-buru ? Jawabnya tentu sudah bisa diduga. Soeharto menerima kekuasaan melalui Supersemar 11 Maret 1966 baru berusia 45 tahun. Sementara itu Prabowo kini berumur 74 tahun. Jadi perlu berkejaran dengan waktu, siapa tahu.

“Bagaimana jalan keluar dari kemelut sejarah ini?” tanya Prof. Asvi. Prof. Asvi mengatakan, Antoon de Baets, menulis buku Responsible History (New York, Berghann Books, 2009). Di dalam buku ini ia menguraikan tipologi rekayasa sejarah atau penyalahgunaan sejarah (abuses of history) yang terjadi pada level heuristik, epistemologik dan pragmatik.  Sebagai jalan keluarnya ia menawarkan sejarah yang bertanggungjawab. Ada dua persyarakatan utama yaitu keakuratan (to find the truth) dan kejujuran (to tell the truth) dan Perguruan Tinggi harus menjalankan peran tetap bergerak dalam pemberdayaan masyarakat dalam merawat demokrasi dan HAM.

Qurrotul Uyun, Dekan Fakultas Psikologi UII, juga mengatakan dalam sambutannya, dalam konteks psikologi klinis yang fokus pada riset individu misalnya, trauma harus diselesaikan. Jika trauma tidak dibersihkan secara tuntas, itu akan mempengaruhi dan muncul kembali di kehidupan-kehidupan masa depan, baik di keturunan, maupun generasi berikutnya dari individu tersebut. Qurratul Uyun mengatakan, orasi kebudayaan Prof. Asvi ini juga dapat menjelaskannya dalam konteks sosial yang lebih besar.

Acara orasi kebudayaan yang akan dijadikan agenda rutin setiap akhir tahun oleh FISB UII ini mengusung “Perguruan Tinggi dan Krisis Memori Kolektif terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia dari Era Soeharto hingga Jokowi” sebagai tema. Acara ini juga sekaligus dimaksudkan sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia dan peluncuran jurnal pengabdian masyarakat FISB UII yang bernama Community Transformation Review. Sebuah jurnal yang didedikasikan sebagai ruang diseminasi para akademisi dan aktivis sosial mengkomunikasikan aktivitas pemberdayaan dan gerakan sosialnya dalam bentuk jurnal. Selain orasi kebudayaan, acara ini turut mengajak segenap sivitas akademik UII, dan para hadirin yang terdiri dari beragam aktivis dan kampus di Yogyakarta untuk memanjatkan doa bersama, dipimpin Khairul Munzilin (Dosen Hubungan Internasional UII), atas korban-korban kerusuhan politik yang terjadi di Indonesia pada peristiwa Agustus-September 2025 dan semua korban kekerasan oleh negara.

 

Penulis: A. Pambudi Wicaksono