Berjalan: Metodologi Memetakan Memori Kultural
Selama ini peta yang kita kenal adalah peta secara geografis: Pulau, kawasan, negara, benua, danau, air laut, daratan. Tetapi, jika kita mulai berkenalan dengan sejarah bisa jadi peta akan berubah warna. Misalnya peta geopolitik dimana kawan-kawasan tertentu merupakan pendukung atau penentang blok atau sekutu pada masa tertentu. Lalu peta tersebut akan berubah karena ada perrang atau perjanjian tertentu daam 10 tahun kemudian.
Zaki Habibi menawarakan sebuah metodologi untuk membuat peta baru atas memori kulturan tertentu dengan cara berjalan. Mengumpulkan, mencari variasi memori lalu menggambarkankannya dalam peta yang naratif. Peta, sebagai sebuah media yang bercerita.
Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi meldia ALternatif (PSDMA) NADIM mengundang Zaki Habibi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islama Indonesia (UII) yang barusa aja menyelesaikan studi doktoralnya di Swedia. Diskusi pada 3 Desember 2021 tersebut menawarkan metode baru dalam kajian komunikasi geografi dan memori kultural: “Kartografi Naratif” berjalan sebagai metodologi untuk memetakan memori kultural”.
Gagasan kartografi naratif ini berangkat dari kritis atas suara tunggal, serta semangat untuk mencari variasi dan keberagaman makna kultural atas suatu wilayah dan kultur tertentu. Selama ini imu dan keulmuan yang dipelajari sangat antroposentis, dalam arti semua ilmu digunakan untuk membantu kepentingan manusia: teknologi untuk mempermudah manusia, ilmu geologi untuk kepentingan manusia, pertanian untuk menghasilkan kemamuran manusia.
“Nah, perspektif yang dibangun akan beyond human world. Artinya memandang bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang hidup dan tinggal di bui yang semua hal diperuntukkan untuk kehidupan dan kemakmuran manusia. Tapi bahwa manusia adalah salah satu entitas yang berelasi dengan entitas lain sperti hewan, tumbuhan, udara, tanah dan entitas kehidupan lain dalam ekositem.”
Misalnya: Batas batas nera jadi tidak relevan, karena kini ada adalah saling keterhubungan, jejaring sebagai warga kota misalnya. Untuk orang yang concern pada kebencanaan pasti memiliki peta yang berbeda, atau orang yang punya perhatian pada lingkungan pasti memiliki peta berbeda. Misalnya daerah tertentu memilki dengan kondisi geografis dan geologi tertentu dan potensi bencana, lalu dikaitkan dengan manusia. Nnatunya akan bisa dipetakan kawasan mana yang rawan, kawasan mana saja yang aman untuk pemukiman, kawasan mana yang akan cocok untuk lahan pertanian, dan sebagainya.
Selama ini peta seperti mengekang. “peta ini mengatur hubungan antar pemerintah ke pemerintah, tapi tidak untuk mematok kreatifitas. Orang mengalami hidup di pesesir berbeda, pesisir utara dan pesisir selatan punya corak hidup berbeda, dan kreatifitas untuk mengatasi masalah hidup yang berbeda sekaligus memiliki kesamaan tertentu,” kata Zaki.
Zaki menegaskan bahwa tugas seorang cendekia adalah menjadi salah satu bagian yang mengubungkan sekaligus mengerti perbedaan tersebut.