Reading Time: 2 minutes

Masa orientasi dengan nama “Serumpun” mengangkat tema persaudaraan. Misi panitia ingin membuat pengenalan kampus ini dirangkul seperti saudara tanpa adanya senioritas yang masih terjadi di beberapa kampus di Indonesia. Sebelum kegiatan serumpun dimulai, panitia terlebih dulu membuka acara dengan memberikan sambutan untuk mahasiswa baru dan tak ketinggalan juga Wakil Dekan dari FPSB memberikan sambutan yang sangat hangat untuk mahasiswa baru FPSB sebelum memulai kegiatan ospek serumpun ini berlangsung.

Kegiatan Serumpun yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2020 melalui aplikasi Zoom Meeting diikuti oleh seluruh mahasiswa baru dari Fakultas Psikologi dan ilmu Sosial Budaya, termasuk mahasiswa Komunikasi UII. Panitia mempersiapkan kegiatan ini dengan sangat baik dan siap dalam menghadapi halangan yang akan terjadi pada serumpun (ospek daring) online pertama kali di FPSB.

Panitia juga melakukan antisipasi pada kegiatan ini yaitu dengan memberikan subsidi pulsa senilai 50 ribu rupiah kepada para mahasiswa baru untuk dimanfaatkan dalam kegiatan serumpun ini. Subsidi pulsa yang diberikan diharapkan dapat memberi kemudahan dalam serumpun daring jika mengalami gangguan pada sinyal wifi atau kuota yang terbatas.

Menurut Wakil Dekan FPSB UII, Dr. Phil. Emi Zulaifah, M.Sc, pendaftaran mahasiswa baru mengalami kenaikan di semua program studi, terutama yang tampak melonjak yaitu dari jurusan Hubungan Internasional katanya. Maka tak heran bila serumpun kali ini diikuti oleh ratusan mahasiswa baru. Ia mengatakan, “kalau  seperti jurusan psikologi dan Ilmu Komunikasi relatif stabil tinggi seperti dari tahun ke tahun.” Penerimaan mahasiswa FPSB  sangat kompetitif karena dari ribuan pendaftar, yang diterima hanya 10 persen. Pada tahun lalu ada sekitar  8000 calon mahasiswa dan yang diterima hanya sekitar 830-an yang daftar ulang untuk menjadi mahasiswa pada FPSB. Lalu sekarang, pendaftar melampaui 9000 dan fakultas ini menerima sekitar 984 mahasiswa baru.

UII memiliki cita- cita mewujudkan mahasiswa dan civitas akademiknya sebagai insan ulil albab. Ini nantinya akan menjadi rahmat bagi sekitarnya. Sejumlah ratusan mahasiswa yang diterima di FPSB ini akan menjalani proses menjadi insan ulil albab tersebut. Wakil dekan mengatakan, “karena kita memiliki misi seperti itu maka program keagamaan disusun sedemikian rupa sehingga mahasiswa ini memang menjalani kegiatan tersebut secara intensif.”

Misalnya antara lain melalaui taklim yang wajib diikuti 4 semester, hingga lulus taklim nanti akan mengikuti pesantren pra-KKN, lalu ada program orientasi nilai dasar islam dan program pesantren sesi 1 di semester 1 yang nanti ada materi tentang agama, akhlak, dan kepemimpinan, katanya. Ibu Emi melanjutkan pesannya, “kita berikan kesempatan seluasnya pada mahasiswa agar berkembang dalam koridor yang baik dan akan membangun kemaslahatan bagi umat dan bangsanya. Kepedulian insan dari UII seharusnya melampui batas-batas negara karena keislaman. Kemahasiswaan kita memiliki pandangan setiap mahasiswa uii memiliki hak untuk berkembang dan kita memfasilitasi itu.”

————————-

Penulis: Ibnu Mufti Sumarno, Mahasiswa Magang Ilmu Komunikasi UII, Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 11)

Topik:

Stagnasi Riset Komunikasi: Belajar dari Sejarah Semiotika dalam Studi Komunikasi Indonesia

Pembicara:

Muzayin Nazaruddin

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Memperoleh pendidikan semiotika di International Master Program of Semiotica, Department of Semiotics, University of Tartu, Estonia. Saat ini tengah menempuh PhD di almamater yang sama dengan topik riset Semiotika bencana, memadukan pendekatan cultural semiotics dan ecosemiotics.

 

Jadwal

Sabtu, 26 September 2020
Pukul 15:30 WIB
Via Zoom

atau

 

Registrasi:

Reading Time: 2 minutes

In this digital era, cyberspace is increasingly crowded and massive. There is a lot of fake news circulating and it is becoming increasingly difficult to figure out which facts and opinions are. Therefore, to avoid fake news and unclear truth, students are required to think critically in finding facts. If students do not have a critical nature, it can become a time bomb and dangerous for their future.

Teatime 11th episode, entitled the theme “Bridging program” in the UII International Program Communication provided those skills to face the digital era and campus environment. This discussion presented an internal lecturer from IP Communication (IPC) UII, Mr. Ginanjar Gailea. This discussion on September 11, 2020, is very interesting because in this discussion the host will present a theme that is characteristic of the IPC program. 

This discussion program was broadcast via IPC’s Live Instagram (@ ip.communication.uii). Nadira Muthia Subhari as the host of IPC accompanied the discussion and shared information related to the Bridging Program with IPC Communication Science lecturer Mr. Ginanjar Gailea. The discussion provides an overview especially for IPC new students.

So the Department of Communication of UII opens special courses that are different from the regular communication science program called “Bridging Program”. In the bridging program, students will discuss with friends and lecturers how to become a student who can think critically. Critical thinking is a skill that helps students to distinguish between facts, opinions, and hoaxes. The Bridging Program is a special facility provided to all UII international student programs of Communication Science. This facility assists international students in preparing them to adapt to the University learning environment and assists in other subjects.

Bridging classes also try to change the student’s perspective. Usually when they are in high school, students are guided step by step in detail, now when they enter the university environment, even the lecturers only provide guidance and the rest is provided by discussions and study independently. The campus world allows lecturers to act as a bridge of knowledge, not to be central knowledge like the high school period. This paradigm must be understood by new students at IPC.

“I will encourage students to enjoy my classes. I realize that every student has a different level of intellectual capacity but that is not the main measure in my class. I want my students to be proactive and confident,” said Ginanjar Gailea.

Bridging programs can also hone the skills (Skills) of a student to be creative and critical and have excellent intuition. If students have these traits it will make students who innovate and ready to face the outside world. Mr. Ginanjar said do not hesitate if there are students who would like to consult about the IP program. “Do not build the scary side of classroom lectures, class was made fun anyway,” said Ginanjar.

What skills learned together in the bridging program? “There are various things,” said Ginanjar. “For example, we will learn together about how to become independent learners, academic writing, develop critical thinking skills, and so on,” he said. These skills will be very useful if they are well understood. According to him, it is always practiced.

He as an IP lecturer will accept students well to get better and ready to face the international world. Mr. Ginanjar hopes that when the pandemic is over, IPC communication science students are ready to come out without hesitation in facing all conditions.

————-

Author: Ibnu Mufti Sumarno, Communication Student (Batch 2016), Internship Student in Communication Science UII (International Program)

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 2 minutes

Serumpun on September 20, 2020 has ended. The new students of the UII Communication Science Department gathered and were welcomed by the Head of the UII Department of Communication Science and the UII Communication staff. When gathering like this, new students from the Department of Communication Science can get to know each other. The hope is that they will become close with their friends, lecturers and staff. Joy is reflected in the faces of new students who are very interested in Communication Science. They feel proud to have entered the UII Department of Communication.

This picture was seen in the online meeting of the orientation period of the FPSB UII Serumpun at the department introduction session. In this session, new students were introduced to several communities in the Communication Science department by the Secretary General of Himakom UII (Communication Science Student Association), M. Diast. He explained several internal communities in this department and what they will get by participating in the activities in it.

After the Secretary General from Himakom gave his explanation and opinion about the various internal organizations, then the staff representative turned to speak. Staff from Communication Science gave an opinion to explain what facilities were obtained after new students entered the Communication Science department. The facilities provided by the UII Department of Communication Science include the Nadim PSDMA (Center for Alternative Media Studies and Documentation), which has a collection of research from alumni, lecturers and students as well as a collection of various alternative research. There is also a laboratory that can be used when students need media production tools or supporting equipment for later practicum lectures.

The Head of UII Department of Communication Science, Puji Hariyanti, also gave a speech to the new students. Puji said that from now on students must be enthusiastic about going through online courses in the future. “Congratulations to new students and always enthusiastic in carrying out lectures later,” she said. She also introduced the three finger greeting typical of the Communication Department in Indonesia. All students and participants of the Zoom meeting were busy taking pictures together showing the three-finger greeting symbol of the communication greeting.

After a warm welcome by the Head of Communication Science, then she gave the students the opportunity to get acquainted. During the introductory period, it turned out that communication science students came from various regions. There are those from Aceh, some from Papua, Temanggung, and of course also Yogyakarta. This makes Puji Hariyanti feel amazed that the enthusiasm for following the orientation period and the introduction of communication science is still being followed despite the difficulty of signals and connections from long distances. In fact, this shows that the enthusiasm of new students is very high and quite interactive.

—————-

Author: Ibnu Mufti Sumarno, UII Communication Science Internship Student, Class of 2016

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 2 minutes

Music always accompanies our daily activities. Music has also existed since time immemorial. For the sake of study studies in Indonesia, this article will be shortened from the colonial and pre-independence era.

In a history talk held by the Amir Effendi Siregar (AES) Forum, Idham Resmadi, a Creative Industry Lecturer from Telkom University, shared the history of music studies into 4 phases of periodization. “Starting from the colonial and pre-independence era, paca independence, the music industry era and post-reformation,” said Idhar on September 19, 2020.

At the event held by PSDMA Nadim Communications UII, Idhar said that the first phase, namely in the colonial period appeared on a radio station namely Radio NIROM, where the Dutch always enjoyed music every day. Then came soeara NIROM (NIROM voice) in the form of a leaflet. The contents are the program schedule on the radio.

Over time there was struggle and cultural influences began to develop. “For example, between fans of traditional keroncong and keroncong which is somewhat westernized. The term will develop, the arena of cultural contestation, there is the term keroncong gado-gado (Mixed Keroncong) because there is an assumption that western influence has cultural influences and negative values,” explained Idhar.

The second phase is post-independence. In this era, music has not entered the era of commercialization, and there is still a struggle for influence between East and West. The aura of fighting for discourse on cultural values ​​is still strong, said Idhar. But in print media like Diskorina, debate and criticism are no longer as harsh as before. And they tend to contain light information like astrology, humorous stories, crossword puzzles, etc. “Back then, Western culture was easier for teenagers to accept.”

In the 65th century, music became a political propaganda tool for the New Order. In the past, ABRI (Kostrad) used music, even through musical performances. “Even the cultural strategy is for soldiers to have their own band,” he added.

After that, there was a struggle for the discourse “Kampungan vs Gaul” between fans of the music “Dangdut vs Rock” which was quite busy. This kind of opinion was brought by Aktuil magazine. Also in the magazine, fashion trends are also easily accepted and adapted by the Indonesian people.

In the 1970s-1980s music developed. And this year, music entered the world of industry. There are also many tabloids and music magazines that support the music industry from an economic perspective. The magazine is not far from entertainment, lifestyle, or gossip. “There is a symbiosis of mutualism between music and media. The media supports the promotion of music, and music becomes a commodity.”

 

Reading Time: < 1 minute

Welcoming Day Komunikasi UII:

Pengenalan Pembelajaran Daring

Jadwal:

Rabu 23 September 2020

13.00 – Selesai

Pembicara:

Herman Felani, S.S., MA

Turn On Camera, Set Your Hometown on Virtual Backgrounds, And Prepare Yourself

Reading Time: 2 minutes

Pada era digital ini, situasi dunia maya semakin crowded. Banyak persebaran berita palsu dan makin lama semakin sulit untuk mencari mana fakta dan opini. Maka dari itu untuk menghindari dari berita palsu dan tidak jelas kebenarannya, mahasiswa diharuskan untuk berfikir kritis dalam mencari fakta suatu informasi. Jika mahasiswa tidak memiliki sifat kritis bisa menjadi bom waktu dan berbahaya pada masa depan mereka.

Teatime episode 11 kali ini  berusaha menjawab itu. Kali ini mengangkat tema tentang “Bridging program” di International Program Komunikasi UII.  Pada diskusi ini menghadirkan dosen internal dari IP Communication (IPC) UII. Diskusi pada 11 September 2020 ini, sangat menarik karena pada diskusi ini tuan rumah akan membawakan tema yang menjadi ciri khas dari program IPC.

Acara diskusi ini disiarkan lewat Live Instagram IPC (@ip.communication.uii). Nadira Muthia Subhari selaku tuan rumah dari IPC mendampingi diskusi dan berbagi tentang informasi terkait dengan Bridging Program bersama dosen Ilmu Komunikasi IPC Mr. Ginanjar Gailea. Diskusi memberikan gambaran khususnya bagi mahasiswa baru IPC.

Maka jurusan Ilmu Komunikasi membuka mata kuliah khusus yang berbeda dengan program ilmu komunikasi regular bernama “Bridging Program”. Pada bridging program mahasiswa akan berdiskusi bersama teman dan dosen bagaimana cara menjadi seoarang mahasiswa yang dapat berfikir kritis,

Berfikir kritis merupakan keterampilan yang membantu mahasiswa untuk membedakan mana yang fakta, opini, dan hoax. Bridging Program adalah fasilitas khusus yang diberikan kepada semua program mahasiswa internasional UII. Fasilitas ini membantu mahasiswa internasional dalam mempersiapkan mereka beradaptasi di lingkungan pembelajaran Universitas dan membantu dalam mata kuliah lain.

Kelas Bridging juga berusaha mengubah cara pandang mahasiswa. Biasanya ketika masih di SMA, pelajar dipandu langkah demi langkah dengan detil, kini ketika masuk lingkungan universitas, bahkan dosen hanya memberikan panduan dan sisanya diskusi dan belajar mandiri. Dunia kampus memungkinkan dosen sebagai jembatan ilmu, bukan menjadi sentral layaknya jaman SMA. Paradigma ini yang harus dipahami oleh mahasiswa baru di IPC.

“Saya akan mendorong mahasiswa untuk menikmati kelas saya. Saya menyadari bahwa setiap mahasiswa memiliki tingkat kapasitas intelektual yang berbeda tetapi itu bukan ukuran utama di kelas saya. Saya ingin dari siswa saya adalah menjadi proaktif dan percaya diri,” kata Ginanjar Gailea.

Bridging program juga dapat mengasah keterampilan (Skill) seorang mahasiswa untuk menjadi kreatif dan kritis serta memiliki intuisi yang sangat baik, Jika mahasiswa memiliki sifat tersebut nantinya akan menjadikan mahasiswa yang berinovasi dan siap menghadapi dunia luar. Mr. Ginanjar mengatakan tidak ragu-ragu jika ada mahasiswa IP yang ingin konsultasi tentang programnya. “Tak usah membangun sisi menakutkan dari kelas kuliah, kelas saya buat menyenangkan kok,” sambung Ginanjar.

Apa saja keterampilan yang dipelajari bersama dalam bridging program? “ada macam-macam,” kata Ginanjar. “Misalanya kita akan belajar bersama tentang bagaimana menjadi pembelajar mandiri, academic writing, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan lainnya,” katanya. Keterampilan ini akan sangat berguna jika ia dipahami dengan baik dan selalu dipraktikkan menurutnya.

Ia selaku dosen IP akan menerima dengan baik agar mahasiswa tersebut dapat menjadi lebih baik dan siap dengan matang menghadapi dunia internasional. Mr. Ginanjar berharap adalah ketika pandemi selesai, mahasiswa ilmu komunikasi IPC siap untuk keluar tanpa ragu dalam menghadapi segala kondisi.

————-

Penulis: Ibnu Mufti Sumarno, Mahasiswa Komunikasi Angkatan 2016, Magang di Ilmu Komunikasi UII (International Program)

Penyunting: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

Musik selalu menemani aktifitas sehari-hari kita. Musik juga hadir sejak jaman dahulu. Demi kepentingan kajian studi di Indonesia, maka tulisan ini akan diperpendek mulai jaman kolonial dan pra kemerdekaan.

Dalam bincang sejarah yang diadakan Forum Amir Effendi Siregar (AES), Idham Resmadi, Dosen Industri Kreatif dari Telkom University, membagi sejarah kajian musik dalam 4 fase periodesasi. “Dimulai dari jaman kolonial dan pra kemerdekaan, paca kemerdekaan, masa industri musik dan pasca reformasi,” kata Idhar pada 19 September 2020.

Pada acara yang diadakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII, ini Idhar mengatakan bahwa fase pertama yaitu di masa kolonial muncul Radio NIROM, dimana penjajah Belanda sehari hari selalu menikmati musik. Lalu muncul juga soeara NIROM yang berbentuk leaflet. Isinya adalah susunan acara di radio tersebut.

Lama-lama terjadi perebutan dan pengaruh budaya mulai berkembang. “Misalnya antara penggemar keroncong tradisional dengan keroncong yang agak kebarat-baratan. Bakal berkembang istilah, arena kontestasi budaya, ada istilah keroncong gado-gado karena ada anggapan pengaruh barat itu ada pengaruh kebudayaan dan nilai-nilai negatif,” jelas Idhar.

Fase kedua adalah pascakemerdekaan. Di jaman ini musik belum memasuki era komersialisasi, dan masih terjadi perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Aura perebutan wacana nilai budayanya masih kuat, kata Idhar. Tapi di media cetak seperti Diskorina, perdebatan dan kritik tak lagi keras seperti sebelumnya. Dan cenderung berisi informasi ringan seperti astrologi, cerita humor, teka teki silang, dll. “Saat itu, budaya Barat lebih mudah diterima oleh remaja.”

Di tahun sekitar 65an, musik menjadi alat propaganda politik orde Baru. Dulu musik dipakai oleh ABRI (kostrad), bahkan juga melalui pertunjukan musik. “Bahkan strategi budayanya itu tentara sampai punya grup band sendiri,” imbuhnya.

Setelah itu ada perebutan wacana “Kampungan vs Gaul” antara penggemar musik “Dangdut vs Rock” yang cukup ramai. Opini seperti ini dibawa oleh majalah Aktuil. Di majalah itu juga, trend busana juga mudah ditetima dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Di tahun 1970an-1980an musik berkembang. Dan di tahun tahun ini musik memasuki dunia industri. Banyak juga berkembang tabloid dan majalah musik yang isinya menunjang industri musik dari aspek ekonomi. Majalah itu isinya tak jauh dari hiburan, gaya hidup, atau Gosip. “Terjadilah simbiosis mutualisme antara musik dan media. Media menjadi penunjang promosi musik, dan musik menjadi komoditas.”

Reading Time: < 1 minute

Teatime 12th edition will invite:

Ade Hidayat – Filmaker/

Founder Banua Filmmaker Forum/ Founder Kalimantan Aruh FIlm Festival

(Alumni of communication Science Department, batch 2005).

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
Sharing Experiences on Building A Film Ecosystem In Kalimantan

Live On Instagram

Schedule

Sunday, September, 18th, 2020
Start at 4pm (UTC+7)Keep update on IGTV
@ip.communication.uii
@adedae

Reading Time: < 1 minute

Webinar Teknik Reportase dan Foto Jurnalistik bersama Komunikasi UII dan SMA 1 Sleman

Sabtu – 19 September 2020

Pukul 09.30-11.00

Via Zoom Conference:

Kelas akan dipandu dan diisi oleh

Narayana Mahendra P

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII

Galih Yoga

Freelance Photographer

Siti Fauziah

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UII