Ditemani cemilan dan sajian teh, diskusi berlangsung hangat. Malam itu kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengundang Masduki, Dosen Komunikasi UII, berbicara membagikan pengalamannya selama tinggal di Jerman soal kondisi terkini media dan jurnalisme di Jerman. Diskusi yang berlangsung pada 24 September 2019 ini dihadiri oleh jurnalis, pegiat pers mahasiswa, aktivis NGO, dan beberapa mitra AJI yang lain. Cerita soal kondisi media di Jerman menjadi penting untuk memperbarui dan membandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia kini juga. Refleksi dan diskusi ini seakan kulakan informasi sehingga menjadi pelajaran untuk bersikap di dunia media dan pers di Indonesia.
Meski Jerman sering dicap sebagai negara maju di Eropa, kata Adink, panggilan akrab Masduki, ada tiga tabu yang harus dipahami jurnalis dan media di Jerman. Pertama, tabu meliput yang menentang eksistensi holocaust. “Holocaust pasti ada, tidak boleh dilawan,” kata Adink. Sepertinya, Jerman ingin memori soal pembantaian massal (holocaust) di Jerman jaman nazi tidak boleh hilang. Kesan yang ditangkap ingin orang di masa mendatang tidak mengulangi sejarah kelam itu. Kedua, ada tabu, meski tidak dilarang, meliput soal Neo Nazi. “Orang-orang Jerman seperti merasakan mimpi buruk Jerman pernah punya Hitler,” katanya menjelaskan. Tabu ketiga adalah Hate Speech terhadap pemerintah yang belum disahkan. “Masih untung sekarang pemerintahnya dari partainya Merkel yang moderat,” tambahnya.
Media di Jerman juga sangat partisan. “Karena media cetak adalah alat kaderisasi kepartaian. Dan itu jadi gurita bisnis tersendiri. Sampai hari ini baru ada dua atau tiga media yg benar-benar reperesentasi media yg non partisan: murdoch dan dkk,” papar Adink. Bahkan, lanjut Adink, media yang berjaringan dengan Majalah Tempo yang melakukan investigasi Panama Paper, Süddeutsche Zeitung, itu milik partai moderat di Jerman selatan. “Dia berkoalisi dengan partainya merkel, CDO,” jelas Adink. Kondisi ini mungkin serupa di indonesia yang pernah memiliki fase media yang harus partisan pada 1950an.
Namun, lanjut Mahasiswa doktoral Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich), ini ada dua hal yg berbeda. Antara ownership dan newsroom. “Unik ini. Kayak gereja, itu dibiayai oleh pajak gereja. Sekali anda nulis KTP-nya katolik maka anda kena pajak gereja. Dan apa dilakukan gereja katolik? Gereja Katolik, tapi bikin kegiatan utk refugee/ penyintas muslim,” kata Masduki. Seperti diketahui sebelumnya, Merkel memutuskan tampung 1 Juta pengungsi muslim di Jerman.
Masduki menambahkan, “Jadi, koran barangkali adalah bisnis partai, kalau medianya bagus, itu bagus buat citra partainya.” Berbeda dengan di Indonesia. Media di Indonesia sering digunakan oleh pemilik untuk mencitrakan pemilik, menguatkan citra politik dan membesarkan kepentingan ekonomi, jelas Adink sambil menuding beberapa media di Indonesia yang ‘partisan.’ Tommy Apriando, Ketua AJI Yogyakarta, salah satu peserta diskusi itu, mengiyakan. Kata Tommy, di iNews misalnya, sudah menjadi rahasia umum, “kalau urusannya bapak, ya suruh berangkat. Di Lombok dan beberapa daerah. Kalau ada acara bapak di daerah, nggak ada yg boleh ngalahkan. Partainya harus masuk.”
Kondisi Finansial Media dan Organisasi Jurnalis Jerman
Media di Jerman juga sudah mulai melakukan iuran publik. Der spiegel misalnya. Mulai mengarah ke crowfunsding digital, kata Adink. “Memang harusnya ke sana, mengambil dari pengiklan, pembeli eceran, apalagi subscriber membuat eceran menurun. Maka mau nggak mau pembiayaan lewat crowfunding,” papar Adink. Bahkan Riset-riset besar di Jerman dibiayai crowdfunding.
Bagaimana dengan organisasi jurnalis, tanya Shinta Maharani, jurnalis Tempo, salah satu peserta diskusi. Organisasi jurnalis juga ada iuran untuk menghidupi organisasi, jawab Adink. Organisasi Jurnalis seperti DJV (Deutscher Journalisten-Verband), “nggak pusing kalau di-PHK,” kata Adink lagi.
Di Indonesia, juga mulai bermunculan investigasi atau liputan dengan dana berbasis crowdfunding, meski belum banyak. “Modelnya tempo institute, fredom unlimited, dan NGO, tolong bikin liputan energi dong, tapi yang tentukan Tempo. Silakan ajukan proposal investigasi, nanti diseleksi. Didanai,” kata Tommy berbagi cerita dan pengalamannya melakukan investigasi bareng Tempo Institute.
Masduki mengatakan di Jerman ada riset crowdfunding untuk siaran konten layanan publik bisa mencapai 30 juta euro. Maka ada banyak start-up yang bikin podcast. Itu dibiayai oleh crowdfunding. Melalui online platform. “Misal dia nyetor 50 euro, bulan depan aku udah dapat podcast,” ungkapnya.
“Yang sosial cepat kalau di Indonesia. Misal yang dilakukan Ananda Badudu menggalang dana untuk aksi di Jakarta. Atau untuk kemanusiaan. Tapi kalau buat liputan jurnalisme investigasi sulit. Contoh Mas Wahyu Dhyatmika saja butuh 25 juta, Tapi baru setelah 3 bulan baru mencapai 5 juta,” kata Tommy menceritakan.
Adink bercerita dan menganalisa, sebab mengapa iuran publik di Jerman bisa marak dan berhasil. “Karena di jerman itu mungkin sudah mikir pasca material, kita butuh informasi yang bermutu. Nalarnya begitu.”
Apa yang harus Indonesia pelajari dari cerita Jerman ini? “Kita ke depan harus combating hoax dengan produksi konten terus. Nah dana itu juga bisa dengan crowdfunding, AJI dan jurnalis bisa berkolaborasi bikin konten seperti podcast, sekarang masih jarang kan konten podcast oleh jurnalis,” jawab Adink kemudian.