Retyan Sekar, peneliti dalam diskusi Ruang dan Kuasa di Jogja (Selain NYIA), mendapat temuan menarik sekaligus tak biasa. Retyan menarik kesimpulan dari risetnya soal Normalisasi Demonstrasi di Titik Nol Kilometer Jogja. Ia melacak selama pra reformasi, tidak ada satupun aktivis pada 80an dan 90an yang tertarik untuk melakukan aksi protes di titik nol kilometer jogja. “Pada jaman itu, yang ada biasanya aksi demo dilakukan di gedung agung atau kraton yang paling dekat,” kata Retyan yang juga adalah aktivis perempuan di Yogyakarta ini. Tak ada magnet besar untuk melakukan aksi protes di titik nol kata salah satu narasumber risetnya. Begitu juga pada masa reformasi, konsentrasi aksi demontrasi mahasiswa justru bukan di Titik nol Kilometer.
“Malah gejayan, bunderan UGM, dan sepanjang jalan malioboro atau gedung agung yang jadi titik-titik aksi,” tambah Retyan dalam Diskusi Rutin Bulanan Prodi Ilmu Komunikasi UII pada Selasa, 9 April 2019, di Ruang RAV Prodi Ilmu Komunikasi UII. Kecenderungan aksi demontrasi marak dilakukan di titik nol muncul pada masa paska reformasi sekitar 2004an. Saat itu banyak seniman yang melakukan aksi protes di titik nol kilometer jogja sebagai bentuk kontra wacana pada pemerintah.
Pada 2010 ke sini, yang terjadi sebaliknya, Pemerintah Daerah Provinsi DIY (pemda) melakukan perlawanan wacana balik dengan menjadikan titik nol sebagai titik sumbu jogja dengan melakukan revitalisasi fisik titik nol kilometer nol. Retyan, dengan kacamata Komunikasi Geografi dan menggunakan teori Foucoult dalam “Discipline and Punish”, melihat praktek produksi ruang oleh pemda ini sebagai normalisasi aksi-aksi protes. Ada pendisiplinan dan pengawasan oleh pemda lewat media dan beragam faktor pada aksi yang dilakukan di titik nol kilometer Jogja. Demonstrasi di titik nol menjadi termediatisasi juga oleh media. Padahal selama pra reformasi dan reformasi, tidak ada satupun ketertarikan dan titik penting untuk memasukkan titik nol kilometer sebagai puncak demontrasi.
Di tengah diskusi, saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi, Razik, mempertanyakan analisis Retyan disambi mengutip Henry Lefebvre. “Bagaimana sebetulnya, apakah media adalah yang satu-satunya yang membentuk titik nol sebagai ruang aksi atau sebetulnya ada faktor atau elemen lain yang membentuk?Apakah ruang titik nol menjadi penting karena itu adalah bagian dari “mode of production” dari model kapitalisme di Jogja?“ tanya peserta tersebut.
Retyan menjawab bahwa ia tidak menafikan ada faktor-faktor lain yang membentuk ruang titik nol sebagai titik pusat demonstrasi, namun fokus dia adalah media juga punya andil dalam memediatisasi aksi-aksi di titik nol sehingga membuat aktivis-aktivis paska reformasi lebih memilih aksi di titik nol ketimbang di titik-titik lain seperti aktivis-aktivis lain di era sebelumnya.
Diskusi yang juga dilakukan sembari berbuka bersama itu menjadi ruang apresiasi dan pertemuan gagasan. Ia juga menjadi wadah berbagi cerita, cara, metode, dan teknik dalam melakukan penelitian di Prodi Ilmu Komunikasi UII.
Tulisan ini adalah lanjutan dari Ada Apa dengan Jogja Scrummy dan Titik Nol Kilometer Jogja?