Hari Pers Nasional 2023
Reading Time: 2 minutes
Logo dan maskot Hari Pers Nasional 2023

Perayaan Hari Pers Nasional 2023

Hari Pers Nasional selalu diperingati setiap tanggal 9 Februari.  Lantas apa itu Hari Pers Nasional dan mengapa diperingati?

Terbentuknya Hari Pers Nasional mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985 dicetuskan sebagai Hari Pers Nasional sebagai bentuk penghargaan peran wartawan sebagai aktivis pemberitaan yang membangkitkan kesadaran nasional masyarakat.

Selain itu sejarah Hari Pers Nasional juga erat kaitannya dengan lahirnya organisasi PWI yang dibentuk pada 9 Februari 1946.

Hari Pers Nasional 2023 diperingati di Medan, Sumatera Utara dengan tema “Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat”.

Tema: Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat 

Makna logo Hari Pers Nasional 2023: 

  1. Huruf (p) yang berwarna-warni dimaknakan sebagai keragaman komponen pers, sekaligus menegaskan kemeriahan pesta.
  2. Untaian pita yang membentuk HPN dimaksudkan sebagai lambang pesta raya masyarakat pers, sedangkan jalinan pita dimaknakan sebagai sinergi antar komponennya. 

Makna Maskot Hari Pers Nasional 2023: 

  1. Maskot Hari Pers Nasional adalah Harimau yang memiliki makna sebagai fauna Sumatera yang dilindungi. 
  2. Baru Oholu yang merupakan pakaian adat daerah Nias sebagai bagian dari adat budaya di Sumatera Utara. Baru Oholu ini melambangkan kekuatan, keberanian, dan kapabilitas para prajurit yang juga harus menjiwai pers nasional. 
  3. Pena merah menggambarkan kerja-kerja pers di tanah air dalam meningkatkan kompetensi. 
  4. Kamera sebagai salah satu alat jurnalistik yang menggambarkan teknologi dalam jurnalistik. 

Bagi alumni Prodi Ilmu Komunikasi UII yang terjun di dunia pers semangat untuk selalu produksi berita yang berimbang, akurat, dan mampu dipertanggungjawabkan.

PILMAPRES FPSB UII
Reading Time: < 1 minute

Pemilihan mahasiswa berprestasi (PILMAPRES) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII 2023 saat ini tengah berlangsung. Berikut informasi lengkap mengenai persyaratan, proses seleksi, dan timeline pelaksanaan. 

PILMAPRES merupakan pemilihan mahasiswa berprestasi pada tingkat fakultas di FPSB. Artinya seluruh mahasiswa dari Prodi di FPSB dipersilahkan untuk mendaftar dengan catatan memenuhi persyaratan. 

Sebelumnya PILMAPRES FPSB dikenal dengan sebutan Anugerah Prestasi Mahasiswa yang diselenggarakan setiap tahun. 

PILMAPRES merupakan bentuk apresiasi FPSB UII kepada mahasiswa-mahasiswa yang memiliki prestasi bidang akademik maupun non akademik.  

Persyaratan peserta 

  1. Terdaftar pada PD-Dikti dan aktif sebagai mahasiswa program Sarjana.
  2. Berusia tidak lebih dari 22 tahun pada tanggal 1 Januari 2023 yang dibuktikan dengan KTP ataupun KITAS.
  3. Belum pernah menjadi finalis Pilmapres tingkat nasional.
  4. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,00.
  5. Bagi mahasiswa yang ingin mengikuti kegiatan PILMAPRES dapat melampirkan surat pengantar dari Wakil Dekan 2.

Proses seleksi

  1. Seleksi berkas
  2. Capaian Unggulan (CU) memuat maksimal 10 prestasi terbaik selama menjadi mahasiswa. 
  3. Diutamakan juga melampirkan prestasi internasional sesuai bidang keilmuan 
  4. Sertifikat Bahasa Inggris 
  5. Video presentasi dalam Bahasa Inggris 
  6. Seleksi presentasi
  7. Presentasi gagasan kreatif/produk kreatif 
  8. Wawancara verifikasi berkas dan portofolio CU 

Timeline PILMAPRES FPSB 2023 

18-31 Januari 2023 – Pendaftaran dan pengumpulan berkas PILMAPRES melalui https://s.id/DaftarPilmapresFPSB2023 

21 Januari 2023Sosialisasi PILMAPRES FPSB 

1-2 Februari 2023Seleksi kelengkapan berkas 

3 Februari 2023Pengumuman finalis PILMAPRES FPSB 

4-11 Februari 2023Coaching clinic bagi peserta calon PILMAPRES  

13 Februari 2023Koordinasi perdana finalis dan penjelasan teknis mengenai seleksi presentasi 

14-15 Februari 2023Proses penilaian video presentasi Bahasa Inggris 

16-17 Februari 2023Presentasi gagasan kreatif/produk inovasi 

20-21 Februari 2023Wawancara verifikasi berkas dan portofolio CU 

24 Februari 2023Pengumuman pemenang PILMAPRES FPSB 

Demikian informasi terkait PILMAPRES FPSB UII, bagi mahasiswa yang berminat untuk mengikuti segera daftarkan diri melalui link yang tersedia. 

Revisi jadwal ujian remediasi daring FPSB
Reading Time: < 1 minute

Informasi terbaru jadwal ujian remediasi Semester Ganjil TA 2022-2023 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya yang akan dilakukan secara daring. 

Ujian remediasi daring akan dilaksanakan pada 25 – 26 Januari 2023. Bagi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII baik Reguler maupun International Program (IP) yang belum mencapai standar nilai kelulusan mata kuliah tertentu maka perlu mengikuti ujian remediasi tersebut. 

Berikut detail jadwal dan daftar mata kuliah yang akan dilakukan ujian remediasi daring untuk Prodi Ilmu Komunikasi UII baik Reguler maupun IP. 

Jadwal ujian remediasi daring 

Rabu, 25 Januari 2023 

08:00 WIB – Introduction to Social Research (Kelas A) 

08:00 WIB – Bahasa Indonesia (Kelas A, B, C, D, E) 

10:00 WIB – Komunikasi (Kelas C, E) 

13:00 WIB – Manajemen PR (Kelas B) 

13:00 WIB – Public Relations Management (Kelas A) 

15:00 WIB – Pengantar Manajemen (Kelas B, C) 

15:00 WIB – Teknologi Komunikasi dan Ekologi Media (Kelas B, C, E) 

15:00 WIB – Communication and Media Ecology (Kelas A) 

Kamis, 26 Januari 2023 

08:00 WIB – Ilmu Sosial Budaya Dasar (Kelas A,C, E) 

08:00 WIB – Basics of Social Cultural Science (Kelas A) 

10:00 WIB – Komunikasi Profetik (Kelas A, B) 

10:00 WIB – Prophetic Communication (Kelas A) 

13:00 WIB – Psikologi Komunikasi (Kelas A, C) 

13:00 WIB – Psychology of Communication (Kelas A) 

15:00 WIB – Pengantar Riset Sosial (Kelas A,D, E) 

Demikian revisi jadwal ujian remediasi daring Semester Ganjil TA 2022-2023 khusus Prodi Ilmu Komunikasi UII. 

Informasi detail ujian keseluruhan dapat dapat diunduh melalui link di bawah ini. 

REVISI JADWAL UJIAN REMEDIASI DARING FPSB UII SEMESTER GANJIL TA 2022-2023 

JADWAL UJIAN REMEDIASI MKWU

Reading Time: < 1 minute

Predikat kelulusan di Universitas Islam Indonesia (UII) kini mengalami perubahan. Untuk mendapatkan predikat Cum Laude mahasiswa harus menyelesaikan masa studi tidak lebih dari 4 tahun 3 bulan. 

Aturan tersebut tertera pada  Pasal 28 dan 46 Peraturan Universitas Islam Indonesia No. 2 Tahun 2017, maka bagi mahasiswa Prodi angkatan 2018 dan setelahnya mulai berlaku ketentuan mengenai predikat kelulusan khususnya terkait dengan predikat Cum Laude dan Summa Cum Laude. 

Sementara untuk batas minimum Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) kategori Cum Laude adalah 3,51-3,99. Untuk IPK 4,00 adalah lulus dengan kehormatan tertinggi dalam kategori Summa Cum Laude. 

Artinya di Prodi Ilmu Komunikasi UII juga menerapkan aturan yang sama, bagi mahasiswa dengan angkatan 2018 dan setelahnya yang tidak menyelesaikan masa studi lebih dari 4 tahun 3 bulan tentu gagal meraih predikat Cum Laude. 

Batas kesempatan bagi angkatan 2018 yang masih berkesempatan raih Cum Laude adalah mereka yang lulus selambat-lambatnya per Desember 2022. 

Ktegori predikat kelulusan 

2,50 – 2,75 Lulus dengan predikat Cukup 

2,76 – 3,00 Lulus dengan predikat Memuskan 

3,01 – 3,50 Lulus dengan predikat Sangat Memuaskan 

3,51 – 3,99 Lulus dengan pujian (Cum Laude) 

4,00 Lulus dengan kehormatn tertinggi (Summa Cum Laude) 

*** 

Seminar Day 2023
Reading Time: 2 minutes

Seminar Day 2023: Alur lengkap pengajuan outline hingga ACC dosen pembimbingProdi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar “Seminar Day 2023” pada Selasa, 17 Januari 2023 secara daring untuk mahasiswa angkatan 2020 dan beberapa angkatan yang belum mengambil mata kuliah Seminar Proposal yang akan dimulai pada semester depan TA 2022-2023.

Dalam “Seminar Day 2023” dibahas proses pengajuan dari outline hingga ACC dari dosen pembimbing. Wajib diketahui syarat utama untuk bisa mengambil mata kuliah “Seminar Proposal” adalah lulus mata kuliah Penulisan Akademik, Metode Riset Kuantitatif, dan Metode Riset Kualitatif dengan nilai minimal C.

Seperti disampaikan Ketua Prodi Ilmu Komunikasi UII, Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D, Seminar Day 2023 dipersiapkan untuk mahasiswa yang akan mengambil mata kuliah Seminar Proposal.

” Mahasiswa harus memastikan alur Seminar Proposal dari outline hingga ACC dosen pembimbing. KKalau tidak mengikuti alur dan proses yang dijalani, maka mahasiswa tidak berhak mengambil mata kuliah Seminar Proposal,” ucapnya pada pembukaan Seminar Day 2023 pada Selasa, 17 Januari 2023.

Berikut informasi lengkap terkait alur Seminar Proposal yang wajib diketahui oleh seluruh mahasiswa yang akan mengambil mata kuliah tersebut.

Alur Seminar Proposal

1. Mahasiswa mengakses informasi lengkap presentai dari masing-masing dosen Prodi Ilmu Komunikasi melalui link https://s.id/Presentasidosenilkom

2. Mengikuti Seminar Day 2023 (Sudah berlangsung pada Selasa, 17 Januari 2023 pukul 08:30 WIB)

3. Membuat outline Seminar Proposal 2-3 halaman sesuai template yang dapat diakses di https://s.id/outline2023

4. Mahasiswa konsultasi ke dosen sesuai spesialisasi

5. Mengupload outline Seminar Proposal yang sudah mendapat tanda tangan ACC dosen spesialisasi maksimal Selasa, 31 Januari 2023 pukul 16:00 WIB melalui link https://s.id/Uploadoutline2023

6. Informasi final pembagian dosen pengampu kelas Seminar pada Jumat, 3 Februari 2023 pukul 16:00 WIB melalui https://communication.uii.ac.id

7. Mahasiswa key-in mata kuliah Seminar Proposal dengan nama dosen pengampu kelas yang telah diumumkan melalui website Prodi Komunikasi.

8. Prodi menyelenggarakan perkuliahan Seminar Proposal secara offline.

Timeline Seminar Proposal

17 Januari 2023
08:30 WIB – Seminar Day 2023

31 Januari 2023
16:00 WIB – Batas maksimal upload outline Seminar Proposal

3 Februari 2023
16:00 WIB – Informasi final pembagian dosen pengampu

Sebagai informasi dalam acara Seminar Day 2023 telah diikuti oleh 216 mahasiswa dari Prodi Ilmu Komunikasi dari International Program (IP) maupun reguler serta 15 dosen pengampu.

Karang Taruna Tirta Yodha belajar podcast dengan Laboratorium Ilmu Komunikasi
Reading Time: < 1 minute

 

Laboratorium Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan studi dari Karang Taruna Tirta Yodha pada Kamis, 5 Januari 2023.

Kunjungan Karang Taruna Kalurahan Tegaltirto, Kepanewon Berbah, Sleman, Yogyakarta di Laboratorium Ilmu Komunikasi bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan tentang produksi podcast serta pengelolaan media informasi bagi para pengurus Karang Taruna.

Kunjungan tersebut diwakili 6 orang diantaranya 2 Pak Dukuh di Tegaltirto dan 4 anggota Karang Taruna Tirta Yodha. Mereka berkesempatan menjadi perwakilan untuk belajar bersama dengan beberapa dosen dan praktisi laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Perwakilan Karang Taruna Tirta Yodha yang berkunjung tentunya mendapatkan materi spesifik terkait produksi podcast mulai dari pemilihan materi informasi, proses produksi, hingga publikasi.

Nantinya informasi yang telah diproduksi Karang Tarurna Tirta Yodha akan dipublikasikan di media sosial dan menjadi pusat iformasi masyarakat di wilayah Tegaltirto dan sekitarnya.

Sebelumnya kunjungan ini merupakan bentuk tindak lanjut dari pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen Ilmu Komunikasi UII di kawasan Kalurahan Kepanewon Berbah.

Tentu saja kunjungan tersebut disambut hangat oleh Kepala Prodi Ilmu Komunikasi UII, Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D. Ia berharap kunjungan seperti ini terus berkelanjutan guna mendekatkan dunia kampus dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana slogan yang diusung Progam Studi Ilmu Komunikasi, yakni Communication for Empowerment.

Reading Time: 6 minutes

Mayoritas festival film di kota menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif. Agensi kultural yang demikian juga meneguhkan branding tempat tertentu hingga identitas kota itu sendiri.

Oleh
ZAKI HABIBI
Tulisan pernah dimuat Harian KOMPAS pada 18 Desember 2022. Artikel dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan penguatan isu kajian Film, Kota, dan Visual di Ranah Kajian Media, dan Urban Research.

Menjelang penghujung akhir tahun 2022, sejumlah kota kembali riuh dengan beragam pesta sinema. Dari Denpasar ke Jakarta hingga Yogyakarta, publik penonton film disuguhi serangkaian festival film yang menyapa khalayak secara langsung setelah dua tahun sebelumnya dilakukan secara daring. Kota-kota lain di berbagai wilayah pun menyusul untuk menggiatkan kembali perjumpaan fisik lewat ajang festival film.

Awal hingga tengah Oktober lalu, misalnya, Madani Film Festival dan Jakarta Film Week (JFW) digelar berdampingan waktu. Sebagian programnya diadakan dalam format kolaborasi kedua festival di lokasi yang sama, baik pemutaran film tertentu maupun sejumlah diskusi publik. Tidak lama kemudian, Jakarta Independent Film Festival (JIFF) juga hadir di awal November. Kali ini penyelenggara JIFF membuat festival dalam format bauran, mempertahankan program pemutaran daring dan mulai mengadakan program-program secara luring di Jakarta.

Pada tengah November, giliran Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta yang kembali menyapa penikmat publik film untuk kali keduapuluh satu perhelatannya (Kompas, 27/11). Di penghujung akhir bulan November hingga 3 Desember 2022, Yogyakarta melanjutkan kemeriahan pesta sinema dengan berlangsungnya Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

Seperti akar namanya, festival adalah sebuah perayaan. Bila ditilik dari nalar kebahasaan, maka secara literal, festival adalah perayaan kolektif yang membangkitkan perasaan kegembiraan dan keriangan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Festival film pada dasarnya adalah ruang sosial yang memberikan kesempatan rasa gembira dan nuansa riang secara bersama. Meski begitu, ada makna kontekstual yang khas karena–seperti film itu sendiri–festival film adalah hasil kerja kolektif nan kompleks, sejak konseptualisasi, kuratorial dan pemrograman, pendanaan, manajemen pengelolaan, pemublikasian program dan keterlibatan partisipan serta penonton, hingga konteks produksi ruang (space) sosial dan kultural serta pembentukan makna tempat (place) atas keberadaan suatu festival film tertentu.

Dengan begitu, kemeriahan yang terbentuk karena hadirnya festival film di sebuah tempat–dalam hal ini ruang urban–pada dasarnya telah melampaui makna literal sebagai ruang instrumental atas perayaan kegembiraan dan keriangan bagi sekelompok orang terbatas. Di luar fungsi utamanya dalam ekosistem perfilman secara spesifik, yakni sebagai bagian tidak terpisahkan dari relasi produksi, distribusi dan eksibisi film, festival juga dapat dipahami secara lebih luas. Sebuah festival film esensinya adalah produksi ruang perjumpaan budaya (cultural encounter) yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan tempat (place) ia bermula dan berbasis. Antara festival film dan kota telah berkelindan sedemikian rupa, saling andil dalam interaksi kultural yang terus saling berkaitan.

Festival Film dan Kota

Terlepas dari adanya perbedaan karakteristik utama dari setiap festival film di berbagai kota, terdapat satu pertanyaan tunggal yang sebenarnya selalu serupa. Yaitu, mengapa festival film menjadi penting bagi kota tempat ia hadir dan bergeliat?

Di luar fungsi instrumental dan konteks ekonomi-politik bagi ekosistem perfilman, setidaknya ada tiga arti penting kehadiran festival film secara kontinyu di kota masing-masing. Pertama, festival film adalah salah satu agensi budaya. Fungsi festival film melampaui arti literalnya sebagai ruang gembira dan riang bersama. Kedua, festival film–disadari atau tidak oleh warga kotanya maupun perumus kebijakan di kota–kerap menjadi sarana penyokong branding tempat (place branding), termasuk branding kota dan identitas kota. Ketiga, festival film berpotensi besar untuk memunculkan keberagaman suara (multiple voices) serta produksi ruang inklusif di kota.

Sebagai sebuah cultural agency, festival film semestinya tidak melulu dipandang sebagai peristiwa temporer belaka. Toh bagi para pekerja dan pegiat festival, kiprah festival film adalah kerja sepanjang tahun. Dalam penelitian yang ditulis Sri Ratna Setiawati (atau yang lebih akrab disapa Lulu Ratna), ia mengkaji terbentuknya konsepsi ruang urban Yogyakarta ditilik dari studi spesifik terhadap kurasi program pada dua festival di kota tersebut, yaitu FFD dan JAFF. Menurutnya, kehadiran kedua festival non-pemerintah yang lahir pasca-1998 ini berkontribusi dalam ”membangun konstruksi Yogyakarta ideal, namun pada saat yang sama juga melakukan perlawanan terhadap dominasi media arus utamadan distribusi-eksibisi film komersial, sehingga berhasil membangun kekuatan untuk menjadi hegemoni baru perfilman Indonesia” (Setiawati, 2020).

Lebih jauh dari itu, mayoritas festival film di kota pada muaranya menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif, dari cara pandang dan cara praktik atas berbagai aspek kehidupan di masyarakat tempat ia hadir. Selanjutnya, agensi kultural yang demikian juga mendukung upaya-upaya peneguhan branding tempat tertentu (festival venues) hingga identitas kota itu sendiri. Proses branding kota semacam ini biasanya mengomunikasikan kota sebagai ”imaji-imaji yang memantik selera orang” (Löfgren, 2005: 64).

Orvar Löfgren, seorang etnolog yang mendalami budaya kontemporer dalam keseharian hidup, mengingatkan bahwa city branding yang dijalankan dengan menempatkan prinsip ”catwalk economy” ada bahayanya. Segala sesuatu yang semata ditampilkan memukau di lapis imaji belaka, termasuk memoles kota seperti tengah berjalan di sebuah catwalk, hanya akan menempatkan kota sebagai produk. Kota sebagai produk adalah sebuah pandangan yang berbahaya (Löfgren, 2014: 202), karena akhirnya kota dapat didesain secantik mungkin, tapi justru menyajikan ruang urban yang tidak berdaya hidup (”a beautifully designed, but lifeless cityscape”) (Löfgren, 2007: 91).

Untuk mengembalikan daya hidup kota, diingatkan Löfgren dan juga Jensen (2007: 102), segala upaya branding kota harus kembali ke esensinya dalam meneguhkan identitas kultural dan segala nilai pokok dari kota tersebut melalui kelindan beragam pengalaman orang-orangnya.

Dengan begitu, dalam konteks festival film, berbagai hal yang terjadi dan terbincangkan di luar ruang pemutaran film merupakan pengalaman signifikan yang sama pentingnya dengan representasi apapun yang tersaji di layar pemutaran di dalam studio bioskop atau berbagai venues lainnya. Meski tidak selalu dapat terukur secara kuantitatif, hal-hal semacam ini pada dasarnya juga menyokong proses branding kota yang berbasis identitas kultural dan nilai-nilai esensial.

Keberadaan festival film yang demikian akhirnya bermuara pada cara memandang dan menafsirkan kota. Mengapa demikian? Meminjam dan memodifikasi penjelasan Henri Lefebvre, kota sebagai ruang sosial semestinya dipahami secara menyeluruh sebagai perwujudan aspek triadik tak terpisahkan. Yaitu, kota dalam wujud material (the perceived or material city), kota yang terimajinasikan (the conceived or imagined city), serta kota yang dialami atau dihidupi warga dan beragam orang yang melintasinya (the lived city).

Lewat festival film, siapapun yang terlibat, hadir, atau sekadar selintas melihat publikasi acaranya di jalanan sebenarnya telah menjadi bagian dari ketiga model triadik kota di atas. Festival film, terutama melalui program-programnya, kerap berfokus pada upaya-upaya untuk merawat ingatan. Dari ragam genre dan tema film, topik diskusi, hingga lontaran-lontaran dalam obrolan informal di sela-sela acara utama adalah wujud nyata dari beragam upaya merawat ingatan atau kerap disebut pula sebagai recalling and re-articulation of social and cultural memories. Tujuannya, agar isu yang penting, kegelisahan yang dirasakan, serta fakta dan emosi yang tidak tersaji di permukaan dapat menjadi rekaman bersama dan, syukur-syukur, direspons pula lewat berbagai karya-karya lanjutan di masa mendatang.

Tatkala festival film menjadi ruang yang memungkinkan upaya merawat ingatan agar terus terkelola, ini adalah aktualisasi dari gagasan the imagined city dan the material city. Di saat yang bersamaan, berfestival film pada asalinya adalah serangkaian pengalaman individual dan kolektif sekaligus. Pada aras ini, festival film telah mewujudkan pula gagasan the lived city yang selalu menyajikan pengalaman majemuk warga, tidak pernah tunggal, yang harus terus diberi ruang seluas-luasnya. Bahwa kota yang terhidupi, the lived experiences in the city, ini tidak selalu sejalan dengan idealisasi dan materialisasi yang diharapkan di awal, hal itu tetap harus mendapatkan perhatian yang sama pentingnya.

Suara Majemuk dan Ruang Inklusif

Dengan memahami festival film dalam cara pandang yang demikian, arti penting ketiga dari festival film di sebuah kota dapat terwujud. Yaitu, potensi untuk ’mendengarkan’ suara majemuk atau multiple voices melalui berbagai program yang juga mempertemukan ragam entitas. Kata voice di sini tidak semata-mata terjemahan suara dalam pengertian pengalaman akustik. Melainkan, ‘suara’ di sini berkaitan pula dengan artikulasi kuasa (power) yang selalu menjadi medan kontestasi dalam keseharian pengalaman hidup masyarakat urban.

Di perhelatan festival film, artikulasi suara majemuk yang semestinya diberikan ruang luas tersebut tak ubahnya menjadi ruang nafas atau the breathing spaces dalam hiruk-pikuk dan sesak pengalaman hidup perkotaan. Ruang nafas demikian dapat bermakna ganda: festival film sebagai oase di belantara ragam peristiwa dan kepenatan di kota, sekaligus festival film sebagai ruang menekan tombol ”pause” dalam keseharian hidup warga kotanya. Jeda sejenak ternyata penting demi mendengar ”suara-suara” yang berbeda sembari membincangkan imajinasi atas harapan-harapan yang beragam.

Dalam berbagai perjumpaan formal sebagai bagian dari program festival maupun perbincangan informal di kedai dan selasar lokasi festival, terdapat banyak catatan penting yang kemudian menjadi fondasi kerja-kerja kolektif selanjutnya setelah festival berakhir. Dialog dalam forum diskusi, tanya jawab dengan sineas dan kru film pasca-pemutaran, hingga peluncuran buku terkait sinema adalah beberapa ruang sosial yang kerap mewadahi kemunculan ragam suara sekaligus kompilasi harapan.

Bersama itu pula, festival film juga melanjutkan ruang-ruang sosial demikian sebagai kemungkinan memupuk hadirnya ruang yang lebih inklusif di perkotaan. Kita lihat, misalnya, sejumlah program juga menyediakan ”bioskop bisik” untuk akses bagi penonton disabilitas. Harapannya, festival film menjadi kian meneguhkan rasa kepemilikan yang luas di luar komunitas pembuat, pendistribusi dan eksibitor film semata.

Inklusivitas juga hadir lewat cara lain. Seperti, kombinasi antara praktik-praktik lokal yang ditawarkan sebagai ciri khas setiap festival di masing-masing kota dengan dialog lintas entitas yang muaranya kerap menuju cita rasa kosmopolitanisme.

Menutup tulisan ini, saya teringat salah satu adegan di film Autobiography (2022) – ditulis dan disutradarai oleh Makbul Mubarak– yang secara simbolik tidak hanya kuat bagi narasi dan unsur sinematik film ini, tetapi juga secara metaforis menggambarkan kelindan gagasan yang saya ulas di atas. Sebagai wujud artikulasi ”investigasi emosional sejak masa kecil bagi sineasnya” (Kotzathanasis, 2022), film ini sarat akan ekspresi implisit emosi yang tidak selalu sejalan dengan hal-hal yang manifes di layar.

Tatkala tokoh pelik Purna berujar di bagian permulaan film kepada Rakib, sang protagonis, ”Siapa bilang saya minum kopi?” pertanyaan retoris ini tidak pernah terjawab verbal karena memang esensinya bukan itu. Melainkan, sisi-sisi yang tidak terkatakanlah yang memberikan petunjuk bagi penonton atas bangunan karakter tokoh tersebut dan premis utama filmnya. Begitu pula dengan pentingnya festival film bagi kotanya. Hal-hal yang tersampaikan secara subtil, bahkan terkadang tak tampak, dalam perhelatan festival film tidak boleh luput dari perhatian banyak orang. Karena dari situlah andil dan kontribusi festival film sedang terbentuk secara kultural bagi kota dan warganya.

ZAKI HABIBI

Peneliti kajian media dan budaya visual,
Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta
dan Lund University, Swedia

Reading Time: 2 minutes

Rejeki bertambah, rejeki berkurang. Tapi tak pernah ada yang tahu, apakah rejeki itu berkah atau tidak. Atau justru rejeki yang kita dapat itu seringkali tidak kita syukuri? Sebenarnya, apa rejeki yang berkah itu?

Barokah atau berkah itu adalah sesuatu yang tetap, yang langgeng, dan sesuatu yang bertambah-tambah kebaikannya. “Makanya itu NgajiKomunikasi kali ini saya beri judulnya itu lapis-lapis keberkahan, meminjam judul buku teman saya,” Ungkap Subhan Afifi, pembicara dalam Ngaji Komunikasi yang diadakan di Yogyakarta pada 10 Desember 2022. Berdasar penuturan Subhan, keberkahan itu bisa bertambah dalam.berbagai lapisannya dan dalam berbagai konteks.

Ia biasa disebut ziyadatul khoir. Tetapnya kebaikan, kemudian kebaikan itu semakin bertambah, kata Subhan, yang juga dosen Komunikasi UII klaster riset Public Relation.

Subhan Afifi mengatakan, rejeki berkah itu bukan persoalan jumlah, tapi apa kemanfaatannya. “Bisa buat ini itu bisa untuk apa saja. tapi kalau tidak ada keberkahan, ya ada aja masalahnya. Kurang terus. Ada yang sakitlah, ada yang hilanglah, dan lain-lain,” jelas Subhan Afifi.

Bertambahnya kebaikan itu, kata Subhan, ada pada semua lini kehidupan kita. Bertambah amal solehnya, bertambah kebaikannya untuk masyarakat. “Pemberdayaan yang riil itu ketika dia bermanfaat untuk semua. Lalu bagaimana meraih rejeki yang barokah itu? apa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapainya?

Ustadz Subhan Afifi mengatakan bahwa upaya itu bisa dicapai dengan melakukan empat  hal berikut ini dengan maksimal dan ikhlas. “Jika kita lakukan, maka keberkahan akan mengalir,” tambahnya. Empat hal itu adalah berupaya dengan Ilmu dan mencarinya, lalu yang kedua adalah dengan cara melakukan Amal yang terbaik. Lalu yang ketiga, adalah melakuakn dakwah. “Mungkin dalam pandangan kritis ini ya, maksdunya amal maruf nahi munkar itu kan termasuk dakwah ini ya,” jelas Subhan pada poin ketiga ini. Sudah tiga hal dilakukan, maka tinggal melakukan yang keempat, yaitu sabar. “Ini merangkum semua kebaikan yang kita ikhtiarkan. Nah saya ini Inspirasinya dari surat al ashr, Rejeki yang berkah adalah rejeki yang membuat kita bertambah melakukan kebaikan,” papar Subhan menutup NgajiKomunikasi di akhir tahun ini.

Reading Time: 2 minutes

Fortune increases, and fortune decreases. But no one ever knows, whether fortune is a blessing or not. Or is it precisely the fortune that we get that we are often not grateful for? Actually, what is the blessing of fortune?

Barokah or blessing is something that is permanent, lasting, and something that increases in goodness. “That’s why I titled the Koran Communication this time with layers of blessings, borrowing the title of my friend’s book,” said Subhan Afifi, speaker at the Communication Koran which was held in Yogyakarta on December 10, 2022. Based on Subhan’s narrative, the blessings can go deeper. layers and in various contexts.

He is usually called ziyadatul khoir. Keep being good, then the kindness will increase, said Subhan, who is also a UII Communications lecturer in the Public Relations research cluster.

Subhan Afifi said, the fortune of blessings is not a matter of quantity, but what are the benefits? “You can make this, it can be used for anything. But if there is no blessing, then there is a problem. It’s lacking. Some are sick, some are missing, and so on,” explained Subhan Afifi.

The increase in goodness, said Subhan, is in all lines of our life. The more his good deeds, the more good he is for society. “Real empowerment is when it is useful for all. Then how to achieve that blessed fortune? what efforts can be made to achieve it?

Ustadz Subhan Afifi said that this effort can be achieved by doing the following four things maximally and sincerely. “If we do, the blessings will flow,” he added. The four things are trying with knowledge and seeking it, then the second is by doing the best deed. Then the third is doing da’wah. “Maybe in this critical view, yes, meaning ma’ruf nahi munkar includes this da’wah,” explained Subhan on this third point. Three things have been done, so all that remains is to do the fourth, which is patience. “This summarizes all the good that we strive for. So, I am inspired by Surat al-Ashr, a blessed fortune is a fortune that makes us do more good,” said Subhan closing the Koran Communication at the end of this year.

Reading Time: 2 minutes

Banyak sekali tulisan yang diproduksii tiap bulannya di website, tapi sering kali jumlah pengunjungnya tidak maksimal. Selain itu, tingkat keterbacaannya juga kecil. Ini terlihat dari durasi kunjungan, tulisan panjang tetapi durasi kunjungannya hanya beberapa detik saja. Hal ini sangat disayangkan. Lalu bagaimana mengoptimalisasinya kunjungan dan konten yang ada?

Hal ini dijawab dalam Pelatihan optimalisi website yang diadakan oleh Humas Universitas Islam Indonesia (UII) pada 4 juli 2022. Pelatihan ini mengundang Didik Arwinsyah, seorang pebisnis online yang juga seorang internet marketer. Acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan keterjangkauan konten websiste resmi yang ada di Universitas Islam Indonesia. Selain mengoptimalisasi keterjangkauan tulisan, pelatihan ini juga ingin untuk meningkatkan kapasitas pengelola website di seluruh unit dan direktorat yang ada di UII.

Masalah yang sering terjadi dan sering dialami oleh internet marketer atau pengelola website adalah bagaimana membuat websitenya berada di bagian terdepan di mesin pencari. “Bukan karena tulisannya jelek, atau tidak menarik. Sering kali para pengelola website tidak mengerti bagaimana membuat kontennya muncul di halaman awal pencarian Google ketika pengunjung mengetik kata kunci (keyword) di mesin pencari,” kata Didik Arwinsyah menjelaskan. “Internet marketer harus memperhatikan SEO agar website, nama, brand kita, atau kampus kita, muncul di mesin pencari,” tambah Didik.

Tip dan Trik Kunci Mengoptimalkan SEO Web Kampus

SEO adalah singkatan dari Search Engine Optimization atau biasa disingkat SEO. SEO ini berisi beberapa acuan agar sebuah artikel atau konten dapat berada di urutas teratas dalam sebuah pencarian di mesin pencari seperti Google. Di sini internet marketer atau pengelola website harus memperhatikan beberapa hal seperti originalitas, panjang tulisan, dan struktur tulisan. Dan yang paling penting adalah konten itu sendiri. Apakah artikel kita menjawab permasalahan pengunjung? Beberapa tip dijelaskan sebagaimana berikut.

Originalitas

Tulisan atau artikel tidak boleh sama persis dengan tulisan media lain. Jelas bahwa artikel yang ditulis haruslah orisinil dan tidak boleh menyalin ulang dari tulisan yang sudah ada. Jika tulisannya sama, penulis harus menulis ulang dengan tata bahasa sendiri, alias parafrase.

Panjang artikel

Panjang artikel minimal 500 kata. Artikel yang terlalu panjang pasti sangat melelahkan untuk dibaca. Artikel yang terlalu pendek juga tidak akan mengurai sebuah tulisan yang komprehensif. Artikel yang ditulis dan bisa dilacak oleh pencarian Google biasanya berjumlah sekitar 500 kata.

Pembuat penyelesaian dari pemasalahan

Visitor atau pengunjung website melakukan pencarian dengan maksud untuk mencari informasi tentang hal-hal tertentu. Pengunjung sebenarnya melakukan pencarian untuk mencari jawab dari masalah, dan artikel yang ditulis merupakan sebuah jawaban pemasalahan yang dicari. Itu artinya, pastikan judul artikel memuat kata kunci masalah. Dan pastikan, artikel memuat jawaban permasalahan tersebut.

Artikel yang berbeda dari konten kreator lain

Artikel yang ada di website tertentu sering kali sama persis dengan di website lainnya. Biasanya hanya berubah bahasa saja, tetapi esensinya sama. Sedangkan visitor mencari banyak artikel untuk bisa mencari informasi sebanyak-banyaknya. Juga mencapi perspektif yang berbeda dengan artikel lain. Jika artikel satu dengan yang lain hanya menyuguhkan hal yang sama, tentu hanya akan dilewati begitu saja oleh pengunjung. Di sinilah pentingnya perlu ada konten yang memiliki pandangan dan substansi berbeda dengan website lainnya.