Reading Time: 5 minutes

Oleh Ifa Zulkurnaini

Wisata bencana adalah topik perdebatan yang pelik: ada yang sinis dan ada yang simpatik. Sikap media pun bergeser dari masa ke masa.

Di tengah perang dengan pandemi dan anjuran untuk karantina diri, beberapa gunung di Indonesia tersadar dari tidurnya. Gunung Merapi erupsi pada 10 April 2020 pagi. Malamnya, Anak Krakatau menyusul. Tampaknya, hidup di Indonesia, berarti bersiap berhadapan dengan bencana yang beragam.

Warga Indonesia sudah sejak lama menggunakan kreativitas sebagai respon bencana. Kita mengenal adanya “wisata bencana”, yakni kegiatan wisata yang memperlakukan bencana sebagai tontonan. Konsep dan praktik ini bisa ditelisik mundur setidaknya sejak 1982. Ada satu hal penting ketika kita membicarakan “wisata bencana”.

Sejak awal kemunculannya, media berperan penting dalam mendefinisikan, membangun, dan menilai wacana mengenai “wisata bencana”. Posisi media dalam melihat “wisata bencana” juga berubah di sepanjang sejarah.

Artikel ini sendiri akan membicarakan bagaimana Harian Umum Kompas—media cetak yang memiliki oplah tinggi di Indonesia—mendefinisikan “wisata bencana” semenjak 1970an hingga 2000an awal. Artikel ini juga akan membicarakan bagaimana kemudian Kompas bergeser dalam menilai “wisata bencana” menjadi dua hal yang berbeda.

Piknik Bencana Sebagai ”Tindakan Tidak Etis”

Teks yang berhubungan dengan wisata bencana pertama kali muncul di Kompas pada 26 Juli 1976. Ketika itu, terjadi gempa bumi yang terjadi di Seririt, Bali, salah satu kota kecamatan yang terkenal sebagai tempat wisata. Artinya, dalam kemunculan ini, “wisata bencana” dapat diartikan sebagai “bencana yang terjadi di daerah wisata”.

Kompas mewacanakan konsep ini dengan lebih sistematis, serta lebih dekat dengan pemaknaan kita hari ini, pada 1982. Ketika Gunung Galunggung meletus dan menyapu beberapa kecamatan di Garut. Kala itu, Kompas memberitakan sebuah kegiatan yang dinamai sebagai “piknik bencana”.

“…yang lebih ramai lagi adalah bila Anda bisa minta kepada penjaga palang pintu untuk membukakan jalan, dan masuk mengikuti jalan yang menuju ke arah Desa Sinagar, desa yang sudah dimusnahkan oleh delapan kali Letusan galunggung. Di Desa Sukaratu, jalan itu melintasi Kali Cibanjaran, alur yang menjadi jalan lahar dingin dari kawah Cekok dan kawah Hejo yang sekarang mengepul menjadi satu kepundan… Di situlah pusat keramaiannya… kebanyakan orang kota, dengan pakaian lengkap dengan kamera, gaya piknik.” (Piknik ke Galunggung”, Kompas 2 Juni 1982).

Melalui teks tersebut, Kompas memposisikan kegiatan masyarakat menonton bencana itu sebagai “piknik”. Secara simbolik, istilah piknik digunakan sebagai strategi untuk memproduksi ruang yang bukan wisata menjadi ruang wisata.

Kompas memilih diksi yang menarik untuk kita bahas di sini: “orang kota”. Sewajarnya, dalam piknik, pelakunya umum disebut sebagai “wisatawan”, “pelancong”, atau “turis”. Dengan menggunakan diksi “orang kota”, Kompas hendak menggarisbawahi tegangan sosial yang terlibat di dalamnya. Pada satu sisi ada subjek “orang kota” yang “berpakaian lengkap”, dan menenteng “kamera”. Pada sisi lain, ada objek pemandangan warga terdampak, desa yang “dimusnahkan oleh delapan kali Letusan galunggung”.

Bingkai etika yang dipakai Kompas ini semakin keras dan gamblang pada 2006. Kritik ini disampaikan melalui artikel dengan judul “Santir Rupa Lindunisia”, yang menyamakan pengunjung wisata bencana sebagai “orang berhati Iblis”.

“Rupanya bencana memunculkan pula peluang bagi orang-orang berhati iblis untuk mendirikan kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Paling tidak membikin mereka berkesempatan piknik ke ‘desa wisata gempa’, …” (Wahyuddin, “Santir Rupa Lindunisia”, Kompas 24 September 2006).

Cerpen berjudul “Piknik” ikut memberi penggambaran sinis atas aktivitas ini.

“Bila kau merencanakan liburan akhir pekan—dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga—air mata. (Agus Noor, “Piknik”, Kompas, 2 Juli 2006)

Nada satir pada kalimat terakhir di penggalan cerpen Agus Noor memberikan kesaksian bahwa kegiatan “piknik bencana” bukanlah hal yang dikehendaki penyintas. Dalam teks-teks ini, bencana dipahami sebagai kondisi yang menyedihkan. Dengan demikian, tak elok jika dinikmati sebagai objek pengisi waktu luang.

Hal lain yang menarik dari fenomena “piknik bencana” dalam terbitan Kompas di sepanjang 1982-2010 adalah kegiatannya yang bersifat aksidental, tanpa persiapan atau tanpa pengelolaan. Fokusnya pun hanya sebatas apa yang bisa dilakukan oleh penonton, seperti “orang kota” dalam letusan Gunung Galunggung.

Pemberitaan Kompas mengenai Letusan Gunung Merapi pada 1993 memang menunjukkan adanya aktivitas dari penyintas yang menjadi pemandu wisata, serta adanya pemberian imbalan (“Rame-Rame Nonton Letusan”, Kompas, 24 April 1993). Namun, praktik ini tidak terorganisir dan tidak ada penerapan tarif khusus. Hal sama yang terjadi ketika Galunggung meletus pada 1982, ketika masyarakat ramai menemani “orang kota” melihat letusan Galunggung.

“Wisata Bencana” sebagai Tontonan yang Dikelola

Perubahan cara pandang Kompas mulai terjadi setidaknya pada 2010. Pada era tersebut itu, Kompas mulai menukar istilah “piknik bencana” menjadi “wisata bencana”. Penggunaan istilah ini menandai sejumlah pergeseran dalam menempatkan warga terdampak, pengunjung, serta aktivitas wisata itu sendiri. Lebih dari itu, penggunaan istilah “wisata bencana” juga menandai peralihan peran Kompas dalam menyebarkan pengetahuan bahwa bencana dapat dijadikan sebagai komoditas wisata.

Hal ini terjadi terutama setelah meletusnya Gunung Merapi pada 2010. Selepas bencana ini terjadi, warga terdampak tak lagi digambarkan sebagai objek yang pasif, yang tak berdaya menjadi bahan tontonan. Warga terdampak digambarkan secara simpatik sebagai aktif memanfaatkan ramainya pengunjung.

“Orang ingin tahu seperti apa rumah Mbah Maridjan dan bagaimana kondisi dusun kami—daripada nasib kami menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan. Itulah ide awal Lava Tour Merapi,” ungkap Asih (“Merapi yang Selalu Menghidupi”, Kompas, 18 Februari 2012).

“Wisata bencana” adalah istilah yang merujuk pada sebuah kegiatan wisata yang dikelola. Dalam peliputannya, Kompas pun menghadirkan industri wisata baru yang dikelola warga terdampak bencana ini sebagai wisata yang wajar dan profesional. Mulai dari pengelola yang mengenakan seragam, hingga cetakan karcis masuk dan biaya parkir yang sudah diseragamkan (Kompas, 28 Januari 2011).

Pengelola pun menyediakan fasilitas berupa mobil Jeep dan motor trail untuk memperkaya pengalaman wisata.

Perubahan juga terjadi dalam cara Kompas mendeskripsikan pengunjung. Bukan lagi sebagai “orang kota” yang hendak “piknik”, melainkan sebagai “wisatawan”. Aktivitas para wisatawan ini pun tak lagi disindir atau dikritik sebagai aktivitas yang tak bermoral. Praktik menonton sambil menenteng kamera atau smartphone untuk merekam bencana dianggap hal yang lumrah.

Kompas menyamakan kegiatan ini dengan “napak tilas”. Penggunaan istilah napak tilas terlihat memberikan gambaran bahwa aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan sebagai penghormatan, sebagai rasa empati terhadap warga terdampak.

Refleksi

Ada hal yang berubah dari cara Kompas membicarakan wisata bencana. Sejak pemberitaan awal pada 1982, Kompas teguh untuk menganggap piknik bencana sebagai perbuatan yang tidak elok. Namun setelah letusan Gunung Merapi pada 2010, Kompas tidak lagi mengkritik wisata bencana sebagai hal yang negatif, mereka lebih tertarik pada pada bagaimana masyarakat mengkomodifikasi bencana menjadi wisata.

Tentu ada dimensi etika yang patut untuk dipertimbangkan: apakah tindak “menonton” bencana adalah hal yang etis untuk dilakukan dan menghormati warga terdampak? Apakah ketika warga terdampak berperan secara aktif dalam menyelenggarakan wisata itu membuatnya jadi kegiatan yang lebih etis?

Namun, di luar dimensi etika, hal lain yang menarik untuk kita refleksikan adalah mengenai relasi kita dengan ruang. Dalam studi komunikasi geografi, komunikasi dan media memiliki peran krusial dalam mengkonstruksi ruang yang baru bagi manusia (Dhona, 2018: Dhona, 2017).

Dalam kasus wisata bencana, media—diwakili oleh Kompas—sebagai pihak yang secara aktif memaknai dan membentuk pemahaman kita mengenai situs bencana. Hal ini menunjukkan bahwa juga memberikan gambaran bahwa ruang tidaklah tetap. Pemahaman kita atas ruang dibentuk oleh aktivitas kita di dalamnya, termasuk juga bagaimana kita membicarakannya (Dhona, 2019).

——-

Ifa Zulkurnaini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Klaster Riset Komunikasi Geografi dan Lingkungan. Tulisan ini telah terbit lebih dahulu pada 16 Juni 2020 di laman Remotivi, sebuah Pusat Kajian Media dan Komunikasi yang telah eksis lama di dunia kajian media Indonesia. Gagasan ini kami terbitkan ulang sebagai #kliping untuk kepentingan edukasi dan kajian komunikasi terutama komunikasi geografi.  Gambar merupakan karya Remotivi.or.id digunakan ulang untuk ilustrasi dan edukasi.

Reading Time: 3 minutes

Kasus kejahatan seksual bukan kasus kriminal biasa. Dalam pemberitaan, jurnalis berperan meluruskan pandangan itu kepada masyarakat.

Oleh MEDIANA

Tulisan ini pernah diterbitkan di Kompas 1 September 2020. Website kami menerbitkan ulang tulisan ini untuk kepentingan edukasi dan pengarusutamaan Jurnalisme Sensitif Gender. Terima kasih pada Kompas atas ringkasan yang baik untuk diskusi ini pada perhelatan rutin Forum Amir Effendi Siregar yang kami adakan pada 29 Agustus 2020 lalu.

Perspektif korban perlu selalu menjadi penekanan dalam pemberitaan kasus kejahatan seksual. Perspektif ini hingga sekarang tidak mudah dibangun oleh media. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bidang Jender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Nani Afrida, Selasa (1/9/2020), di Jakarta mengatakan, framing media terhadap kasus kejahatan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor. Budaya patriarki selama ini masih menjadi faktor utama.

Untuk pemberitaan kejahatan seksual terhadap anak, misalnya, kebanyakan pemberitaan masih menempatkan mereka sebagai obyek. Semua identitas yang menempel dalam diri anak diungkap. Media tidak mewawancarai anak, tetapi mengungkap identitas anak melalui peliputan ke sekolah dan lingkungan
masyarakat.

Beberapa pemberitaan memuat detail-detail yang justru mengorbankan korban. Sebagai contoh, penulisan ”korban anak memakai pakaian tanpa lengan”, ”korban sukarela diajak pergi oleh pelaku”, dan ”korban sudah kenal dengan pelaku”.

Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih dipenuhi stigma dari budaya patriarki. (Nani Afrida)

”Jurnalis dan organisasi media berdiri di tengah masyarakat yang masih
dipenuhi stigma dari budaya patriarki,” ujar Nani. Dengan selalu berpegang pada perspektif korban, media berarti memilih data fakta yang tidak menambah trauma korban. Menuliskan detail keadilan juga ditonjolkan, seperti penggunaan narasumber dari lembaga peduli hak asasi manusia dan kesetaraan jender.

Nani menyampaikan, AJI sudah mengembangkan kode etik meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual bagi anggotanya. Salah satu isinya, anggota AJI menyamarkan identitas semua korban dan pelaku kejahatan seksual yang berkaitan dengan anak. Kode etik ini bersifat menajamkan peliputan dan pemberitaan yang mengedepankan perspektif korban. ”Saya harap jurnalis dan media tidak terbebani peraturan ataupun kode etik. Kasus kekerasan dan eksploitasi seksual bukan kriminal biasa,” ucapnya.

Manajer Program Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia Andy Ardian berpendapat, dengan berperspektif dari sudut pandang korban, jurnalis ataupun organisasi media dapat berempati kepada korban. Ketika kasus kejahatan seksual melibatkan sosok terkenal, perspektif korban membuat jurnalis semestinya tidak gentar.
”Kerja jurnalis seperti investigator. Jurnalis tetap bisa menelusuri perkembangan penegakan hukum meskipun sejumlah laporan kasus sering kali dicabut oleh pengadilan. Peliputan tetap harus berjalan sehingga masyarakat bisa ikut memantau dan teredukasi,” katanya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Iwan Awaluddin Yusuf, mengamati, pascareformasi 1998 terjadi peningkatan jumlah wartawan perempuan, perempuan pengambil kebijakan di media, media berbasis feminisme, serikat jurnalis untuk keberagaman, dan forum jurnalis perempuan.
Beberapa media massa nasional bahkan memiliki wartawan yang idealis terhadap pendekatan jurnalisme sensitif jender. Pendekatan ini kian masif diterapkan, terutama meliput dan memberitakan kasus kejahatan seksual.

Kolaborasi antarmedia untuk liputan berspektif jender juga mulai muncul, seperti #namabaikkampus yang baru-baru ini meraih penghargaan Public Service Journalism Award from the Society of Publishers in Asia. Contoh ini melengkapi perkembangan positif lainnya. Di tengah situasi itu, Iwan mengamati, kebanyakan editor dan reporter saat ini sudah memiliki pengetahuan tentang masalah dan pentingnya jurnalisme sensitif jender, tetapi tidak pada tingkat praktis.

”Pemahaman pendekatan jurnalisme sensitif jender juga belum merata lintas departemen,” ujar Iwan saat menghadiri Serial Bincang Sejarah Komunikasi yang diselenggarakan Forum Amir Effendi Siregar-Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Sabtu (29/8/2020).

Prinsip-prinsip kesetaraan jender secara informal diperkenalkan jurnalis senior kepada yunior. Sisanya, wartawan mencari sendiri pengetahuan seputar pendekatan jurnalisme sensitif jender. Petunjuk umum peliputan kesetaraan jender sudah tersedia, tetapi tidak spesifik untuk jurnalisme sensitif jender. Hal ini tidak mengherankan karena jurnalis juga dihadapkan dengan isu menguatnya pasar bebas, oligarki media,
dan internet.

Tantangan lainnya adalah potensi kekerasan wartawan, orientasi pemberitaan ”page views”, pendanaan media, eksistensi klub laki-laki di internal, dan perusahaan aplikasi internet (OTT) yang enggan bertanggung jawab terhadap konten non-sensitif jender.

Iwan berpendapat, pemahaman dan keterampilan jurnalisme sensitif jender perlu dilatih. Jika diperlukan, pembekalan itu dilakukan melalui formal dan informal. ”Penerapan jurnalisme sensitif jender harus terus diperjuangkan. Hal yangharus diingat adalah perjuangan ini bukan eksklusif milik wartawan perempuan,” ujarnya.

Editor:ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Reading Time: 2 minutes

Many say that the Japanese Population Age was a New Age, but it is also widely known as the Darkest Age of Colonialism. There are many stories of how the atrocities during the Japanese occupation were recorded in the oral history and the mass media published at that time.

On August 29, 2020, in the discussion of the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Lecturer in Communication Science Department who has researched a lot about gender-sensitive journalism, shared his data findings on the Japanese colonization in Indonesia. This fact is widely published in the media reporting on women. How women are represented in Japanese media and journalistic techniques. Not only in newspaper coverage, but also in comics.

Afraid to be taken away

At that time Indonesian women were very afraid to look good. “They are afraid, so they will dress as badly as possible for fear of being taken away,” said Iwan. At that time women had to give their energy, thoughts, skills, and even possessions for the benefit of the Japanese colonizers.

So women who are good, beautiful, healthy, polite will be taken as jugun ianfu (comfort women who are actually prisoners for sex slaves during the Japanese occupation) or fujinkai (female soldiers who support Japan) who help the war to expand colonization in East Asia.

At that time, the media in Indonesia became a propaganda medium. In fact, not only journalistic media but also comics always portray women as beautiful, able to provide good and healthy meals for families, able to look after children.

Japan is also trying to drown out the narrative of American women. At that time, America wanted to show that women must have an equal position with men with various abilities and intelligence. Meanwhile, Japan, with advertisements in its media, depicts a good woman as being gentle and capable of taking care of  the household.

This is also confirmed by Galuh Ambar, who researched the construction of Indonesian women in the Japanese era. She, through the IVAA grant program, quoted the magazine Pandji Poestaka, which described the construction of new women’s ideas in the household. Pandji Poestaka, for example, wrote, “Now we are facing a new world, a new order, heading for greater east Asia under the leadership of old brother Nippon. Mothers are not the least of our obligations in achieving that noble ideal. Our first duty is to completely eliminate all bad western influences, to clean the household from the smell of the west. ”

At that time the comics became a propaganda tool. You can see the comic Sembadra and Srikandi. In the comic, the Suprapti-Sutarti brothers are depicted in different characters. Suprapti is a girl from home, while Sutarti is a girl who likes marching training, is brave, and manly. Two girls like that who would help Japan realize its dream of becoming Asian leaders at that time.

 

Reading Time: 2 minutes

IPC dikenal sebagai International Program of Communication. Bagi mahasiswa IP, manfaat yang selama ini dirasakan adalah kesempatan mendapatkan relasi international dari berbagai negara, kegiatan international dan variasi pengalaman internasional lainnya. Hal itu beberapa hal yang didapatkan masuk sebagai mahasiswa IPC. Selain itu, program Exchange Student juga menambahkan ketertarikan selama berada di IPC. Seperti beradapatasi lingkungan baru, keterampilan, mendapatkan relasi, serta pengalaman. Hal itu didapatkan melalui Program Exchange Students, kata Muthia Maharani, mahasiswa Ilmu Komunikasi UII program internasional, angkatan 2018.

Pengalamannya berkuliah di IP Komunikasi UII membuat Muthia memiliki perkenalan sampai di tingkat asia. “kemarin waktu ikut P2A, kami didorong untuk bikin travel writing. Itu membuat kamu berkenalan dengan banyak orang. Relasi saya jadi bertambah dari Vietnam, Kamboja, Thailand, juga Malaysia,” kata Muthia.

Muthia mengatakan kebanyakan mahasiswa hanya mengandalkan teori saja, tapi tidak untuk di IPC. “Bila masuk IPC, di sini mengajarkan teori sekaligus praktik,” katanya, dalam obrolan santai mengenal lebih dalam “apa itu IPC” pada 29 Agustus 2020. Muthia dipandu Muhammad Asadzikri, wakil ketua International Program Forum Fakutas Bisnis dan Ekonomika UII, membagikan pengalamanya selama berkuliah di IPC.  Paparannya itu disiarkan melalui Live Instagram IPF UII.

Bagi Muthia, keterampilan presentasi ataupun public speaking adalah hal wajib yang harus dikuasai ketika masuk di Komunikasi UII program international. Tentu saja dalam praktek tidak akan langsung sempurna. Kita akan belajar bersama di IPC secara perlahan bagaimana mempelajari Bahasa Inggris agar fasih. Serta menganalisa kekurangan apa yang dimiliki oleh mahasiswa International Program di Komunikasi UII.

“Di IPC, teori diberikan dan langsung harus praktekan, itulah poin penting,” kata Asadzikri moderator diskusi live IG tersebut. “Praktik-praktik presentasi berbahasa inggris di kelas, menulis dengan standar academic writing, semacam meningkatkan percaya diri kita juga dalam menggunakan bahasa inggris,” sambung Muthia.

Salah satu peserta diskusi juga ikut bertanya. Sikap gugup, nervous, demam panggung adalah kendala untuk mempelajari public speaking, bagaimana mengatasinya, ketikanya di layar komentar instagram. Muthia mengatakan mengatasi hal tersebut tak bisa serta merta. Prosesnya perlahan diajarkan di IPC. Sering berbicara di depan umum dan presentasi adalah salah satu cara yang akan diajarkan di IPC. Kunci lain adalah mencari cara belajar yang menyenangkan menurut pribadinya masing-masing. ”Sering belajar berbicara di depan umum praktekkan, dari situ rasa gugup akan hilang,” kata Muthia.

Muhammad Asadzikri mengatakan pandangan senada. Bahwasanya Introvert adalah sifat natural manusia. Bagaimana melawan rasa Introvert harus dipecahkan. “Kita makhluk sosial, public speaking hal penting, hilangkan rasa introvert.” kata Asadzikri menambahkan.

———-

Penulis: Ridwan Ainurrahman,  Mahasiswa Magang Ilmu Komunikasi UII. Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

 

 

Reading Time: 2 minutes

Isu Sensitif Gender sudah ramai dibicarakan sejak mendekati milenium kedua.  Diawali oleh buku yang ditulis oleh Mukhotib di tahun 1998 berjudul Jurnalisme sensitif Gender diterbitkan oleh PMII. Tapi jika melihat lika liku sejarahnya, jurnalisme sensitif gender ini sudah dimulai jauh di jaman kolonial Belanda.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi UII yang sedang studi doktoral di Monash University, banyak memaparkan data yang begitu kaya dalam diskusi di Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada  29 Agustus 2020.

Dalam diskusi itu ia banyak menceritakan konteks jurnalisme sensitif Gender, literatur, sejarah dan dinamika Jurnalisme sensitif gender serta beberapa kajian riset. Ia juga melihat jurnalisme sensitif gender ini tak sebatas di pemberitaan media, tapi juga terjadi dalam praktik keseharian yg melingkupi dunia jurnalistik.

Misalnya upah karyawan perempuan yang lebih rendah, tidak adanya perlindungan jurnalis perempuan, syarat rekrutmen, tidak adanya ruang laktasi, dan, “tidak adanya toleransi libur untuk perempuan dalam masa menstruasi,” kata Iwan mencontohkan.

Iwan berpendapat, wartawan perempuan dari sisi jumlah meningkat pascareformasi. Peran perempuan dan medianya mulai beragam. Mulai dari media dengan perspektif feminis bermunculan, lalu jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin redaksi dan tentu saja bisa menentu kebijakan redaksi. “Tercatat ada 12 Perempuan yang menjadi pemimpin redaksi,” kata Iwan. Muncul juga perkumpulan jurnalis latar belakang perempuan dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang diketuai Uni Lubis, dan Serikat sindikasi.

Ditambah lagi, Iwan juga mengatakan bahwa beberapa media arusutama berbasis di Jakarta bahkan punya jurnalis yang spesialisasi dan idealismenya kuat pada  jurnalisme sensitif gender. “Tak hanya idealisme, tapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan,” imbuhnya.  Merebaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat pendekatan ini menjadi kian masif digunakan.

Perkembangan jurnalisme ini juga membaik. Muncul beragam liputan-liputan bagus menungkap kekerasa seksual sepertu liputan kolaboratif #namabaikkampus. Muncul komunitas yang menjadi media watch dalam peliputan yang sensitif gender. Misalnya remotivi, KNRP, dan mafindo.

Iwan juga mengamati, pada tataran praksis, jurnalis dan jajaran manajemen masih kesulitan dan kedodoran menerapkan jurnalisme ini. Meski pemahaman dan perspektif gender telah banyak dipahami. ”Di lintas departemen, perspektif jurnalisme sensitif gender tak sepenuhnya merata dipahami,” ungkapnya. Tidak ada pelatihan khusus dan kontrol rutin soal pengetahuan jurnalisme sensitif gender.

Dilihat dari babakan sejarah, secara periodisasi, Iwan memberikan bànyak data dan cerita yang melimpah tentang peran perempuan atau data sejarah yang didasarkan pada jurnalisme sensitif gender. Sebagai catatan bahwa Jurnalisme sensitif gender tidak melulu membicarakan perempuan, tetapi juga melihat konteks bagaimana gender dinarasikan dalam masa tertentu.

Dalam membagi sejarah perkembangan jurnalisme sensitif gender, Iwan membagi dalam lima periodisasi milestone Jurnalisme Sensitif Gender. Pertama Era kolonial, era social marxis di bawah Presiden Soekarno,  Era suharto, era transisi reformasi dan era paska reformasi hingga kini.

Reading Time: 2 minutes

IPC is known as the International Program of Communication. For IP students of the Department of Communication Science, the benefits that have been felt are the opportunity to get international relations from various countries, international activities and a variety of other international experiences. These are some of the things that are obtained by entering as an IPC student. In addition, the Exchange Student program also added interest during their stay at IPC. Such as adapting to new environments, skills, gaining relationships, and experiences. This was obtained through the Exchange Students Program, said Muthia Maharani, a student of UII Communication Science, from international program class, batch 2018.

Her experience studying at UII IP majoring Communication Science made Muthia have introductions to the Asian level. “Yesterday when we joined P2A (Passage to Asean), we were encouraged to do travel writing. It makes you acquainted with many people. My relationships have grown from Vietnam, Cambodia, Thailand, and also Malaysia,” said Muthia.

Muthia said that most students only rely on theory, but not at IPC. “When you enter IPC, you teach both theory and practice here,” she said, in a live instagram event by casual chat to get to know more about “what is IPC” on August 29, 2020. Muthia was guided by Muhammad Asadzikri, vice chairman of the UII International Program Forum of FBE (Fakultas Bisnis dan Ekonomika), sharing her experiences during study at IPC. Her presentation was broadcast on Live Instagram (IG) IPF UII.

For Muthia, presentation or skills of public speaking are mandatory things that must be mastered when entering the Communication Science program. Of course in practice it will not be perfect right away. We will learn together at IPC slowly but sure how to learn English to be fluent. As well as analyzing what deficiencies the International Program students at Communication Science have.

“At IPC, theory is given and we have to practice it immediately, that’s an important point,” said Asadzikri, the moderator of the IG live discussion. “Practicing presentations in English in class, writing with academic writing standards, those are kind of increases our confidence in using English,” continued Muthia.

One of the discussion participants also asked. Nervousness, stage fright, are also obstacles to learning public speaking, how to overcome them. Muthia said that overcoming this could not be done immediately. The process is precisely being taught at IPC. Frequent public speaking and presentations are one of the ways to be taught at IPC. Another key is to find a way to learn that is fun according to each individual. “Often learn to speak in public, practice it, from there the nervousness will disappear,” said Muthia.

Muhammad Asadzikri shared a similar view. That introverts are human nature. How to fight introverted feelings must be solved. “We are social creatures, public speaking is important, get rid of the feeling of being introverted.” Asadzikri added.

———-

Author: Ridwan Ainurrahman, UII Communication Science Intern. Class of 2016

Editor: A. Pambudi W.

 

 

 

Reading Time: < 1 minute


Forum Amir Effendi Siregar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Seri 9)

Topik:
Meletakkan Sejarah Pers Mahasiswa dalam Kajian Media di Indonesia

Pembicara:
Wisnu Prasetya Utomo

Menyelesaikan studi master di School of Media and Communication, University of Leeds. Menulis buku Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan (2013) yang diangkat dari skripsi S1.  Saat ini merupakan pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UGM dan sedang menyelesaikan buku yang diolah dari tesis S2 tentang Media and Political Parallelism in Indonesia.



Jadwal
Sabtu, 5 September 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

Registrasi:

http://bit.ly/serialbincangsejarahkomunikasisesi9 

Reading Time: < 1 minuteGender sensitive issues have been widely discussed since approaching the second millennium. Starting with a book written by Mukhotib in 1998 entitled Gender sensitive journalism published by PMII. But if you look at the twists and turns of its history, this gender sensitive journalism has started way back in the Dutch colonial era.

Iwan Awaluddin Yusuf, an UII Communication Science lecturer who is currently studying his doctorate at Monash University, explained a lot of rich data in the discussion at the Amir Effendi Siregar (AES) Forum on August 29th, 2020.

In that discussion he talked a lot about the context of gender sensitive journalism, literature, history and dynamics of gender sensitive journalism as well as several research studies. He also sees that gender-sensitive journalism is not limited to media coverage, but also occurs in daily practices that surround the world of journalism.

For example, the lower wages of female employees, the absence of protection for female journalists, recruitment requirements, the absence of lactation rooms, and, “there is no tolerance for holidays for women during menstruation,” said Iwan, giving a lot of examples.

Tracing from the historical stage, periodically, Iwan provided a lot of data and stories about the role of women or historical data based on gender sensitive journalism. It should be noted that gender sensitive journalism does not only talk about women, but also looks at the context of how gender is narrated in certain times.

In Sharing the history of the development of gender-sensitive journalism, Iwan divided it into 7 periodizations. First, the colonial era, second is the era of the independence movement of Indonesia, the Japanese occupation era, the Soekarno era, the Suharto era, the transitional reform era and the reform era until now.

 

Reading Time: 3 minutesTourism Journalism – Elements of Journalism is a Must. Even though tourism journalism is look like a trivial think, a good standard on the elements of journalism should be applied on every tourism journalism writing. Now if you surf in cyberspace, no doubt you will find tourism news content, travel, touring, trips to exotic areas, to unspoiled tourist places. The reason is, the spread of content like this cannot be separated from the increasing use of social media and the level of tourism literacy in Indonesian society, especially young people.

The popularity of tourist attractions like this has made many content providers and news portals uphold tourism journalism as the primary content of their content. Although this kind of journalism is synonymous with travel and tourism, it is claimed that it is not just traveling.

That was the discussion that emerged from the Monthly Discussion of the PSDMA (Center for Alternative Media Studies and Documentation) Nadim of Communication Science Department, Universitas Islam Indonesia (UII). Risky Wahyudi  became the host of the event inviting Nur Rizna Feramerina.

Feramerina is an UII Communication Science student who conducts research on the phenomenon of Tourism Journalism and its current developments. She researched several portals. Apart from research, he is also active in writing on Detik Travel Indonesia.

Elements of Tourism Journalism

Are there any tips or special characters for becoming a journalist or contributing traveling content writer? How many people are there behind the scenes on this travelling website?

That question was asked by Risky Wahyudi, the host  of this discussion program. Feramerina said there were approximately 50 people more, for example in the Travellindo website in which she researched. Even Feramerina is also surprised that there are more than 5,000 contributors of traveling content that they had.

“They also have a contributor group in the Telegram application to foster contributors to produce better, more creative, quality content in accordance with the elements of journalism,” he said.

According to her research, there is no special character to become a writer or journalist for this Travel Writer. All the same. Writing must conform to journalism standards or elements. So you cannot write just randomly without understanding the elements of journalism. So, more than 5000 contributors must also fulfill the principles and basic elements of journalism in writing content with the tourism journalism genre.

Recommendations for Advanced Research on Tourism Journalism

Feramerina and Risky reach the conclusion that not much research has been done on Tourism Journalism. You can do research on this, for example, Risky’s idea, how  traveling websiite manages thousands of contributors, or like Feramerina said, no one has yet compared the content of tourism journalism on various news website.

Different portals, different standards. That’s how important it is to be researched. Feramerina shared her experience writing this travelling content for example. She writes on two portals: detik travel and Travellindo. Both have the same focus, but according to her experience, Travellindo is more selective and rigid in writing content, even photos.

According to her, there are not many references that talk about the genre in this journalism. She herself had to find and trace foreign sources who discussed this. This search finally found results. The primary reference that examines the tourism journalism genre that she is researching is a book entitled Specialist Journalism, edited by Barry Turner and Richard Orange.

Besides discussing technical coverage and how to do this, this main book also contains reflections on the fields of journalism. Such as journalism in sports, culinary, music, law, media, war, art and tourism. This book also discusses including how to write complex data from science research.

 

Reading Time: 2 minutesKini jika anda berselancar di dunia maya, tak ayal anda akan menemui konten berita pariwisata, perjalanan, touring, perjalanan ke daerah-daerah eksotik, hingga tempat-tempat wisata yang belum terjamah. Pasalnya, merebaknya konten seperti ini tak bisa dipisahkan dari meningkatnya penggunaan media sosial dan tingakt literasi wisata pada masyarakat indonesia, khususnya kaum muda.

Popularitas tempat wisata seperti ini membuat banyak content provider dan portal berita menegakkan jurnalisme pariwisata sebagai primadona kontennya. Meski jurnalisme ini identik dengan perjalanan dan wisata, ia diklaim bukan sekadar jalan-jalan.

Begitulah diskusi yang muncul dari gelaran Diskusi Bulanan PSDMA (Pusat Studi dan Dokumentasi MEdia Alternatif) Nadim Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII). Risky Wahyudi kali ini menjadi pembawa acara mengundang Nur Rizna Feramerina. Feramerina adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII yang melakukan riset tentang fenomena Jurnalisme Pariwisata dan perkembangannya saat ini. Ia meneliti beberapa portal. Selain riset, ia juga aktif menulis di Detik Travel Indonesia.

Apakah ada tips atau karakter khusus untuk menjadi jurnalis atau kontributor penulis konten travelling? Tim di balik layarnya ada berapa orang di portal travelling ini?

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Risky Wahyudi, pembaca acara diskusi ini. Feramerina mengatakan ada sekira 50 orang lebih misalnya di portal travellindo di portal konten travelling yang ia teliti. Bahkan Feramerina juga kaget ada 5000 lebih orang kontributor konten travelling.

“Mereka juga punya grup kontributor di aplikasi Telegram untuk membina kontributor aga dapat menghasilkan konten yang lebih bagus, kreatif, bermutu, sesuai dengan elemen jurnalisme,” katanya.

Menurut penelitiannya ini, tidak ada karakter khusus untuk menjadi penulis atau jurnalis Travel ini. Semuanya sama. Tulisan harus sesuai dengan standar atau elemen-elemen jurnalisme. Jadi tidak bisa juga sembarang menulis tanpa memahami standar jurnalisme. Jadi, lebih dari 5000 kontributor juga harus memnuhi kaidah dan elemen dasar jurnalisme dalam menulis konten dengan genre jurnalisme pariwisata.

Rekomendasi Riset Lanjutan Jurnalime Pariwisata

Feramerina dan Risky mencapai kesimpulan bahwa belum banyak riset yang membahsa tentang Jurnalisme Pariwisata. Anda bisa melakukan riset soal ini misalnya, ide Risky,  bagaimana portal travelling mengelola ribuan kontributor, atau kata seperti kata Feramerina,  belum ada yang membandingkan konten jurnalisme pariwisata pada beragam portal.

Beda portal, beda strandar. Begitulah pentingnya membandingkan. Feramerina berbagi pengalamannya menulis konten ini misalnya. Ia menulis di dua portal: detik travel dan Travellindo. Keduanya punya fokus yang sama, tapi menurut pengalamnnya, travellindo lebih selektif dan rigid dalam menulis konten, bahkan foto.

Menurut Feramerina, belum banyak referensi yang bicara soal genre dalam jurnalisme ini. Ia sendiri harus mencari dan melacak sumber-sumber asing yang membahas tentang ini. Pencariannya ini akhirnya menemukan hasil. Referensi induk (babon) yang mengkaji genre jurnalisme yang ia teliti ini adalah buku berjudul Specialist Journalism, suntingan Barry Turner dan Richard Orange.

Buku babon ini selain membahas tentang teknis peliputan dan bagaimana melakukannya, juga memuat refleksi pada bidang-bidang jurnalisme. Seperti jurnalisme di bidang olah raga, kuliner, musik, hukum, media, perang, seni, dan wisata.  Buku ini juga membahas termasuk bagaimana menulis data yang rumit dari penelitian sains.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on