Reading Time: 3 minutesBagaimana riset praproduksi film bisa membuat filmmaker menemukan banyak fakta yang mencengkan? Apa saja temuan sineas ini ketika menelisik lika-liku wajah TKI di tanah kelahirannya itu?
Pada 2019,Muhammad Heri Fadli, mulai menjejaki beragam dokumen dan data. Pasalnya, ia ingin memahami lanskap dunia buruh migran dan lika-likunya. Meski ia sehari-hari, bahkan sejak kecil, hidup di lingkungan terbanyak pengirim buruh migram ke Malaysia, tapi itu tak membuatnya urung membaca puluhan bahkan ratusan angka soal TKI dari Lombok. Beginilah temuan Heri ketika melakukan riset praproduksi filmnya bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama. Film-film itu bercerita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok, tempat lahirnya.
Heri hadir pada kesempatan diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim pada Kamis (25/2) di awal 2021 ini. Sebagai alumni Komunikasi UII, ia berbagi dan menceritakan fakta dan temuan mengagetkannya, bahkan mengesalkan untuk bahan produksi filmnya. Tak hanya itu, ia juga ceritakan bagaimana proses kerja produksi filmnya itu . Uniicoms TV menyiarkan secara Live diskusi ini yang rutin digelar PSDM Nadim Komunikasi UII.
Heri menceritakan bagaimana persoalan TKI di Lombok begitu pelik hingga sulit ditangani oleh pemerintah. Heri heran setelah mengetahui rumitnya penyelesaian soal migrasi tenaga kerja ini terutama di Lombok. Ia menyitir beberapa temuan data dari riset awalnya sebelum membuat film. Misalnya, jumlah pemulangan TKI NTB pada 2019 mencapai 766 orang. Tiga kabupaten di NTB bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang Buruh Migran Indonesia/BMI di Indonesia.
Fakta dan Lumbung Segala Masalah
Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten tertinggi, di Indonesia khususnya, sebagai penyumbang TKI dengan jumlah 28 ribu TKI per tahun. Lalu menyusul Lombok Tengah sebesar 16 ribu per tahun. Di urutan ketiga baru Lombok Barat masuk daftar.
Data-data ini membuatnya kaget becampur heran. Seketika lalu memantiknya memiliki ide membuat film soal ini. Menurut Heri dan produsernya, Ida Bagus, “inilah lumbung semua masalah di NTB. Mulai dari stunting, begal, angka putus sekolah, kemiskinan,” katanya.
Pada gilirannya Heri menemukan data lain yang juga membuat tercengang. “Akhirnya saya menemukan sejumlah 73 jenazah BMI dipulangkan pada 2019,” katanya. “Namun ketika saya ke bandara, justru saya menemukan tiap hari ada saja jenazah yang dipulangkan. Itu yang ilegal. Mereka tidak masuk di data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2019,” sambungnya.
Menurutnya, ketika melihat fakta ini, ia tak bisa tinggal diam. “Angka-angka ini yang bikin saya merasa ini benar nggak sih kalau saya diam saja?” Batinnya berkecamuk kemudian.
Heri menambahkan sederet data lagi yang membuatnya geram. “Ada satu fakta yang buat saya kesal. Lombok Tengah ini selalu dapat juara satu untuk penanganan BMI. Namun di sisi lain, dapat nomor satu pengiriman BMI ilegal,” keluhnya sembari heran.
Ada satu kebiasaan masyarakat yang mengakar di masyarakat, kata Heri. Orang-orang yang tidak bisa berangkat lewat Lombok Tengah, maka dia berangkat melalui pintu Lombok Timur. “Orang lombok ini nekat-nekat. Tanpa modal skill mereka berani berangkat ke Malaysia. Di keberangkatan kedua, mereka melancong, tinggal di hutan. Jarang ke kota,”kata Heri. “Sampai-sampai mereka kalau sakit, nggak ke pelayanan kesehatan. Jadi diurus teman-temannya,” tambahnya.
Catatan kasus para TKI ini juga banyak sekali. Ketika Heri bertemu dengan Kepala BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Mataram, pemda urusan TKI ini mengatakan bahwa ia sudah kerepotan bagaimana menangani orang yang berangkat menjadi BMI. “Ada satu fakta pada 2019 saat Suriah sedang konflik, ada tiga orang lombok dikirim ke sana,“ kata Heri menirukan kata Kepala BP3TKI itu. “Duta Besar RI di sana bilang, kenapa kok Lombok malah kirim ke sini. Saat dicek di Lombok sini keberangkatan mereka juga tak tercatat,” imbuh Heri.
Heri menuturkan, banyak kisah-kisah aneh juga yang ia dapatkan. Banyak orang yang nggak punya keterampilan dan pengalaman. “Mereka cuma diantar ke pulau-pulau sekitar. Seperti Sumbawa, Gili, dan lain-lain. Lalu uang mereka bagaimana? Mereka sudah nggak tau, udah dimakan penyalur jasa. Ini ternyata sudah berlangsung sejak 1980an,” tuturnya.
Tren dan Perubahan Sosial Keluarga TKI
Risky Wahyudi, moderator diskusi kali ini, mencoba memerdalam kajian ini dengan bertanya tentang tren sosial yang berkembang di Lombok beberapa tahun terakhir. Secara historis, kata Heri Fadli yang juga lahir di Lombok, mengungkapkan, tren berangkat ke menjadi TKI di Malaysia sudah menjadi hal biasa. Misalnya pada 2000an, anak muda semua berangkat ke Malaysia,” kata Heri menjawab pertanyaan Risky. “Termasuk di sebelah kampung saya, itu berangkat semua.”
Namun, seiring waktu, semuanya akhirnya lambat laun berubah. Meskipun tak semua kampung. “Sekarang misalnya, dari sekira 60an anak muda, hanya 4 yang berangkat malaysia, sisanya sudah mulai menjalani tren kuliah, sarjana dan bahkan, master. Kalau di kampung saya alhamdulillah sekarang sudah berubah trennya,” katanya menjelaskan.
Pada zaman dulu juga, pada era 1980an sampai 2000an, menurut tuturan Heri, paradigma dan tren masih tidak seperti sekarang. Orang dianggap sukses kalau anaknya bisa kirim uang banyak. Maka TKI jadi pilihan. Belakangan tren itu mulai berubah. Yang dulunya orang sarjana tidak dianggap, karena tak kirim uang banyak, tapi akhirnya berangsur-angsur kini mulai berbondong-bondong anak muda berkuliah. “Ada yang di Jogja seperti saya, Malang, Semarang, Bandung, dan lain-lain.”
Meski begitu, di kampung sebelah rumah tinggalnya, masih saja ada yang merasa penting mencari nafkah di Malaysia, kata Heri. Sampai-sampai di daerahnya, orang sudah merasa seakan Malaysia bukan luar negeri. Cuma seperti tempat melancong imbuhnya.