Bagaimana Membuat Media yang Berdampak?
Angkringan Lek Ghofar sepi pembeli. Ponsel menempel di telinganya seketika kemudian ia berbincang dengan penelponnya di ujung sana. “Gimana ini dab, kok ora ngangring, iki pie. Anak-anak UII kayaknya lagi nggak ada kiriman ini, belum lagi katanya SPP nya naik terus ini,” kata lek Ghofar sambil langsung disambut tepuk tangan riuh ramai hadirin ketika ia mengatakan kata “SPP naik terus.” Hadirin yang mayoritas mahasiswa itu mulai mengeluarkan derak tawa dan tepukan hangat.
Lek Ghofar, berakting menelepon mengundang banyak orang untuk nangkring di angkringannya. Orang-orang yang diundang ke angkringannya itu ternyata adalah pembicara-pembicara dalam acara inisiatif dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yaitu Bincang-bincang “How to Create Impactful Media” pada 28 September 2019 di Auditorium Prof. Abdul Kahar Mudzakkir UII. Lek Ghofar adalah tokoh buatan panitia, khususnya ikon dari program Serial Ramadhan 2019 Uniicoms TV dari Komunikasi UII.
Beruturut-turut kemudian naik ke atas panggung, tempat gerobak angkringan Lek Ghofar ditata, Moderator, Dahlia Citra, dan juga Mario dan Eda Duo Budjang belakangan di sesi kedua. Herman Felani, dosen Komunikasi UII yang berperan sebagai Lek Ghofar, itu menawarkan minuman dan hidangan pada undangannya. Sambil kemudian diceletuki oleh pembicara itu. “Kok sepi, nggak ada yang endorse ni?” tanya Dahlia Citra, Co-Founder Narasi TV, salah satu pembicara kali itu. Citra ingin mengatakan bahwa kini bisnis dan dunia digital harus disikapi dengan kreatif. Termasuk angkringan Lek Ghofar. Begitu juga dengan apa yang dilakukan Narasi TV.
Alumni Namche dan Fisipol UGM ini mengatakan cara mengonsumsi media kini telah berubah. Perkembangan teknologi begitu cepat. Meskipun konten banyak diproduksi, tiap hari tiap orang posting, “Sayangnya banjirnya konten digital tidak dibarengi dengan konteks,” katanya.
Prank misalnya, “konten tutorial masih mending, tapi prank (seperti) itu (saja) jutaan penontonnya. Maka narasi hadir untuk memberi konten yang punya konteks. Edukatif.”
Ada tiga nilai yang Narasi TV usung dalam konten-kontennya: Antikorupsi, Toleransi, dan Partisipasi. Nilai itu pula yang mewujud dalam mantra 3C seperti Content, Collaboration, Community. “Kami tidak harus pakar di semua bidang, kolaborasi yang utama.”
Kalau soal kecepatan semua TV sudah hadir seperti detik. Bedanya, kalau kami memberi konteks. Misalnya. Narasi newsroom hadir menjelang pilpres hadir menangkap dan memberi konteks atas curent isue. Semua TV mengadakan debat pilpres. “Kami berpikir bagaimana caranya dedek-dedek ini mau pakai kuotanya buat nonton Narasi TV. Kami bikin Nobar debat pilpres di bioskop 21 bersama Narasi TV waktu itu.”
“Adek-adek, kalau bikin konten harus kolaborasi. Mereka yang diajak bisa dapat exposure, dikenal, aspirasinya masuk. Kontennya pun jadi,” saran Citra. Itulah yang membuat narasi punya daya kreasi magis. Bagaimana caranya?