Reading Time: 3 minutes

Ditemani cemilan dan sajian teh, diskusi berlangsung hangat. Malam itu kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengundang Masduki, Dosen Komunikasi UII, berbicara membagikan pengalamannya selama tinggal di Jerman soal kondisi terkini media dan jurnalisme di Jerman. Diskusi yang berlangsung pada 24 September 2019 ini dihadiri oleh jurnalis, pegiat pers mahasiswa, aktivis NGO, dan beberapa mitra AJI yang lain. Cerita soal kondisi media di Jerman menjadi penting untuk memperbarui dan membandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia kini juga. Refleksi dan diskusi ini seakan kulakan informasi sehingga menjadi pelajaran untuk bersikap di dunia media dan pers di Indonesia.

Meski Jerman sering dicap sebagai negara maju di Eropa, kata Adink, panggilan akrab Masduki, ada tiga tabu yang harus dipahami jurnalis dan media di Jerman. Pertama, tabu meliput yang menentang eksistensi holocaust. “Holocaust pasti ada, tidak boleh dilawan,” kata Adink. Sepertinya, Jerman ingin memori soal pembantaian massal (holocaust) di Jerman jaman nazi tidak boleh hilang. Kesan yang ditangkap ingin orang di masa mendatang tidak mengulangi sejarah kelam itu. Kedua, ada tabu, meski tidak dilarang, meliput soal Neo Nazi. “Orang-orang Jerman seperti merasakan mimpi buruk Jerman pernah punya Hitler,” katanya menjelaskan. Tabu ketiga adalah Hate Speech terhadap pemerintah yang belum disahkan. “Masih untung sekarang pemerintahnya dari partainya Merkel yang moderat,” tambahnya.

Media di Jerman juga sangat partisan. “Karena media cetak adalah alat kaderisasi kepartaian. Dan itu jadi gurita bisnis tersendiri. Sampai hari ini baru ada dua atau tiga media yg benar-benar reperesentasi media yg non partisan: murdoch dan dkk,” papar Adink. Bahkan, lanjut Adink, media yang berjaringan dengan Majalah Tempo yang melakukan investigasi Panama Paper, Süddeutsche Zeitung, itu milik partai moderat di Jerman selatan. “Dia berkoalisi dengan partainya merkel, CDO,” jelas Adink. Kondisi ini mungkin serupa di indonesia yang pernah memiliki fase media yang harus partisan pada 1950an.

Namun, lanjut Mahasiswa doktoral Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich), ini ada dua hal yg berbeda. Antara ownership dan newsroom. “Unik ini. Kayak gereja, itu dibiayai oleh pajak gereja. Sekali anda nulis KTP-nya katolik maka anda kena pajak gereja. Dan apa dilakukan gereja katolik? Gereja Katolik, tapi bikin kegiatan utk refugee/ penyintas muslim,” kata Masduki. Seperti diketahui sebelumnya, Merkel memutuskan tampung 1 Juta pengungsi muslim di Jerman.

Masduki menambahkan, “Jadi, koran barangkali adalah bisnis partai, kalau medianya bagus, itu bagus buat citra partainya.” Berbeda dengan di Indonesia. Media di Indonesia sering digunakan oleh pemilik untuk mencitrakan pemilik, menguatkan citra politik dan membesarkan kepentingan ekonomi, jelas Adink sambil menuding beberapa media di Indonesia yang ‘partisan.’ Tommy Apriando, Ketua AJI Yogyakarta, salah satu peserta diskusi itu, mengiyakan. Kata Tommy, di iNews misalnya, sudah menjadi rahasia umum, “kalau urusannya bapak, ya suruh berangkat. Di Lombok dan beberapa daerah. Kalau ada acara bapak di daerah, nggak ada yg boleh ngalahkan. Partainya harus masuk.”

Kondisi Finansial Media dan Organisasi Jurnalis Jerman

Media di Jerman juga sudah mulai melakukan iuran publik. Der spiegel misalnya. Mulai mengarah ke crowfunsding digital, kata Adink. “Memang harusnya ke sana, mengambil dari pengiklan, pembeli eceran, apalagi subscriber membuat eceran menurun. Maka mau nggak mau pembiayaan lewat crowfunding,” papar Adink. Bahkan Riset-riset besar di Jerman dibiayai crowdfunding.

Bagaimana dengan organisasi jurnalis, tanya Shinta Maharani, jurnalis Tempo, salah satu peserta diskusi. Organisasi jurnalis juga ada iuran untuk menghidupi organisasi, jawab Adink. Organisasi Jurnalis seperti DJV (Deutscher Journalisten-Verband), “nggak pusing kalau di-PHK,” kata Adink lagi.

Di Indonesia, juga mulai bermunculan investigasi atau liputan dengan dana berbasis crowdfunding, meski belum banyak. “Modelnya tempo institute, fredom unlimited, dan NGO, tolong bikin liputan energi dong, tapi yang tentukan Tempo. Silakan ajukan proposal investigasi, nanti diseleksi. Didanai,” kata Tommy berbagi cerita dan pengalamannya melakukan investigasi bareng Tempo Institute.

Masduki mengatakan di Jerman ada riset crowdfunding untuk siaran konten layanan publik bisa mencapai 30 juta euro. Maka ada banyak start-up yang bikin podcast. Itu dibiayai oleh crowdfunding. Melalui online platform. “Misal dia nyetor 50 euro, bulan depan aku udah dapat podcast,” ungkapnya.

“Yang sosial cepat kalau di Indonesia. Misal yang dilakukan Ananda Badudu menggalang dana untuk aksi di Jakarta. Atau untuk kemanusiaan. Tapi kalau buat liputan jurnalisme investigasi sulit. Contoh Mas Wahyu Dhyatmika saja butuh 25 juta, Tapi baru setelah 3 bulan baru mencapai 5 juta,” kata Tommy menceritakan.

Adink bercerita dan menganalisa, sebab mengapa iuran publik di Jerman bisa marak dan berhasil. “Karena di jerman itu mungkin sudah mikir pasca material, kita butuh informasi yang bermutu. Nalarnya begitu.”

Apa yang harus Indonesia pelajari dari cerita Jerman ini? “Kita ke depan harus combating hoax dengan produksi konten terus. Nah dana itu juga bisa dengan crowdfunding, AJI dan jurnalis bisa berkolaborasi bikin konten seperti podcast, sekarang masih jarang kan konten podcast oleh jurnalis,” jawab Adink kemudian.

Reading Time: 3 minutes

Accompanied by snacks and tea offerings, the discussion was warm. That night the office of the Alliance of Independent Journalists (AJI) Yogyakarta invited Masduki, Communication Lecturer of UII, to share his experiences while living in Germany about the current state of media and journalism in Germany. The discussion which took place on September 24, 2019 was attended by journalists, student press activists, NGO activists, and several other AJI partners. Stories about the condition of the media in Germany are important to update and compare with what is happening in Indonesia today. This reflection and discussion seemed to be like information so that it became a lesson to behave in the world of media and the press in Indonesia.

Although Germany is often labeled as a big country in Europe, said Adink, Masduki’s nickname, there are three taboos that must be understood by journalists and the media in Germany. First, the taboo covers those who oppose the existence of the holocaust. “There must be a Holocaust, no resistance,” Adink said. It seems that Germany wants to remember the memory of the massacre (holocaust) in Germany in the Nazi era. The impression captured wants people in the future not to repeat the dark history. Second, there are taboos, although not prohibited, covering Neo Nazis. “The Germans feel like a nightmare Germany once had Hitler,” he explained. The third taboo is Hate Speech against the government which has not been approved. “It’s still fortunate that the government is now from the moderate Merkel party,” he added.

The media in Germany is also very partisan. “Because print media is a party cadre regeneration tool. And it is a separate business octopus. To this day there are only two or three media that truly represent non-partisan media: murdoch and etc,” said Adink. In fact, continued Adink, the media networked with Tempo Magazine which conducted a investigation into the Panama Paper, Süddeutsche Zeitung, belonged to a moderate party in southern Germany. “He formed a coalition with Merkel’s party, CDO,” said Adink. This condition may be similar in Indonesia which had a media phase that had to be partisan in the 1950s.

However, continued the doctoral student of the Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich), there are two different things. Between ownership and newsroom. “This is unique. Like a church, it is funded by the church tax. Once you write the Catholic on your ID card, then you are taxed by the church. And what does the Catholic Church do? The Catholic Church, but makes activities for Muslim refugees,” Masduki said. As previously known, Merkel decided to accommodate 1 million Muslim refugees in Germany.

Masduki added, “So, the newspaper may be a party business, if the media is good, it is good for the party’s image.” Unlike in Indonesia. Media in Indonesia is often used by owners to image owners, strengthen their political image and enhance economic interests, explained Adink while accusing some media in Indonesia of being ‘partisan’. Tommy Apriando, Chairperson of AJI Yogyakarta, one of the discussion participants, agreed. Tommy said, on iNews, for example, it was common knowledge, “if it’s your business, tell me to leave. In Lombok and some areas. If there is an event in the area, no one can beat it. The party must enter.”

Financial Condition of  Media and Journalist Organizations in Germany

The media in Germany has also begun to make public contributions. Der spiegel for example. Began to lead to digital crowfunsding, said Adink. “Indeed, there should be, taking from advertisers, retail buyers, especially subscriber to make retail decline. So inevitably financing through crowfunding,” said Adink. Even major research in Germany is funded by crowdfunding.

What about journalist organizations, asked Shinta Maharani, a Tempo journalist, one of the discussion participants. Journalist organizations also have fees to support the organization, said Adink. Journalist organizations such as the DJV (Deutscher Journalisten-Verband), “don’t bother if they get laid off,” Adink said again.

In Indonesia, there has also begun to be an investigation or coverage with crowdfunding-based funds, although not much. “The model is institute tempo, unlimited fredom, and NGOs, please make an energy coverage, but determine Tempo. Please submit an investigation proposal, then it will be selected. Funded,” said Tommy, sharing his story and experience investigating with Tempo Institute.

Masduki said in Germany there was crowdfunding research for broadcasting public service content that could reach 30 million euros. So there are lots of start-ups that make podcasts. It was funded by crowdfunding. Through an online platform. “For example he deposited 50 euros, next month I already can podcast,” he said.

“The social one is fast if in Indonesia. For example, Ananda Badudu raises funds for action in Jakarta. Or for humanity. But for investigative journalism coverage it is difficult. For example, Mas Wahyu Dhyatmika alone needs 25 million, but only after 3 months only reached 5 million. “Tommy said.

Adink told and analyzed, the reasons why public contributions in Germany could flourish and succeed. “Because in Germany it might have been post-material thinking, we need quality information. Reason is like that.”

What should Indonesia learn from this German story? “In the future we have to combine hoaxes with content production continuously. Now the funds can also be with crowdfunding, AJI and journalists can collaborate to create content such as podcasts, now it is still rarely podcast content by journalists,” Adink answered later.

 

Reading Time: 2 minutes

Waktu Cilik, atau masa kecil, adalah tema pameran yang dipilih mahasiswa Komunikasi UII yang tergabung dalam kegiatan mahasiswa dalam Komunitas Lensa Ilmu Komunikasi di gedung unit 18 Komunikasi UII. Pameran rutin, yang biasa disebut Panik (Pameran Perdana Anak Klik.18) itu, adalah pameran yang menjadi wadah ekshibisi perdana angkatan muda Klik18. Disebut Panik2018 karena kali ini yang punya hajat pameran adalah giliran angkatan 2018. Tema masa kecil, atau “Dunia Kecilku” seperti tertera dalam poster promosinya, berusaha menyuguhkan perbedaan permainan dan kenangan masa kecil saat kita tumbuh besar.

Pameran yang dihelat selama tiga hari mulai 19-21 September 2019 di Perpustakaan Pusat UII ini diikuti oleh sekira 35 foto hasil karya satu angkatan. Masa kecil dikenal selalu berisik, bahkan tak jarang panik. Rasanya pas dengan rancangan panitia yang ramai dan penuh gelegar dari hari pertama pameran, hingga puncaknya ada Awarding Night atau malam penganugerahan foto terbaik. Selain pameran, acara ini juga diramaikan dengan Workhsop “Basic Landscape and Portrait Photography” bersama Yosafat YK pada 20 September 2019. Ada juga pertunjukan dari bintang tamu Kavca Dio dan Wafi.

“Pengunjung yang hadir mencapai 350 orang, mas,” kata Winesti Rahayu, Panitia Panik 2018, saat dihubungi terpisah. Pada malam puncak penganugerahan diumumkan pemenang foto-foto terbaik. Pemenangnya Juara 1 diraih oleh Syahrul (angkatan 2018), Lalu Rissa Juara 2 dari angkatan 2018, dan Juara 3 adalah Finda dari angkatan 2017. “Jadi itu photo contest-nya dari foto-foto yang dipamerin. Kemudian pemenangnya diambil juga dari hasil vote pengunjung pameran,” kata Winesti menjelaskan mekanisme penganugerahan.

Reading Time: 2 minutes

Don’t Panic! It is not the real meaning. It’s not panic, as you know. But the real meaning of Panic is PANIK as an acronim of “Premium Exhibition of Klik18 Photo Community”. Childhood is the theme of the exhibition chosen by Communication Science student who are members of student activities in the Communication Science Lens Community in this Unit 18 building. The regular exhibition, which is commonly called Panik, is an creation that becomes a place for the exhibition of the young generation of Klik18. Called Panik2018 because this time the one who had an interest in the exhibition was the turn of the class of 2018. The theme of childhood, or “My Little World” as stated in its promotional poster, tried to present differences in the game and childhood memories when we were growing up.

The exhibition which was held for three days from September, 19 till 21, 2019 at the Central Library of UII was attended by approximately 35 photos of the work of one generation. Childhood is known to be always noisy, often even panic. It was just right for the committee’s design that was lively and full of noise from the first day of the exhibition, to the climax there was Awarding Night or the best night awarding of the photos. In addition to the exhibition, the event was also enlivened with the Workshop “Basic Landscape and Portrait Photography” with Yosafat YK on September 20, 2019. There were also performances by guest stars Kavca Dio and Wafi.

“There were 350 visitors,” said Winesti Rahayu, the 2018 Panic Committee, when contacted separately. On the eve of the awards ceremony the winner of the best photos was announced. The winner won 1st place by Syahrul (class 2018), Then Rissa was 2nd place from class 2018, and 3rd place was Finda from the 2017 class.

“So it was the photo contest from the photos exhibited. Then the winner was also taken from the results of the exhibition visitors vote,” said Winesti explaining the awarding mechanism.
Reading Time: 3 minutes

Agaknya anda sebagai mahasiswa Komunikasi UII, tak bisa tidak, segera harus mengalihkan fokus pada ide dan gagasan Bang Amir. Ya, anda harus meluangkan waktu barang setengah jam saja untuk menyelami kenikmatan berwacana dan merasakan keindahan idealisme yang tegak dan lurus dari seorang pendiri tempat Anda kuliah hari ini. Betul, anda memang jangan sia-siakan waktu untuk segera fokus pada pemikiran Bang Amir, tentu di tengah kesibukan mengerjakan tugas kuliah, menyiapkan kepanitiaan ini itu, mengatur jadwal agar tak ketiduran saat jam kuliah, hingga masalah romantisme pemuda kekinian lain,  dan tentu bisa saja membaca ide Bang Amir disambi memutar lagu kesukaan di spotify. Anda bakal tahu istilah baru yang jadi kata kunci hampir seluruh mata kuliah soal media, ekonomi politik dan demokrasi di Komunikasi tanpa harus mengerutkan dahi. Tiga hal itu adalah: diversity of ownership, diversity of voices, dan diversity of content. Namun, pertama kali, anda harus memertanyakan ketika anda (akan) membaca tulisan berikut di awal buku ini:

Demokrasi termasuk di dalamnya demokrasi media tidak pernah datang dari langit. Demokrasi bukanlah sesuatu yang terberi (Given). Sebaliknya, demokrasi harus terus menerus diperjuangkan, bahkan di negara yang sudah maju sekalipun.”

Begitulah salah satu kutipan yang ditulis oleh Puji Rianto, orang dekat Amir Effendi Siregar, salah satu pendiri Ilmu Komunikasi UII. Pengantar itu ia letakkan di awal tulisan untuk mengantarkan pembaca memasuki ruang intelektual yang hadir lewat tulisan-tulisan dan karya Bang Amir dalam buku berjudul “Media, Kapitalisme, dan Demokrasi dalam dinamika politik indonesia kontemporer.” Ini adalah buku himpunan gagasan-gaasan Bang Amir, nama panggilan Amir Effendi Siregar, yang terserak dan tersebar di beragam kesempatan dan sempat terarsip di Prodi Ilmu Komunikasi UII dan belum sempat terpublikasikan. Guna merawat ide-ide di dalamnya, maka menerbitkannya menjadi sebuah buku adalah salah satu upayanya, selain juga mendiskusikan dan membuka siapapun untuk membedahnya dalam tulisan-tulisan lain selain tulisan kali ini.

Maksud Rianto menulis itu, bahwa demokrasi meski ia hadir di negara maju, bahkan di negara berkembang, tetap butuh generasi muda yang mengawal dan meneruskan perjuangan. Rianto ingin mengajak pembaca, terutama dosen dan mahasiswa Komunikasi UII, tempat pembaca portal ini berada, meneruskan dan mengawal demokrasi yang telah dikerjakan Bang Amir. Jika begitu, maka ide-ide Bang Amir yang selama ini telah ia gaungkan selama hidup, bergerak, juga dalam membangun Komunikasi UII,  bisa terus mengabadi. Ya, karena generasi muda merawatnya.

Buku yang merupakan pijar pemikiran Bang Amir selama paska reformasi ini beberapa masih relevan hingga saat ini dalam kajian komunikasi kontemporer. Misalnya, Bang Amir menulis bersama Rahayu, soal digitalisasi yang hingga sampai hari ini belum kunjung usai. Ada tarik meanarik kepentingan antara swasta, publik, dan tentu saja pemerintah yang belakangan ini kian liberal saja dalam pengelolaan media, komunikasi dan demokrasi.

Bila anda membaca buku ini, anda akan menemukan sajian lengkap penting kajian soal regulasi dan regulator media, kondisi media dan demokrasi hari ini, dan juga soal bagaimana ekonomi politik memandang media dan demokratisasi media di Indonesia secara kontemporer. Misalnya, dalam tulisan berjudul “Mengefektifkan Peran-Peran Lembaga Pers”, dengan satu paragraf kuat, Bang Amir, yang juga adalah pentolan Pers Mahasiswa Himmah UII era 70an ini, menegaskan bahwa menjaga kebebasan pers dan pers itu sendiri bukan semata tugas media/ pers, melainkan publik masyarakat. Kebebasan pers juga penting, karena tanpanya, demokrasi dan kebebasan masyarakat bermedia tak akan terwujud.

Ini pesan kuat pada dosen dan mahasiswa Komunikasi UII bahwa tugas gerakan literasi media, pemantauan media dan demokratisasinya, ada di pundak warga akademik pula. Sebab, bagaimanapun, warga akademiklah yang bisa memandang media dan demokratisasi media secara jernih dan berjarak, ketimbang pers dan regulatornya sendiri, bahkan. Bang Amir menulis:

Kita menyadari bahwa peranan lembaga dan institusi pers belum cukup baik. Semuanya masih dalam proses untuk memaksimalkan efektivitas lembaga dan institusi pers. Beberapa kelemahan yang terjadi selama ini bukan alasan untuk membunuh kemerdekaan pers karena tanpa kemerdekaan pers, demokrasi akan mati. Perlu usaha bersama semua komponen masyarakat untuk meningkatkan profesionalisme dalam dunia kerja pers.

Selain tulisan Bang Amir, ada juga testimoni kolega, sahabat, dan mantan mahasiswa Bang Amir, di akhir buku. Semuanya berkesan. Jika anda membacanya, sejenak anda akan merasa kehilangan dengan Bang Amir meskipun belum pernah kuliah bersama dosen cerdas ini. Sebab dari penuturan di testimoni ini, anda juga akan merasa Bang Amir adalah sosok dosen yang diidamkan, mencerdaskan, tak menggurui, teguh memegang prinsip tapi sekaligus menghargai pendapat orang lain. Bukan saja soal media, komunikasi dan demokratisasi media, tapi anda juga akan memahami dan mengamini bahwa apa yang dikerjakan Bang Amir adalah soal kebenaran dan kemanusiaan, yang harus anda lanjutkan!

Reading Time: 2 minutes

#FREEWORKSHOP Semakin mudahnya akses internet menjadikan arus informasi dapat diterima dengan sangat mudah. Setiap orang mampu dengan cepat mengakses segala hal di tengah derasnya arus informasi. Hal tersebut juga termasuk berita palsu atau hoaks yang semakin sulit untuk ditahan penyebarannya.Tak sedikit warga yang sering terjatuh dalam informasi yang salah. Tingkat kepercayaan warga pada keberadaan media arus utama yang turut menjembatani informasi pun semakin dirasakan menurun. Di lain sisi, hal tersebut tidak diimbangi dengan keberadaan media alternatif yang akurat dan kredibel.

 

Pada era semakin derasnya informasi di internet dan semakin banyaknya pengguna media sosial di Indonesia, kejahatan didunia maya pun semakin beragam, salah satunya adalah pembajakan akun pribadi dan pencurian data digital.Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII dan Aliansi Jurnalis Independen bekerjasama dengan Internews dan Google News Initiative akan mengadakan serangkaian halfday basic workshop yang diperuntukkan untuk  mahasiswa, akademisi, pegiat lembaga pers mahasiswa, mengenai bagaimana mendeteksi berita palsu, hoax, atau misinformasi, serta bagaimana pengamanan diri di dunia digital yang sehat dan aman. Peserta juga akan diajak untuk mengumpulkan data fake news maupun hoax untuk dilaporkan ke website Mafindo (https://www.turnbackhoax.id/lapor-hoax/)

Tujuan
1. Membangun kesadaran publik atas pentingnya verifikasi dan fact-checking kepada semua informasi yang diperoleh di Internet.
2. Berbagi praktik terbaik dalam pengamanan diri di dunia digital dan verifikasi informasi.
3. Mengampanyekan program Google News Initiative Training Network yang sedang dijalankan.

Peserta
Peserta adalah 50 orang yang terdiri dari akademisi, mahasiswa, dan pegiat lembaga pers mahasiswa.
Panitia akan menyediakan konsumsi selama acara, Trainer handal, sertifikat, dan berbagai materi pendukung. Panitia tidak menyediakan akomodasi serta transportasi.

Panitia akan menghadirkan dua trainer yang tersertfikasi oleh Google News Initiative, untuk memberikan pelatihan mengenai pengamanan diri di dunia digital dan bagaimana meningkatkan pemahaman terhadap berita yang belum terverifikasi di dunia maya.

Waktu dan Tempat
Hari/ Tanggal          : Sabtu/ 28 September 2019
Pukul                      :  08.00 – Selesai
Tempat                    :  Lantai 2 RAV, Gedung Perpustakaan Pusat, UII
                                   Jalan Kaliurang Km. 14,5 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta
Pendaftaran daring
Sila mendaftar pada tautan berikut (Pastikan memilih “Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (28 September 2019) sebagai pilihan Lokasi Halfday Workshop) di http://bit.ly/halfdayGNI2019
Narahubung
Yudi Winarto +62 856-4300-6961
Reading Time: < 1 minute

Pada kesempatan sebelumnya, telah dilakukan Welcoming Day untuk menyambut mahasiswa IP Komunikasi UII pada 30 Agustus 2019. Pada saat itu, Sekprodi IP Komunikasi UII, Ida Nuraini Dewi K. N. Menyambut dengan memerkenalkan diri, dan memberi saran pada para mahasiswa, “Kalau ada apa-apa soal akademik, study, dan lain-lain, boleh kontak saya.” Kalau mahasiswa IP Komunikasi UII ada kendala, Ida Nuraini membuka diri untuk bisa mendiskusikan setiap kendala yang muncul.

“Jangan memikirkan kuliah di IP terlalu serius. IP itu menyenangkan. Ada program rutin nya IP. P2A misalnya.  Mulai sekarang, menabunglah karena kita akan banyak kegiatan internasional. Bisa buat paspor dari sekarang,” Jelas Lulusan Chinese Culture University, Taiwan, ini dengan semangat.

Welcoming day berlanjut pada hari berikutnya, 31 Agustus 2019, dengan tajuk Academic Skill Study. Studi Keterampilan Akademik ini berisi beberapa poin kunci untuk jadi pegangan para mahasiswa IP Komunikasi UII mengarungi pesona pengetahuan di prodi ini. Ada beragam sesi dalam kesempatan Academic Skill Study.

Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Ida, “Ada sesi motivasi yang maunya menimbulkan keakraban biar mahasiswa ngerasa belong to IP,” katanya. “Memang tujuannya kegiatan itu mau membentuk karakter dan motivasi sejak dini. Academic skill study di awal sebelum perkuliahan biar ada orientasi dan pembekalan. Numbuhin motivasi untuk belajar,” tambah Ida. Materi yang dirancang juga beragam merentang  dari Manajemen Diri, Why IP, hingga Academic Writing dan creative thinking.

Rancangan kegiatan ini memang dibuat untuk memberikan pengantar pemula bagi mahasiswa IP komunikasi UII. Kegiatan ini juga menjadi jembatan bagi mereka yang baru saja lulus dari sekolah menengah dan masuk ke dunia mahasiswa yang serba mandiri. Ada kekagetan dan culture shock tentu, yang diharapkan harus dihadapi oleh tiap mahasiswa, bukan dihindari. Misal, berhadapan dengan tugas bejibun, apalagi disertai dengan pengantar bahasa inggris dan beragam aktivitas kemahasiswaan yang lain.

Reading Time: 2 minutes

Selama dua hari berturut-turut, 30 sampai 31 Agustus 2019, Pengelola IP Komunikasi melakukan kegiatan Welcoming Day dan Academic Skill Study untuk seluruh mahasiswa IP komunikasi angkatan 2019. Acara yang berlangsung masing-masing di Blangkon Resto (hari pertama) dan Ruang Audio Visual (RAV) Lt. 3, Komunikasi UII, ini juga melibatkan para pengajar IP seperti Puji Rianto, Herman Felani, Holy Rafika, Ali Minanto, dan tentu saja Sekretaris Prodi IP Komunikasi, Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih.

Ali Minanto memberi sambutan mewakili Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UII, di awal acara. Jogja adalah city of culture, katanya. Ia juga sekaligus city of art tentu dapat merangsang daya nalar kreatifitas mahasiswa Komunikasi IP UII. Ada atmosfer yang baik dan kreatif di Jogja.  “Selamat anda sudah bergabung bersama kami. Anda mendapat banyak peluang dan kesempatan saat berbagi di beberapa negara. Anda bisa bergabung dengan banyak aktivitas mahasiswa seperti Klik18, Klub film Kompor.Kom, ‘Dispensi’ untuk intelektual dan Red-Aksi  dan Galaxy untuk Jurnalisme dan Radio,” katanya.

Ali Minanto menambahkan, Komunikasi UII juga membuka peminatan studi pada fokus Jurnalisme, media studies, dan PR. “Kita di Komunikasi, juga punya beberapa dosen yang filmnya diputar di beberapa negara, di jepang, di estonia, dan juga ada perjalanan lintas negara dengan tajuk P2A.”

Acara juga berlangsung akrab setelah perwakilan mahasiswa IP komunikasi angkatan pertama membagikan ceritanya. Cerita itu diwakili oleh Ilyasa Alvin Abadi, mahasiswa IP angkatan 2018, “Waktu masuk saya belum punya teman, bahkan persahabatan, tapi akhirnya seiring berjalannya waktu, dan berproses bersama, saya bisa mendapatkannya sekarang,” katanya dengan bahasa campuran Inggris dan arab.  “Kalau gabung di IP kalian juga bisa ikut merasakan pengalaman perjalanan di cambodia, thailand, Vietnam dan juga bisa mengerti dan mengasah kepekaan,” kata Ilyasa. Kepekaan yang dimaksud adalah kepekaan menganalisa problem sosial. “I want to say welcome to our family, Ahlan wa sahlan,” tutup Ilyasa dengan Bahasa Inggris dan Arab sekaligus.

Perkenalan berlanjut dengan model permainan. “Challenge game how to introduce with a unique way,” kata Herman Felani, Dosen IP Komunikasi UII. Setiap kelompok, yang dibagi berdasar mahasiswa, dosen, staf, dan angkatan kuliah harus membuat sebuah perkenalan dengan cara seunik mungkin. Ada yang memperkenalkan diri dengan dua bahasa. Arab inggris, ada juga kelompok yang memerkenalkan diri dengan bersahut-sahutan menggunakan bahasa daerah. Menarik juga jika melihat kelompok dosen yang membuat tebak-tebakkan nama dengan sebuah isyarat dan petunjuk khusus yang berhubungan dengan diri dan makna nama mereka.

Reading Time: 2 minutes

On the previous occasion, a Welcoming Day was held to welcome the students of International Program (IP) Communication Department on August 30, 2019. At that time, the Secretary of Communication Department IP, Ida Nuraini Dewi KN welcomed by introducing themselves, and giving advice to students, “If there is anything about academic, study, and other matters, you may contact me.” If there is an obstacle for IP Communication students, Ida Nuraini opens herself to be able to discuss any obstacles that arise.

“Don’t think about studying at IP too seriously. IP is fun. There are routine IP programs. P2A for example. From now on, make a saving, because we will have many international travel and activities. You can make a passport from now on,” explained Her who was the graduate student of Chinese Culture University, Taiwan, with enthusiasm.

Welcoming day continues in the next day, 31 August 2019, under titled: Academic Skill Study. This Academic Skills Study contains several key points to be used as a guide for IP students. They can  explore the taste of knowledge in this department. There are various sessions on Academic Skill Study opportunities.

For example, as stated by Ida, “There is a motivational session that wants to create intimacy so that students feel belong to IP,” he said. “Indeed, the aim of the activity is to form character and motivation early on. Academic skill study is start at the beginning of the courses, before lecturing, so there is orientation and briefing. Grow motivation to learn,” added Ida. The material workshop are designed also varies such as Self Management, Why IP, to Academic Writing and Creative Thinking for IP Students.

The design of this activity was indeed made to provide a beginner introduction for Communication Department of IP students. This activity is also a bridge for those who have just graduated from high school and entered the world of students who are completely independent. There is shock and culture shock of course, which is expected to be faced by every student, not avoided. For example, dealing with a bucket of assignments, especially accompanied by an introduction to English and a variety of other student activities that perform with English introduction.

Reading Time: 2 minutes

Bagaimana Jerih Payah Imam dari Komunikasi UII dan Tim PSM MV UII Berbulan-bulan Berbuah Kemenangan

“Bass berisik muluk nggak bisa diem,” sentak Irene Vista pada kelompok laki-laki posisi bass yang malah bercanda saat ikut berlatih waktu itu. Satu waktu, Irene juga tegas memberi wejangan pada seluruh Choir, “kalau bisa kalian jangan konsumsi gorengan dan makanan pedas dulu sampai lomba selesai,” tambahnya tegas, kenang Imam Akbar Pohan salah satu Choir. Lelah, marah, capek, deg-degan, juga: semangat menggebu kata Imam. Namun demi menuju kompetisi 6th Singapore International Choral Festival 2019, itu semua choir Paduan Suara Mahasiswa Miracle Voices (PSM MV) Universitas Islam Indonesia (UII) itu patuh pada Irene, pelatih mereka.

Saat itu Imam, adalah salah satu yang ikut bercanda saat latihan itu. Maklumlah, lelaki asal Sumatera Utara itu, mungkin penat, dan juga lelah tak bisa terhindarkan bila latihan berlangsung berhari-hari, dengan lagu yang itu-itu terus, bahkan sebenarnya, berbulan-bulan. Belum lagi harus ikuti aturan-aturan dari pelatih. Apalagi soal makanan, tentu bikin pengin kucing-kucingan, sembunyi-sembunyi makan makanan kesukaan: gorengan dan makanan pedas. “Ya awalnya kayak nggak bisa semua kan, jadi ada beberapa yang pakai cheating day. Baru setelah itu kelihatan dampaknya (pada kualitas suara) langsung sadar diri kami. Kalau sudah begitu jadi bisa mematuhi,” cerita Imam menggali memori saat-saat latihan. Namun sepertinya lebih banyak menggebu dan semangat daripada lelahnya jika melihat prestasinya kelak.

PSM MV UII menyanyikan beberapa lagu pada perhelatan 6th Singapore International Choral Festival itu. Imam, Mahasiswa Komunikasi FPSB UII angkatan 2017, itu adalah salah satu choir dengan posisi bass. Bersama beberapa rekannya PSM, membawakan beberapa lagu untuk berkompetisi di 6th Singapore International Choral Festival (SICF) 2019 pada 1-4 Agustus 2019. Tak tanggung-tanggung, Imam dan rekam PSM MV UII berhasil menggondol Golden Award dan Silver Award di SICF.

“Waktu pengumuman kita dapet Gold di situ rasanya campur aduk ingat semua hal waktu latihan dulu. Kadang dimarahin, terus harus jaga makanan demi suara yang bersih, dan kayak nggak nyangka juga dapat Gold,” cerita Imam. “Soalnya kita first timer dalam lomba ini dan standarnya lebih tinggi dari lomba-lomba yang pernah PSM ikutin sebelumnya.”

Bagi Imam, raihan PSM MV UII ini bukan dicapai dengan hanya berpangku tangan. Ada peluh di balik torehan hingga sampai ke negeri singa ini. Selain juga ada tangan dingin Irene Vista, sang pelatih yang berjasa menggembleng mereka. Imam, katanya, harus berlatih setiap hari. Tak hanya itu, “malam Minggu sama Senin ngamen, he-he-he,” kata Imam. Persiapannya bukan main-main karena peserta yang berangkat banyak dan butuh biaya tak sedikit, “kami harus ngamen itu buat nambah-nambah uang.” Ada juga PSM bikin jasa paid promote di akun Instagramnya untuk penggalangan dana. Tidak sehari dua hari, semua persiapan itu bahkan mencapai lima bulanan, kata Imam.

Lalu, bagaimana dengan kuliah dan aktivitas pribadi lain? “Kalau kendala pribadi sih paling agak susah bagi waktu kalau nugas (bikin tugas). Kan ilkom (Ilmu Komuniasi) banyak tugas kelompok jadi harus pinter bagi waktu dan kadang ada beberapa orang yang tidak ngemaklumin kesibukanku. Ya resiko,” ungkapnya. Akhirnya, ia mengakali kalau sedang tugas kelompok, ia bakal bagi waktu, dan mengusahakan berkontribusi walau tak bisa hadir. Ada juga beberapa yang nyeletuk, “Sibuk banget sih PSM muluk padahal nyanyi doang.” kata Imam menirukan.

Berlanjut ke Duit Cekak, Ngamen, dan Lagu Legenda (2)